go..go..Pak Son pasti seru tuh berdebat dg Gindho FPI dibubarkan? Bagaimana klo AKKBB aja yg dibubarkan? :) ato dua-duanya dibubarin ato dua-duanya dibiarin biar adil hhh,cape' klo bahas ini ..
Hhhh... Sudah gatal mau menebaskan jurus pedang yang ampuh ya? Atas nama apa kamu bicara Son? Ekstrim kanan, ekstrim kiri apa ekstrim tengah? :P
Kalau dilihat dari penampilan anak filsafat yang urakan, yah memang begitu kali pikirannya. Susah juga menterjemahkan arti filsafat buat yang belajar di bidang ini. Apa mungkin itu sebuah ekspresi semata, macam kegilaan sastrawan. Padahal jaman dulu itu kedudukan terbalik. Yang belajar filsafat itu rapih, sedang sastra itu hancur.
Mungkin inilah gambaran filsafat di Indonesia, yang belum sempat mengakar dalam sudah hilang terbawa arus selera zaman. Filsafat itu seksi, eksentrik. Maka kalau ada yang belajar filsafat tidak eksentrik, ya ia bukan filsuf. Tidak ada kedalaman, tidak ada perenungan, yang ada hanya kepuasan dan pengalaman. Mirip orang desa yang baru pertama kali jalan-jalan di mall.
Selamat datang kedangkalan, selamat tinggal kematangan!
menarik jg tuh soal filsafat, sastra, seksi, eksentrik.
Satu lagi yg seksi : Kiri !
aku kadang tertawa melihat anak2 muda memakai kaos & topi ala Che Guevara. Marxisme akhirnya terjerumus jg ke budaya pop. Ia menciptakan industri baru bernama topi & kaos bermerk "Che." Kapitalisme emang lucu, bisa me-recycle apa aja jd duit.
Ingin rasanya bertanya pd pemakai kaos Che itu apa ia mengerti ttg Che, Marxisme & teori-teori kritis. Tp aku takut yg ku dapati bukan kedalaman filsafat kiri, tp hny kegarangan, tangan kiri yg terkepal. Dan benjol ! :D
Ingin rasanya bertanya pd pemakai kaos Che itu apa ia mengerti ttg Che, Marxisme & teori-teori kritis. Tp aku takut yg ku dapati bukan kedalaman filsafat kiri, tp hny kegarangan, tangan kiri yg terkepal. Dan benjol ! :D
hahaha.. lucu!
tp bener tuh, temen2ku jg banyak yg pake baju che guavara tp ga tau siapa che ini..juga ada yg latah bergaya rastafarian ala Bob Marley tp gak ngarti juga apa yg diusung si Bob ini..
Ha2, ternyata message kita yang personal Anda bikin buat publik. Lalu teks2 (pesan) saya Anda beri konteks yang Anda buat dan secara efektif membuat teks saya tersubordinasi dari teks Anda. Saya kurang suka dengan nada superior yang Anda punya, "inspirasi dia dg menggunakan teori konflik atau lebih jauh lg teori dekonstruksi Derrida", seakan Anda BENAR-BENAR YAKIN bahwa Anda lebih senior dalam teori, ndak mengerti saya darimana datangnya kepercayaan diri yang luar biasa tersebut. Saya agak menolak diberikan peran "adik yang harus ditolong". Lalu lucu ketika anda dan teman2 anda membahas message kita dan tiba2 membahas dua tipikal anak muda sok kritis: pengemar Che ecek2 yang tak tau teori (anak ingusan yang dipermainkan pasar) atau sebagai penggemar filsafat "stereotip" yang urakan, seakan-akan saya termasuk (atau setidaknya berasosiasi dengan) golongan demikian. Minta ampun!! Mungkin Anda tidak akan prejudis dengan saya kalau saya penggemar Derrida (saya nggak buta2 amat dengan teori dia mas) dan berpakaian seperti Anda.
Saya nggak mau ikut permainan ini dimana saya diberi "penokohan" yang aneh2. Tapi terimakasih buat mempromosikan bahas--tempat semua orang (bukan orang UNAND) mencoba memahami dan mengevaluasi budaya lewat teori2 humaniora/sosial/budaya, orang akan baca dan lihat. Kalau Anda ingin berbagi tulisan tentang budaya, sastra dan bahasa silahkan kirim ke bahas_club@yahoo.co.id, itu lebih baik dari berdebat dan bermanuver di blog masing2.
Mari kita bunuh pengarang. Kita anggap bahwa kalimat-kalimat tadi bukan pemikiran seseorang. Kita nafikkan individu. Apa yang ada di otak kita tak lain dari jejak pemikiran yang telah lewat. Tulisan itu bukan lagi milik kita, tapi milik zaman. Milik struktur-struktur alam bawah sadar yang merembes keluar dari celah-celah emosi. Milik sejarah peradaban, milik kata-kata.
Yang muncul di sini adalah: subordinasi, superior, senior, "adik", prejudice, penokohan, promosi, berbagi dan manuver. Ada banyak sekali clue dalam urutan kata-kata tadi. Senior dan "adik" itu memiliki sebuah hubungan subordinasi. Dimana, senior itu cenderung superior, dan merupakan bentuk penokohan yang ideal. Kata promosi, jelas milik si "adik" yang ingin sekali melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Ada juga kata-kata yang saling berlawanan seperti berbagi dan bermanuver. Mungkin saja, kata berbagi itu milik si "adik" yang merasa tidak mendapatkan kesempatan suksesi, dan kata manuver menggambarkan perilaku senior yang berusaha keras menolak kehadiran orang baru yang mungkin dapat menggantikannya.
Bila model penafsiran ini dimasukkan kedalam frame "message yang personal anda bikin buat publik" akan muncul sebuah perspektif baru, betapa konflik yang sebenarnya ada itu berusaha ditutupi. Mungkin ini ada kaitannya dengan kepentingan individu, sebuah ketakutan yang terstruktur. Lazimnya seorang penguasa yang merasa terancam kekuasaannya oleh orang dalam. Kata-kata permainan, serta ajakan mengirim tulisan ke sebuah institusi menegaskan hal tersebut. Seperti Belanda yang bersikukuh agar pangeran Diponegoro mau berunding di wilayah kekuasaannya, dan enggan keluar bertemu sang pangeran di sebuah wilayah netral.
