15.4.09

Ioanes Rakhmat: Nasrani, Muslim atau Agnost ?

Google sering membuat saya terkaget-kaget. Kali ini contohnya. Awalnya, saya hanya ingin tahu bagaimana orang-orang Nasrani atau Kristen mengapresiasi The Passion of The Christ. Sebahagian besar ulasan yang saya temukan via Google memuji film besutan Mel Gibson ini. Bahkan Paus terdahulu menyebutnya sebagai "as it is" (apa adanya) meski kemudian pujian itu ditariknya.

Hingga saya menemukan kritik Ioanes Rakhmat. Tidak hanya mengkritik film itu, ia bahkan menggugat dogma-dogma utama yaitu dosa warisan dan penebusan dosa. Di posting-posting lain, ia menggugat Trinitas atau Tritunggalisme; ambiguitas teks-teks Injil dalam memaparkan sosok Yudas. Secara implisit, ia mengkritik kebertuhanan Yesus.

Sungguh mengejutkan ketika akhirnya saya menemukan (lagi-lagi via Google) bahwa beliau adalah (mantan ?) pendeta GKI yang mengajar di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Sebaliknya, saya tidak heran jika pandangan-pandangan terhadap dogma-dogma itu datang dari seorang muslim atau pengkaji Kristologi.

Melihat gambar-gambar dewa-dewi berbagai agama dan external links di blognya, saya menduga pikiran liberal beliau mempunyai resonansi yang sama dengan liberalisme yang dianut Jaringan Islam Liberal. Benar saja. Di situs Islamlib.com, tersaji wawancara beliau yang terang-terangan menyebut perayaan natal sebagai warisan pagan. (Pandangannya tentang natal ini bisa jadi liberal di kalangan Nasrani, tapi biasa di kalangan Kristolog. Lucunya, kalangan Islam Liberal sama sekali tidak berminat mengkaji Kristologi). Temuan berikutnya, ia sering diundang untuk berbicara dalam diskusi kalangan Islib.

Saya bisa maklum kalau Ioanes mewakili cara pandang Protestan. Tapi mungkin ia terlalu liberal bahkan untuk seorang Protestan sekalipun. Kalau Ioanes bukan seorang pendeta, saya yakin dia malas ke gereja. Sama halnya, saya menyaksikan para aktivis Islam Liberal duduk santai melewatkan waktu sholat maghrib dengan ngobrol di Kedai Tempo Utan Kayu hingga menjelang diskusi jam 19.00. Diam-diam saya percaya bahwa kaum liberal pada akhirnya adalah orang-orang Agnost.


Catatan kecik:
Saya bukan peminat kajian Kristologi. Bidang itu terlalu berat :)

Satu-satunya yang koheren antara The Passion of The Christ dengan pandangan keislaman saya adalah fakta sejarah bahwa para pemimpin Yahudi punya andil besar terhadap kematian Yesus. Selebihnya, Islam menyatakan bahwa detil-detil saat-saat terakhir Yesus tidak jelas. Yudas jelas berkhianat. Sejak zaman Nabi Musa, memang muncul orang-orang yang menzalimi para nabi. Nabi Zakaria dan Yahya pun terbunuh.

Bagi saya, anti-semit yang diartikan sebagai anti-Yahudi adalah terminologi politik yang diciptakan kaum Zionis untuk menyerang para pengkritiknya, bukan terminologi yang bisa diterima secara akademik. Terutama karena kerancuan etimologisnya. Memang, tidak semua Yahudi itu zionis. Tapi faktanya, zionisme adalah pandangan mayoritas Yahudi atau setidaknya pandangan dominan. Atau mungkin, sebagaimana doktrin Zionisme, doktrin Talmud menyalahi ajaran para nabi

Yang paling menyedihkan bila berkunjung ke Utan Kayu 68 adalah melihat mushalla yang hanya seluas 2 x 2,3m dengan 2 sajadah lusuh. Sama menyedihkannya dengan berkunjung ke mushalla di Universitas Paramadina ketika waktu shalat tiba. Terlalu kecil dan sepi untuk sebuah kampus berfakultas agama.

