25.10.08

mengeja kembali Kuntowijoyo

Untuk menjadi seorang intelektual memang harus membuntuti seorang intelektual juga. Role model. Quantum Learning pun setuju dengan pendapat ini. Dari 1993 - 1995, saya berkutat dengan buku-buku terbitan pemikir-pemikir Timur Tengah: Sayyid Qutb dan saudaranya Muhammad Qutb, Hassan Albanna, Fatih Yakn, dll serta beberapa pemikir Pakistan semacam Abul A'la al-Maududi. Boleh dibilang buku-buku khas Gema Insani Press, kanan Islam.

Disamping itu, saya tertarik pada logika out-of-the-box nya Emha Ainun Najib, bapaknya Noe, vokalis Letto. Cak Nun, meski drop out, lebih populer ketimbang nama-nama besar semacam Nurcholis Madjid, Dien Syamsuddin dll. Saya membaca hampir semua bukunya. Cak Nun cukup sering datang ke Gontor. Di antaranya diundang manggung bersama Kelompok Keseniannya, Kyai Kanjeng.

Pada satu titik saya jenuh. Pemikir kanan Islam menggunakan logika sederhana, sementara logika Cak Nun tidak lagi mencukupi. Saya membutuhkan logika yang lebih metodologis, lebih akademik. Maka ketika saya direkrut jadi asisten Pustaka OPPM diumur menjelang 15 tahun, dengan cepat saya melahap buku-buku Nurcholish Madjid. Sejak saat itu saya banyak membaca buku-buku terbitan Mizan Pustaka, Penerbit Pustaka, Bentang, Pustaka Pelajar, Paramadina dan genre sejenis. Saya bahkan hafal pembuat sampul buku Mizan & Pustaka Pelajar. Pustaka Pelajar seringkali menggunakan font-font besar dan cantik. Seperti kata Daniel Purba, teman dari teman saya Bowo di Penerbit Erlangga: "Judge books by their cover !"

Pun, kemudian karena perbedaan pendapat saya dengan Cak Nur, terutama soal sekularisasi dan Teologi Inklusif, disamping saya membutuhkan pemikiran yang tidak hanya normatif tapi empiris, saya tertarik pada tulisan-tulisan Dawam Raharjo. Mas Dawam-lah yang memperkenalkan saya pada ide, bahwa ilmu-ilmu sosial harus dikuasai secara holistik, tidak parsial. Disamping saya kagum pada antusiasme Dawam yang sarjana ekonomi itu pada dunia pesantren dan ilmu tafsir.

Akan tetapi, masalahnya, Dawam hanyalah epigon Cak Nur. Ia hampir tak punya tema besar atau grand design-nya sendiri

Suatu ketika, di tahun 1997, saya melihat seorang senior ITQAN membawa sebuah buku bersampul merah berjudul Paradigma Islam. Ia mungkin senior tercanggih di angkatan 697. Sayang, saya lupa namanya. Dengan cepat saya tertarik terhadap Kuntowijoyo. Meski sedikit terlambat.

Akhirnya saya memilih membuntuti Kuntowijoyo. Sementara Suhartono TB teman saya, membuntuti Jalaluddin Rakhmat gara-gara guru pembimbingnya di Kursus Bahasa Inggris sekaligus mentor FP2WS juga membuntuti Kang Jalal, intelektual sekaligus pakar komunikasi itu. Satu tahun kemudian saya baru tahu bahwa teman seangkatan saya, Zulkarnain Nurhasan, membuntuti Emha Ainun Nadjib.

Lucunya, saat ini Zulkarnain menjadi amat sufistik gara-gara Cak Nun yang nyleneh itu. Agak nggak nyambung :) Suhartono mungkin saat ini sudah bertikai dengan pemikiran Kang Jalal. Tapi jangan ragukan keampuhan teknik komunikasi pemimpin PKS di masa depan ini. Juga saya tak meragukan pengaruh sufistik Kang Jalal tetap membekas dalam dirinya.

Di Mesir, ia bahkan didaulat menjadi Ketua PPMI 2004, organisasi yang membawahi hampir 5000 pelajar & mahasiswa Indonesia. Hanya saja ia lemah dalam tulis-menulis. Tapi syukurlah, ia memilih bidang studi yang agak berbeda ketimbang kebanyakan mahasiswa Indonesia di Mesir: Sejarah. Entah mungkin gara-gara saya menyukai Kuntowijoyo :) Yang pasti, saya tertarik dengan Kang Jalal gara-gara dia.


bersambung...

11 comments:

  1. Mau berubah jadi full time intelektual nih?

    ReplyDelete
  2. gara2 elu mo terjun ke dunia bisnis. niiih..

    Siapa lagi wakil angkatan 699 Gontor di dunia intelektual? Mo ngarepin Anizar ? Suhartono ? Bowo ?

    Bahkan Swanvri sekalipun tidak ku percaya mengemban misi intelektual.

    Lo bilang Hidayat Nur Wahid gak keren. Bisanya cuman sampe jadi anggota dewan.