Alhasil, yang tertangkap dalam teks tadi, bukanlah sebuah argumen mengenai pokok persoalan, melainkan argumen logis dari cara kerja kekuasaan. Kekuasaan, dalam berbagai macam bentuk, memang manis. Apalagi, bila itu sebuah kekuasaan yang absolut. Semua terekam dalam teks-teks, sama seperti perbuatan manusia yang terekam oleh para malaikat.
Mungkin, perspektif ini tidak valid 100%. Mungkin juga, sang pengarang masih belum beranjak pergi dari teks. Oleh karena itu, mari kita bunuh sang pengarang sekali lagi. Dan anggap saja tulisan ini hanya bentuk lain dari tulisan sebelumnya, dengan kata lain, anggap saja saya tidak ada. Dan tidak menulis tulisan ini. Tabula rasa.
yang suka berdebat jgn lupa berbuat yak:)bikin diri berguna buat byk orang..bukan malah berdebat sampe emosi orang2 malah kepancing:P *nyindir mode* peace:D
Bang/mas Sonny, ternyata Anda menganggap saya memahami pancasila seperti yang diinginkan orde baru. Makanya saya baru mengerti mengapa dengan gampang Anda memberi atribut nol, saya pun akan memberikan atribut yang sama pada orang seperti, katakanlah, Harmoko. Tapi saya tau benar bagaimana pancasila dimaknai oleh baru sebagai alat kekuasaannya. Dan kita pasti tau pancasila sebagai suatu teks bisa didefenisikan ulang untuk kepentingan orang yang lebih banyak (bukan elit orba). Anda penggemar Derrida pasti tau benar bahwa teks akan bermakna lain pada konteks lain. Begini, maksud saya renggutlah Pancasila dari orang2 korup yang merasa memilikinya. Dan bicara soal gerakan posmodernis dan pascastrukturalis yang Anda bicarakan, saya sudah cukup paham. Wacana mereka juga mempengaruhi saya (makanya Pancasila tadi perlu dimaknai lagi), tapi saya tidak larut 100% dalam tren2 tersebut (saya tetap berjarak walau saya memang penggemar berat teori2 sastra dan budaya). Pendekatan tersebut adalah alat analisis yang menarik dalam ranah ilmu budaya dan sastra, tapi tak lebih dari itu. Masih banyak pendekatan yang lebih berharga, seperti teori kritis mahzab frankfurt atau poskolonialisme yang tidak jatuh pada relativisme total dan punya tujuan yang jelas. Dan akar fundamentalisme memang tidak satu-satunya diciptakan oleh 9/11. 9/11 hanya simtom ketidakadilan global (terlepas dari percaya atau tidaknya kita dengan teori konspirasi). Akar fundamentalisme adalah ketidakadilan struktural pada tingkat global dari zaman kolonial dan mendapat bentuk kontemporernya pada pasca WWII. Tapi saya tertarik dengan sudut pandang Anda akan penyebabnya. Bisa dijelaskan lebih lanjut?
mohon maaf jk aku "mencolekmu" dg kata NOL.Sama sekali tdk u mghina. Aku mengagumimu & teman2mu di KLUB BAHAS sbg oase d tengah keringnya budaya intelektualisme di almamater kita, UNAND.
Tp reaksimu benar2 cool, sesantai gayamu itu :D Sepertinya kita cocok sbg teman diskusi. Awalnya, ku pikir Ghindo akan berputar2 di area artifisi tnp menyentuh substansi kritikku.
Oh ya, Mari kita lupakan sebentar diskursus bahasa & kekuasaan dlm persoalan apakah message ini layak dihadirkan ke ruang publik spt blog saya itu. Terkadang persoalan tetek bengek "teks" mlh membuat sesuatu yg sederhana jd rumit. Mr bicara substansi dr topik diskusi kita: fundamentalisme, pancasila & waspada.
Bukan sekali ini aku memicu sebuah diskusi / polemik di internet. Di milis akuntansi Unand, jurusanku di Unand jg tp tanggapannya artifisial bgt. Jg polemik ttg Genta Andalas & warisan bg generasi berikutnya di http://febridiansyah.wordpress.com/jelaga/#comment-198
Bagiku polemik / debat publik adl bgian dr budaya intelektualisme yg ingin ku semai di antara kawan2 ==============================
Mungkin sudut pandang kita berbeda dlm membaca fundamentalisme. Ghindo bcr dlm frame kolonial - postkolonial. Sementara aku membacanya dr kacamata sejarah agama-agama. Artinya frame waktu yg kita gunakan berbeda. Tu kan benar, perbedaan itu tidak selamanya jelek, ia malah memperkaya sudut pandang kita.
================================
Lebih lanjut, saya mesti mikir dulu nih. Overall, thx 4 ur positive reply
cuma mau berpendapat, selama ini sonny selalu bilang " Kata mentor ku, mengajak orang berdiskusi itu berpahala".
ci tdk tau defenisi mengajak diskusi menurut sonny itu spt apa. tapi yg jelas kalau masalah defenisi2, sonny mungkin sangat ahli.
tapi diingat juga, selama ini yg sonny lakukan (untuk beberapa kasus) apakah benar mengajak orang berdiskusi, atau malah memancing kehebohan (membuat orang tersinggung).
Sonny menurut ci orang yg sangat aktif, hiperaktif malah dalam mengungkapkan sesuatu yg ada dalam pikiran. secara umum cara nya baik, tapi kadang kala, ada juga yg akhirnya menimbulkan masalah dan ci akan melakukan hal yg sama dengan rika "geleng2 kepala"
ini ungkapan yg sebenarnya sdh ingin ci sampaikan sejak kasus di milis unand. ci memandang sonny sebagai anak kecil yg minta perhatian sehingga akhirnya menyerah sendiri dan curhat di blog sendiri.
tdk semua orang berpikiran sama dengan kita, dan semua hal yg menurut kita pantas di posting, yah.. di posting saja semuanya mentah-mentah. ci berbicara spt ini berdasarkan pengalaman pribadi. ci yakin sonny tau :). walaupun konflik postingannya 100% berbeda. dan ci masih ingat waktu itu sonny bilang kalau ci posting di blog sendiri yg itu berarti haknya aku mau posting apa saja.
Dari kejadian itu ci akhirnya belajar sesuatu.
Semoga sonny yg sangat pintar menganalisis sesuatu juga bisa belajar dari berbagai kejadian.
Seperti duel Musashi dgn perguruan Yoshioka. Mati satu, tumbuh seribu. Semestinya yg terlibat sadar jangan emosional saat duel debat, karena tidak ada mutunya. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Dan lawan2 Musashi kalah karena tidak mampu menahan emosi.
