26.7.09

finally, Jaunty Jackalope

bebas.vlsm.org

Beberapa bulan yang lalu saya menerimakiriman CD Ubuntu Linux versi terbaru dari vendor komersil-nya, Canonical Ltd. Sama sekali tidak menyangka bahwa kiriman itu benar-benar gratis. Awalnya saya mendaftar untuk mendapatkan rilis terbaru Ubuntu yang berkode Jaunty Jackalope itu di situs https://shipit.ubuntu.com

Dulu saya pernah dengar bahwa setiap rilis Ubuntu, selalu ada acara bagi-bagi CD gratis di seluruh dunia melalui Komunitas Ubuntu di setiap negara. Saya kira kalaupun CD benar-benar dikirimkan, Komunitas Ubuntu Indonesia yang akan melakukannya. Ternyata CD itu dikirimkan langsung dari kantor pusatnya di Eropa. Agak bingung menjelaskan letak persisnya kantor pusat Canonical. Di sampul belakang paket seukuran 20x20 cm disebutkan bahwa Canonical Ltd teregistrasi di Isle of Man. Sementara cap pos dari perusahaan pengiriman TNT beralamatkan sebuah kotak pos di Belanda.


Sedikit tentang Canonical

Isle of Man? Belum pernah denger tuh. Ternyata, Isle of Man adalah sebuah pulau di tengah Inggris Raya. Dan yang menakjubkan, pulau mungil itu adalah sebuah negara dengan status Crown Dependency. Mirip Commonwealth. Bedanya kalau negara-negara commonwealth benar-benar negara merdeka, sedangkan CD adalah negara yang dikepalai langsung oleh Ratu Inggris dan kepala pemerintahannya adalah seorang Gubernur Letnan. Pulau ini bukan bagian dari Kerajaan Inggris meski secara geografis merupakan bagian dari Inggris Raya (Great Britain).

Anehnya lagi, meski Canonical terdaftar di Isle of Man, di Wikipedia disebutkan bahwa kantor pusat operasionalnya berada di gedung Milbank Tower, di tepi sungai Thames, London. Meski para programmer biasanya bekerja secara virtual melalui rumah, Canonical juga membuka kantor layanan dan dukungan di Montreal Kanada plus sebuah kantor untuk tim OEM di Massachusetts, Amerika Serikat.

Setelah membaca profil Isle of Man di wikipedia, saya mengerti kenapa Canonical yang berstatus private company itu teregistrasi di sana. Negara kecil itu amat permisif soal pajak. Seperti kebanyakan proyek open source lainnya, pendapatan Canonical berasal dari layanan pihak ketiga, tidak dari penjualan komersial CD Ubuntu Linux karena Linux pada dasarnya gratis di-download, diperbanyak dan didistribusikan oleh siapa saja. Dengan terdaftar di Isle of Man, potongan pajak yang dikenakan lebih rendah dari negara-negara besar semacam Inggris dan Amerika. Pun, aturan hukum Eropa dan Kanada lebih nyaman bagi para pengembang open source yang bekerja lebih karena alasan sosial (volunteerism) ketimbang profit.  


Dari *.rpm ke *.deb

Pengalaman saya dengan rilis Ubuntu sebelumnya tidak begitu baik. Ubuntu 8.10 yang dirilis di tahun 2000 bulan ke-10 tidak berjalan dengan baik karena kurangnya dukungan terhadap Kartu Grafis S3/Unichrome buatan Via di laptop saya. Ubuntu bisa dijalankan tapi tidak bisa di-shutdown dengan baik. Benar-benar menjengkelkan ! Akhirnya, saya menginstall OpenSuse 11.1 meski tidak antusias. Dengan dual-boot, saya lebih sering menggunakan Windows XP. Font OpenSUSE jelek seperti kebanyakan distro Linux sementara Slab (Menu Program) terasa menjengkelkan. Saya lebih suka tampilan default Gnome Menu yang lebih user-friendly.

Setelah menginstall Ubuntu 9.04, saya benar-benar kagum pada dukungan grafisnya. Tidak hanya font yang sebanding dengan font Windows Vista, icon-icon Ubuntu bahkan lebih cool. Themes standarnya memang tidak bagus. Saya ganti dengan themes New Wave. Tapi belum juga puas. Akhirnya, setelah googling sana-sini, saat ini saya menggunakan theme Mac OS X Leopard dari mac4lin, salah satu proyek Sourceforge. Penerapan theme Mac di Linux bahkan lebih mendekati aslinya ketimbang di Windows yang mengandalkan Stardock dan Stylexp atau Flykiteosx. 

Tapi masalah terbesarnya bukan sekedar lipstik dan makeover seperti dandanan Mac OS X. Mengubah kebiasaan dari menggunakan distro linux berbasir rpm (Fedora, OpenSUSE, Mandriva, Nusantara) ke distro berbasis deb (Debian, Ubuntu, Blankon, gOS, Knoppix, Mepis). Banyak perintah di Command Line Interface atau Terminal / Console yang khas Debian yang harus dipelajari lagi. Khususnya cara instalasi program (apt, dpkg). Tapi setelah mempelajari beberapa tutorial (sebagiannya sudah usang :) akhirnya saya bisa menggunakan Ubuntu dengan baik.


Windows XP dikandangkan

Ubuntu adalah salah satu distro yang dirawat dengan sangat baik, baik oleh vendornya maupun para developer volunteer. Keduanya pun berkolaborasi melalui launchpad.net. Karena itu paket program yang bisa diinstall di Ubuntu sangat banyak. Selain kemudahan penggunaanya, faktor ini juga membuat Ubuntu sebagai distro linux terpopuler versi distrowatch.com. Selain itu, untuk perbanding software Linux vs Windows bisa ditemukan di linuxappsfinder.com

Karenanya saya amat jarang menggunakan Windows XP kecuali untuk ACDSee, MS-Office 2007 dan terkadang UltraISO. Fitur "Batch Editing" ala ACDSee belum ada tandingannya di Linux. Fitur "skip bad sector" di UltraISO sedikiiiit lebih baik ketimbang Brasero. Juga, masih ada masalah kompatilitas Office2007 terhadap OpenOffice 3.0. File *.docx yang dibuat dengan Office2007 kadang tampil berantakan jika dibuka dengan OpenOffice. Begitu juga sebaliknya. (Kalau gak salah,  developer OpenOffice sedang memperjuangkan standar dokumen untuk mengatasi masalah interoperabilitas lewat jalur hukum dengan menggunakan UU Anti-Trust. )

Akhirnya Win XP saya hapus sama sekali dan saya "kandangkan" di dalam VirtualBox buatan SUN. Bila perlu pake 3 program di atas, saya tidak perlu me-restart komputer lagi. Cukup dengan menghidupkan mesin virtual dan WinXP langsung muncul.

Viva Ubuntu !





recent post