Saya bahkan melihat 2 botol Anker Bir di salah satu meja Kedai Tempo itu.

Saya setuju dengan Ioanes bahwa messianisme akan problematik jika dibenturkan dengan demokrasi. Namun, berbeda dengan kesimpulan Ioanes, rasa percaya saya pada janji-janji eskatologis jauh lebih tinggi ketimbang janji-janji demokrasi. Demokrasi memang pandangan konvensional zaman ini, tapi siapa tahu ia dianggap usang di akhir zaman. Hhh, cara berpikir ahistoris. Tapi setidaknya dengan begitu saya yakin kiamat belum terjadi di abad ini. 2012? Gila aja! :)

Saya menemukan solusi teologis untuk mengucapkan selamat natal tanpa harus menjadi liberal


9 comments:

  1. Paganisme memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah "persepsi manusia terhadap Tuhan". Jadi, ya .. perayaan Natal bisa jadi demikian, walau itu bukan berarti saya mendukung opini itu.

    Banyak yang mengartikan agnostik itu sebagai "ber-Tuhan, tapi tidak beragama", seolah-olah membuatnya sebagai identitas yang lebih baik (untuk yang beriman) daripada atheis. Tetapi sebenarnya agnostik itu - bahkan bagi saya yang kerap menyebut diri sebagai agnostik - lebih "parah" daripada atheis. Kecenderungan agnostik adalah "meragukan Tuhan sehingga cenderung skeptis terhadap ketuhanan."

    Mengingat keyakinan Kristen berpusat Allah Tritunggal; kasih; kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus, berarti Ioanes bisa dianggap agnostik. (sama seperti yang Sonny tulis juga, sih)

    Tidak, Ioanes tidak mewakili cara pandang Protestan. Perlu diingat kalau Protestan itu "dulu memprotes gereja Katolik ", bukan "memprotes ajaran Kristen." Pengakuan iman Nicea-Constantinopel bisa dijadikan sebagai acuan.

    Anti-Semit tidak bisa dianggap sebagai anti-Yahudi. Ini tidak adil suku Yahudi lainnya. Semit itu adalah satu dari sekian banyak suku Yahudi (Yahudi sebagai bangsa, bukan agama). Para petinggi berperan dalam penyaliban Yesus berasal dari suku itu.

    Kalau tentang Yudas, lepas dari pro-kontra terhadap ambiguitas mengenai citranya, saya selalu beranggap Yudas adalah tokoh sangat penting yang bisa membuat umat Kristen bisa menikmati berkah kematian dan kebangkitan Yesus.

    Fiuh .. berbicara mengenai Tuhan memang tidak bisa mengandalkan nalar. KeberadaanNya melampaui nalar itu sendiri.

    ReplyDelete
  2. Oh iya .. lupa bahas tentang Passion of the Christ. :D

    Perlu diingat kalau:
    (1) Itu adalah komodifikasi atas agama.
    (2) Karya Hollywood yang kapitalistik itu.
    (3) Mel Gibson telah mendeklarasikan kalau dia adalah anti-Semit.

    Mungkin untuk menilai film itu, saya lebih melihat berdasarkan "efek spiritual"-nya terhadap individu yang menonton, bukan "motif pembuatan" pun "eksekusi - bentuk jadi". :D

    ReplyDelete
  3. Mungkin harus ada klarifikasi mengenai anti Semit. Dari yg Mona tulis, semit itu merupakan cabang dari ras Yahudi. Bagi saya, justru Yahudi lah yg merupakan cabang dari ras Semit yg meliputi juga bangsa Arab. Ketika propaganda anti-Semit keluar, yg ada hanyalah kerancuan saja. Karena orang Zionis bilang Arab itu anti-Semit, padahal Arab juga Semit.

