Dia teman sekamar di asrama Indonesia Empat. Saat itu saya baru saja naik kelas 2 dan dia masih tetap di kelas 2 (setara kelas 2 SMP). Tidak hanya demikian berbeda, saya pendiam dan dia punya banyak teman. Tidak hanya sesama santri, tapi mbok-mbok dapur dan mbok-mbok penjaga kantin. Wah, jangan remehkan koneksi dengan ibu-ibu sepuh ini. Urusan "logistik" jadi lebih lancar jika bisa mengambil hati mereka :)
Dan di liburan semesteran yang cuma 10 hari itu, dia mengundang saya ke rumahnya. 1994. Setelah menaruh tas di rumah Tante Ayu yang saat itu masih tinggal di Kompleks Pertanian Pasar Minggu, saya naik KRL ke Bogor. Sesampai di Stasiun Bogor, saya menelpon ke rumahnya. Setengah jam kemudian ia muncul bersama seorang teman dari Flores. Saya lupa namanya. Teman sekamar saya juga. Dua orang yang konyol. Dengan tidak banyak bicara, mereka berdua menyuruh saya ikut. Berjalan cepat. Naik turun tangga. Berbelok kesana kemari. Keluar masuk pasar. Ketika saya bertanya mau kemana, mereka bilang ikut saja. Rupanya berakhir di Bioskop 21. Maka siang itu, perjalanan pertama saya di Bogor dimulai dari menonton sebuah film action-thriller
Sesampai di rumahnya, segera saja ia mengajak saya pergi ke warung. Tidak untuk belanja, tapi mengenalkan saya ke ibu Padang, pemilik warung, dan menyuruh saya berbahasa Minang. Dasar konyol. Dari beliau saya tahu bahwa sebelum nyantri, Chiko dikenal bandel. Dan sekarang begitu sopan. Dan demikianlah, setiap berlibur ke Jakarta, saya selalu menyempatkan diri menginap di rumahnya. Saya menyukai rumahnya. Bergaya minimalis, efisien dalam tata ruang, rindang dengan pepohonan dan tanaman hias. Benar-benar mencerminkan si arsitek sekaligus tuan rumah: ayah Chiko. Seorang insinyur pertanian yang kemudian mengambil kursus kelistrikan dan menjadi kontraktor. Berbeda dengan anaknya, beliau pendiam. Di kemudian hari, setiap liburan semester, rumah itu disinggahi oleh banyak teman Chiko yang sebahagian besar anggota klub basketnya, Rajawali. Pernah suatu kali, di tahun 1996, setelah menginap beberapa hari di rumah Anizar di Batang Pekalongan, saya hampir menghabiskan sisa libur panjang di rumah Chiko sebelum akhirnya ibu menelpon dan menyuruh pulang di pertengahan Ramadhan. Tuh kan, sejak lama, pulang bukan gagasan menarik :)
Yang paling saya suka ke rumahnya adalah membaca jilid lengkap Balada Si Roy, komik Ashura dan majalah-majalah pertanian dari Malaysia. Atau diajaknya ke ladang atau empang tak jauh dari rumahnya. Pergi ke pasar Parung membeli bibit ikan atau ke taman agrowisata yang dibangun ayahnya di Cileungsi dengan odong-odong (suzuki carry pick up jadoel) dan kehujanan.
Chiko tidak pandai. Ia sederhana, rendah hati dan begitu mudah akrab dengan orang lain. Kecerdasan semacam itu seringkali membuat saya iri. Di tahun 2003, saya singgah ke rumahnya dan ia sudah jadi mahasiswa London School of Public Relation. Sebelumnya ia hanya mengambil kursus teknik di BLK. Di waktu senggangnya, Chiko menjadi makelar kaos dari kampus ke kampus. Bila akan ada kegiatan di suatu kampus, ia segera mendekati panitianya dan menawarkan harga bersaing untuk pembuatan kaos. Maka kesibukannya adalah mencari bahan kaos dan mencari tukang sablon. Hampir tanpa modal.
