Sebenarnya saya ingin membuat tulisan yang cukup utuh tentang ideologi. Akan tetapi, dalam beberapa hari ke depan, saya mungkin tidak sempat ngblog. Jadi tulisan ini hanyalah proyeksi dari serpihan-serpihan pikiran yang mengendap dalam ingatan.
Pertanyaannya adalah apakah berbicara dengan ideologi masih relevan saat ini ataukah yang lebih penting adalah membawa semua persoalan di muka bumi ini ke dalam ranah objektivikasi atau diskusi keilmuan yang terbuka terhadap dialektika. Setidaknya ada 3 kutub dalam diskursus ideologi.
Pertama, mereka yang berbicara amat ideologis. Kedua, mereka yang mengganggap era ideologi telah berakhir. Pihak kedua ini lebih banyak tentunya yang mengganggap diri mereka sebagai pemenang dalam kontestasi global, yaitu para ideolog kapitalisme dan demokrasi liberal. Pihak ketiga adalah pihak yang memandang perlunya objektivikasi atau keterbukaan untuk meletakkan semua persoalan tidak dengan menggunakan kacamata ideologis yang cenderung menegasikan semua solusi yang ditawarkan lawan ideologinya. Objektivikasi mensyaratkan pembicaraan dibawa ke tataran pengetahuan karena sifatnya yang terbuka.
Di satu sisi kita melihat kecenderungan menguatnya ideologisasi. Dalam ranah keislaman, tumbuh kaum fundamentalis di sisi kanan dan Islam Liberal di Kiri Tengah. Di sisi lain Kaum Kapitalis terutama yang menganut mazhab ekonomi neo-liberal maupun mazhab demokrasi liberal berakhirnya dunia di bawah hegemoni meraka. Di Indonesia, gejala ini tampak dari berdirinya Freedom Institute. Uniknya, Jaringan Islam Liberal dan Freedom Institute bersimbiosis karena kesamaan pandangan, terutama tentang kekaguman keduanya terhadap Dunia Modern dan kemajuan Barat. JIL berkontribusi memberikan pembenaran teologis terhadap pandangan liberal dalam ekonomi dan politik.
Lalu ada gejala menguatnya Kaum Sosialis yang kemudian mengoreksi dirinya dan bermetamorfosis menjadi Sosialis Demokrat. Mereka menguatkan fenomena bahwa Marxisme tidak pernah mati sebagaimana pengaruh Marx tidak hanya dalam ekonomi dan politik saja, tapi hampir ke semua bidang keilmuan. Tapi tentu saja, banyak gagasan Marx, Stalin, Lenin dan Mao yang harus mereka koreksi untuk menemukan horison baru.
Objektivikasi, salah satu gagasan Kuntowijoyo, adalah suatu proses de-ideologisasi dan mengembalikannya sebagai paradigma. Terminologi ideologi dan paradigma mungkin serupa tapi tak sama. Paradigma cenderung digunakan untuk rangka pikir keilmuan yang terbuka terhadap kritik. Dengan demikian pembicaraan terhadap persoalan apapun hendaknya dikembalikan dalam dialog pengetahuan yang memungkin setiap ideologi menawarkan solusi ekletik.
Di atas pembicaraan tentang ideologi, harus saya katakan juga bahwa Islam bukan ideologi, tapi mengatasi semua ideologi. Menganggap Islam sebagai ideologi hanya akan mengakibatkan inflasi epistimologis parah yang mengarah pada ekstrimitas. Dengan melakukan objektivikasi terhadap ajaran-ajaran Islam, maka ia bisa memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang menjadi concern semua ideologi di dunia. Setidaknya itu yang diharapkan Kuntowijoyo.
Dari tulisan ringkas di atas, saya berharap khalayak pembaca bisa menggunakannya untuk menganalisis berbagai persoalan. Mulai dari arah pemilu Indonesia, krisis kapitalisme, dan perkembangan ekonomi syariah. Sedikit tentang demokrasi di Indonesia. Di tingkat pilkada ada 3 kemungkinan ketika 2 partai yang berseberangan secara ideologis mencalonkan orang yang sama: pragmatisme politik; de-ideologisasi atau ketulusan keduanya untuk mencapai common goods atau aspirasi publik ditengah kepentingan masing-masing. Namun di tataran politik nasional, terutama dalam pilpress 2009, gejala ideologisasi belum akan mencair. [ ]