6.2.09

ideologi, ideologisasi, "the end of ideology" dan perlunya objektivikasi

Sebenarnya saya ingin membuat tulisan yang cukup utuh tentang ideologi. Akan tetapi, dalam beberapa hari ke depan, saya mungkin tidak sempat ngblog. Jadi tulisan ini hanyalah proyeksi dari serpihan-serpihan pikiran yang mengendap dalam ingatan.

Pertanyaannya adalah apakah berbicara dengan ideologi masih relevan saat ini ataukah yang lebih penting adalah membawa semua persoalan di muka bumi ini ke dalam ranah objektivikasi atau diskusi keilmuan yang terbuka terhadap dialektika. Setidaknya ada 3 kutub dalam diskursus ideologi.

Pertama, mereka yang berbicara amat ideologis. Kedua, mereka yang mengganggap era ideologi telah berakhir. Pihak kedua ini lebih banyak tentunya yang mengganggap diri mereka sebagai pemenang dalam kontestasi global, yaitu para ideolog kapitalisme dan demokrasi liberal. Pihak ketiga adalah pihak yang memandang perlunya objektivikasi atau keterbukaan untuk meletakkan semua persoalan tidak dengan menggunakan kacamata ideologis yang cenderung menegasikan semua solusi yang ditawarkan lawan ideologinya. Objektivikasi mensyaratkan pembicaraan dibawa ke tataran pengetahuan karena sifatnya yang terbuka.

Di satu sisi kita melihat kecenderungan menguatnya ideologisasi. Dalam ranah keislaman, tumbuh kaum fundamentalis di sisi kanan dan Islam Liberal di Kiri Tengah. Di sisi lain Kaum Kapitalis terutama yang menganut mazhab ekonomi neo-liberal maupun mazhab demokrasi liberal berakhirnya dunia di bawah hegemoni meraka. Di Indonesia, gejala ini tampak dari berdirinya Freedom Institute. Uniknya, Jaringan Islam Liberal dan Freedom Institute bersimbiosis karena kesamaan pandangan, terutama tentang kekaguman keduanya terhadap Dunia Modern dan kemajuan Barat. JIL berkontribusi memberikan pembenaran teologis terhadap pandangan liberal dalam ekonomi dan politik.

Lalu ada gejala menguatnya Kaum Sosialis yang kemudian mengoreksi dirinya dan bermetamorfosis menjadi Sosialis Demokrat. Mereka menguatkan fenomena bahwa Marxisme tidak pernah mati sebagaimana pengaruh Marx tidak hanya dalam ekonomi dan politik saja, tapi hampir ke semua bidang keilmuan. Tapi tentu saja, banyak gagasan Marx, Stalin, Lenin dan Mao yang harus mereka koreksi untuk menemukan horison baru.

Objektivikasi, salah satu gagasan Kuntowijoyo, adalah suatu proses de-ideologisasi dan mengembalikannya sebagai paradigma. Terminologi ideologi dan paradigma mungkin serupa tapi tak sama. Paradigma cenderung digunakan untuk rangka pikir keilmuan yang terbuka terhadap kritik. Dengan demikian pembicaraan terhadap persoalan apapun hendaknya dikembalikan dalam dialog pengetahuan yang memungkin setiap ideologi menawarkan solusi ekletik.

Di atas pembicaraan tentang ideologi, harus saya katakan juga bahwa Islam bukan ideologi, tapi mengatasi semua ideologi. Menganggap Islam sebagai ideologi hanya akan mengakibatkan inflasi epistimologis parah yang mengarah pada ekstrimitas. Dengan melakukan objektivikasi terhadap ajaran-ajaran Islam, maka ia bisa memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang menjadi concern semua ideologi di dunia. Setidaknya itu yang diharapkan Kuntowijoyo.

Dari tulisan ringkas di atas, saya berharap khalayak pembaca bisa menggunakannya untuk menganalisis berbagai persoalan. Mulai dari arah pemilu Indonesia, krisis kapitalisme, dan perkembangan ekonomi syariah. Sedikit tentang demokrasi di Indonesia. Di tingkat pilkada ada 3 kemungkinan ketika 2 partai yang berseberangan secara ideologis mencalonkan orang yang sama: pragmatisme politik; de-ideologisasi atau ketulusan keduanya untuk mencapai common goods atau aspirasi publik ditengah kepentingan masing-masing. Namun di tataran politik nasional, terutama dalam pilpress 2009, gejala ideologisasi belum akan mencair. [ ]

5.2.09

visual problem

Akhirnya saya menggunakan template 3 kolom dari ourbloggertemplates untuk mengurangi masalah imbalance main-wrapper dan sidebar. Prinsip saya tetep main-wrapper atau tempat posting di sebelah kiri. Sejauh yang saya ketahui, mata manusia lebih suka membaca teks di sebelah kiri dan gambar di sebelah kanan. Kebanyakan buku-buku psikologi populer seperti Quantum Learning menggunakan pola ini.