Debat itu sama seperti duel, atau strategi perang, membutuhkan kontrol diri yg tinggi. Bangsa2 penakluk sangat menyukai debat yg sehat karena itu adalah simulasi perang sesungguhnya. Perang melawan hawa nafsu dan tes kesabaran. Dan debat itu adalah perang dalam peradaban madani.
@Cici : berdebat & berpikir adalah budaya intelektual, budaya yg sdh lama hilang di dunia Islam. Cici benar, mungkin masalahnya pada teknik komunikasinya, pada kemasan, packaging, cara kita melontarkan sesuatu.
Akuntansi Unand mmg bukan komunitas yg punya miliu intelektualisme. Jangankan intelektualisme, yg jd aktivis di kampus bs dihitung dg jari. Jadi mungkin tekniknya tidak cocok. Lagian, bicara apa saja yg menjurus serius di milis itu memang tidak bisa. Miliu diskusinya tidak ada. Coba Ci posting ke milis itu, Son ingin tau reply-nya sebagus apa.
Son curhat di blog itu hny karena menyayangkan kenapa orang-orang cerdas yg kuliah di Akuntansi itu hny berakhir menjadi sekrup2 bagi mesin2 kapitalisme, tanpa nalar kritis yg cukup u membuat perubahan atau setidaknya perbedaan di dunia kerja misalnya.
Dan hrs diakui, milis akuntansi itu hanya dirajai oleh orang yg mengagungkan senioritas, bicara dg bahasa lapau, debat kusir. Ketika seseorang melontarkan gagasan, yg ada hanya reply seperti "Sebaiknya Pak Niki ikut membahas ini di milis.." Reply macam apa itu? Apa ia tdk punya otak sendiri u merespon, lalu apa yg selama ini dipelajarinya di kuliahan & dunia kerja. Atau memang benar AKUNTAN itu berKACAMATA KUDA: taunya cuman Debet - Kredit. Apa ia tau sejarah akuntansi? filosofinya ?
Berbeda dg Ghindo, ia memiliki basis intelektualisme yang cukup untuk diserang secara psikologis disamping kritik thd tulisannya soal fundamentalisme.
Akhirnya, mungkin perbedaan pengalaman hidup membuat kesimpulan seseorang berbeda dg orang lain ttg suatu masalah. Berikut, son lampirkan tanggapan Ghindo via message FS >>
====================== Yth. Bang Sonny Fuih, saya senang karena saya pikir sudah tidak disalahpahami lagi. Tapi saya akui saya nggak cool-cool amat menanggapi masalah kemarin. Ha2. Soal sudut pandang saya rasa kedua sudut pandang kita dapat diakomodir oleh sudut pandang yang lebih luas lagi--sudut pandang yang yang memberikan keutamaan pada konteks "cara-cara manusia dalam memenuhi kebutuhan". Tapi ini juga masalah sudut pandang lagi. O ya, mailnya belum sampai. Ini alamatnya: bahas_club@yahoo.co.id, mudah-mudahan bahas bisa jadi ruang publik untuk semua [dan jadi tempat berpolemik demi kemajuan ;)]. Terimakasih untuk dukungannya. Dan saya setuju bicara juga bagian dari aksi. Para pejuang (dan juga diktator) sepanjang sejarah telah membuktikan kekuatan kata-kata. Sah! Salam buat h.p. di blog wordpress, Saya sudah baca komentarnya yang menarik dan berguna bagi saya :).
"Lazimnya seorang penguasa yang merasa terancam kekuasaannya oleh orang dalam. Kata-kata permainan, serta ajakan mengirim tulisan ke sebuah institusi menegaskan hal tersebut. Seperti Belanda yang bersikukuh agar pangeran Diponegoro mau berunding di wilayah kekuasaannya, dan enggan keluar bertemu sang pangeran di sebuah wilayah netral."
hm...apakah itu berarti blog sonny "wilayah netral"? saya rasa, krna semua orang bisa nulis apa aja di blog-nya, maka blog sonny adalah wilayah kekuasaan sonny. jadi kayanya bahasan kekuasaan atau netralitas spt yg himawan jabarkan tidak bisa diterapkan dalam dunia per-blog-an (mohon maaf saya bukan pembaca postmo yang tekun jadi definisi saya ttg kekuasaan masih awam) apa yg bisa dikatakan wilayah netral? berdebat di blog orang yg topiknya sama sekali lain? teman saya pernah diserbu debat cina-melayu malaysia di blognya. man, i really don't want to be in her position.
jadi, menurut saya tindakan gindho sudah tepat buat mengajak sonny ikut debat di forum, karena toh memang "institusi" yang tepat. dan si sonny pasti demen bgt tuh ketemu pemikiran2 baru. (sebuah komen yg terlambat, tapi biarin dah, drpd nggak samasekali)
sebelumnya saya juga udah pernah liat blogger mengutip suatu debat dari milis atau forum lain lalu posting di blog sendiri yg merupakan "daerah kekuasaan"nya dan menambah pendapatnya sendiri (jadi seperti kata desi "minta perhatian tapi akhirnya menyerah curhat di blog sendiri). tapi saya gak ngerti euy kenapa sonny demen bgt ngutip debat dari tempat lain dan jadiin bahasan di blog, krn saya pikir sonny orang yg sportif berdebat di milis dan gak perlu "melarikan diri" ke blog sendiri.
mungkin untuk menarik orang buat debat di blognya juga? jadi "institusi debat" jg dong:p
anyway, mari kita lompat ke soal gaya menulis. kalo emang mau mancing debat, ganti gaya atuh son. gaya menulis dengan intro mengutip-debat-di-tempat-lain udah dipake sonny berkali2 (pengarang sudah mati itu maksudnya ini bukan sih? heran deh, bacaan anak2 gontor bikin gila semua :p). gak kreatif ah!
jadinya saya ikut manas2in yah:D maap maap, lihat segi positifnya saja, saya terdorong ajakan sonny untuk membudayakan debat. walopun melenceng kesana kemari. sapa tau nanti hati saya terbuka untuk baca ttg anti kemapanan dan sejenisnya (walopun kayanya masih lama sih) :p
@aal: spt yg kukatakan. u keperluan dokumentasi aja. Mmg sebaiknya di-posting stlh debat selesai. Setelah hujan berhenti, spt yg kukatakan padamu, ketika kita bisa mencium harum bau tanah. Jd data SEJARAH saja. (Cerita dong ttg profesor sejarah ituuu..)
btw, kpn ke Syahida Inn ? Kapan aku beruntungnya dooong :((
@aal: oh ya, wilayah netral yg Himawan bicarakan tdk sprt wilayah netral yg Aal bicarakan. Konteksnya brbd mungkin. (Ayo dong baca posmo)
Dalam konteks yg brbeda pula aku katakan bhw BLOG bukan wilayah NETRAL. Spt profile FS, ia mencerminkan SELF-CONCEPT pemiliknya. Jg Johari Window pemiliknya.
