Dua minggu yang lalu saya menyempatkan diri mengikuti Urban Sufism Days yang berlangsung selama dua hari di Universitas Paramadina. Acara ini bertajuk: Urban Sufisme: Gairah Spiritual atau Eskapisme? Saya ingin tahu apakah ajang ini diikuti oleh pengamal sufisme atau sekedar kajian sufisme dengan nuansa yang kental intelektualisme tapi nir-spiritualitas belaka?
Kenyataannya, acara ini membuka mata saya pada banyak masalah yang timbul bila sufisme diapresiasi oleh kalangan yang menganut teologi inklusif. Pertama, pembicaraan tentang sufisme melebar pada spiritualisme lintas agama atau nir-agama. Selain Haqqani Sufi Institute, Tarikat Naqsabandi yang mewarisi praktik sufisme Jalaluddin Rumi, turut diundang untuk berbicara wakil-wakil dari kelompok-kelompok spiritual yang anggotanya berasal dari berbagai agama, seperti Brahma Kumaris, Anand Ashram, Mata Air, CSL (Center for Spiritual & Leadership) dan Pusaka Hati. Brahma Kumaris adalah para pengamal Yoga. Anand Ashram adalah padepokan yang didirikan Anand Krishna, seorang spiritualis yang meracik ajarannya dari sisi esoteris agama-agama besar (Islam, Hindu, Kristen, Tao, Zen, Buddhisme).
Para spiritualis itu tampak berusaha menemukan satu Tuhan dengan menggunakan istilah The One Being. Dan pijakan spiritual mereka adalah kebijaksanaan, wisdom. Saya jadi teringat pada para filsuf Yunani yang pagan itu. Kedalaman pemikiran mereka hanya sampai pada kemampuan mereka-reka suatu zat yang bernama Prima Causa, Sebab Tertinggi. Disinilah masalahnya. Saya kira pencarian akan Tuhan hanya bisa diselesaikan dengan tuntunan agama, bukan spiritualitas yang sudah menjelma isme atau paham baru.
Kedua, banyak pembicara yang keseleo lidah hari itu. Prof. Kautsar Azhari Noer dengan percaya diri menyatakan bahwa metode terbaik untuk meneliti ajaran agama lain adalah dengan ikut serta dalam ritus-ritus ibadah agama tersebut. Saya lupa istilah dari metodologi yang dipinjamnya dari seorang peneliti Barat itu. Menurutnya, dulu, imannya melarang untuk melakukan yang demikian. Kini, imannya membolehkan.
Haidar Bagir dengan halus menawarkan pendekatan fenomenologis sebagai alternatif dari pendekatan yang digunakan Kautsar. Bagi saya, fenomenologis memang lebih sahih, karena masih memberi jarak antara peneliti dan objek yang diteliti. Metode tersebut juga digunakan oleh Annemarie Schimmel.
Abdul Muis Naharong, seorang dosen filsafat Paramadina berusia 50-an membawakan makalah tentang New Age, sebuah gerakan spiritualisme yang berkembang pesat di Barat. Kesalahan fatal yang dibuatnya pertama adalah pernyataannya bahwa New Age baru ditemukan dalam literatur Indonesia sejak tahun 2000-an. Padahal, di tahun 97, saya sudah membaca tentang New Age dari tulisan Buddy Munawar-Rahman yang diterbitkan Paramadina juga. Kesalahan kedua, ia menyebut bahwa pengaruh New Age sudah sampai ke Indonesia. Mungkin benar, tapi contohnya salah fatal. Ia mencontohkan bahwa PKS sudah terpengaruh New Age karena menggunakan cara-cara yang sama dengan New Age. Ah, bapak ini lucu sekali. Lebih lucu lagi, diawal pembicaraannya ia dengan malu-malu menyebut PKS, tapi akhirnya keseleo lidah juga.
Dari ketiga pembicara itu, hanya Haidar Bagir (full time businessman, part time intellectual) yang mampu bicara runut dan kaya referensi. Kautsar dan Abdul Muis yang dosen murni itu harusnya malu :)
Menjadi sufi atau menjadi muslim?