Dalam desain web, saya cenderung meletakkan kolom terbesar yang didominasi teks di kiri. Tapi semuanya mungkin masih hipotesis. Apa sebenarnya yang lebih penting adalah kebiasaan ?

Menubar dan beberapa widget untuk sementara tidak ada. Satu per satu akan ditampilkan kembali :)

Chiko

Dia teman sekamar di asrama Indonesia Empat. Saat itu saya baru saja naik kelas 2 dan dia masih tetap di kelas 2 (setara kelas 2 SMP). Tidak hanya demikian berbeda, saya pendiam dan dia punya banyak teman. Tidak hanya sesama santri, tapi mbok-mbok dapur dan mbok-mbok penjaga kantin. Wah, jangan remehkan koneksi dengan ibu-ibu sepuh ini. Urusan "logistik" jadi lebih lancar jika bisa mengambil hati mereka :)

Dan di liburan semesteran yang cuma 10 hari itu, dia mengundang saya ke rumahnya. 1994. Setelah menaruh tas di rumah Tante Ayu yang saat itu masih tinggal di Kompleks Pertanian Pasar Minggu, saya naik KRL ke Bogor. Sesampai di Stasiun Bogor, saya menelpon ke rumahnya. Setengah jam kemudian ia muncul bersama seorang teman dari Flores. Saya lupa namanya. Teman sekamar saya juga. Dua orang yang konyol. Dengan tidak banyak bicara, mereka berdua menyuruh saya ikut. Berjalan cepat. Naik turun tangga. Berbelok kesana kemari. Keluar masuk pasar. Ketika saya bertanya mau kemana, mereka bilang ikut saja. Rupanya berakhir di Bioskop 21. Maka siang itu, perjalanan pertama saya di Bogor dimulai dari menonton sebuah film action-thriller

Sesampai di rumahnya, segera saja ia mengajak saya pergi ke warung. Tidak untuk belanja, tapi mengenalkan saya ke ibu Padang, pemilik warung, dan menyuruh saya berbahasa Minang. Dasar konyol. Dari beliau saya tahu bahwa sebelum nyantri, Chiko dikenal bandel. Dan sekarang begitu sopan. Dan demikianlah, setiap berlibur ke Jakarta, saya selalu menyempatkan diri menginap di rumahnya. Saya menyukai rumahnya. Bergaya minimalis, efisien dalam tata ruang, rindang dengan pepohonan dan tanaman hias. Benar-benar mencerminkan si arsitek sekaligus tuan rumah: ayah Chiko. Seorang insinyur pertanian yang kemudian mengambil kursus kelistrikan dan menjadi kontraktor. Berbeda dengan anaknya, beliau pendiam. Di kemudian hari, setiap liburan semester, rumah itu disinggahi oleh banyak teman Chiko yang sebahagian besar anggota klub basketnya, Rajawali. Pernah suatu kali, di tahun 1996, setelah menginap beberapa hari di rumah Anizar di Batang Pekalongan, saya hampir menghabiskan sisa libur panjang di rumah Chiko sebelum akhirnya ibu menelpon dan menyuruh pulang di pertengahan Ramadhan. Tuh kan, sejak lama, pulang bukan gagasan menarik :)

Yang paling saya suka ke rumahnya adalah membaca jilid lengkap Balada Si Roy, komik Ashura dan majalah-majalah pertanian dari Malaysia. Atau diajaknya ke ladang atau empang tak jauh dari rumahnya. Pergi ke pasar Parung membeli bibit ikan atau ke taman agrowisata yang dibangun ayahnya di Cileungsi dengan odong-odong (suzuki carry pick up jadoel) dan kehujanan.