    Tentang Tuhan, pendekatannya sedikit berbeda. Tuhan memang melampaui nalar, tapi bukan berarti tidak bisa dicerap melaluinya. Justru melalui nalar kita bergerak menemukan-Nya. Ini memang 2 style yg berbeda, sebagaimana pendekatan Kristen yg irrasional dan Islam yg rasional.

    ReplyDelete
  4. @ Himawan
    Iya, saya salah ttg artian Semit itu. :D
    Berarti komen pertama saya ttg itu boleh dianggap "deleted", heheee ....
    Thanx utk ini.

    Tapi, nih ... ya ... gimana kalo kita tidak membandingkan pendekatan? Itu bisa memicu polemik yang berusaha saya hindari selama ini (dan polemik yang membuat konflik antar agama tidak pernah berhenti). Kalau nantinya sampai di pembandingan ajaran, saya akan mundur dari diskusi ini. :)

    ReplyDelete
  5. ketika menulis posting ini, saya berusaha u tdk mengulas pendapat pribadi thd dogma-dogma utama Kristen. Spt Mona katakan, keseluruhan bangunan dogma itu akan runtuh jika doktrin penebusan dosa ditolak atau Yudas ditolak. Masalahnya, memang ada banyak perbedaan diametral antara dogma Islam & Kristen. Tapi toh, pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan trmsk dg Yahudi scr rukun berabad-abad. hingga masa pra perang Salib.

    Saya tdk menyukai Kristologi krn itu membuat saya hrs berhadapan vis-a-vis dg Islamologi. Lebih dari itu, semua agama punya masalahnya sendiri-sendiri. Di kalangan muslim, aktivis Islam Liberal menyodorkan pertanyaan2 musykil yg gugatannya serupa pedasnya dg gaya Ioanes. Tp kalangan liberal pun punya masalah sendiri ketika mencari landasan teologis baru yg mengukuhkan rasionalitas.

    Buddy Munawar Rachman berusaha menghindari kesimpulan SEMUA AGAMA SAMA ketika ia menolak konsep KLAIM KEBENARAN dan menjelaskan konsep PLURALISME AGAMA. Konsep TRANSENDENT UNITY OF RELIGIONS jg punya masalah menyangkut perbedaan persepsi ttg Tuhan.

    Pada akhirnya, saya percaya bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan boleh menganggap dirinya paling benar dg tidak menafikan eksistensi agama lain (konsep klaim kebenaran). Saya kira demikianlah sebaiknya landasan interfaith dialogue. Bukan untuk membandingkan, tp u menjelaskan posisi masing-masing :)

    ReplyDelete
  6. dear Mona,

    Memang kalau sudah sampai tataran tersebut hasil yang ada bakal bias. Anggap pernyataan saya benar pasti respon yang timbul adalah penyalahan. Anggap pula pernyataan saya salah, pasti respon yang hadir pembenaran. Akhirnya malah over claim dari masingmasing pihak. Pertanyaannya, adakah sesuatu yang bisa dijadikan sebagai standar penilaian yang benarbenar adil dan pas?

    Kalangan Pluralis menggunakan konsep transendent unity yang idenya berdasarkan pengalaman psikologis dan spiritual dari setiap umat beragama. Nyatanya, pengalaman ini sangat individual dan susah sekali diverifikasi. Tapi memberikan sebuah imajinasi universal yang sampai batasbatas tertentu dapat ditolerir oleh setiap pemeluk agama. Bila diibaratkan, maka imajinasi universal ini ibarat langit dan keberagaman ajaran, doktrin, style berpikir seperti topografi tanah yang beragam.

