it’s flood of love, creating ocean, sweetheart..
(quoted from negeri di awan, my old private blog)
Kalian bisa bertanya apa saja padaku. Akan ku bawa menjelajahi ranah pengetahuan, banjir informasi, kecanggihan abstraksi-abstraksi, restrospeksi masa lalu, romantika sejarah, mengunjungi artifak-artifak menawan, fosil-fosil abadi, dongeng-dongeng saintis, mitos-mitos modern, cerita-cerita ajaib yang tak pernah kalian temukan di buku-buku teks.
Atau ke masa depan dipandu Toffler sekaligus Sardar, sedikit Einstein dan Hawking, menyaksikan bingbang, menghindari blackhole, galaksi-galaksi, cahaya di atas cahaya. Menuju ‘arsy-Nya !
Atau kita lampaui saja ruang dan waktu. Mari masuki jagad simulacra Baudrillard, tercengang-cengang dalam realitas maya Yasraf Amir Piliang, menyaksikan semesta angka 0 dan 1, bertaburan, berhamburan, bertabrakan, bersinggungan dalam kekacauan yang cantik. Beautiful chaos !
Tapi jangan tanya padaku tentang cinta,
Aku begitu bodoh mengurainya. Toffler, Sardar, Einsten, Hawking tak pernah bicara tentang itu. Para filsuf kebingungan mendefinisikannya. Bahkan Plato pun tak berguna. Ia hanya membuat orang-orang sepertiku tampak lebih bodoh dari seharusnya.
Dan inilah aku, sebuah kompleksitas yang nyaaaris sempurna tapi alpa cinta.
Cinta filsuf
Orang-orang kebanyakan cenderung melihat kehidupan para filsuf/pemikir sebagai membosankan: duduk-membusuk-tersuruk di antara buku-buku dan pikiran-pikirannya sendiri. Sebaliknya, para pemikir seringkali menganggap diri mereka istimewa, gifted. Mereka selalu gelisah, mencari, bertanya, meragukan, menemukan jawab untuk akhirnya meyakini. Seperti orang kasmaran, Aristoteles pernah berhari-hari tak makan karena tersedak oleh satu pertanyaan rumit yang nyelonong tanpa permisi ke pikirannya. Archimedes melompat dari dalam bak mandi, berlari ke jalanan dan berteriak, “Eureka !” Seperti kanak-kanak Dora the Explorer: “berhasil, berhasil, berhasil, horree !”
Tapi soal cinta? Mereka b-o-d-o-h. Mereka bahkan lebih bodoh dari orang kebanyakan.
Soe Hok Gie tak mampu menangkap isyarat-isyarat cinta yang bahkan nir-jarak. Ia dengan bodohnya mencoba menggapai cinta yang begitu jauh, cinta yang nyaris mustahil. Dan ternyata memang mustahil. Mungkin ia pikir itu hanya seperti eksperimen politik yang biasa ia lakukan. Semacam test case yang boleh gagal boleh tidak. Ahmad Wahib memendam rapat-rapat cintanya, menyumpahi satu bab diary-nya dengan rindu. Khalil Gibran pun tak bisa bertemu pujaan hatinya hingga akhir hayatnya. Cintanya meradang dalam buku-buku.
Yah, begitulah
Para pemikir punya penyakit akut, menahun, menurun : alpa cinta. Pemikiran, gagasan, ide-ide tak bisa menolong mereka berurusan dengan hal ini. Mereka hanya makhluk-makhluk malang yang patah hati.
Tapi mereka sama sekali tak ingin dikasihani. Ketika patah hati, mereka menggelar formasi intelektualnya layaknya para jenderal menggelar formasi pertahanan. Defense mechanism pada dasarnya adalah insting manusia yang paling purba. Tapi di tangan para pemikir, insting itu menjelma canggih! Saat patah hati, mereka menganalisis, berusaha memahami kembali hubungan sebab-akibat, yang berakhir dengan serangkaian apologia di satu sisi dan empati di sisi yang lain.
Cinta sufi
Sufi seringkali dianggap sebagai representasi dari cinta itu sendiri. Bagi mereka ada yang lebih tinggi, lebih luhur, lebih indah dari menyembah Allah: mencintai-Nya. Mereka tak takut Allah, mereka malah mencintaiNya, mengajakNya bercengkrama, ngobrol sampai larut. Mereka punya kosa kata cinta sendiri: a’syik, masyuq, syauq, ekstase, cawan, anggur, samudera, gelombang, badai, rindu.
Tapi mereka sama bodohnya dengan para filsuf. Mereka gagal dalam cinta harfiah, cinta sesama manusia. Ketika dipinang Hasan al-Bashri, Rabi’ah Al-Adawiyyah mengajukan syarat yang takkan mampu dipenuhi manusia mana pun. Hatinya sudah terlalu penuh oleh cinta kepada Allah, tak memberi ruang bagi cinta bahkan benci kepada makhluqNya. Semua yang di atas debu baginya hanyalah debu. Nihil. Fana. Ia bahkan tak peduli lagi surga – neraka. Ia hanya peduliNya.
