Lia menertawakan saya karena mengikuti kuis "How Minang Are You?" di FB. Rupanya, saya pernah mengikuti kuis itu sebelumnya dengan hasil sama: "Dari Kaki ka Kapalo" alias Minang 100%. Soal-soal di kuis itu terlalu mudah. Harusnya, ada pertanyaan-pertanyaan sulit tentang pepatah-petitih Minang lama atau kosakata Minang lama yang semakin jarang digunakan dalam keseharian oleh orang-orang muda, terutama di wilayah-wilayah urban Ranah Minang (baca: Sumatera Barat). Contohnya: cido, hao, poak dst.
Saya mungkin bukan Orang Minang 100%. Semasa kecil dulu, di zaman Orba, di sekolah dasar belum ada mata pelajaran muatan lokal seperti Budaya Alam Minangkabau. Kemudian saya nyantri di sebuah pesantren di Ponorogo. Kota ini berada hampir di tengah-tengah antara Yogya-Solo/Surakarta (pusat kekuasaan Mataram Islam dulu) dan Jombang (pusat pengaruh NU) dan Blitar (tanah kelahiran dan makam Soekarno).
Saya menerima pengaruh Jawa meski kultur Jawa (uniknya) tidak dominan dalam pesantren ini. Saya juga menerima pengaruh Arab dari buku-buku bacaan; lagu-lagu yang diperdengarkan; dan secara formal diajarkan pepatah-petitih Arab di ruang kelas.
Tapi mungkin ada sisi Minang yang tidak bisa saya tinggalkan. Belakangan, saya mulai rewel soal makanan. Apalagi kalau bukan soal selera pedas. Beli makanan di warteg bukan lagi gagasan menarik. Bahkan Rumah Makan Sederhana yang sudah franchise itu ternyata tidak Minang 100% di lidah saya. Padahal dulu saya tidak bermasalah makan lauk yang sedikit manis atau sama sekali tidak pedas. Sekarang saya kapok juga makan Mie Ayam, Siomay dan sejenisnya karena tidak sepedas racikan orang Jawa yang sudah bertahun-tahun jualan mie ayam di Minang.
Selera pedas orang Minang cukup menarik. Tidak pedas "membabibuta" ala masakan istri sepupu saya yang Gorontalo. Juga tidak pedas tanpa dimasak ala Mbok Dapur di PLMPM Mantingan. Dalam masakan Minang, cabe rawit tidak dominan digunakan. Yang lebih dominan adalah cabe merah meski dalam beberapa masakan digunakan cabe hijau. Biasanya cabe merah itu diulek atau di-blender, ditambahkan sedikit tomat, ditumis dan digoreng hingga bau pedasnya berubah. Perubahan bau pedas ini hanya bisa dideteksi dengan hidung. Nah mungkin disini letak perbedaan selera pedas antara orang Minang dengan suku lain. Hidung orang Minang mungkin sudah mengalami "evolusi" berabad-abad yang membuatnya semakin jauh dari "konfigurasi" hidung Jawa misalnya. Selera pedas yang sudah mengakibatkan mutasi DNA :)
Kata sambal dan lauk berasal dari bahasa Melayu yang menjadi lingua franca nusantara pada era kolonial. Kosakata Melayu dan Minang tidak jauh berbeda. Sambal di dalam bahasa Minang berarti lauk pauk karena lada atau cabe adalah unsur yang hampir selalu ada dalam masakan Minang. Sementara kata "lauk" digunakan sesuai makna harfiahnya yaitu ikan. Sambal dalam bahasa Minang baru bermakna sambal sebagaimana dipakai dalam bahasa Indonesia jika ditambahkan kata lado atau lada. Ringkasnya, sambal = lauk; sambal lado = sambal.
Saya jadi ingat kali pertama makan di Dapur Umum pesantren. Sepiring nasi dengan tahu dan kuah manis. Hampir muntah! Tapi lama kelamaan gak masalah. Uniknya, di Dapur Umum yang saat itu berkapasitas 1500-an orang itu ada tradisi makan di waktu istirahat pertama. Sekitar jam 08.45. Mereka yang tidak sempat sarapan sebelum masuk kelas bisa makan di saat rehat ini. Tapi seringkali lauk habis karena dari 1500-an orang itu ada yang curang, mengambil lauk 2x atau bahkan makan 2x.
Sebagai "hiburan", para pengurus dapur menyediakan sambal yang benar-benar pedas. Kami menyebutnya SALATOH ROHAH atau sambal (jam) rehat. Berkilo-kilo cabe merah digiling oleh para pekerja dapur dengan mesin yang juga biasa digunakan untuk menggiling kacang. Ditambahkan hanya sedikit tomat, ditumis dan digoreng sekedarnya. Salatoh Rohah ini akhirnya menjadi salah satu makanan favorit. Minang dan bukan Minang pun jadi gak beda. Tidak ada yang berdebat soal enak dan pedasnya. Yang bukan anggota Dapur Umum ikutan makan. Bahkan makan keroyokan sepiring bertiga atau lebih jadi lumrah meski terlarang. Biasanya, pengawasan disiplin dapur di jam istirahat ini cukup longgar. Bisa berkali-kali nambah saking serunya ngeroyok sepiring nasi. Dengan atau tanpa lauk.
