20.1.13

berkebun

Saya senang menonton film yang ada adegan berkebunnya. Saya menyukai ide berkebun. Sejak lama. Di masa kecil yang singkat di Padang Panjang, orang tua saya membeli sebidang tanah di Silaing Atas. Setiap minggu kami pergi berkebun, menanam palawija: kacang panjang, cabe, bawang dan seterusnya. Bahan membuat pecel. Lebih banyak hanya untuk rekreasi.

Saya menyukai keasrian alam di sekitar ladang itu. Pada angin sepoi-sepoi yang turun dari perbukitan di sekitarnya. Di kaki Singgalang. Pada tanahnya yang hitam lembut dan baunya. Pada gemericik air, pada saluran irigasi persawahan yang lewat di samping kanan ladang kami. Pada gerimis yang datang dan pergi tanpa permisi. Pada tanaman strawberry yang merambat liar di tepian ladang. Pada sumber mata air di lurah yang tepat berada di sisi kiri ladang

(Mungkin seharusnya saya tak pernah keluar dari cangkang saya di pesantren untuk menikmati lagi kesemua itu setiap hari. Saya suka berjalan kaki atau bersepeda ontel di pedesaan Jawa yang tenang dan rapi. Persawahan, hutan jati, ladang tebu dan jagung. Tapi tinggal di desa, mengajar dan hidup hampir tanpa riak bukan ide menarik hingga saat ini.)

Mungkin saya mewarisi sedikit bagian terbaik dari ayah saya. Di umur 3 tahun, beliau sudah diajak kakeknya  pergi ke parak atau kebun milik neneknya yang melingkupi bukit-bukit kecil di kaki Tandikat. Durian, karet, salak, jengkol dan tanaman selingan lainnya. Ayah saya mewarisi sifat suka bekerja keras dari kakeknya. Kakeknya menunjukkan kesyukurannya menikahi nenek ayah saya, si anak tunggal, dengan bekerja keras memelihara tanah yang luas itu bahkan menambah jumlah warisan untuk nenek saya yang juga anak tunggal.  Kakek ayah saya menanam banyak pohon durian, kelapa, nangka, salak, saus, manggis, jengkol dan lainnya. Hasil jerih payahnya masih kami nikmati hingga saat ini.

Di masa kecil, saya sering pergi ke parak, kebun di belakang rumah nenek bersama cucu-cucu lain dengan bekal parang dan pisau. Ada nanas, manggis, saus, dan pisang yang bisa kami bawa pulang ke kota. Saya menikmati berjalan-jalan di pematang sawah. Dan berakhir dengan mandi di sungai yang airnya turun dari Tandikat. Air yang sama yang menghidupi dua pabrik air mineral dan PDAM Pariaman.

Di saat pensiunnya, ayah saya tak pernah berhenti bekerja. Saat ini, ketika ibu saya sudah mendapat tambahan tanah warisan, ayah saya pergi setelah subuh untuk berkebun di bagian tanah yang belum dijadikan rumah. Hampir setiap hari. Hampir tanpa tujuan ekonomis. Di kampung, dengan izin nenek, ayah saya juga menanam pisang di sepetak tanah di pinggir sungai di sela-sela pohon durian, dekat dengan reruntuhan rumah kincir air penumbuk beras yang di waktu kecil sempat jadi tempat main saya. Ibu  tidak setuju karena ayah menghabiskan banyak uang untuk modal menanam pisang karena tidak ada waktu untuk mengurus dan memasarkannya.

Apa yang dikatakan ibu saya memang terbukti. Terkadang pisang memang bisa kami jual ke penjual gorengan di dekat rumah. Tapi lebih sering tidak dijual. Dan ayah tahu, ibu saya pandai memasak. Bagi ayah saya mungkin ini bukan soal uang. Uang jualannya hanya cukup untuk menutup ongkos pulang kampung. Ini soal kecintaannya pada tanah dan kebun. Dan masakan ibu saya.