Rumi sebelum menjadi sufi, hanyalah seorang pengajar pada sebuah madrasah. Ia meninggalkan murid-muridnya untuk bercengkrama berhari-hari, berbulan-bulan dengan lelaki asing yang kemudian disebutnya sahabat sekaligus guru. Ketika murid-muridnya cemburu dan protes, lelaki itu pergi dan meninggalkan sepucuk surat agar Rumi kembali mengajar. Tapi kepergian itu membawa luka cinta yang teramat dalam di dirinya. Rumi tak mau mengajar. Ia menghabiskan hari-harinya menulis sajak-sajak cinta, Diwanu Syamsi at-Tabrizi, terinspirasi dari lelaki itu, Syamsu dari Tabriz.
Filsuf dan sufi sama saja: alpa cinta. Spesies hampir punah paling malang sedunia.
Internal links about love :
mata yang cerah (sufistik)
merahmu, teman
anak kost gw
hobi cadangan bokap
sepotong hujan (sufistik)
Mantingan - Medio '99
Pliiiz, don't go..
untold story of Loli
menarilah rumi (sufistik)
more human
cinta masa kecil
ada ketika tiada
it's time for JAZZ
karena Musashi
THE LAKE HOUSE: Kisah cinta surealistik
Surat-surat Alex - Kate
kencan sempurna !
because the sky is blue (patah hati)
Piuh, untung nama gua ga disebut :D. Eureka!!
ReplyDeleteaku pikir para filsuf dan sufi bukan orang paling malang sedunia, kecuali kalo penulis pikir cinta yang paling agung adalh cinta antara perempuan dan laki-laki yg malah aku pikir 'cinta spt itu' paling rendah stratanya
ReplyDelete..
*aku menangkap aura patah hati disini*
:p
hehehehe
*senyum jahil*
Justru, penyatuan antara laki-laki dan perempuan itulah bagian dari manifestasi cinta kepada Tuhan. Seperti pertemuan antara Yin dan Yang, sebuah jalan menuju kesempurnaan. Kecintaan manusia kepada Tuhan, tak lain daripada kecintaan manusia kepada kesempurnaan. Itu makanya para Sufi selalu menghormati wanita, karena merekalah penyempurna pengalaman rohaniahnya.
ReplyDeleteDi sini cinta berbeda dengan eros. Dalam eros selalu ada kata penaklukan, dan penguasaan. Sedang dalam cinta yang ada hanyalah penyatuan dan berbagi. Tidak ada "Aku", Ego, yang ada hanyalah peleburan, ketiadaan.
Pertanyaannya, cinta apa Eros Son? Atau, kedua-duanya?
*sangat jahil*
sipp,
ReplyDeleteseperti para sufi yg ngobrol dg Sang Kekasih sampe larut, maka cinta adalah peleburan, peniadaan 2 eksistensi menjadi 1.
Mungkin nyerempet ngebahas wihdatul / wahdatul wujud, tp sufisme atau cinta itu sendiri tidak melulu berarti cinta transenden.
Cinta harfiah terhadap lawan jenis yg keliatan cinta rendahan itu, pada akhirnya adalah penyempurna pengalaman rohaniah. Seperti maqam-maqam dlm perjalanan sufistik, setelah maqam tertinggi, yaitu ma'rifat pada akhirnya kembali ke syariat.
Seperti kesempurnaan teknik pedang, bagi Musashi Miyamoto, teknik pedang tertinggi adalah tanpa pedang atau apa saja bisa menjadi pedang. Mengutip (Nameless) Hero yg diperankan Jet Lee: teknik tertinggi dalam pedang adalah tanpa pedang. Seperti Kenshin Himura dalam Samurai X akhirnya memilih menggunakan pedang bermata terbalik sebagai bentuk pengingkaran thd kekejaman pedang itu sendiri.
seperti kata Nabi, menikah itu untuk menyempurnakan keimanan...
*hhhh, sebagian reply gw gak nyambung, jahil jg*
Well, aku setuju dengan kalimat :
ReplyDeleteseperti kata Nabi, menikah itu untuk menyempurnakan keimanan...
namun,cinta sblm pernikahan, bertepuk sebelah tangan, patah hati dan sebangsanya yg membuat menangis darah?
mungkin itu eros bukan 'cinta' spt HP bilang
pdhl kan klo cinta ya cukup cinta aja ga harus ada alasan2 lain?
hehehe
*nyengir lebar*
piss pak son!
:D
*jadi ingat salah satu lagu band favoritku, The Groove*
ReplyDeletec'mon Lee..
Cinta..
ReplyDeletekata yang paling tinggi dalam memaknai kehidupan ini. sungguh dalam...
sebelum belajar mencintai,, cintailah diri, dan menemukan hakekat cinta
mencintai cinta
Seseorang akan bersama dengan orang yang diCintainya
kita mencintai Awlia Allah
kita mencintai Rumi
Kita Mencintai Kaum Sufi
Rumi dan Kaum sufi sangat mencintai Rasulullah..
InsyaAllah kita akan dikumpulkan bersana
filsafal keluarga Sakinah Mawadah wa Rahmah berarti menjawab kan?
ReplyDelete