Seperti halnya jurnalism, blog sbg Citizen Journalism tidak netral. Lagian Aal tau kan media massa mana yg NETRAL atau benar-benar INDEPENDEN. No middle ground in this world kan?
Aku menyediakan blog ku u prbedaan2 tajam sekalipun. Tagnya jelas: FEEL FREE TO COMMENT :)
Ketika saya berbicara mengenai pengarang telah mati, sebenarnya saya memaksudkan itu sebagai sebuah metode dalam memahami sebuah teks. Dalam wacana pengarang yang telah mati, kita membiarkan teks itu terlepas dari subjektivitas sang pengarang dan membiarkan dirinya mengungkapkan apa adanya. Seorang pengarang, betapapun berjasanya ia akan kemunculan sebuah teks, saat teks tadi selesai, maka teks tersebut telah menjadi milik sejarahnya sendiri. Sejarah kata-kata.
Sebuah kata, seperti 'guru' pada awal kemunculannya, adalah sebuah term yang memiliki nilai spiritual yang tinggi. Dalam evolusinya, ketika kata ini diserap kedalam bahasa Indonesia, unsur-unsur spiritual yang terkandung dalam kata guru mulai menghilang dan terbatas pada kegiatan mengajar semata. Sebaliknya, kata 'ustadz' yang dalam bahasa Arab tidak memiliki sebuah nilai spiritual apapun, saat terserap kedalam bahasa Indonesia, unsur semantiknya bertambah, menjadi seorang pengajar agama. Dengan demikian terdapat pergesaran makna dari guru ke ustadz dan ustadz ke guru.
Dalam kasus yang lebih mikro, seperti polemik di posting ini, saya hanya membatasi dalam lingkup yang lebih pendek. Karena itulah, saya lebih tertarik menganalisis kata-kata utama yang membangun sebuah teks. Hasilnya seperti yang saya sampaikan di komentar sebelumnya. Dalam metode ini, posisi pengarang tidak signifikan, dan kalau diperhitungkan justru akan mengganggu keseluruhan proses interpretasi teks, kita akan terjebak pada 'self interest'. Makanya sebisa mungkin mendekati teks tanpa bayang-bayang kehadiran pengarang.
Bagaimanapun juga, bahasa yang merupakan inti dari teks, tidak lahir begitu saja. Ia memiliki sejarah yang sangat panjang yang mungkin mengalami sejumlah reposisi dari satu makna ke makna lainnya. Hampir seperti kajian arkeologi yang mengorek informasi dari sepotong fosil, kritik ide ini (yang dipopulerkan oleh Foucault dengan arkeologi pengetahuan dan dilanjutkan oleh Derrida dengan dekonstruksinya) menggunakan pendekatan yang serupa hanya objeknya yang beda. Bagaimanapun juga corak berbahasa seseorang dapat mengungkapkan cara ia berpikir dan bertindak, bahkan lebih jauh, profil kepribadian dan mentalitas seseorang.
Omong-omong mengenai kambing hitam, Istilah ini berasal dari Judaisme. Dalam upacara Yom Kipur, dua ekor kambing yang serupa dibawa ke halaman bait suci. Seorang Imam Agung melemparkan undian atas kedua kambing tersebut. Seekor dijadikan korban bakaran sedang yang kedua dibawa pergi setelah sang Imam meletakkan tangannya di kepala si kambing dan mengakui dosa-dosa bangsa Israel. Dalam Talmud ditambahkan, bahwa kambing yang dilepaskan itu didorong jatuh dari tebing yang tinggi. Kambing hitam dalam bahasa Inggris, dikenal dengan istilah 'scapegoat', kambing yang kabur.
Menurut Rene Girard, antropolog Kristen kontroversial, mekanisme kambing hitam terjadi akibat keinginan manusia atas yang dimiliki atau diingini oleh yang lainnya (keinginan mimetik). Hal inilah yang menyebabkan konflik antara pihak-pihak yang saling menginginkan. Keinginan mimetik ini menular, hingga suatu saat mencapai puncaknya dan timbullah mekanisme kambing hitam. Usaha pengkambinghitaman ini diperlukan guna memulihkan tatanan sosial ke kondisi awal. (lih:http://id.wikipedia.org/wiki/Kambing_hitam)
Yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya yang diinginkan individu-individu dalam blog ini, sehingga bisa muncul seekor kambing hitam? Apa keinginan mimetik yang muncul? Lalu, tatanan sosial macam apa yang ingin dipulihkan lagi? Dan kepuasan apa yang didapat setelah proses tersebut ada? Mungkin pendekatan ini dapat memberikan kita pemahaman yang lebih dalam seputar kekuasaan dan cara kerjanya.
well, ternyata kita melangkah kembali ke titik awal: Kekuasaan dan netralitas. Ada usul?
go..go..Pak Son
ReplyDeletepasti seru tuh berdebat dg Gindho
FPI dibubarkan?
Bagaimana klo AKKBB aja yg dibubarkan?
:)
ato dua-duanya dibubarin
ato dua-duanya dibiarin
biar adil
hhh,cape' klo bahas ini
..
Hhhh... Sudah gatal mau menebaskan jurus pedang yang ampuh ya? Atas nama apa kamu bicara Son? Ekstrim kanan, ekstrim kiri apa ekstrim tengah? :P
ReplyDeleteKalau dilihat dari penampilan anak filsafat yang urakan, yah memang begitu kali pikirannya. Susah juga menterjemahkan arti filsafat buat yang belajar di bidang ini. Apa mungkin itu sebuah ekspresi semata, macam kegilaan sastrawan. Padahal jaman dulu itu kedudukan terbalik. Yang belajar filsafat itu rapih, sedang sastra itu hancur.
Mungkin inilah gambaran filsafat di Indonesia, yang belum sempat mengakar dalam sudah hilang terbawa arus selera zaman. Filsafat itu seksi, eksentrik. Maka kalau ada yang belajar filsafat tidak eksentrik, ya ia bukan filsuf. Tidak ada kedalaman, tidak ada perenungan, yang ada hanya kepuasan dan pengalaman. Mirip orang desa yang baru pertama kali jalan-jalan di mall.