Di sesi lain, Muhammad Haidar, dosen filsafat Paramadina lulusan Qom Iran, pengkaji Ibn Araby, membahas tentang apa artinya menjadi sufi. Bagi dia, sufi berarti pencapaian kesadaran ketuhanan. Pembicaraannya tidak begitu bermasalah hingga ia mengatakan bahwa shalat dan puasa tidak akan memberikan kemampuan untuk mencapai kesadaran ketuhanan. Saya kira disinilah masalahnya. Ia secara implisit ingin mengatakan dengan zikir ala sufi-lah, kesadaran ketuhanan bisa ditemukan.
Bagi saya, jika menjadi sufi berarti mengutamakan zikir dan memandang remeh shalat dan puasa, saya memilih menjadi muslim saja. Saya tidak perlu memahami jalan pikiran Ibn Araby untuk menjadi muslim. Ah, wihdatul wujud hingga zaman ini masih saja membawa masalah. Yang paling konyol, Muhammad Haidar lebih suka dipanggil Romo ketimbang Ustadz. Dan ia berbicara demikian di depan khalayak yang sebahagiannya muslim awam. Saya jadi teringat Syekh Siti Jenar. Seharusnya pembicaraan tentang wihdatul wujud tidak bersama kaum muslim awam. Hari ini, maqam-maqam sufistik, formulasi yang dikembangkan Al-Ghazali untuk mendamaikan sufisme dan syariah, diterobos begitu saja.
Ketiga, timing acara itu tidak memberikan kedamaian spiritual. Sesi pertama di hari pertama dimulai dari pagi hari dan berakhir jam 13.30. Lebih parah lagi, sesi pertama di hari kedua dimulai jam 14.30 dan berakhir jam 17.30. Saya mengira banyak orang yang tidak shalat Ashar hari itu, termasuk Muhammad Haidar. Mungkin sebahagiannya adalah musafir yang sudah menjamak shalat di waktu zuhur. Tapi bagi saya, yang terpenting adalah sebuah acara keagamaan hendaknya mencerminkan rasa hormat terhadap shalat sebagai tiang agama. Bukankah shalat bagi orang-orang mukmin adalah ketetapan yang terjadwal (kitaaban mauquuta)? Artinya, sehendaknya ritme hidup muslim selaras dengan ritme azan sebagai panggilan bagi orang-orang mukmin. Sebagaimana kita mendirikan shalat subuh ketika umat agama-agama lain masih enak-enakan tidur. Sehendaknya jam biologis kita selaras dengan panggilan untuk shalat subuh (bahkan kalau bisa shalat tahajjud). Bukankah kita disuruh untuk fasaariuu ila maghfirati rabbikum (bersegeralah pada ampunan Tuhan kalian).
Sufisme Days ini akhirnya hanya ajang intelektualisme yang meminggirkan pengalaman esoterik yang paling utama: shalat. Shalat menjadi urusan privat semata. Padahal kita dianjurkan berjamaah, berhimpun, bersosial, dalam mendirikan shalat. Kaum inklusivisme yang ambigu. Masyarakat urban yang malang.. [ ]
Kenyataannya, acara ini membuka mata saya pada banyak masalah yang timbul bila sufisme diapresiasi oleh kalangan yang menganut teologi inklusif. Pertama, pembicaraan tentang sufisme melebar pada spiritualisme lintas agama atau nir-agama. Selain Haqqani Sufi Institute, Tarikat Naqsabandi yang mewarisi praktik sufisme Jalaluddin Rumi, turut diundang untuk berbicara wakil-wakil dari kelompok-kelompok spiritual yang anggotanya berasal dari berbagai agama, seperti Brahma Kumaris, Anand Ashram, Mata Air, CSL (Center for Spiritual & Leadership) dan Pusaka Hati. Brahma Kumaris adalah para pengamal Yoga. Anand Ashram adalah padepokan yang didirikan Anand Krishna, seorang spiritualis yang meracik ajarannya dari sisi esoteris agama-agama besar (Islam, Hindu, Kristen, Tao, Zen, Buddhisme).
Para spiritualis itu tampak berusaha menemukan satu Tuhan dengan menggunakan istilah The One Being. Dan pijakan spiritual mereka adalah kebijaksanaan, wisdom. Saya jadi teringat pada para filsuf Yunani yang pagan itu. Kedalaman pemikiran mereka hanya sampai pada kemampuan mereka-reka suatu zat yang bernama Prima Causa, Sebab Tertinggi. Disinilah masalahnya. Saya kira pencarian akan Tuhan hanya bisa diselesaikan dengan tuntunan agama, bukan spiritualitas yang sudah menjelma isme atau paham baru.