Chiko tidak pandai. Ia sederhana, rendah hati dan begitu mudah akrab dengan orang lain. Kecerdasan semacam itu seringkali membuat saya iri. Di tahun 2003, saya singgah ke rumahnya dan ia sudah jadi mahasiswa London School of Public Relation. Sebelumnya ia hanya mengambil kursus teknik di BLK. Di waktu senggangnya, Chiko menjadi makelar kaos dari kampus ke kampus. Bila akan ada kegiatan di suatu kampus, ia segera mendekati panitianya dan menawarkan harga bersaing untuk pembuatan kaos. Maka kesibukannya adalah mencari bahan kaos dan mencari tukang sablon. Hampir tanpa modal.

Tahun lalu saya dua kali ke rumahnya dan tak bertemu dengannya. Saat ini ia berada di anjungan minyak lepas pantai untuk sebuah proyek kelistrikan di Kalimantan selama 6 bulan. Ketika saya menelponnya Ramadhan, ia hampir tak percaya dan berucap masyaAllah berulang kali. Terkadang saya merasa istimewa baginya atau ibunya karena saya agak berbeda dibanding teman-teman dekatnya yang lain. Dan ajaibnya, setahun yang lalu ia menikah dengan seorang alumni akuntansi Brawijaya, di Malang, kota kelahiran kedua orang tuanya. Ah, saya kira ia akan menikah dengan seorang gadis yang dulu sering kali lalu lalang di depan rumahnya dengan sepeda. Ibunya bilang, gadis bersepeda itu cinta masa kecil Chiko. Tapi mungkin si akuntan itu cinta masa kecilnya pula :)



pranala terkait:
Mantingan, Medio '99
Cinta Masa Kecil




3.2.09

kebenaran vs orang benar

Sepupu saya pernah bertanya tentang baliho-baliho besar yang memasang sosok bersorban, gamis, janggut dan jambang. Habib. Sebahagian mereka secara eksplisit menyatakan diri sebagai keturunan nabi Muhammad. Bagi saya, gelar Habib tak lebih dari gelar kyai di Jawa atau Buya di Minang. Dan lagi apa pentingnya keturunan dalam Islam? Itu hanya bagian dari budaya tribalisme Arab yang ada sejak masa pra-Muhammad dan masih tetap bertahan hingga kini. Islam datang dengan konsep bahwa hanya kualitas ketaatan kepada Allah (taqwa) yang menjadi pembeda.

Itulah kenapa saya tidak tertarik untuk mengikuti suatu tarikat atau perkumpulan sufistik tertentu. Saya melihat banyak sekali kecenderungan kultus individu terhadap guru-guru tarikat, para mursyid. Bagi saya, jika para guru itu hanya akan menghalangi jalan saya kepada Allah, menjadi berhala-berhala baru, saya memilih untuk tidak mengikuti mereka.

Lagian, satu-satunya washilah, perantara, teman seperjalanan yang sahih hanyalah Sang Nabi. Nabi sendiri menyatakan bahwa ia hanya lelaki biasa yang makan, minum, berjalan ke pasar,  dan menikah seperti halnya manusia lainnya. Salah seorang Kyai saya pernah bilang: "ikutilah kebenaran bukan orang yang benar. Sebab orang benar suatu saat bisa salah." Dan saya setuju dengan Sang Kyai. Karenanya saya juga tidak selalu setuju dengan Sang Kyai. Saya kira terkadang kebenaran yang ia yakini berbeda dengan kebenaran yang saya yakini.

kekacauan spiritualisme lintas agama

Dua minggu yang lalu saya menyempatkan diri mengikuti Urban Sufism Days yang berlangsung selama dua hari di Universitas Paramadina. Acara ini bertajuk: Urban Sufisme: Gairah Spiritual atau Eskapisme? Saya ingin tahu apakah ajang ini diikuti oleh pengamal sufisme atau sekedar kajian sufisme dengan nuansa yang kental intelektualisme tapi nir-spiritualitas belaka?

Kenyataannya, acara ini membuka mata saya pada banyak masalah yang timbul bila sufisme diapresiasi oleh kalangan yang menganut teologi inklusif. Pertama, pembicaraan tentang sufisme melebar pada spiritualisme lintas agama atau nir-agama. Selain Haqqani Sufi Institute, Tarikat Naqsabandi yang mewarisi praktik sufisme Jalaluddin Rumi, turut diundang untuk berbicara wakil-wakil dari kelompok-kelompok spiritual yang anggotanya berasal dari berbagai agama, seperti Brahma Kumaris, Anand Ashram, Mata Air, CSL (Center for Spiritual & Leadership) dan Pusaka Hati. Brahma Kumaris adalah para pengamal Yoga. Anand Ashram adalah padepokan yang didirikan Anand Krishna, seorang spiritualis yang meracik ajarannya dari sisi esoteris agama-agama besar (Islam, Hindu, Kristen, Tao, Zen, Buddhisme).