Selamat datang kedangkalan, selamat tinggal kematangan!
Selamat berdebat.
menarik jg tuh soal filsafat, sastra, seksi, eksentrik.
ReplyDeleteSatu lagi yg seksi : Kiri !
aku kadang tertawa melihat anak2 muda memakai kaos & topi ala Che Guevara. Marxisme akhirnya terjerumus jg ke budaya pop. Ia menciptakan industri baru bernama topi & kaos bermerk "Che." Kapitalisme emang lucu, bisa me-recycle apa aja jd duit.
Ingin rasanya bertanya pd pemakai kaos Che itu apa ia mengerti ttg Che, Marxisme & teori-teori kritis. Tp aku takut yg ku dapati bukan kedalaman filsafat kiri, tp hny kegarangan, tangan kiri yg terkepal. Dan benjol ! :D
Ingin rasanya bertanya pd pemakai kaos Che itu apa ia mengerti ttg Che, Marxisme & teori-teori kritis. Tp aku takut yg ku dapati bukan kedalaman filsafat kiri, tp hny kegarangan, tangan kiri yg terkepal. Dan benjol ! :D
ReplyDeletehahaha..
lucu!
tp bener tuh, temen2ku jg banyak yg pake baju che guavara tp ga tau siapa che ini..juga ada yg latah bergaya rastafarian ala Bob Marley tp gak ngarti juga apa yg diusung si Bob ini..
cm mgkn mereka pikir keren dg bergaya spt itu
:)
Ha2, ternyata message kita yang personal Anda bikin buat publik. Lalu teks2 (pesan) saya Anda beri
ReplyDeletekonteks yang Anda buat dan secara efektif membuat teks saya tersubordinasi dari teks Anda. Saya kurang suka dengan nada superior yang Anda punya, "inspirasi dia dg menggunakan teori konflik atau lebih jauh lg teori dekonstruksi Derrida", seakan Anda BENAR-BENAR YAKIN bahwa Anda lebih senior dalam teori, ndak mengerti saya darimana datangnya kepercayaan diri yang luar biasa tersebut. Saya agak menolak diberikan peran "adik
yang harus ditolong". Lalu lucu ketika anda dan teman2 anda membahas message kita dan tiba2 membahas dua tipikal anak muda sok kritis: pengemar Che ecek2 yang tak tau teori (anak ingusan yang dipermainkan pasar) atau sebagai penggemar filsafat "stereotip" yang urakan, seakan-akan saya termasuk (atau setidaknya berasosiasi dengan) golongan demikian. Minta ampun!! Mungkin Anda tidak akan prejudis dengan saya kalau saya penggemar Derrida (saya nggak buta2 amat dengan teori dia mas) dan berpakaian seperti Anda.
Saya nggak mau ikut permainan ini dimana saya diberi "penokohan" yang aneh2. Tapi terimakasih buat mempromosikan bahas--tempat semua orang (bukan orang UNAND) mencoba memahami dan mengevaluasi budaya lewat teori2 humaniora/sosial/budaya, orang akan baca dan lihat. Kalau Anda ingin berbagi tulisan tentang budaya, sastra dan bahasa silahkan kirim ke bahas_club@yahoo.co.id, itu lebih baik dari berdebat dan bermanuver di blog masing2.
Salam
http://bahas.multiply.com
ReplyDeletePlease pay a visit and join us :)!
Dear Gindho,
ReplyDeleteMari kita bunuh pengarang. Kita anggap bahwa kalimat-kalimat tadi bukan pemikiran seseorang. Kita nafikkan individu. Apa yang ada di otak kita tak lain dari jejak pemikiran yang telah lewat. Tulisan itu bukan lagi milik kita, tapi milik zaman. Milik struktur-struktur alam bawah sadar yang merembes keluar dari celah-celah emosi. Milik sejarah peradaban, milik kata-kata.
Yang muncul di sini adalah: subordinasi, superior, senior, "adik", prejudice, penokohan, promosi, berbagi dan manuver. Ada banyak sekali clue dalam urutan kata-kata tadi. Senior dan "adik" itu memiliki sebuah hubungan subordinasi. Dimana, senior itu cenderung superior, dan merupakan bentuk penokohan yang ideal. Kata promosi, jelas milik si "adik" yang ingin sekali melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Ada juga kata-kata yang saling berlawanan seperti berbagi dan bermanuver. Mungkin saja, kata berbagi itu milik si "adik" yang merasa tidak mendapatkan kesempatan suksesi, dan kata manuver menggambarkan perilaku senior yang berusaha keras menolak kehadiran orang baru yang mungkin dapat menggantikannya.
Bila model penafsiran ini dimasukkan kedalam frame "message yang personal anda bikin buat publik" akan muncul sebuah perspektif baru, betapa konflik yang sebenarnya ada itu berusaha ditutupi. Mungkin ini ada kaitannya dengan kepentingan individu, sebuah ketakutan yang terstruktur. Lazimnya seorang penguasa yang merasa terancam kekuasaannya oleh orang dalam. Kata-kata permainan, serta ajakan mengirim tulisan ke sebuah institusi menegaskan hal tersebut. Seperti Belanda yang bersikukuh agar pangeran Diponegoro mau berunding di wilayah kekuasaannya, dan enggan keluar bertemu sang pangeran di sebuah wilayah netral.
Alhasil, yang tertangkap dalam teks tadi, bukanlah sebuah argumen mengenai pokok persoalan, melainkan argumen logis dari cara kerja kekuasaan. Kekuasaan, dalam berbagai macam bentuk, memang manis. Apalagi, bila itu sebuah kekuasaan yang absolut. Semua terekam dalam teks-teks, sama seperti perbuatan manusia yang terekam oleh para malaikat.
Mungkin, perspektif ini tidak valid 100%. Mungkin juga, sang pengarang masih belum beranjak pergi dari teks. Oleh karena itu, mari kita bunuh sang pengarang sekali lagi. Dan anggap saja tulisan ini hanya bentuk lain dari tulisan sebelumnya, dengan kata lain, anggap saja saya tidak ada. Dan tidak menulis tulisan ini. Tabula rasa.
yang suka berdebat jgn lupa berbuat yak:)bikin diri berguna buat byk orang..bukan malah berdebat sampe emosi orang2 malah kepancing:P *nyindir mode* peace:D
ReplyDeleteGhindo reply to my FS : (luar biasa !)