Kedua, banyak pembicara yang keseleo lidah hari itu. Prof. Kautsar Azhari Noer dengan percaya diri menyatakan bahwa metode terbaik untuk meneliti ajaran agama lain adalah dengan ikut serta dalam ritus-ritus ibadah agama tersebut. Saya lupa istilah dari metodologi yang dipinjamnya dari seorang peneliti Barat itu. Menurutnya, dulu, imannya melarang untuk melakukan yang demikian. Kini, imannya membolehkan.
Haidar Bagir dengan halus menawarkan pendekatan fenomenologis sebagai alternatif dari pendekatan yang digunakan Kautsar. Bagi saya, fenomenologis memang lebih sahih, karena masih memberi jarak antara peneliti dan objek yang diteliti. Metode tersebut juga digunakan oleh Annemarie Schimmel.
Abdul Muis Naharong, seorang dosen filsafat Paramadina berusia 50-an membawakan makalah tentang New Age, sebuah gerakan spiritualisme yang berkembang pesat di Barat. Kesalahan fatal yang dibuatnya pertama adalah pernyataannya bahwa New Age baru ditemukan dalam literatur Indonesia sejak tahun 2000-an. Padahal, di tahun 97, saya sudah membaca tentang New Age dari tulisan Buddy Munawar-Rahman yang diterbitkan Paramadina juga. Kesalahan kedua, ia menyebut bahwa pengaruh New Age sudah sampai ke Indonesia. Mungkin benar, tapi contohnya salah fatal. Ia mencontohkan bahwa PKS sudah terpengaruh New Age karena menggunakan cara-cara yang sama dengan New Age. Ah, bapak ini lucu sekali. Lebih lucu lagi, diawal pembicaraannya ia dengan malu-malu menyebut PKS, tapi akhirnya keseleo lidah juga.
Dari ketiga pembicara itu, hanya Haidar Bagir (full time businessman, part time intellectual) yang mampu bicara runut dan kaya referensi. Kautsar dan Abdul Muis yang dosen murni itu harusnya malu :)
Menjadi sufi atau menjadi muslim?
Di sesi lain, Muhammad Haidar, dosen filsafat Paramadina lulusan Qom Iran, pengkaji Ibn Araby, membahas tentang apa artinya menjadi sufi. Bagi dia, sufi berarti pencapaian kesadaran ketuhanan. Pembicaraannya tidak begitu bermasalah hingga ia mengatakan bahwa shalat dan puasa tidak akan memberikan kemampuan untuk mencapai kesadaran ketuhanan. Saya kira disinilah masalahnya. Ia secara implisit ingin mengatakan dengan zikir ala sufi-lah, kesadaran ketuhanan bisa ditemukan.
Bagi saya, jika menjadi sufi berarti mengutamakan zikir dan memandang remeh shalat dan puasa, saya memilih menjadi muslim saja. Saya tidak perlu memahami jalan pikiran Ibn Araby untuk menjadi muslim. Ah, wihdatul wujud hingga zaman ini masih saja membawa masalah. Yang paling konyol, Muhammad Haidar lebih suka dipanggil Romo ketimbang Ustadz. Dan ia berbicara demikian di depan khalayak yang sebahagiannya muslim awam. Saya jadi teringat Syekh Siti Jenar. Seharusnya pembicaraan tentang wihdatul wujud tidak bersama kaum muslim awam. Hari ini, maqam-maqam sufistik, formulasi yang dikembangkan Al-Ghazali untuk mendamaikan sufisme dan syariah, diterobos begitu saja.
