29.1.09

memahami fatwa rokok dan golput

MUI sudah bertindak bijaksana ketika mengeluarkan fatwa bahwa rokok dan golput haram. Polemik yang timbul meski mencerminkan realitas masyarakat yang kontradiktif, bagi saya, hanyalah permainan media. Debat di tvOne kemarin tidak menjernihkan masalah, tapi membuatnya kusut. Tulisan ini hanya bermaksud mendudukkan persoalan di tempat seharusnya.

Debat sesi pertama
Sesi pertama menghadirkan aktivis Majelis Mujahidin Indonesia dan wakil ketua komisi fatwa MUI. Aktivis Islam fundamentalis itu pada dasarnya tidak mempermasalahkan fatwa MUI secara partikular tapi lebih mempermasalahkan eksistensi MUI dalam negara Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi yang dianggapnya sekular. Bagi mereka, seharusnya MUI tidak hanya membimbing umat (menghadapi dunia modern ini), tapi lebih jauh menyatakan pemihakan pada agenda menjadikan syariah sebagai hukum positif. Inilah seharusnya titik pusat debat yang menggelinding tidak jelas arah itu.

Harapannya terlalu berlebihan terhadap MUI. Sebagai organisasi ulama yang terdiri dari wakil-wakil ormas-ormas besar Islam, tentu saja satu-satunya posisi yang bisa diambil MUI adalah moderat. Satu-satunya jalur yang paling logis untuk memperjuangkan syariat Islam adalah strategi politik dan itu menuntut akomodasi terhadap demokrasi. Di titik inilah sebenarnya dilema terbesar kalangan islam fundamentalis. Perjuangan dari pinggir panggung politik hanya bisa dilakukan dalam kerangka strategi budaya dan mobilitas sosial. Dan itu berarti perjuangan jangka panjang. Jika kedua saluran perjuangan ini ingin mendapatkan posisi politisnya, mau tidak mau, ia harus menerima konsep demokrasi.


Bagi saya, agenda yang paling mungkin adalah menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum alternatif terhadap sistem hukum yang kita warisi dari kolonial Belanda saat ini. Dalam kasus UU yang mengatur wilayah privat warga negara, sedikit banyak hukum Islam sudah terkodifikasi ke dalam hukum positif. Saya cukup optimis dengan prospeknya.

Debat sesi kedua
Sesi kedua menghadirkan Fadjroel Rahman dan Lukman Syaefuddin. Fadjroel, mantan aktivis mahasiswa ITB era 90-an, pernah mendekam di bui rezim Soeharto, sosialis demokrat dan capres independen pilpres 2009. Syaefuddin, legislator dari PPP dan mantan anggota Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Agung Al-Azhar.
Saefuddin menerangkan bahwa fatwa lahir dari pertanyaan masyarakat awam terhadap fenomena kekinian. Dan MUI telah menjalankan fungsinya membimbing umat dengan mengeluarkan fatwa. Jadi, fatwa bersifat bimbinngan. Bagi Fadjroel, fatwa MUI adalah kudeta konstitusi. Menurutnya, konstitusi tidak pernah melarang untuk golput dan MUI bertindak terlalu jauh dengan mengharamkannya. Fadjroel juga mengungkit-ngungkit bahwa MUI juga pernah mengeluarkan fatwa serupa di era Orde Baru. (Saya tidak yakin dengan kebenaran statemen terakhir ini. Hanya saja, memang paska kepemimpinan Hamka, MUI melempem)

Kompleksitas Islam
Menurut saya, istilah kudeta konstitusi kedengaran menyakitkan. Saya kira Fadjroel awam terhadap agamanya sendiri. Pertama, tidak ada keharusan bagi MUI untuk mengakomodasi konstitusi negara. Ketika membahas fatwa, sumber-sumber hukum Islamlah yang menjadi rujukan, bukan konstitusi sekular. Kedua, Islam adalah agama yang kompleks dan integral. Ia tidak hanya mengatur wilayah privat, tapi juga publik. Disamping itu, tidak seperti Barat yang mengalami sekularisme dan Revolusi Perancis, sejarah umat Islam tidak mengenal ketegangan ekstrim antara agama dan negara sehingga wilayah politik pun tak luput dari urusan agama. Tidak ada dikotomi absolut antara agama dan negara. Ketegangan yang pernah terjadi dalam sejarah Islam hanyalah dalam soal memilih mazhab resmi negara, seperti yang terjadi di era raja Ma'mun dari Dinasti Abbasiyyah.