ReplyDeleteBang/mas Sonny, ternyata Anda menganggap saya memahami pancasila seperti yang diinginkan orde baru. Makanya saya baru mengerti mengapa dengan gampang Anda memberi atribut nol, saya pun akan memberikan atribut yang sama pada orang seperti, katakanlah, Harmoko. Tapi saya tau benar bagaimana pancasila dimaknai oleh baru sebagai alat kekuasaannya. Dan kita pasti tau pancasila sebagai suatu teks bisa didefenisikan ulang untuk kepentingan orang yang lebih banyak (bukan elit orba). Anda penggemar Derrida pasti tau benar bahwa teks akan bermakna lain pada konteks lain. Begini, maksud saya renggutlah Pancasila dari orang2 korup yang merasa memilikinya.
Dan bicara soal gerakan posmodernis dan pascastrukturalis yang Anda bicarakan, saya sudah cukup paham. Wacana mereka juga mempengaruhi saya (makanya Pancasila tadi perlu dimaknai lagi), tapi saya tidak larut 100% dalam tren2 tersebut (saya tetap berjarak walau saya memang penggemar berat teori2 sastra dan budaya). Pendekatan tersebut adalah alat analisis yang menarik dalam ranah ilmu budaya dan sastra, tapi tak lebih dari itu. Masih banyak pendekatan yang lebih berharga, seperti teori kritis mahzab frankfurt atau poskolonialisme yang tidak jatuh pada relativisme total dan punya tujuan yang jelas.
Dan akar fundamentalisme memang tidak satu-satunya diciptakan oleh 9/11. 9/11 hanya simtom ketidakadilan global (terlepas dari percaya atau tidaknya kita dengan teori konspirasi). Akar fundamentalisme adalah ketidakadilan struktural pada tingkat global dari zaman kolonial dan mendapat bentuk kontemporernya pada pasca WWII. Tapi saya tertarik dengan sudut pandang Anda akan penyebabnya. Bisa dijelaskan lebih lanjut?
Ghindo yg baik,
ReplyDeletemohon maaf jk aku "mencolekmu" dg kata NOL.Sama sekali tdk u mghina. Aku mengagumimu & teman2mu di KLUB BAHAS sbg oase d tengah keringnya budaya intelektualisme di almamater kita, UNAND.
Tp reaksimu benar2 cool, sesantai gayamu itu :D Sepertinya kita cocok sbg teman diskusi. Awalnya, ku pikir Ghindo akan berputar2 di area artifisi tnp menyentuh substansi kritikku.
Oh ya,
Mari kita lupakan sebentar diskursus bahasa & kekuasaan dlm persoalan apakah message ini layak dihadirkan ke ruang publik spt blog saya itu. Terkadang persoalan tetek bengek "teks" mlh membuat sesuatu yg sederhana jd rumit. Mr bicara substansi dr topik diskusi kita: fundamentalisme, pancasila & waspada.
Bukan sekali ini aku memicu sebuah diskusi / polemik di internet. Di milis akuntansi Unand, jurusanku di Unand jg tp tanggapannya artifisial bgt. Jg polemik ttg Genta Andalas & warisan bg generasi berikutnya di http://febridiansyah.wordpress.com/jelaga/#comment-198
Bagiku polemik / debat publik adl bgian dr budaya intelektualisme yg ingin ku semai di antara kawan2
==============================
Mungkin sudut pandang kita berbeda dlm membaca fundamentalisme. Ghindo bcr dlm frame kolonial - postkolonial. Sementara aku membacanya dr kacamata sejarah agama-agama. Artinya frame waktu yg kita gunakan berbeda. Tu kan benar, perbedaan itu tidak selamanya jelek, ia malah memperkaya sudut pandang kita.
================================
Lebih lanjut, saya mesti mikir dulu nih. Overall, thx 4 ur positive reply
sah cek lu !
@rika : berdebat & "berbuat" itu 2 hal yg berbeda, Ka. Jd gak kontekstual :)
ReplyDeleteApa org yg berdebat selamanya tdk berbuat? atau sebaliknya? Rancu kan jika keduanya dibenturkan :)
wow...
ReplyDeletegerah ya di sini :D
*kipas2 pake kipas sate*
gelar tikar, ngerujak aja yuuuk...
ngingatin doank kok:)udah tau reaksi sonny bakal gimana hehe..*geleng2 kepala"
ReplyDeletecuma mau berpendapat, selama ini sonny selalu bilang " Kata mentor ku, mengajak orang berdiskusi itu berpahala".
ReplyDeleteci tdk tau defenisi mengajak diskusi menurut sonny itu spt apa. tapi yg jelas kalau masalah defenisi2, sonny mungkin sangat ahli.
tapi diingat juga, selama ini yg sonny lakukan (untuk beberapa kasus) apakah benar mengajak orang berdiskusi, atau malah memancing kehebohan (membuat orang tersinggung).
Sonny menurut ci orang yg sangat aktif, hiperaktif malah dalam mengungkapkan sesuatu yg ada dalam pikiran. secara umum cara nya baik, tapi kadang kala, ada juga yg akhirnya menimbulkan masalah dan ci akan melakukan hal yg sama dengan rika "geleng2 kepala"
ini ungkapan yg sebenarnya sdh ingin ci sampaikan sejak kasus di milis unand. ci memandang sonny sebagai anak kecil yg minta perhatian sehingga akhirnya menyerah sendiri dan curhat di blog sendiri.
tdk semua orang berpikiran sama dengan kita, dan semua hal yg menurut kita pantas di posting, yah.. di posting saja semuanya mentah-mentah. ci berbicara spt ini berdasarkan pengalaman pribadi. ci yakin sonny tau :). walaupun konflik postingannya 100% berbeda. dan ci masih ingat waktu itu sonny bilang kalau ci posting di blog sendiri yg itu berarti haknya aku mau posting apa saja.
Dari kejadian itu ci akhirnya belajar sesuatu.
Semoga sonny yg sangat pintar menganalisis sesuatu juga bisa belajar dari berbagai kejadian.
afwan yah... :)
Hhh...
ReplyDeleteSeperti duel Musashi dgn perguruan Yoshioka. Mati satu, tumbuh seribu. Semestinya yg terlibat sadar jangan emosional saat duel debat, karena tidak ada mutunya. Hati boleh panas, tapi kepala harus dingin. Dan lawan2 Musashi kalah karena tidak mampu menahan emosi.
