Kalo tidak nulis perihal gadis-gadis, biasanya saya menulis hal-hal membosankan. Teman-teman cowok saya memang tidak menarik untuk diceritakan:
Hari ke-2 Idul Fitri kemarin, saya berkunjung ke rumah hp. Tidak sulit menemukan rumahnya. Kami membicarakan posisi rumahnya via email dengan bantuan sepotong peta Bekasi. Persis seperti cara saya bepergian ke seantero Jakarta. Di mulai dari peta digital.
Begitulah, sesampai di rumahnya, saya bicara beberapa menit di ruang tamu sebelum akhirnya pindah ke depan komputer untuk bicara teknis ngblog (scribefire, fireflix dst..) Sampe melihat-lihat koleksi bukunya yang bikin ngiri. Koleksi buku saya sendiri tidak lengkap. Hilang; dipinjam teman dan tak kembali; atau saya berikan ke orang lain atas berbagai alasan. Untung saya pembaca yang cukup baik. Kalau tidak, hilang buku, hilang pula pengetahuan :)
Tak berapa lama kemudian, kami bertamu ke rumah Bowo, sarjana Sejarah UIN Jakarta. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai editor di Erlangga dan menulis 3 buku, ia mendirikan penerbitan bersama teman-temanya dan bekerja dari rumah. Saat itu ia sedang mengerjakan beberapa buku yang kini terbit. Diantaranya, Atlas Al-Qur'an
DIALOG
Kami mulai bicara tentang kabar teman-teman sekolah; tentang kabar almamater dan para guru; lalu tentang dunia yang kami geluti masing-masing. Saya bicara tentang bisnis dan ekonomi. HP bicara tentang kuliah filsafat dan kerjaan marketingnya. Dan Bowo bicara tentang kuliah sejarah dan dunia perbukuan.
Bowo bertanya pada saya tentang seberapa baik saya memahami ilmu ekonomi dan pekerjaan saya. Bowo bertanya pada HP tentang sarjana filsafat yang terjun ke dunia marketing. Saya bertanya pada HP, tentang kemungkinan ia membuka apotik sendiri dengan product knowledge dan relasi-relasi yang ia dapatkan selama bekerja. Saya bertanya pada Bowo tentang cara menerbitkan buku. Bowo bercerita banyak tentang hal-hal detil tentang dunia penerbitan yang benar-benar baru bagi saya. Saya agak terkejut bahwa keterampilan komputer Bowo lebih tinggi dari yang saya kira: mulai dari jaringan komputer hingga program-program desain grafis (corel, photoshop, illustrator dst). Saya bertanya tentang beberapa filsuf pada HP.
Dan kami saling mengagumi kemampuan menulis masing-masing. Bowo tertawa ketika saya menyebutnya pria melankolis karena blog-nya amat melow dan indah. Terjun ke dunia perbukuan benar-benar merubah diri Bowo. Ia banyak menyunting novel-novel indah dan akhirnya mempengaruhi gaya tulisannya. Ia juga belajar banyak dari teman-temannya sesama editor. Salah satunya, Daniel, seorang Purba yang amat saya kagumi sejak membaca blognya 2 tahun silam.
Saya mengagumi tulisan-tulisan HP karena ia menunjukkan kepiawaiannya mengolah logika dan filsafat ke dalam tulisan yang mudah dimengerti. Ia membawa filsafat dari ranah abstrak untuk diaplikasikan sebagai cara berpikir dalam memandang segala sesuatu. Puncaknya, ia menjelaskan secara filosofis tentang patah hatinya. Saya baru mengerti tentang jagad simulacra Baudrillard dari tulisannya ini.
PROVOKASI
Kami bicara banyak hal tentang dunia intelektual. Di tengah pembicaraan itu saya membujuk Bowo untuk jadi dosen saja. Agar ia banyak mencurahkan waktu untuk mengelaborasi gagasan dan menulis buku ketimbang menjadi pekerja buku dan berurusan dengan tetek bengek menerbitkan buku. Ia menolak dengan halus permintaan saya. Dan provokasi diarahkan ke HP. Bagi saya, diantara teman-teman kami, ia yang paling jauh masuk ke dunia gagasan. Ia memilih kuliah filsafat. Filsafat sebagai cara berpikir radikal adalah pintu terbaik untuk mempertanyakan segala sesuatu dan berkreasi, menciptakan, menemukan gagasan baru. Setidaknya, ia bisa memperbaiki pemikiran Cak Nur atau melanjutkan pemikiran Komaruddin Hidayat.
Tapi apa gunanya memprovokasi sesama provokator? Bowo menertawakan bujuk rayu saya yang tidak mempan itu.
EPILOG
Tidak terasa hampir 4 jam kami bicara. Banyak hal yang saya dapatkan dari obrolan itu. Seperti sudah bertahun-tahun tidak ada teman bicara tentang hal-hal yang paling inheren dalam diri saya: intelektualitas. Dan kami menggunakan kosakata yang begitu khas, kaya, dan cukup asing dalam pembicaraan sehari-hari. Semoga saja, seperti harapan Bowo, kami bisa bekerja sama menulis buku.
Sepulang dari Bekasi, saya mampir ke rumah Andung Halimah, sepupu nenek, di Poltangan Pasar Minggu.
Hari ke-2 Idul Fitri kemarin, saya berkunjung ke rumah hp. Tidak sulit menemukan rumahnya. Kami membicarakan posisi rumahnya via email dengan bantuan sepotong peta Bekasi. Persis seperti cara saya bepergian ke seantero Jakarta. Di mulai dari peta digital.