Mungkin sudah saatnya saya berkebun juga..

18.1.13

"pinky and the brain" serta proyek menguasai dunia

Di usia remaja tidak banyak lagi serial kartun televisi yang saya sukai. Salah satunya, Pinky and The Brain. Karya Steven Spielberg. Entah kenapa sutradara sekelas Spielberg membuat kartun semacam itu. Mungkin sama misteriusnya dengan Alfred Hitchcock yang luar biasa itu menyisihkan waktunya untuk menulis Trio Detektif, bacaan anak-anak  favorit saya. Lebih realistis ketimbang 5 Sekawan-nya Enid Blyton. Atau mungkin lebih tepatnya, segmen usia pembaca 5 Sekawan lebih muda ketimbang pembaca Trio Detektif, meskipun bisa jadi saling beririsan.

Pinky & The Brain adalah film kartun yang bercerita tentang 2 ekor tikus. Pinky tampak bodoh, periang dan hidup tanpa beban. Atau mungkin lebih tepatnya, hidup tanpa misi tertentu. Brain, sebaliknya cerdas, banyak ide, nyaris tanpa nurani dan punya misi seumur hidup: MENGUASAI DUNIA. Pinky dan Brain berteman, meski Brain terkadang tampak hanya membutuhkan Pinky sebagai asisten misinya, bukan teman dalam arti sebenarnya. Tapi dalam beberapa misinya, Brain terkadang berhenti mewujudkan salah satu idenya dalam menguasai dunia ketika ternyata berdampak buruk atau membahayakan nyawa Pinky.

Meskipun Brain terkadang membahayakan nyawanya atau gagal dalam misinya, Pinky tetap setia menemani Brain. Pinky menerima Brain apa adanya, dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan ketidakacuhannya yang terkadang amat kentara. Atau mungkin lebih tepatnya, Pinky menerima dunia apa adanya. Sementara Brain, berusaha mengubah dunia agar kongruen dengan cara pandangnya atau kongruen dengan ambisi-ambisinya atau tunduk pada apa yang dianggapnya ideal, meski harus gagal berkali-kali.

Pinky dan Brain bisa jadi mewakili 2 sisi otak kita, kiri dan kanan. Pada sebagian orang, sisi Pinky lebih besar ketimbang Brain. Atau sebaliknya. Bagi manusia berkarakter Pinky, manusia Brain cenderung tidak realistis. Bagi manusia Brain, manusia Pinky tidak begitu bernilai selain sebagai penambah atau pengurang dalam statistik.

Pinky and The Brain bisa jadi adalah parodi dari sejarah Yahudi sendiri. Atau lebih tepatnya parodi dari sejarah para pembangkang Nabi Musa yang kemudian hari kita kenal sebagai Zionis. Boleh dibilang para zionis adalah fundamentalis Yahudi pagan, yang memegang teguh paganisme Mesir Kuno, untuk membedakannya dengan pengikut para Nabi Israel yang monoteis, bahkan berbeda dengan Ya'kub, pendiri "marga" Israel itu sendiri.

Bahkan jauh sebelum dideklarasikannya Protokol Zionis, kaum Zionis sudah berusahaa menguasai dunia. Karenanya di Eropa pada abad pertengahan mereka amat dibenci bahkan di usir. Dimana saja mereka berada selalu berbuat onar, destruktif, merusak tatanan sosial dan berusaha mendominasi. Sebahagian lari ke negeri-negeri muslim yang menerima dengan tangan terbuka karena menganggap mereka adalah bagian dari pengikut agama-agama samawi, ahlul kitab, sebuah konsep yang teramat toleran (atau teramat modern). Tapi Yahudi adalah yahudi. Atau lebih tepatnya zionis tetap saja zionis. Mereka tidak pernah berhenti untuk menguasai dunia. Itu adalah proyek hingga akhir zaman. Mereka-lah yang kemudian berhasil meruntuhkan imperium terbesar terakhir dunia Islam: Ottoman, atau Turki Utsmani. Air susu dibalas dengan air tuba.