Debat itu sama seperti duel, atau strategi perang, membutuhkan kontrol diri yg tinggi. Bangsa2 penakluk sangat menyukai debat yg sehat karena itu adalah simulasi perang sesungguhnya. Perang melawan hawa nafsu dan tes kesabaran. Dan debat itu adalah perang dalam peradaban madani.
Apa ada yg mau menyusul Seijuro?
@Cici : berdebat & berpikir adalah budaya intelektual, budaya yg sdh lama hilang di dunia Islam. Cici benar, mungkin masalahnya pada teknik komunikasinya, pada kemasan, packaging, cara kita melontarkan sesuatu.
ReplyDeleteAkuntansi Unand mmg bukan komunitas yg punya miliu intelektualisme. Jangankan intelektualisme, yg jd aktivis di kampus bs dihitung dg jari. Jadi mungkin tekniknya tidak cocok. Lagian, bicara apa saja yg menjurus serius di milis itu memang tidak bisa. Miliu diskusinya tidak ada. Coba Ci posting ke milis itu, Son ingin tau reply-nya sebagus apa.
Son curhat di blog itu hny karena menyayangkan kenapa orang-orang cerdas yg kuliah di Akuntansi itu hny berakhir menjadi sekrup2 bagi mesin2 kapitalisme, tanpa nalar kritis yg cukup u membuat perubahan atau setidaknya perbedaan di dunia kerja misalnya.
Dan hrs diakui, milis akuntansi itu hanya dirajai oleh orang yg mengagungkan senioritas, bicara dg bahasa lapau, debat kusir. Ketika seseorang melontarkan gagasan, yg ada hanya reply seperti "Sebaiknya Pak Niki ikut membahas ini di milis.." Reply macam apa itu? Apa ia tdk punya otak sendiri u merespon, lalu apa yg selama ini dipelajarinya di kuliahan & dunia kerja. Atau memang benar AKUNTAN itu berKACAMATA KUDA: taunya cuman Debet - Kredit. Apa ia tau sejarah akuntansi? filosofinya ?
Berbeda dg Ghindo, ia memiliki basis intelektualisme yang cukup untuk diserang secara psikologis disamping kritik thd tulisannya soal fundamentalisme.
Akhirnya, mungkin perbedaan pengalaman hidup membuat kesimpulan seseorang berbeda dg orang lain ttg suatu masalah. Berikut, son lampirkan tanggapan Ghindo via message FS >>
======================
Yth. Bang Sonny
Fuih, saya senang karena saya pikir sudah tidak disalahpahami lagi. Tapi saya akui saya nggak cool-cool amat menanggapi masalah kemarin. Ha2.
Soal sudut pandang saya rasa kedua sudut pandang kita dapat diakomodir oleh sudut pandang yang lebih luas lagi--sudut pandang yang yang memberikan keutamaan pada konteks "cara-cara manusia dalam memenuhi kebutuhan". Tapi ini juga masalah sudut pandang lagi.
O ya, mailnya belum sampai. Ini alamatnya: bahas_club@yahoo.co.id, mudah-mudahan bahas bisa jadi ruang publik untuk semua [dan jadi tempat berpolemik demi kemajuan ;)]. Terimakasih untuk dukungannya. Dan saya setuju bicara juga bagian dari aksi. Para pejuang (dan juga diktator) sepanjang sejarah telah membuktikan kekuatan kata-kata.
Sah! Salam buat h.p. di blog wordpress, Saya sudah baca komentarnya yang menarik dan berguna bagi saya :).
========================
senang membacanya kalau sudah dingin seperti itu :)
ReplyDeleteCi, sbnrnya yg slh itu HIMAWAN. Kerjaannya MANAS-MANASIN aja. Ngomporin. Provokator kelas kakap. Kambing Hitam-kan aja cowok putih ituh !
ReplyDelete:p
Bukan putih atau hitam, tapi gradasi. Anggap saja sekuensi ACGT -nya sedikit berbeda, sehingga pola-pola DNA ikut berubah.
ReplyDeleteKambing hitam, kayaknya harus baca Teori Rene Girard-nya Sindhunata tuh.
:D
setuju, yg bikin panas itu himawan.
ReplyDelete"Lazimnya seorang penguasa yang merasa terancam kekuasaannya oleh orang dalam. Kata-kata permainan, serta ajakan mengirim tulisan ke sebuah institusi menegaskan hal tersebut. Seperti Belanda yang bersikukuh agar pangeran Diponegoro mau berunding di wilayah kekuasaannya, dan enggan keluar bertemu sang pangeran di sebuah wilayah netral."
hm...apakah itu berarti blog sonny "wilayah netral"? saya rasa, krna semua orang bisa nulis apa aja di blog-nya, maka blog sonny adalah wilayah kekuasaan sonny. jadi kayanya bahasan kekuasaan atau netralitas spt yg himawan jabarkan tidak bisa diterapkan dalam dunia per-blog-an (mohon maaf saya bukan pembaca postmo yang tekun jadi definisi saya ttg kekuasaan masih awam) apa yg bisa dikatakan wilayah netral? berdebat di blog orang yg topiknya sama sekali lain? teman saya pernah diserbu debat cina-melayu malaysia di blognya. man, i really don't want to be in her position.
jadi, menurut saya tindakan gindho sudah tepat buat mengajak sonny ikut debat di forum, karena toh memang "institusi" yang tepat. dan si sonny pasti demen bgt tuh ketemu pemikiran2 baru. (sebuah komen yg terlambat, tapi biarin dah, drpd nggak samasekali)
sebelumnya saya juga udah pernah liat blogger mengutip suatu debat dari milis atau forum lain lalu posting di blog sendiri yg merupakan "daerah kekuasaan"nya dan menambah pendapatnya sendiri (jadi seperti kata desi "minta perhatian tapi akhirnya menyerah curhat di blog sendiri). tapi saya gak ngerti euy kenapa sonny demen bgt ngutip debat dari tempat lain dan jadiin bahasan di blog, krn saya pikir sonny orang yg sportif berdebat di milis dan gak perlu "melarikan diri" ke blog sendiri.
mungkin untuk menarik orang buat debat di blognya juga? jadi "institusi debat" jg dong:p
anyway, mari kita lompat ke soal gaya menulis. kalo emang mau mancing debat, ganti gaya atuh son. gaya menulis dengan intro mengutip-debat-di-tempat-lain udah dipake sonny berkali2 (pengarang sudah mati itu maksudnya ini bukan sih? heran deh, bacaan anak2 gontor bikin gila semua :p). gak kreatif ah!
jadinya saya ikut manas2in yah:D maap maap, lihat segi positifnya saja, saya terdorong ajakan sonny untuk membudayakan debat. walopun melenceng kesana kemari. sapa tau nanti hati saya terbuka untuk baca ttg anti kemapanan dan sejenisnya (walopun kayanya masih lama sih) :p
@aal: spt yg kukatakan. u keperluan dokumentasi aja. Mmg sebaiknya di-posting stlh debat selesai. Setelah hujan berhenti, spt yg kukatakan padamu, ketika kita bisa mencium harum bau tanah. Jd data SEJARAH saja. (Cerita dong ttg profesor sejarah ituuu..)