Para spiritualis itu tampak berusaha menemukan satu Tuhan dengan menggunakan istilah The One Being. Dan pijakan spiritual mereka adalah kebijaksanaan, wisdom. Saya jadi teringat pada para filsuf Yunani yang pagan itu. Kedalaman pemikiran mereka hanya sampai pada kemampuan mereka-reka suatu zat yang bernama Prima Causa, Sebab Tertinggi. Disinilah masalahnya. Saya kira pencarian akan Tuhan hanya bisa diselesaikan dengan tuntunan agama, bukan spiritualitas yang sudah menjelma isme atau paham baru.
Kedua, banyak pembicara yang keseleo lidah hari itu. Prof. Kautsar Azhari Noer dengan percaya diri menyatakan bahwa metode terbaik untuk meneliti ajaran agama lain adalah dengan ikut serta dalam ritus-ritus ibadah agama tersebut. Saya lupa istilah dari metodologi yang dipinjamnya dari seorang peneliti Barat itu. Menurutnya, dulu, imannya melarang untuk melakukan yang demikian. Kini, imannya membolehkan.

Haidar Bagir dengan halus menawarkan pendekatan fenomenologis sebagai alternatif dari pendekatan yang digunakan Kautsar. Bagi saya, fenomenologis memang lebih sahih, karena masih memberi jarak antara peneliti dan objek yang diteliti. Metode tersebut juga digunakan oleh Annemarie Schimmel.

Abdul Muis Naharong, seorang dosen filsafat Paramadina berusia 50-an membawakan makalah tentang New Age, sebuah gerakan spiritualisme yang berkembang pesat di Barat. Kesalahan fatal yang dibuatnya pertama adalah pernyataannya bahwa New Age baru ditemukan dalam literatur Indonesia sejak tahun 2000-an. Padahal, di tahun 97, saya sudah membaca tentang New Age dari tulisan Buddy Munawar-Rahman yang diterbitkan Paramadina juga. Kesalahan kedua, ia menyebut bahwa pengaruh New Age sudah sampai ke Indonesia. Mungkin benar, tapi contohnya salah fatal. Ia mencontohkan bahwa PKS sudah terpengaruh New Age karena menggunakan cara-cara yang sama dengan New Age. Ah, bapak ini lucu sekali. Lebih lucu lagi, diawal pembicaraannya ia dengan malu-malu menyebut PKS, tapi akhirnya keseleo lidah juga.

Dari ketiga pembicara itu, hanya Haidar Bagir (full time businessman, part time intellectual) yang mampu bicara runut dan kaya referensi. Kautsar dan Abdul Muis yang dosen murni itu harusnya malu :)

Menjadi sufi atau menjadi muslim?
Di sesi lain, Muhammad Haidar, dosen filsafat Paramadina lulusan Qom Iran, pengkaji Ibn Araby, membahas tentang apa artinya menjadi sufi. Bagi dia, sufi berarti pencapaian kesadaran ketuhanan. Pembicaraannya tidak begitu bermasalah hingga ia mengatakan bahwa shalat dan puasa tidak akan memberikan kemampuan untuk mencapai kesadaran ketuhanan. Saya kira disinilah masalahnya. Ia secara implisit ingin mengatakan dengan zikir ala sufi-lah, kesadaran ketuhanan bisa ditemukan.

Bagi saya, jika menjadi sufi berarti mengutamakan zikir dan memandang remeh shalat dan puasa, saya memilih menjadi muslim saja. Saya tidak perlu memahami jalan pikiran Ibn Araby untuk menjadi muslim. Ah, wihdatul wujud hingga zaman ini masih saja membawa masalah. Yang paling konyol, Muhammad Haidar lebih suka dipanggil Romo ketimbang Ustadz. Dan ia berbicara demikian di depan khalayak yang sebahagiannya muslim awam. Saya jadi teringat Syekh Siti Jenar. Seharusnya pembicaraan tentang wihdatul wujud tidak bersama kaum muslim awam. Hari ini, maqam-maqam sufistik, formulasi yang dikembangkan Al-Ghazali untuk mendamaikan sufisme dan syariah, diterobos begitu saja.