Ketiga, yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang adalah kecenderungan hukum Islam yang dinamis sehingga tetap relevan dengan zaman. Syariat atau sumber-sumber hukum Islam diformulasikan dalam Ushul Fiqh. Bila fiqh adalah produk hukum Islam, maka Ushul Fiqh adalah metodologi untuk menghasilkan fiqh. Tidak hanya perbedaan dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, perbedaan penafsiran terhadap Kaidah-kaidah Ushuliyyah akan menghasilkan produk hukum atau fiqh yang berbeda. Karenanya perbedaan adalah hal yang lumrah dalam islam. Hanya saja memang terdapat konsep-konsep yang relatif baku untuk menjaga formulasi fiqh untuk tidak rancu. Seperti konsep tsubut-taghayyur (tetap dan berubah). Munqathi'-mustasyaabihaat (jelas dan abu-abu). Fatwa dan ijtihad dibutuhkan dalam wilayah taghayyur dan mutasyaabihat.

Keempat, fatwa, ijtihad atau produk hukum Islam tidak lahir dari ruang hampa (emptiness). Ia berinteraksi dengan realitas kekinian. Misalnya, secara umum, hukum merokok ditafsirkan sebagai makruh. Tapi MUI melihat realitas sosial sudah sedemikian meresahkan. Indonesia adalah surga bagi para perokok. Bahkan melebihi Barat yang sekuler, rokok disini murah, mudah didapatkan dan begitu bebas merokok dimana saja tanpa peduli hak non-perokok. Ironisnya, konsumen terbesar rokok adalah rakyat miskin. Artinya, sebahagian pendapatan mereka menguap menjadi asap. Pun bahwa anak-anak sudah berkenalan dengan rokok dalam usia dini. Dan memang masalah rokok tidak selesai begitu saja dengan fatwa. Perlu kepedulian negara dan peran masyarakat.

MUI bukan kependetaan
Islam adalah satu-satunya agama yang tidak mengenal kependetaan dan hirarki otoritas keagamaan. Ungkapan paling populer dalam buku-buku adalah Laa rahbaniyah fil Islam. Tidak ada kerahiban dalam Islam. Ulama (secara kolektif) memang pewaris para nabi sesuai hadits Nabi. Al-ulamaa waratsatul anbiyaa. Mereka mewarisi otoritas keilmuan bukan kenabian itu sendiri. Karenanya fatwa MUI tidak mengikat dan tidak ada keharusan setuju dengan fatwa MUI. Ia hanya bersifat bimbingan dari kalangan yang berkutat pada kajian keagamaan (tafaqquh fid diin) ke kalangan awam.

Dampak politis fatwa golput
Tentu saja fatwa tentang kehidupan politik mempunyai konsekuensi politik tertentu. Partai-partai Islam bersuka cita dengan fatwa ini karena memberikan tambahan konstituen dari kalangan yang mengikatkan relijiusitasnya dengan MUI. Kalangan sekular tidak begitu banyak diuntungkan dengan fatwa tersebut. Sesuai kaidah ushuliyyah: "ma laa yudraku kulluhu la yutraku kulluhu." Apa-apa yang tidak dipahami sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan sepenuhnya juga.

Mari pilih calon pemimpin yang terbaik di antara yang jelek-jelek :)

10 comments:

  1. Hmm.. kembali lagi ke politik. Sayangnya, sejak kematian Nabi hingga sekarang, ranah politik merupakan wilayah yang paling berdarah dan kontroversial dalam Islam. Dan saya selalu pesimis kalau bicara tentang hal ini dalam bingkai Islam.

    ReplyDelete
  2. Anonymous30.1.09

    ah, jangan serius2lah......, jangan2 MUI gak ada kerjaan..., mosok golput aja difatwakan....; jadi pertanyaan pentingnya bukan ttg halal-haramnya golput, tetapi kenapa harus difatwakan(pertanyaan geneologis).

    Dengan pertanyaan terakhir di atas, maka yang akan kita dapatkan adalah relasi-kuasa....., jadi bukan fatwanya yg penting tapi under what condition fatwa itu terjadi.......

    ReplyDelete
  3. Wah, Swanvri datang lagi ya? Aku hilang maka aku ada. Tapi gimana bila Aku ada maka aku hilang? Sama seperti link yang tak tersentuh bukan. :D

    ReplyDelete
  4. under what cond.? aku kira krn meningkatnya potensi golput tdk hny krn kekecewaan thd tingkah elit politik & kondisi bangsa saat ini, tp jg krn menguatnya gerakan Islam Fundamentalis yg menolak sistem demokrasi & sistem negara Indonesia saat ini. HTI, MMI, bs dipastikan tdk menggunakan hak pilihnya di Pemilu. Gerakan Salafy (Wahabi baru) kmngkn besar tdk memilih jg.

    Yg lebih ditakutkan adl bila masyarakat awam terpengaruh dg publikasi & pernyataan mereka. Bisa ikut2an golput. Aku kira MUI peduli u membimbing yg awam ini.