Nah, habis makan sambal sepedas itu, pedesnya sampai ke urat syaraf dan panas sampai ke ubun-bun. Terkadang musti kabur ke pancoran, kran atau masuk ke kamar mandi dan membenamkan kepala ke dalam bak. Pedes, Gila !
Saya mungkin bukan Orang Minang 100%. Semasa kecil dulu, di zaman Orba, di sekolah dasar belum ada mata pelajaran muatan lokal seperti Budaya Alam Minangkabau. Kemudian saya nyantri di sebuah pesantren di Ponorogo. Kota ini berada hampir di tengah-tengah antara Yogya-Solo/Surakarta (pusat kekuasaan Mataram Islam dulu) dan Jombang (pusat pengaruh NU) dan Blitar (tanah kelahiran dan makam Soekarno).
Saya menerima pengaruh Jawa meski kultur Jawa (uniknya) tidak dominan dalam pesantren ini. Saya juga menerima pengaruh Arab dari buku-buku bacaan; lagu-lagu yang diperdengarkan; dan secara formal diajarkan pepatah-petitih Arab di ruang kelas.
Tapi mungkin ada sisi Minang yang tidak bisa saya tinggalkan. Belakangan, saya mulai rewel soal makanan. Apalagi kalau bukan soal selera pedas. Beli makanan di warteg bukan lagi gagasan menarik. Bahkan Rumah Makan Sederhana yang sudah franchise itu ternyata tidak Minang 100% di lidah saya. Padahal dulu saya tidak bermasalah makan lauk yang sedikit manis atau sama sekali tidak pedas. Sekarang saya kapok juga makan Mie Ayam, Siomay dan sejenisnya karena tidak sepedas racikan orang Jawa yang sudah bertahun-tahun jualan mie ayam di Minang.
Selera pedas orang Minang cukup menarik. Tidak pedas "membabibuta" ala masakan istri sepupu saya yang Gorontalo. Juga tidak pedas tanpa dimasak ala Mbok Dapur di PLMPM Mantingan. Dalam masakan Minang, cabe rawit tidak dominan digunakan. Yang lebih dominan adalah cabe merah meski dalam beberapa masakan digunakan cabe hijau. Biasanya cabe merah itu diulek atau di-blender, ditambahkan sedikit tomat, ditumis dan digoreng hingga bau pedasnya berubah. Perubahan bau pedas ini hanya bisa dideteksi dengan hidung. Nah mungkin disini letak perbedaan selera pedas antara orang Minang dengan suku lain. Hidung orang Minang mungkin sudah mengalami "evolusi" berabad-abad yang membuatnya semakin jauh dari "konfigurasi" hidung Jawa misalnya. Selera pedas yang sudah mengakibatkan mutasi DNA :)
Kata sambal dan lauk berasal dari bahasa Melayu yang menjadi lingua franca nusantara pada era kolonial. Kosakata Melayu dan Minang tidak jauh berbeda. Sambal di dalam bahasa Minang berarti lauk pauk karena lada atau cabe adalah unsur yang hampir selalu ada dalam masakan Minang. Sementara kata "lauk" digunakan sesuai makna harfiahnya yaitu ikan. Sambal dalam bahasa Minang baru bermakna sambal sebagaimana dipakai dalam bahasa Indonesia jika ditambahkan kata lado atau lada. Ringkasnya, sambal = lauk; sambal lado = sambal.
Saya jadi ingat kali pertama makan di Dapur Umum pesantren. Sepiring nasi dengan tahu dan kuah manis. Hampir muntah! Tapi lama kelamaan gak masalah. Uniknya, di Dapur Umum yang saat itu berkapasitas 1500-an orang itu ada tradisi makan di waktu istirahat pertama. Sekitar jam 08.45. Mereka yang tidak sempat sarapan sebelum masuk kelas bisa makan di saat rehat ini. Tapi seringkali lauk habis karena dari 1500-an orang itu ada yang curang, mengambil lauk 2x atau bahkan makan 2x.
Sebagai "hiburan", para pengurus dapur menyediakan sambal yang benar-benar pedas. Kami menyebutnya SALATOH ROHAH atau sambal (jam) rehat. Berkilo-kilo cabe merah digiling oleh para pekerja dapur dengan mesin yang juga biasa digunakan untuk menggiling kacang. Ditambahkan hanya sedikit tomat, ditumis dan digoreng sekedarnya. Salatoh Rohah ini akhirnya menjadi salah satu makanan favorit. Minang dan bukan Minang pun jadi gak beda. Tidak ada yang berdebat soal enak dan pedasnya. Yang bukan anggota Dapur Umum ikutan makan. Bahkan makan keroyokan sepiring bertiga atau lebih jadi lumrah meski terlarang. Biasanya, pengawasan disiplin dapur di jam istirahat ini cukup longgar. Bisa berkali-kali nambah saking serunya ngeroyok sepiring nasi. Dengan atau tanpa lauk.