Ketiga, timing acara itu tidak memberikan kedamaian spiritual. Sesi pertama di hari pertama dimulai dari pagi hari dan berakhir jam 13.30. Lebih parah lagi, sesi pertama di hari kedua dimulai jam 14.30 dan berakhir jam 17.30. Saya mengira banyak orang yang tidak shalat Ashar hari itu, termasuk Muhammad Haidar. Mungkin sebahagiannya adalah musafir yang sudah menjamak shalat di waktu zuhur. Tapi bagi saya, yang terpenting adalah sebuah acara keagamaan hendaknya mencerminkan rasa hormat terhadap shalat sebagai tiang agama. Bukankah shalat bagi orang-orang mukmin adalah ketetapan yang terjadwal (kitaaban mauquuta)? Artinya, sehendaknya ritme hidup muslim selaras dengan ritme azan sebagai panggilan bagi orang-orang mukmin. Sebagaimana kita mendirikan shalat subuh ketika umat agama-agama lain masih enak-enakan tidur. Sehendaknya jam biologis kita selaras dengan panggilan untuk shalat subuh (bahkan kalau bisa shalat tahajjud). Bukankah kita disuruh untuk fasaariuu ila maghfirati rabbikum (bersegeralah pada ampunan Tuhan kalian).

Sufisme Days ini akhirnya hanya ajang intelektualisme yang meminggirkan pengalaman esoterik yang paling utama: shalat. Shalat menjadi urusan privat semata. Padahal kita dianjurkan berjamaah, berhimpun, bersosial, dalam mendirikan shalat. Kaum inklusivisme yang ambigu. Masyarakat urban yang malang.. [ ]


Catatan kecik:
  • Tazkia Institute dan IiMan yang merupakan lembaga sufisme dan pengajian kalangan Islam liberal tidak berfungsi. Aktivitasnya mati suri. Bagi saya, mereka gagal menghadirkan solusi alternatif bagi majelis-majelis taklim biasa (moderat, mainstream) yang terus tumbuh. Islam liberal akhirnya tak lebih dari gerakan intelektualisme eksklusif kaum terdidik yang gagal turun ke akar rumput. Hanya saja mereka menjadi minoritas elit yang mampu meraih posisi sosio-politik yang kuat karena dukungan dana serta sponsor; jaringan; bantuan dari kolega-kolega di belahan dunia lain, terutama Barat; dan public relation.
  • Bagi saya, pengajian-pengajian moderat yang bertumpu pada pemahaman Islam mainstream lebih cocok dikembangkan di akar rumput untuk menumbuhkan kesadaran keagamaan ketimbang pengajian-pengajian yang menawarkan pencarian spiritual ekletik, sinkretik, lintas agama yang beresiko menyimpang. Di sisi lain, patut diwaspadai pengajian-pengajian yang menguatkan kecenderungan ortodoksi, fundamentalisme, eksklusivisme dan ekstrimitas.


rindu tanpa akhir

Saya suka buku ini sejak pertama kali melihatnya di Toko Buku Masagung di Kwitang. Pertama, karena judul buku itu. Rindu Tanpa Akhir. Bila diturunkan menjadi rindu antar manusia, saya setuju dengan sebuah pepatah Arab bahwa perjumpaan takkan menyudahi rindu, tapi hanya akan membuatnya membuncah, karena setelahnya tentu ada perpisahan. Perjumpaan kemudian tidaklah begitu penting. Tidak lagi gagasan menarik.

Kedua, buku ini disadur dari karya al-Ghazali, al-mahabbah wa al-uns wa as-syawq wa ar-ridho. Saya memang dialektis, aristotelian, lebih dekat kepada Ibn Rusyd. Membaca buku ini seperti menziarahi seorang "kawan" lama. Berkunjung ke alam pikiran intuitif, alternatif dari cara berpikir rasioanal. Sebuah upaya untuk menerima kebenaran tidak dengan akal. Tidak melawan akal, tapi melampauinya. Tidak anti-rasional, tapi supra-rasional.

Ketiga, dalam buku ini, saya menemukan bahwa ujung cinta adalah ridho, kerelaaan, ketulusan, keikhlasan. Ia menjelma kesadaran tertinggi. Mungkin itu sebabnya surat yang menyatakan konsep tauhid, dinamakan surat al-Ikhlas. Dalam ayat-ayat lain diungkapkan bahwa hubungan Allah dengan hamba-hambanya adalah ridho yang resiprokal, yang dua arah. Saya kira inilah bagian intim dari ajaran Islam.

