back to political discourses, Sonny ?
after years ?
Yup,
Dulu masalahnya aku jadi gelap mata kalau bicara politik. Seperti hutan yang tertutup gara-gara satu pohon jelek, aku tidak bisa bernapas kalo bicara politik. Keseluruhan diskursus ilmu-ilmu sosial jadi mandeg.
Tidak bisa tidak, seorang intelektual harus bicara politik. Salah satu definisi ilmu sejarah mengatakan bahwa sejarah adalah politik di masa lalu. Politik adalah sejarah masa kini. Definisi ini tidak sepenuhnya benar, tapi kita tidak bisa begitu saja menampiknya.
Kamis kemarin aku mengikuti Nurcholis Madjid Memorial Lecture II di Kampus Paramadina. Tahun kemarin yang berorasi Prof Komaruddin Hidayat. Ia memang pas untuk membuka tradisi ini. Komar adalah lulusan Pabelan, pesantren yang direvitalisasi kembali oleh Hamam Ja'far, seorang alumni Gontor. Sementara Cak Nur adalah alumni Gontor. Keduanya sama-sama Guru Besar Filsafat UIN. Basis keilmuan dan pengalaman hidup keduanya boleh dibilang mirip. (Hebatnya, Pabelan yang kecil tapi apik itu pernah mendapat Aga Khan Award, penghargaan internasional bidang arsitektur dunia Islam)
Tahun ini kehormatan itu diberikan kepada Goenawan Mohamad, penyokong Komunitas Utan Kayu & Jaringan Islam Liberal, penafsir "fundamentalis" pikiran-pikiran Cak Nur. (They said: "we're liberal." I said: "u'r left extremists" :p )
Tapi sebagai musuh, ia patut dihormati. Kolom-kolomnya yang ensiklopedik itu memang menawan, menggetarkan dan menyeramkan. Aku mencatat hanya sedikit pemikir yang bila tulisan-tulisannya bila dibuatkan semacam footnote maka akan sangat panjang. Sebut saja, Annemarie Schimmel, alm. Rusli Karim, dan Jalaluddin Rakhmat. (Orang Arab bilang, punya musuh yg canggih lebih baik ketimbang punya teman bodoh. Dua orang yang selalu sepakat tentang semua hal tidak akan menghasilkan apa-apa.)
Aku bertikai dengannya dalam hal teologi dan tafsir kebebasan. Pandangan filsafat kami mungkin mirip. Uniknya, aku menemukan kesamaan pendapat dengannya tentang Palestina, Amerika & Obama. Kami mungkin segelintir intelektual moderat yang pesimis pada kemampuan Obama merubah Amerika.
Orang yang kuanggap musuh, ternyata mengembalikan kepercayaanku pada politik, baik sebagai sebuah diskursus maupun praktik. Ia merekomendasikan "Kembalinya Politik," buku yang sudah aku lirik-lirik di Gramedia Gajah Mada, medio Agustus lalu.
Anis Baswedan memberikan pengantar manis pembuka diskusi. Menurutnya, harus dibedakan optimisme terhadap sebuah bangsa dan perkara mendukung sebuah pemerintahan. Mana yang benar, pesimis terhadap pilkada atau kritis terhadap pilkada ?
Aku sendiri tidak sepakat tentang Pancasila. Pandanganku lebih mencerminkan pandangan Natsier. Tapi tidak bisa tidak, seperti Natsier, aku mencintai bangsa yang menyebalkan ini. Tidak seperti Taufiq Ismail, aku tidak malu menjadi orang Indonesia.
HARAPAN
Mas Goen & Anis sepakat bahwa harapan harus selalu diterbitkan terhadap bangsa ini. Sembari mengenang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1926, Anis bertutur 80 tahun = usia tua bagi seorang manusia = 16x pergantian presiden = umur pendek bagi perjalanan sebuah bangsa. Delapan puluh tahun lalu sama sekali tidak ada modal untuk menegakkan sebuah bangsa. Yang ada hanya harapan.
Mas Goen menutup orasinya dengan mengatakan bahwa politik harus dikembalikan sebagai sebuah perjuangan. Harapan tidak pernah hadir dengan sendirinya. Ia harus diciptakan. Harapan itu seperti jalan dalam hutan, sebelumnya tidak pernah ada. Kemudian seseorang lewat disana dan kemudian orang-orang lainnya berkali-kali. Berarti itu memang jalan harapan bersama.