Nah, habis makan sambal sepedas itu, pedesnya sampai ke urat syaraf dan panas sampai ke ubun-bun. Terkadang musti kabur ke pancoran, kran atau masuk ke kamar mandi dan membenamkan kepala ke dalam bak. Pedes, Gila !
What happens with ur template Son? :(
ReplyDeletehahaha..topik menarik son!
ReplyDeletetadinya males aja baca secara template baru sonny ini ga bagus:) ato karana blom terbiasa ga tau juga..
bener bgt!!siapa bilang jawa ga suka pedes???ayam penyet..tempe penyet..sambal2 favorit di jawa timur ini pueddddeeesss!!! bedalah pokonya dari pedesnya padang..tapi anehnya..temen2 jawaku ini..ga masalah makan sambal "bu rudi" (terkenal disini) yg pedesssss bgt itu.tp teteup..ngeluh pedes ketika makan nasi padang yg pedesnya ga sampe separonya *heran*..
sejak ngekos dan suka masak..hidung rika jga udah mulai terbiasa "menangkap" perobahan aroma pedes ketika masak sambal balado:)yahh..walo nimimi sering bilang sih: "rika padang palsu ah.."..secara rika ga gitu suka pedas:)batas normal pedas rika jauh dibawah rata2 bats normal pedesnya orang padang kebanyakan..
kembali ke pedasnya jawa..nah..mungkin jg karna ini jawa timur..kamu juga lama sekolah di ponorogo kan son??jawa timur juga..dan jawa timur itu sama sekali beda ama jawa tengah..orang jawa tengah kebanyakan emg ga kuat pedes..walo tetep aja ada temen jawa tengahku yg parah bgt!!suka bgt ma sambal "bu rudi"..hehe..
intinya tetep aja ga bisa digeneralisir..rika yg ga gitu suka pedes..bukan berarti loh ya ga minang:)..jawa jg gitu..yg identik dengan masakan manis2 alias ga pedes..tetep aja ada makanan yg pedes bgt..dan penduduknya menyukainya:)
fenomena menarik:)
son, Bagian ini yang sering sekali ditanyain sama teman-teman gw disini, terutama kalo diajakin makan di tempat yang sambalnya gila-gilaan. Biasanya kan gw nolak tuh son, soalnye perut ga kuku..seringkali diare setelah itu. Nah mereka akan berulangkali bertanmay..bukannya orang padang makanannya pedes-pedes semua? lalu mulailah daku berpetuah tenatng kedapuran. tentang bagaimana efek cabe merah keriting itu berbeda dengan cabe rawit dalam hal tingkat kepedasan dan keamanan di perut..keluar deh ilmu ilmu memasak gue yang terpendam..he he..
ReplyDeletesampai hari ini gw masih cinta samalado dari pada sambal sini...
Orang Indonesia itu seleranya sudah hampir membaur. Untuk urusan pedas, gak kenal Jawa atau bukan Jawa, Padang atau non-Padang. Mestinya pembagiannya yang dirubah, yang suka pedas dan yang tidak suka pedas. Dan Mestinya juga ilmu statistik bisa digunakan di sini: seberapa persen dari kepedasan sebuah sambal yang disukai oleh sekian persen populasi dari suatu masyarakat di sebuah kota yang terdiri atas sekian persen suku atau ras yang tinggal di dalamnya.
ReplyDeletePerasaan juga banyak yang jago statistik, ayo teliti salatoh rohah! Belum coba kan, yang pasti pedasnya sampai ubunubun!
ya, itulah kekhasan selera kuliner warga Minang, beda dengan ibu saya yang setiap masak rendang rasanya gak pernah seotentik masakan Minang.
ReplyDelete@ anonymous : berarti ibu kamu bukan org pdg ya? oai.yg sesama minang aja beda2 loh masakan rendangnya:)
ReplyDeletehttp://esito.web.id/2009/01/cindua-mato-dan-shakespeare-isme-orang-minangkabau/
ReplyDeletenih kalo mau jadi minang 100%, mau gak namain anak dgn nama2 begitu?
Lado merah keriting emang paling "aman" pedesnya. Kalo lado kutu alias cabe rawit bisa bikin sakit perut. Tapi dlm masakan gulai (ikan) yg kuahnya kuning & gak pedes, digunakan untuk menambah efek pedas. Jd, pakemnya masakan minang kayaknya tidak harus pedes tp harus ada cabe di dalamnya. Lado hijau enaknya buat goreng ikan.
ReplyDelete@alia: minang yg mana? Minang ketika Gunung Marapi masih sebesar telur itik?
Menurut Db, nama yg plg bagus tuh, Upik Banun..