    Meskipun demikian ada juga unsur lain yang bisa dijadikan patokan, budaya. Sejarah keagamaan yang telah berumur ribuan tahun, semua terekam dengan jelas dari struktur bahasabahasa suci: Sangsekerta, Ibrani, Latin, dan Arab. Bagi yang skeptis dengan agama, dekonstruksi sebenarnya terletak pada tataran bahasabahasa suci tersebut. Dari sana kita bisa menilai dalam standarstandar tertentu sebuah klaim keagamaan, motifmotif yang melatarinya hingga tingkat kebenaran yang tentu sangat membutuhkan jarak antara subjek dan objek.

    Sayangnya, agama tidak seperti bidang ilmu lain yang dapat diteliti dengan semangat bebas nilai. Agama adalah nilai jadi tidak mungkin diberlakukan bak tubuh tanpa nyawa. Dalam hemat saya, batasan terakhir dari sebuah telaah agama adalah jika kajian itu menghilangkan nyawa dari sebuah kepercayaan, mencederai dan membuatnya cacat seumur hidup. Ini adalah batasan relatif tapi bisa diaplikasikan.

    ReplyDelete
  7. Dear Sonny,
    Saya anggota milist Islam Liberal dari tahun 2001-2003 saat saya kemudian muntah melihat issunya nggak maju-maju. Dan salah satu anggota milist ini adalah Bapak Ioanes Rachmat. Jadi kalau ada persinggungan antara beliau dengan Islib, maka itu benar belaka.

    Islib pada akhirnya adalah sebuah kelompok yang menyuarakan pandangan liberalisme. Menurut saya, kecenderungan Islib malah kontradiktif. Di satu sisi kritis pada Historiografi Qur'an atau pandangan para ilmuan Islam, namun di sisi lain tak kritis pada pandangan Barat.

    Islib juga menyuarakan keterbukaan, namun di sisi lain menutup diri dari pandangan yang diajukan kalangan islam yang berbeda dengannya.

    Islib menolak kekerasan, menolak menyalahkan orang lain. Namun banyak tulisan tokoh-tokohnya melakukan kekerasan non verbal. Saya masih ingat ucapan Ulil ketika menanggapi kontroversi logo Allah pada Dewa 19. "Siapa yang menganggap tulisan ini (maksudnya logo itu) adalah tulisan nama Allah, berarti BODOH." Menurut saya ini adalah bentuk kekerasan dan sekaligus juga penolakan terhadap relatifitas kebenaran yang digaung-gaungkannya sendiri.

    Pada akhirnya, JIL hanyalah LSM yang didanai oleh funding, untuk melempangkan kepentingannya di Indonesia.

    Awalnya saya begitu antusias menjadi anggota milis itu walau saya jarang berkomentar karena thema yang digarap seringkali harus dibahas dengan membolak-balik kitab kuning. Sayang, saya tak bisa berbahasa arab. Lama-kelamaan, saya merasa mulai tak bisa mempercayai ketika kata dan laku tak lagi satu.

    Saya mulai percaya, agama sebagai pengetahuan tak akan bisa mencapai tujuan hidup. Hanya agama sebagai laku yang yang mampu membuat kita hidup lebih hidup.

    Moga saya nggak keliru

    ReplyDelete
  8. (Kata Alia, komen ketiga saya bernada "merajuk". Hahahaa ... )

    Iya, ini menunjukkan kalau sebenarnya mental dan pemikiran saya pribadi belum siap untuk bisa melakukan interfaith dialogue dengan thinking out of the box, heheheee .... Paham monoteistik saya memang sulit untuk menerima pembandingan. :)

    ReplyDelete
  9. Saya setuju banget dengan kalimat Yudi "hanya agama laku yang bisa membuat kita lebih hiduP. Dulu saya suka banget berdiskusi soal-soal agama. Tapi agama yang melulu dibicarakan, kadang2 jadi semacam latihan intelektual belaka. Keasyikan hasrat intelektual. Padahal agama memiliki isi, keindahan, dan praktik -bagi yang mempercayainya.
    Jadi jika ada misalnya muslim pemikir yang ngalor-ngidul dan melupakan shalat...maaf saja..saya memangdangnya 'tukang' belaka..:)

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post