Tahun lalu saya dua kali ke rumahnya dan tak bertemu dengannya. Saat ini ia berada di anjungan minyak lepas pantai untuk sebuah proyek kelistrikan di Kalimantan selama 6 bulan. Ketika saya menelponnya Ramadhan, ia hampir tak percaya dan berucap masyaAllah berulang kali. Terkadang saya merasa istimewa baginya atau ibunya karena saya agak berbeda dibanding teman-teman dekatnya yang lain. Dan ajaibnya, setahun yang lalu ia menikah dengan seorang alumni akuntansi Brawijaya, di Malang, kota kelahiran kedua orang tuanya. Ah, saya kira ia akan menikah dengan seorang gadis yang dulu sering kali lalu lalang di depan rumahnya dengan sepeda. Ibunya bilang, gadis bersepeda itu cinta masa kecil Chiko. Tapi mungkin si akuntan itu cinta masa kecilnya pula :)
Dan di liburan semesteran yang cuma 10 hari itu, dia mengundang saya ke rumahnya. 1994. Setelah menaruh tas di rumah Tante Ayu yang saat itu masih tinggal di Kompleks Pertanian Pasar Minggu, saya naik KRL ke Bogor. Sesampai di Stasiun Bogor, saya menelpon ke rumahnya. Setengah jam kemudian ia muncul bersama seorang teman dari Flores. Saya lupa namanya. Teman sekamar saya juga. Dua orang yang konyol. Dengan tidak banyak bicara, mereka berdua menyuruh saya ikut. Berjalan cepat. Naik turun tangga. Berbelok kesana kemari. Keluar masuk pasar. Ketika saya bertanya mau kemana, mereka bilang ikut saja. Rupanya berakhir di Bioskop 21. Maka siang itu, perjalanan pertama saya di Bogor dimulai dari menonton sebuah film action-thriller
Sesampai di rumahnya, segera saja ia mengajak saya pergi ke warung. Tidak untuk belanja, tapi mengenalkan saya ke ibu Padang, pemilik warung, dan menyuruh saya berbahasa Minang. Dasar konyol. Dari beliau saya tahu bahwa sebelum nyantri, Chiko dikenal bandel. Dan sekarang begitu sopan. Dan demikianlah, setiap berlibur ke Jakarta, saya selalu menyempatkan diri menginap di rumahnya. Saya menyukai rumahnya. Bergaya minimalis, efisien dalam tata ruang, rindang dengan pepohonan dan tanaman hias. Benar-benar mencerminkan si arsitek sekaligus tuan rumah: ayah Chiko. Seorang insinyur pertanian yang kemudian mengambil kursus kelistrikan dan menjadi kontraktor. Berbeda dengan anaknya, beliau pendiam. Di kemudian hari, setiap liburan semester, rumah itu disinggahi oleh banyak teman Chiko yang sebahagian besar anggota klub basketnya, Rajawali. Pernah suatu kali, di tahun 1996, setelah menginap beberapa hari di rumah Anizar di Batang Pekalongan, saya hampir menghabiskan sisa libur panjang di rumah Chiko sebelum akhirnya ibu menelpon dan menyuruh pulang di pertengahan Ramadhan. Tuh kan, sejak lama, pulang bukan gagasan menarik :)
Yang paling saya suka ke rumahnya adalah membaca jilid lengkap Balada Si Roy, komik Ashura dan majalah-majalah pertanian dari Malaysia. Atau diajaknya ke ladang atau empang tak jauh dari rumahnya. Pergi ke pasar Parung membeli bibit ikan atau ke taman agrowisata yang dibangun ayahnya di Cileungsi dengan odong-odong (suzuki carry pick up jadoel) dan kehujanan.
Chiko tidak pandai. Ia sederhana, rendah hati dan begitu mudah akrab dengan orang lain. Kecerdasan semacam itu seringkali membuat saya iri. Di tahun 2003, saya singgah ke rumahnya dan ia sudah jadi mahasiswa London School of Public Relation. Sebelumnya ia hanya mengambil kursus teknik di BLK. Di waktu senggangnya, Chiko menjadi makelar kaos dari kampus ke kampus. Bila akan ada kegiatan di suatu kampus, ia segera mendekati panitianya dan menawarkan harga bersaing untuk pembuatan kaos. Maka kesibukannya adalah mencari bahan kaos dan mencari tukang sablon. Hampir tanpa modal.
Tahun lalu saya dua kali ke rumahnya dan tak bertemu dengannya. Saat ini ia berada di anjungan minyak lepas pantai untuk sebuah proyek kelistrikan di Kalimantan selama 6 bulan. Ketika saya menelponnya Ramadhan, ia hampir tak percaya dan berucap masyaAllah berulang kali. Terkadang saya merasa istimewa baginya atau ibunya karena saya agak berbeda dibanding teman-teman dekatnya yang lain. Dan ajaibnya, setahun yang lalu ia menikah dengan seorang alumni akuntansi Brawijaya, di Malang, kota kelahiran kedua orang tuanya. Ah, saya kira ia akan menikah dengan seorang gadis yang dulu sering kali lalu lalang di depan rumahnya dengan sepeda. Ibunya bilang, gadis bersepeda itu cinta masa kecil Chiko. Tapi mungkin si akuntan itu cinta masa kecilnya pula :)
pranala terkait:
Mantingan, Medio '99
Cinta Masa Kecil
Chiko, mmmm.... sosok yang sempat bersamaku selama beberapa bulan. ia dipilih menjadi pengurus di GBS (Gedung Baru Sighor)menggantikan beberapa teman yang diangkat menjadi pengurus OPPM. We don't say "mudabbir Baqoyaat". Rame, kesan pertama saya mengenalnya. Dengan sangat cepat dia bergaul dengan pengurus-pengurus yang lain dan menjadi favorit anggota dalam waktu yang relatif singkat. Secara aklamasi ia kami jadikan ketua gang (rois zuqoq) mudabbir "pemberontak", yang oposisi terhadap kebijakan-kebijakan ketua rayon yang gimanaa gituh..
ReplyDeleteSudah 10 tahun saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.