Ketiga, timing acara itu tidak memberikan kedamaian spiritual. Sesi pertama di hari pertama dimulai dari pagi hari dan berakhir jam 13.30. Lebih parah lagi, sesi pertama di hari kedua dimulai jam 14.30 dan berakhir jam 17.30. Saya mengira banyak orang yang tidak shalat Ashar hari itu, termasuk Muhammad Haidar. Mungkin sebahagiannya adalah musafir yang sudah menjamak shalat di waktu zuhur. Tapi bagi saya, yang terpenting adalah sebuah acara keagamaan hendaknya mencerminkan rasa hormat terhadap shalat sebagai tiang agama. Bukankah shalat bagi orang-orang mukmin adalah ketetapan yang terjadwal (kitaaban mauquuta)? Artinya, sehendaknya ritme hidup muslim selaras dengan ritme azan sebagai panggilan bagi orang-orang mukmin. Sebagaimana kita mendirikan shalat subuh ketika umat agama-agama lain masih enak-enakan tidur. Sehendaknya jam biologis kita selaras dengan panggilan untuk shalat subuh (bahkan kalau bisa shalat tahajjud). Bukankah kita disuruh untuk fasaariuu ila maghfirati rabbikum (bersegeralah pada ampunan Tuhan kalian).
Sufisme Days ini akhirnya hanya ajang intelektualisme yang meminggirkan pengalaman esoterik yang paling utama: shalat. Shalat menjadi urusan privat semata. Padahal kita dianjurkan berjamaah, berhimpun, bersosial, dalam mendirikan shalat. Kaum inklusivisme yang ambigu. Masyarakat urban yang malang.. [ ]
Catatan kecik:
- Tazkia Institute dan IiMan yang merupakan lembaga sufisme dan pengajian kalangan Islam liberal tidak berfungsi. Aktivitasnya mati suri. Bagi saya, mereka gagal menghadirkan solusi alternatif bagi majelis-majelis taklim biasa (moderat, mainstream) yang terus tumbuh. Islam liberal akhirnya tak lebih dari gerakan intelektualisme eksklusif kaum terdidik yang gagal turun ke akar rumput. Hanya saja mereka menjadi minoritas elit yang mampu meraih posisi sosio-politik yang kuat karena dukungan dana serta sponsor; jaringan; bantuan dari kolega-kolega di belahan dunia lain, terutama Barat; dan public relation.
- Bagi saya, pengajian-pengajian moderat yang bertumpu pada pemahaman Islam mainstream lebih cocok dikembangkan di akar rumput untuk menumbuhkan kesadaran keagamaan ketimbang pengajian-pengajian yang menawarkan pencarian spiritual ekletik, sinkretik, lintas agama yang beresiko menyimpang. Di sisi lain, patut diwaspadai pengajian-pengajian yang menguatkan kecenderungan ortodoksi, fundamentalisme, eksklusivisme dan ekstrimitas.
Nice and clear view from full time labor and part time intellectual! Tentang prima causa, saya hanya hanya sumbang masukan bahwa itu adalah ide Aristoteles untuk memasukkan teori Tuhan dalam pemikiran kosmologi Yunani. Sebelumnya, mereka memandang alam ini tercipta secara otomatis dan apa adanya. Dengan adanya prima causa, alam mendapatkan Tuhan meski perannya hanya sebagai penggerak pertama saja, al-muharrik al-ula. Tuhan hanya melempar dadu selanjutnya alam bekerja dengan hukum yang telah ditetapkan. Istilah ini kemudian masuk kedalam pemikiran filsafat Islam melalui Neo-Platonisme (bedakan dengan Plato). Jadi memang masalah utama dalam filsafat saat itu adalah hegemoni pemikiran Aristoteles yang menganggap bahwa alam semesta ini abadi.
ReplyDeleteDalam perkembangan selanjutnya, teori prima causa ini juga diadopsi sejumlah sufi intelektual macam Ibn Arabi kedalam pemikiran mereka, sekedar membedakan dengan gerakan sufi awam yang menjelma menjadi berbagai macam tarekat. Saat Barat berkenalan dengan Timur, yang menarik bagi mereka jelas kejernihan intelektual para sufi ini daripada kedekilan dan kekumuhan tubuh mereka. Barat yang telah kehilangan spiritualitasnya itu lantas menggunakannya sebagai sebuah cara mengisi kekosongan itu.
Ingat, sebagaimana filsafat, sufisme juga mempunyai kecenderungan menegasikan segala suatu, hingga hanya tersisa satu Tuhan. Bahkan lebih lanjut tidak ada sama sekali. Fully logical. ketika ia ditemukan oleh Barat secara tidak langsung hanya bersifat praktis semata, tidak lebih dari itu. Dan semua gerakan new age pada akhirnya juga menuju ke sana, mirip sebuah obat dengan indikasi, jiwa yang kering dan kesepian. Tidak lebih dari itu.