Al-Ghazali menyatakan bahwa bukan ketaatan yang melahirkan cinta. Tapi cinta-lah yang melahirkan ketaatan. Jadi, awalnya bukan ketaatan, tapi cinta. Buku ini mengapresiasi sisi lembut Sang Pencipta: Maha Indah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Maha Cinta.

Saya rasa cara mencintai sesama manusia adalah tetesan dari ajaran mencintai Sang Maha Cinta. Bahwa mencintai seorang makhluq, katakanlah, seorang lawan jenis, tak lain adalah pendaran, illuminasi dari cinta kepadaNya.


Catatan kecik:
  • Islam sendiri secara harfiah berarti keselamatan, kedamaian, penyerahandirian total. Bukan kepasrahan pasif tapi ke-berserahdiri-an aktif. Itulah sejatinya pengertian tawakkal. Dalam bahasa populer, kita mengenal istilah "doa dan usaha"
  • Buku itu saya hadiahkan kepada seorang gadis yang mungkin takkan saya jumpai 1-2 tahun mendatang. Saya menyukainya sejak pertama kali melihatnya dengan jilbab putih dan kaos orange, ketika datang terlambat. Saya masih ingat dengan baik hari itu. Seperti bab pertama dari Laskar Pelangi. Atau bab pertama dari Negeri Hujan, sebuah novel Thailand yang pernah diajukan untuk mendapat nobel sastra.








hati perempuan

Sebuah buku tergeletak begitu saja di ruang tamu rumah saudara saya. Catatan Hati Seorang Istri. Asma Nadia. Bukan genre buku yang biasa saya baca. Dan akhirnya saya baca. Lagian sudah lama saya tidak baca karya para penulis alumni majalah Annida.

Buku itu berisi kisah-kisah nyata kehidupan berumah tangga banyak orang yang dituliskan kembali oleh Asma Nadia dalam bahasa cerpen. Sebahagian lebih mirip testimonial. Dan hampir separuh buku itu haru, biru. Bagi saya kisah-kisah dalam buku itu terbilang "aneh", baru atau bisa dibilang di luar "imajinasi" saya tentang rumah tangga.

Misalnya, Catatan 2 yang berkisah tentang seorang laki-laki yang baru melihat wajah istrinya setelah di pelaminan. Ia menikah lewat perjodohan yang diatur oleh guru ngajinya. Pernikahan itu melahirkan 4 orang anak. Tapi ia mengaku tidak mencintai istrinya. Ketika Asma bertanya, ia beralasan karena istrinya tidak cantik. Pertanyaan saya, bagaimana mungkin sebuah pernikahan dijalani tanpa cinta yang resiprokal? Apakah karena tidak cantik, lalu ia tidak berhak dicintai?

Di halaman 47 saya menemukan kisah rumah tangga yang nyaris sempurna hingga ditemukan sebuah contact dalam phonebook suaminya. Contact itu bernama Spongebob. Sms-sms antara sang suami dan contact itu bernada mesra. Akhirnya, sang suami mengaku sudah 3 tahun keduanya berkenalan. Terlepas dari apa yang mungkin terjadi selama kurun itu, sang istri memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu.

Kisah berikutnya bertutur tentang seorang perempuan yang berusaha menjaga keutuhan rumah tangga meski suaminya selingkuh. Demi anak-anak mereka.

Cinta, saling mengerti dan amanah
Secara garis besar, buku ini merangkum hal-hal terpenting dalam hidup berumah tangga: cinta, saling mengerti dan amanah. Betapa hambar rumah tangga tanpanya. Dan laki-laki menjadi terdakwa dalam buku ini. Kenapa lelaki bermain-main dengan perselingkuhan yang penuh dengan ketidakpastian di tengah kepastian pernikahan? Apakah mereka tidak berpikir bahwa kesenangan sesaat bisa menghancurkan sebuah pernikahan serta dampak psikologisnya pada anak-anak dan masa depan mereka? Apa yang salah dengan otak lelaki? 

Buku ini bisa menambah pemahaman tentang hati perempuan. Saya merasa beruntung membacanya. Semoga saya bisa mengambil hikmah dari buku ini.

Catatan kecik:
Saya seperti kehilangan kemampuan menulis ketika membuat posting ini :)


recent post