ReplyDeletebtw, kpn ke Syahida Inn ? Kapan aku beruntungnya dooong :((
@aal: oh ya, wilayah netral yg Himawan bicarakan tdk sprt wilayah netral yg Aal bicarakan. Konteksnya brbd mungkin. (Ayo dong baca posmo)
ReplyDeleteDalam konteks yg brbeda pula aku katakan bhw BLOG bukan wilayah NETRAL. Spt profile FS, ia mencerminkan SELF-CONCEPT pemiliknya. Jg Johari Window pemiliknya.
Seperti halnya jurnalism, blog sbg Citizen Journalism tidak netral. Lagian Aal tau kan media massa mana yg NETRAL atau benar-benar INDEPENDEN. No middle ground in this world kan?
Aku menyediakan blog ku u prbedaan2 tajam sekalipun. Tagnya jelas: FEEL FREE TO COMMENT :)
Asal tidak bilang: murtad lu !
:D
@himawan: tuh denger Alia, lo bnr2 jd kambing hitam! Makan nya jgn ngolok2in gw kayak Lintang. Iyaaa, gw itemm. Puass ?
ReplyDeleteOverall, we know lah. Sesama provokator tdk mngkn saling mmprovokasi. Inget gak, gw mmprovakasi lu & Bowo jd dosen biar bs konsentrasi jd intelektual? Bnr2 gak mempan !
Dear Alia,
ReplyDeleteKetika saya berbicara mengenai pengarang telah mati, sebenarnya saya memaksudkan itu sebagai sebuah metode dalam memahami sebuah teks. Dalam wacana pengarang yang telah mati, kita membiarkan teks itu terlepas dari subjektivitas sang pengarang dan membiarkan dirinya mengungkapkan apa adanya. Seorang pengarang, betapapun berjasanya ia akan kemunculan sebuah teks, saat teks tadi selesai, maka teks tersebut telah menjadi milik sejarahnya sendiri. Sejarah kata-kata.
Sebuah kata, seperti 'guru' pada awal kemunculannya, adalah sebuah term yang memiliki nilai spiritual yang tinggi. Dalam evolusinya, ketika kata ini diserap kedalam bahasa Indonesia, unsur-unsur spiritual yang terkandung dalam kata guru mulai menghilang dan terbatas pada kegiatan mengajar semata. Sebaliknya, kata 'ustadz' yang dalam bahasa Arab tidak memiliki sebuah nilai spiritual apapun, saat terserap kedalam bahasa Indonesia, unsur semantiknya bertambah, menjadi seorang pengajar agama. Dengan demikian terdapat pergesaran makna dari guru ke ustadz dan ustadz ke guru.
Dalam kasus yang lebih mikro, seperti polemik di posting ini, saya hanya membatasi dalam lingkup yang lebih pendek. Karena itulah, saya lebih tertarik menganalisis kata-kata utama yang membangun sebuah teks. Hasilnya seperti yang saya sampaikan di komentar sebelumnya. Dalam metode ini, posisi pengarang tidak signifikan, dan kalau diperhitungkan justru akan mengganggu keseluruhan proses interpretasi teks, kita akan terjebak pada 'self interest'. Makanya sebisa mungkin mendekati teks tanpa bayang-bayang kehadiran pengarang.
Bagaimanapun juga, bahasa yang merupakan inti dari teks, tidak lahir begitu saja. Ia memiliki sejarah yang sangat panjang yang mungkin mengalami sejumlah reposisi dari satu makna ke makna lainnya. Hampir seperti kajian arkeologi yang mengorek informasi dari sepotong fosil, kritik ide ini (yang dipopulerkan oleh Foucault dengan arkeologi pengetahuan dan dilanjutkan oleh Derrida dengan dekonstruksinya) menggunakan pendekatan yang serupa hanya objeknya yang beda. Bagaimanapun juga corak berbahasa seseorang dapat mengungkapkan cara ia berpikir dan bertindak, bahkan lebih jauh, profil kepribadian dan mentalitas seseorang.
Omong-omong mengenai kambing hitam, Istilah ini berasal dari Judaisme. Dalam upacara Yom Kipur, dua ekor kambing yang serupa dibawa ke halaman bait suci. Seorang Imam Agung melemparkan undian atas kedua kambing tersebut. Seekor dijadikan korban bakaran sedang yang kedua dibawa pergi setelah sang Imam meletakkan tangannya di kepala si kambing dan mengakui dosa-dosa bangsa Israel. Dalam Talmud ditambahkan, bahwa kambing yang dilepaskan itu didorong jatuh dari tebing yang tinggi. Kambing hitam dalam bahasa Inggris, dikenal dengan istilah 'scapegoat', kambing yang kabur.
Menurut Rene Girard, antropolog Kristen kontroversial, mekanisme kambing hitam terjadi akibat keinginan manusia atas yang dimiliki atau diingini oleh yang lainnya (keinginan mimetik). Hal inilah yang menyebabkan konflik antara pihak-pihak yang saling menginginkan. Keinginan mimetik ini menular, hingga suatu saat mencapai puncaknya dan timbullah mekanisme kambing hitam. Usaha pengkambinghitaman ini diperlukan guna memulihkan tatanan sosial ke kondisi awal. (lih:http://id.wikipedia.org/wiki/Kambing_hitam)
Yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya yang diinginkan individu-individu dalam blog ini, sehingga bisa muncul seekor kambing hitam? Apa keinginan mimetik yang muncul? Lalu, tatanan sosial macam apa yang ingin dipulihkan lagi? Dan kepuasan apa yang didapat setelah proses tersebut ada? Mungkin pendekatan ini dapat memberikan kita pemahaman yang lebih dalam seputar kekuasaan dan cara kerjanya.
well, ternyata kita melangkah kembali ke titik awal: Kekuasaan dan netralitas. Ada usul?