    Kalo berani ayo ikutan turun / balik lagi ke gelanggang intelektual. Nimbrung di komunitas minoritas elit ini.

    ORANG YANG PALING TEPAT DI ANGKATAN 699 JADI INTELEKTUAL itu harusnya HIMAWAN PRIDITYO !

    Ayo, gantikan Cak Nur !

    ReplyDelete
  3. Hhh...

    Sudah baca tanggung jawab intelektual? Itukan yang diperdebatkan di Prancis era 60-an. Kupikir, sudah saatnya kaum intelektual mengubah dunia. Jangan hanya berdiam dibalik kata-kata Son. Bila kemudian saya ingin menceburkan diri di bisnis, itu hanyalah cara saya untuk mengubah dunia.

    Ada banyak kesempatan di sana. Selebihnya, biarlah Tuhan yang menentukan. :P

    ReplyDelete
  4. Ha.. ha..
    Akhirnya, Kawan kita gerah juga dalam intelektualisme minus aktivisme :)

    ..dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata...

    ReplyDelete
  5. Anonymous25.1.09

    :)), sorry, aku dah lama gak ngunjungimu........ teruskan perjuanganmu Son, aku juga sering bertanya, siapa lagi ya (setelah cak Nur) ???

    kutambah lagi yooooooo.......

    1. Kalau menjadi intelek adalah jawabannya, lantas pertanyaannya apa?
    2. Kalau merobah dunia atau merubah dunia dengan bisnis adalah sebuah jawaban, maka apa pertanyaannya ?

    Temen2! dengan dua point di atas, aku dah kayak intelek belum ? :))

    ReplyDelete
  6. @swv: sorry baru reply

    pertanyaan besarnya adalah "KENAPA UMAT ISLAM MUNDUR?" Nah, Kunto concern u mengelaborasi strategi perjuangan mendorong kemajuan umat. Menurut dia ada 3 strategi: politik, budaya, mobilitas sosial. Kunto tertarik u berkontribusi terutama pada strategi budaya & mobilitas sosial.

    Disisi lain, ada 2 kategorisasi lapangan perjuangan yg dikemukan editor buku itu: tataran intelektualisme & praxis. Intelektualisme berarti bekerja dg gagasan, memberi landasan pemikiran yg radikal bg umat u bekerja. Proyek Kunto jelas: ilmu sosial profetik & sastra profetik.

    Bila kenabian adalah misi amal ma'ruf (transformasi), nahi mungkar (liberasi), dan iman billah (transedensi), maka tugas itu belum berakhir.. Kita menjadi nabi secara kolektif :)

    Ctt: agaknya istilah prophecy dlm bahasa Inggris cukup tepat u menggambarkan kenabian kolektif ini. Misi profetik adalah misi perubahan. Wa laa tufsidu fil ardh ba'da islaahiha

    Di th 95, Dalam keadaan sekarat, Kunto menulis:

    Sebagai hadiah, malaikat bertanya
    apakah aku ingin berjalan di atas mega
    dan aku menolaknya, karena kakiku masih di bumi
    hingga dhuafa dan mustadafin diangkat Tuhan dari penderitaan
    hingga kejahatan terakhir dimusnahkan..

    Dan beliau hidup hingga 1 dekade berikutnya :)

    ReplyDelete
  7. Anonymous2.2.09

    Hmmm,ship !

    ReplyDelete
  8. @Swv,

    Pertanyaannya, kenapa juga kita masih saja di sini, di tempat ini, dalam belenggu kapitalisme, Bank Dunia? Kemana para intelektual kita? Terlalu lamakah mereka berpikir, sehingga tidak pernah bisa memberi tempat bagi kejujuran di muka bumi? Berteriakteriak di atas menara gading, merumuskan tujuantujuan yang mereka sendiri bahkan tidak mau menjalankannya?!

    Saya bukan penggemar Kunto. Saya hanya mengagumi mereka yang telah melakukan sesuatu dengan kongkret. Muhammad, Alexander, Muhammad Yunus. Para kapitalis dunia, meski pun saya tidak suka dengan moralitas mereka, tapi saya mengagumi karya mereka. Karena jelas, mereka bekerja dengan keringat dan debu, daripada lama berpikir di ruangan ber-AC. Membangun sesuatu dari nol, mengembangkannya menjadi besar. Entah ia terpuruk dalam kesesatan atau terbang ke langit menjadi malaikat, setidaknya mereka telah berbuat sesuatu. Berijtihad.

    And now, I'd tell you a question. Where are you heading Swv?

    ReplyDelete
  9. Anonymous8.2.09

    @h.p.
    hmmm, :) jangan tanya begitulah.....; aku tak sehebat kalian berdua.......; santai aja......ok!!

    ReplyDelete
  10. @ Swv,

    Kupikir semua manusia itu sama, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Itukan Islamic properchy. :D

    ReplyDelete
  11. Anonymous28.9.24

    Cool and that i have a super supply: Who Does House Renovation house restoration companies

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post