    @hp: politik di satu sisi berarti perjuangan mencapai Common Goods trlps dr aliran / identitas politik masing2 pihak, ia jg berarti perjuangan kepentingan masing2. Diantara 2 kutub inilah kehidupan politik.
    Tidak hanya dlm sejarah Islam politik itu kontroversial, tp hampir di semua bangsa, tak terkecuali dg Revolusi Perancis yg melahirkan Abad Pencerahan. Aku kira yg perlu dihidupkan dlm KEHIDUPAN POLITIK bukan pesimisme, skeptisisme, sinisme, melainkan HARAPAN, OPTIMISME.

    Org dunia bisnis selalu hidup dlm OPTIMISME, hp. Nah, masalahnya kecenderungan filsuf itu pesimis. Lu gak cocok di dunia bisnis. Ayo balik :p

    ReplyDelete
  5. Anonymous30.1.09

    aku takut fatwa itu menjawab sebuah pertanyaan yang gak jelas..........

    kalau fatwa itu adalah jawaban, maka pertanyaannya apa? (sorry aku ngulang gaya pada postingmu yg lain... :) )

    ReplyDelete
  6. Anonymous30.1.09

    @HP....; iya memang demikian adanya....; 'ada' dalam bahasa adalah alienasi.....

    ReplyDelete
  7. @swv: pertanyaannya? apa hukumnya tidak menggunakan hak pilih pdhl pemilu adalah utk menentukan ulil amri, pemimpin. Kepemimpinan dalam ajaran islam adalah wajib.

    Anasir yg bertanya boleh jd orang awam, boleh jd politisi islamis.

    kaidah ushuliyyah: apa yg tidak dimungkinkan suatu hal yg wajib dipenuhi dgnya, maka ia menjadi wajib jg. (lupa matan-nya nih :)

    masak gw kasih contoh, dulu elu kan yg pinter ber-ushul. Ok, lah. Contohnya, wudhu' jd wajib krn jd syarat sah shalat

    ReplyDelete
  8. Anonymous2.2.09

    :-? , sebenarnya bukan itu yang kumaksud, kalau ttg kaedah ushuluiyah itu ya aku mengertilah dikit2 :) ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa al-wajib.... (kesimpulan apapun masih debateable....).

    Gini, aku tidak membicarakan halal/haramnya golput (karena aku bukan ahli fiqh), yang mau aku bicarakan adalah 'fatwa' pada dirinya. Di sinilah relevansi pertanyaanku sebelumnya ttg 'under what condition', dalam formasi wacana seperti apa hingga "Fatwa" ttg golput itu muncul. MUI dan Fatwa (F gede lho...) masing2 adalah sebuah penanda yang 'maknanya' relatif terhadap penanda lain dalam jejaring penandaan, jadi 'maknanya' licin dan selalu dinegosiasikan...; (cukup dulu ya...... :) )

    ttg "pertanyaan" : kalau jawabannya HALAL/HARAM, maka jelas pertannyaanya : "apa hukumnya.........". Tapi kalau jawabannya adalah "Fatwa", maka ini yang harus dicari pertanyaanya. Apakah ini akan menjawab problem kepemimpinan nasional? apakah ini menjawab ttg kekayaan negera yang hampir semuanya di tangan trans-national coorporation? apakah ini akan menjawab pertanyaan ttg petani di Pacitan yang menanam padi di tanah-berbatu? ttg buruh-tani di bantul ? dll....... (kau kan yg mengajak untuk selalu bertanya2....) Kekurang-tepatan merumuskan pertanyaan akan menghasilkan jawaban yang tak-tepat.......; bukankah semua partai (apalagi menjelang pemilu ) memberikan "jawaban2" ?? kenapa semua jawaban mereka hanya menjadi retorika panggung kampanye? ya, menurut saya, jangan2 hal itu dikrenakan mereka tak pernah "serius bertanya" ttg problem bangsa ini. Mungkin ada "pertanyaan", pakai serius lagi.....; tapi mungkin itu hanya pertanyaan golongan, bukan pertanyaan kebangsaan.........

    Mencari pertannyaan bagi saya tidaklah gampang, harus empirik melalui perjumpaan2 langsung di lapangan......., butuh teori sebagai alat baca, dll....... (ah..., kok jadi serius aku....... :) )

    Aku juga tidak tahu, menjawab yang manakah Fatwa itu (makanya aku tak peduli... :) ).

    Ok, jangan panjang2 ya......, nanti aku jadi serius.... :)

    ReplyDelete
  9. @swv: ok, jwbn pendek. Tidak ada 1 jwbn untuk semua pertanyaan. MUI sudah memberikan jwbn sesuai porsinya. Masing2 kita layak ditanya dg pertanyaan2 yg kamu ajukan diatas. Juga, para politisi, baik yg mengaku muslim atau yg benar2 membawa2 label islam ke panggung politik. Semuanya harus menjawab sesuai porsi masing2 :)

    ReplyDelete
  10. Anonymous4.2.09

    Sepakat Son, sebenarnya aku tidak sedang mencecar dirimu, aku sendang mencecar semua.....; termasuk diriku.........

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post