
Ketika Google mengumumkan akan merilis Google Chrome OS, sebuah sistem operasi terbuka berbasis Linux, semua mata para pengguna, penggiat bahkan penggembira dunia open source tertuju padanya. Banyak analis menulis bahwa "it's last chance for Linux to make hits."
Bayangkan ! Bahkan Ubuntu, distro Linux yang paling banyak digunakan saat ini tidak mendapatkan apresiasi sedemikian rupa. Brand Google agaknya menjadi jaminan mutu. Google dianggap sarangnya programmer/hacker paripurna. Orang-orang FLOSS / FOSS / Linux seringkali menganggap Google, rekan sejawat yang paling bisa diandalkan untuk berhadapan face-to-face dengan Microsoft. Meski sebenarnya bila ditilik lebih jauh, jasa SUN tidak kalah besarnya kepada dunia Linux.
Dan seperti menunggu Godot, beberapa waktu lalu, ketika semua orang mengintip versi Beta dari Google Chrome OS, harapan itu mulai memudar. Google Chrome OS ternyata sebuah sistem operasi untuk tujuan Cloud Computing. Tidak ada satu pun aplikasi yang benar-benar di-install kecuali browser Chrome. Dan mungkin, tidak satu pun aplikasi boleh di-install karena semuanya berbasis Cloud--Google Apps.
Artinya untuk menggunakan sebuah laptop atau netbook bersistem operasi Google Chrome OS, ia harus terkoneksi ke internet dengan kecepatan tinggi. Model koneksi yang biasa ada di negara-negara maju, tidak di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Jangankan internet berkecepatan tinggi, koneksi internet stabil masih merupakan barang langka. Saya bahkan tidak pernah menggunakan Google Docs.
Dan banyak orang menjadi lelah berharap. Sebelumnya, Canonical menggadang-gadang bahwa Ubuntu 9.10 Karmic Koala yang dirilis beberapa hari setelah rilis Windows 7 akan menjadi pesaing setara. Tapi kenyataannya, sebagian pengguna dihadapkan pada masalah power management. Ubuntu gagal melakukan hibernate bahkan stand by. Konfigurasi audio menjadi tidak menyenangkan. Memang ada peningkatan stabilitas sistem, tapi semuanya pupus dengan masalah-masalah lain.
Saya bermimpi bahwa para pengguna Linux tidak hanya menyanjung-nyanjung Linux karena cinta, tapi fakta. Bahwa suatu saat Linux lebih populer dan mudah digunakan dibanding Windows. Bahwa laptop-laptop teman-teman saya yang gatek sekalipun menggunakan Linux dan mereka gembira dengannya
Saya ikhlas bila Canonical menghapus Gimp dari bundle Ubuntu 10.04. Tapi bisakah mereka memberikan pengganti yang setara dengan program ACDSee? Saya heran, kenapa virtualbox versi Windows lebih mudah digunakan dibanding versi Linux-nya. Saya berharap ekstensi Weblog milik Open Office benar-benar bekerja dengan baik. Saya merasa bersalah menggunakan Windows Live Writer atau ngeblog via Office 2007. Saya bermimpi menggunakan Nautilus semudah mengunakan Windows Explorer. Saya berharap Emphaty bisa digunakan sebaik YM atau GTalk. Saya berharap Evolution lebih mudah ketimbang Thunderbird 2. Meski Thunderbird 3 adalah bencana yang sempurna. Sama herannya kenapa Virtualbox 3.2 lebih sulit digunakan ketimbang Virtualbox 2.2
Catatan kecik :
Hari-hari belakangan bersama Ubuntu sedikit mengesalkan. Ubuntu 10.04 versi Alpha3 & Alternate gagal saya terinstall dengan benar setelah berhari-hari men-downloadnya. Moga saya tak bermasalah dengan versi Beta 1. Begitupun virtualbox. Ada harapan bahwa Virtualbox versi Lucid mudah digunakan sebagaimana versi Windows. No hacking needed.
Saya sedikit kesal dengan beberapa pengguna Slackware yang memuji-muji Slack karena lebih sulit digunakan. Secara tidak langsung mereka mengatakan dirinya hebat. Hey, dunia saat ini menunggu distro Linux yang mudah digunakan, bukan yang sulit. Masa-masa romantisme hacking telah usai, kawan !
Ubuntu 10.04 agaknya pantas dinanti-nanti. Saya berani berharap lagi
No comments:
Post a Comment
feel free to comment :)