Utomo Dananjaya, tokoh sepuh Pelajar Islam Indonesia yang juga teman dekat Cak Nur yang pernah jadi Ketua HMI 2 periode itu, tampil juga dalam acara itu. Ia dengan terbuka mengkritik kecilnya Pustaka kampus Paramadina. Aku kagum bahwa kritisisme semacam ini nyaris tak ada di kampus-kampus lain. Baginya, Paramadina menjanjikan kualitas dan menawarkan alternatif. Janji & tawaran.
UTOMO, ADE & RILIS BUKU
Aku mengagumi Utomo karena warisannya mencangkokkan Andragogi-nya Paulo Freire ke dalam cetak biru Panduan Training PII. Itu salah satu sebab kenapa PII lebih progresif ketimbang HMI yang cenderung established. Hanya sayangnya, nama besar HMI membuatnya lebih mampu menarik input SDM calon aktivis mahasiswa berkualitas ketimbang PII. Tapi apalah artinya kuantitas di dunia pergerakan. Kualitas bung ! Ini dunia elite minority ! Segala hal yang berbau massif harus ditolak !
Ade Armando juga hadir sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Madina. Aku cukup rajin mengikuti kolom-kolom Bang Ade dan membuntuti alur pikirnya. Di satu titik, aku terkejut karena ia mulai bicara tentang perkara-perkara liberal. Di malam ini aku baru sadar ternyata ia ikut membuntuti Cak Nur. Tapi ia sendirian membela RUU Pornografi di tengah kaum liberal itu. (I'm with u, Bang Ade !)
Di acara itu ikut juga dirilis juga buku "All u need is love: Cak Nur di mata anak-anak muda". Ah, kalau saya tau buku itu akan terbit pengen juga urun tulisan. Saya punya tafsir sendiri tentang Cak Nur, yang mungkin bertikai dengan orang-orang JIL.
Sekali lagi,
i'm back to politic !
after years ?
Yup,
Dulu masalahnya aku jadi gelap mata kalau bicara politik. Seperti hutan yang tertutup gara-gara satu pohon jelek, aku tidak bisa bernapas kalo bicara politik. Keseluruhan diskursus ilmu-ilmu sosial jadi mandeg.
Tidak bisa tidak, seorang intelektual harus bicara politik. Salah satu definisi ilmu sejarah mengatakan bahwa sejarah adalah politik di masa lalu. Politik adalah sejarah masa kini. Definisi ini tidak sepenuhnya benar, tapi kita tidak bisa begitu saja menampiknya.
Kamis kemarin aku mengikuti Nurcholis Madjid Memorial Lecture II di Kampus Paramadina. Tahun kemarin yang berorasi Prof Komaruddin Hidayat. Ia memang pas untuk membuka tradisi ini. Komar adalah lulusan Pabelan, pesantren yang direvitalisasi kembali oleh Hamam Ja'far, seorang alumni Gontor. Sementara Cak Nur adalah alumni Gontor. Keduanya sama-sama Guru Besar Filsafat UIN. Basis keilmuan dan pengalaman hidup keduanya boleh dibilang mirip. (Hebatnya, Pabelan yang kecil tapi apik itu pernah mendapat Aga Khan Award, penghargaan internasional bidang arsitektur dunia Islam)
Tahun ini kehormatan itu diberikan kepada Goenawan Mohamad, penyokong Komunitas Utan Kayu & Jaringan Islam Liberal, penafsir "fundamentalis" pikiran-pikiran Cak Nur. (They said: "we're liberal." I said: "u'r left extremists" :p )
Tapi sebagai musuh, ia patut dihormati. Kolom-kolomnya yang ensiklopedik itu memang menawan, menggetarkan dan menyeramkan. Aku mencatat hanya sedikit pemikir yang bila tulisan-tulisannya bila dibuatkan semacam footnote maka akan sangat panjang. Sebut saja, Annemarie Schimmel, alm. Rusli Karim, dan Jalaluddin Rakhmat. (Orang Arab bilang, punya musuh yg canggih lebih baik ketimbang punya teman bodoh. Dua orang yang selalu sepakat tentang semua hal tidak akan menghasilkan apa-apa.)