Begitulah, sesampai di rumahnya, saya bicara beberapa menit di ruang tamu sebelum akhirnya pindah ke depan komputer untuk bicara teknis ngblog (scribefire, fireflix dst..) Sampe melihat-lihat koleksi bukunya yang bikin ngiri. Koleksi buku saya sendiri tidak lengkap. Hilang; dipinjam teman dan tak kembali; atau saya berikan ke orang lain atas berbagai alasan. Untung saya pembaca yang cukup baik. Kalau tidak, hilang buku, hilang pula pengetahuan :)
Tak berapa lama kemudian, kami bertamu ke rumah Bowo, sarjana Sejarah UIN Jakarta. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai editor di Erlangga dan menulis 3 buku, ia mendirikan penerbitan bersama teman-temanya dan bekerja dari rumah. Saat itu ia sedang mengerjakan beberapa buku yang kini terbit. Diantaranya, Atlas Al-Qur'an
DIALOG
Kami mulai bicara tentang kabar teman-teman sekolah; tentang kabar almamater dan para guru; lalu tentang dunia yang kami geluti masing-masing. Saya bicara tentang bisnis dan ekonomi. HP bicara tentang kuliah filsafat dan kerjaan marketingnya. Dan Bowo bicara tentang kuliah sejarah dan dunia perbukuan.
Bowo bertanya pada saya tentang seberapa baik saya memahami ilmu ekonomi dan pekerjaan saya. Bowo bertanya pada HP tentang sarjana filsafat yang terjun ke dunia marketing. Saya bertanya pada HP, tentang kemungkinan ia membuka apotik sendiri dengan product knowledge dan relasi-relasi yang ia dapatkan selama bekerja. Saya bertanya pada Bowo tentang cara menerbitkan buku. Bowo bercerita banyak tentang hal-hal detil tentang dunia penerbitan yang benar-benar baru bagi saya. Saya agak terkejut bahwa keterampilan komputer Bowo lebih tinggi dari yang saya kira: mulai dari jaringan komputer hingga program-program desain grafis (corel, photoshop, illustrator dst). Saya bertanya tentang beberapa filsuf pada HP.
Dan kami saling mengagumi kemampuan menulis masing-masing. Bowo tertawa ketika saya menyebutnya pria melankolis karena blog-nya amat melow dan indah. Terjun ke dunia perbukuan benar-benar merubah diri Bowo. Ia banyak menyunting novel-novel indah dan akhirnya mempengaruhi gaya tulisannya. Ia juga belajar banyak dari teman-temannya sesama editor. Salah satunya, Daniel, seorang Purba yang amat saya kagumi sejak membaca blognya 2 tahun silam.
Saya mengagumi tulisan-tulisan HP karena ia menunjukkan kepiawaiannya mengolah logika dan filsafat ke dalam tulisan yang mudah dimengerti. Ia membawa filsafat dari ranah abstrak untuk diaplikasikan sebagai cara berpikir dalam memandang segala sesuatu. Puncaknya, ia menjelaskan secara filosofis tentang patah hatinya. Saya baru mengerti tentang jagad simulacra Baudrillard dari tulisannya ini.
PROVOKASI
Kami bicara banyak hal tentang dunia intelektual. Di tengah pembicaraan itu saya membujuk Bowo untuk jadi dosen saja. Agar ia banyak mencurahkan waktu untuk mengelaborasi gagasan dan menulis buku ketimbang menjadi pekerja buku dan berurusan dengan tetek bengek menerbitkan buku. Ia menolak dengan halus permintaan saya. Dan provokasi diarahkan ke HP. Bagi saya, diantara teman-teman kami, ia yang paling jauh masuk ke dunia gagasan. Ia memilih kuliah filsafat. Filsafat sebagai cara berpikir radikal adalah pintu terbaik untuk mempertanyakan segala sesuatu dan berkreasi, menciptakan, menemukan gagasan baru. Setidaknya, ia bisa memperbaiki pemikiran Cak Nur atau melanjutkan pemikiran Komaruddin Hidayat.
Tapi apa gunanya memprovokasi sesama provokator? Bowo menertawakan bujuk rayu saya yang tidak mempan itu.
EPILOG
Tidak terasa hampir 4 jam kami bicara. Banyak hal yang saya dapatkan dari obrolan itu. Seperti sudah bertahun-tahun tidak ada teman bicara tentang hal-hal yang paling inheren dalam diri saya: intelektualitas. Dan kami menggunakan kosakata yang begitu khas, kaya, dan cukup asing dalam pembicaraan sehari-hari. Semoga saja, seperti harapan Bowo, kami bisa bekerja sama menulis buku.
Sepulang dari Bekasi, saya mampir ke rumah Andung Halimah, sepupu nenek, di Poltangan Pasar Minggu.
hayuuuukkkk.....
ReplyDeleteditunggu buku tulisan kalian ber3...
tpi pas nulis keknya bakal banyak debatnya deh :D
He.. Bowo tu UIN Jakarta. Kalo kumpul2 bicara ilmiah, gua usulin tu direkam. Kemaren gw ngobrol psikologi sama teman gw, sayang ga direkam padahal banyak bngt info tntang psikologi yg gw dapet. Usulnya Dewi patut dipertimbangkan tuh. Cuma memang pasti bakal panjang dan melelahkan deh :D
ReplyDeletethx, soalnya Bowo sampe neliti arkeologi ke Jawa Timur sgl. Jd gw pikir dia UIN Jogja.
ReplyDelete3 org yg berbeda pendapat bs saja menemukan titik temu u menulis buku. Tidak harus panjang & melelahkan. Mirip jazz, setiap pemain msh bs berimprovisasi menunjukkan ciri khasnya tanpa hrs tenggelam dlm komunalisme :)