11.4.09

arah koalisi pilpres dan sekularisme

Postingan ini hanya penegasan dari posting konstelasi politik pilpres 2009 yang ditulis di awal tahun ini. Orang-orang rame bicara soal arah koalisi. Skenario ini dan itu. Padahal, petunjuknya sudah jelas. Golkar, sekali lagi, akan menunjukkan gaya berpolitiknya yang pragmatis, terlepas dari faksi-faksi yang bertarung dalam tubuh Golkar. Mereka tidak pernah bisa membayangkan menjadi oposan. Entah itu akan rujuk dengan SBY atau dengan Mega. Pokoknya harus ada dalam koalisi yang berpeluang besar memerintah.

PKS & PBB sudah jelas tidak akan mau berkoalisi dengan PDI-P. Entah itu karena faktor ideologi yang berbeda diametral atau karena faktor Megawati. Jusuf Kalla memberikan pilihan yang sulit bagi kedua partai ini ketika ia mulai menggandeng PDI-P. Gerindra dan Hanura masing mungkin berada dalam satu koalisi, menilik bila kedua mantan jenderal itu melihat SBY sebagai common enemy. Retorika iklan kampanye keduanya sudah jelas memposisikan pemerintah saat ini sebagai yang bersalah terhadap kondisi bangsa saat ini, padahal warisan pemerintahan Megawati tidak sedikit menyumbang masalah.

PPP & PKB entah itu bisa disebut fleksibel atau pragmatis, tetap akan menggambarkan cara berpolitik yang cenderung established, mempertahankan status quo. Partai-partai Islam atau yang secara inheritant bermassa muslim akhirnya hanya akan memberikan cek kosong. Islam politik sudah berada di depan jurang. Entah itu karena retorika politik yang membingungkan, atau karena masyarakat sudah semakin sekuler. Agama bukan lagi konsideran yang penting dalam hidup manusia. Sekularisasi, kata alm. Prof. Selo Soemardjan, adalah proses yang tidak bisa dihindari. Bagi saya, kalau dunia dilihat secara positivistik, bukan normatif, kayaknya emang begitu. Teori, dalam dunia modern, dibuat pertama kali untuk menjelaskan apa yang terjadi, bukan mengangankan apa yang seharusnya terjadi. Posmodern pun begitu. Ahli agama sejak awal sudah curiga bahwa posmo hanya perpanjangan dari modernism. Bedanya, posmo hanya kelihatan sedikit lebih sophisticated.

Yup, Pilihannya adalah antara theis, agnost, dan atheis. Sekularisme tidak mengangankan manusia menjadi atheis. Ia hanya akan memberikan pilihan antara selembar tipis keimanan dan selembar KTP. Spritualisme minus organized religion? Oh, tawaran posmodernism itu kan hanya bentuk lain dari gejala agnostik. Perrenialism? Lagi-lagi hanya soal pecanggihan..




4 comments:

  1. Bukan hanya iklan Gerindra dan Hanura. Pada dasarnya, kampanye Indonesia cenderung menuju black campaign. Partai menjual diri dengan menunjukkan kesalahan partai2 pesaing, terutama yang sedang memegang tampuk. Mereka bisa bilang kalo mereka toh menjual diri dengan memberikan janji2, tapi itu tidak akan membuat kampanye mereka jadi white atau gradasi abu-abu menuju putih.

    Koalisi itu sudah pasti. Apalagi untuk PDI-P yang selalu gagal memenangkan kepresidenan dengan mengandalkan sosok Mega semata. Mungkin karena masalah patriarkis, tapi saya lebih memilih "karena memang terbukti tidak bagus." Pun Mega sudah melangkah jauh dari idealisme Bung Karno. Makanya, sebaiknya Mega ganti nama saja jadi Megawati Taufik Kiemas. Yah ... memang tidak akan menjual di kancah politik. :D

    Untuk pilpres nanti pun, Golkar seharusnya sadar, kemenangan JK menjadi wapres di pemilu sebelumnya adalah karena dia bersama SBY. Intinya, siapa pun wapresnya, asal itu SBY, pasti menang. Sampai saat ini, figur yang berpotensi menyaingi SBY adalah Sultan HBX. Apa Golkar berani memilih antara JK dan Sultan? Let's see. :D

    (panjang amat ya, komen saya .... :P )

    ReplyDelete
  2. Mungkin mesti dibedakan antara Black Campaign dengan negatif campaign. Gaya prabowo ketika membahas stimulus dalam iklannya saya pikir sangat cerdas sebagai sebuah negatif canmpaign. berdasarkan data dan terlihat mendidik.

    ReplyDelete
  3. PDI-P semakin terpuruk karena sosok Megawati yang tidak mempunyai kredibilitas yang baik dalam leadership, maaf saja jika kita melihat beberapa calon presiden sekarang ini, hanya Megawati saja yang berpendidikan sampai tingkat SMU, yang lain S3/S2 bahkan Jendral besar, ya memang seperti itu kemampuan dari sosok Megawati yang pernah memimpin negara, saya lebih setuju jika SBY sebagai Capres dan Hidayat Nurwahid sebagai Cawapresnya.

    ReplyDelete
  4. golkar kayaknya mau cari selamat saja. ia bisa saja nyebrang ke mega kalau mega menang

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post