Aku bertikai dengannya dalam hal teologi dan tafsir kebebasan. Pandangan filsafat kami mungkin mirip. Uniknya, aku menemukan kesamaan pendapat dengannya tentang Palestina, Amerika & Obama. Kami mungkin segelintir intelektual moderat yang pesimis pada kemampuan Obama merubah Amerika.
Orang yang kuanggap musuh, ternyata mengembalikan kepercayaanku pada politik, baik sebagai sebuah diskursus maupun praktik. Ia merekomendasikan "Kembalinya Politik," buku yang sudah aku lirik-lirik di Gramedia Gajah Mada, medio Agustus lalu.
Anis Baswedan memberikan pengantar manis pembuka diskusi. Menurutnya, harus dibedakan optimisme terhadap sebuah bangsa dan perkara mendukung sebuah pemerintahan. Mana yang benar, pesimis terhadap pilkada atau kritis terhadap pilkada ?
Aku sendiri tidak sepakat tentang Pancasila. Pandanganku lebih mencerminkan pandangan Natsier. Tapi tidak bisa tidak, seperti Natsier, aku mencintai bangsa yang menyebalkan ini. Tidak seperti Taufiq Ismail, aku tidak malu menjadi orang Indonesia.
HARAPAN
Mas Goen & Anis sepakat bahwa harapan harus selalu diterbitkan terhadap bangsa ini. Sembari mengenang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1926, Anis bertutur 80 tahun = usia tua bagi seorang manusia = 16x pergantian presiden = umur pendek bagi perjalanan sebuah bangsa. Delapan puluh tahun lalu sama sekali tidak ada modal untuk menegakkan sebuah bangsa. Yang ada hanya harapan.
Mas Goen menutup orasinya dengan mengatakan bahwa politik harus dikembalikan sebagai sebuah perjuangan. Harapan tidak pernah hadir dengan sendirinya. Ia harus diciptakan. Harapan itu seperti jalan dalam hutan, sebelumnya tidak pernah ada. Kemudian seseorang lewat disana dan kemudian orang-orang lainnya berkali-kali. Berarti itu memang jalan harapan bersama.
Utomo Dananjaya, tokoh sepuh Pelajar Islam Indonesia yang juga teman dekat Cak Nur yang pernah jadi Ketua HMI 2 periode itu, tampil juga dalam acara itu. Ia dengan terbuka mengkritik kecilnya Pustaka kampus Paramadina. Aku kagum bahwa kritisisme semacam ini nyaris tak ada di kampus-kampus lain. Baginya, Paramadina menjanjikan kualitas dan menawarkan alternatif. Janji & tawaran.
UTOMO, ADE & RILIS BUKU
Aku mengagumi Utomo karena warisannya mencangkokkan Andragogi-nya Paulo Freire ke dalam cetak biru Panduan Training PII. Itu salah satu sebab kenapa PII lebih progresif ketimbang HMI yang cenderung established. Hanya sayangnya, nama besar HMI membuatnya lebih mampu menarik input SDM calon aktivis mahasiswa berkualitas ketimbang PII. Tapi apalah artinya kuantitas di dunia pergerakan. Kualitas bung ! Ini dunia elite minority ! Segala hal yang berbau massif harus ditolak !
Ade Armando juga hadir sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Madina. Aku cukup rajin mengikuti kolom-kolom Bang Ade dan membuntuti alur pikirnya. Di satu titik, aku terkejut karena ia mulai bicara tentang perkara-perkara liberal. Di malam ini aku baru sadar ternyata ia ikut membuntuti Cak Nur. Tapi ia sendirian membela RUU Pornografi di tengah kaum liberal itu. (I'm with u, Bang Ade !)
Di acara itu ikut juga dirilis juga buku "All u need is love: Cak Nur di mata anak-anak muda". Ah, kalau saya tau buku itu akan terbit pengen juga urun tulisan. Saya punya tafsir sendiri tentang Cak Nur, yang mungkin bertikai dengan orang-orang JIL.
Sekali lagi,
i'm back to politic !
gile gilee..
ReplyDeleteberarti daku kurang intelek ya son..secara kayaknya berat ngomongin politik...ngomongin overdue duit customer hayukkk hihih...