Sebahagian lari ke tanah impian, Amerika, dimana mereka bisa mewujudkan mimpi, idealisme dan ambisi. Ide liberalisme, demokrasi dan sekularisme pun sebenarnya digunakan untuk menguasai dunia. Mereka membuka jasa penyimpanan emas bagi para penambang emas dan sebagai gantinya menerbitkan selembar kertas biasa dengan sedikit tulisan yang dianggap setara dengan nilai emas tersebut. Di kemudian hari, kita mengenalnya dengan uang kartal dan kita kemudian mengenal jasa perbankan. Kita membiarkan para Zionis menyimpan emas, uang sesungguhnya dan menerima saja ketika disodorkan kartal sebagai alat pembayaran sah.

Emas tidak bisa dicetak, ia hanya bisa ditemukan, ditambang. Abaikan saja dongeng tentang jenius kimia yang bisa mengubah batu menjadi emas. Menurut teori fisika, emas terbentuk dari proses kimiawi sebagai akibat benturan antar benda-benda langit yang amat jarang terjadi dalam hitungan jutaan tahun. (Hal ini baru saya ngerti ketika dengan amat hati-hati nonton Seri The Planet-nya BBC. Si astro-fisikawan yang gak nerd looking itu benar-benar hebat karena bisa menjelaskan teori rumit pada para idiot semacam saya :)

Sebaliknya uang kartal bisa dicetak sesuka hati mereka yang menguasainya. Sesuka hati mereka yang secara demokrasi diberi otoritas untuk melakukannya. Dan secara global, demokrasi memberi otoritas pada korporasi besar yang bernama perbankan internasional, bank dunia, IMF dan alat-alat Zionis lainnya.

Mereka begitu sabar menjalankan proyek menguasai dunia. Proyek sepanjang zaman, antar generasi. Dimulai dari Bank of England dan puncaknya ketika menguasai Bank Sentral Amerika dan mendikte dunia dengan Bretton Wood System. Sejak itulah dimulailah ekonomi gaya rodeo yang mendunia: bubble economy.

Mereka juga sabar menguasai jaringan informasi dunia. Menguasai apa yang seharusnya masuk ke otak kita, para pinky. Apa yang kemudian kita olah dalam cara berpikir kita. Mereka mendikte apa yang seharusnya kita pikirkan. Duo Yahudi, Larry Page dan Sergey Brinn dibantu Eric Schmidt yang lagi-lagi juga Yahudi menciptakan Mesin Pencari dan dengan algoritma rumit mulai mendikte apa yang seharusnya kita temukan dan tidak kita temukan.

Dan mereka tidak pernah puas. Eric Schmidt pernah keceplosan yang kemudian diralat pihak Google. Berikut kutipan langsungnya:
With your permission you give us more information about you, about your friends, and we can improve the quality of our searches [...] We don't need you to type at all. We know where you are. We know where you've been. We can more or less know what you're thinking about.

Dan Google pun menciptakan Chrome dan Android yang kita terima dengan suka cita. Chrome adalah browser tercepat dan Android adalah sistem operasi ponsel pintar yang murah meriah. Imbalannya, dengan Chrome, anonimitas, hal yang paling dibenci Eric Schmidt, perlahan mulai berkurang dengan atau tanpa sepengetahuan kita. Dengan Android, hidup kita semakin bergantung pada Google. Fasilitas sync memungkinkan Google mengetahui siapa saja yang kita telpon setiap hari.

Informasi pribadi para pinky semakin terekspos ketika menggunakan Facebook yang diciptakan Mark Zuckerberg, Yahudi lainnya. Privasi dan anonimitas para pinky seperti kita mungkin tidak begitu penting. Informasi para pinky yang berusaha menjadi Brain-lah yang diincar Zionis untuk mengenali musuh-musuh potensialnya.

Pinky and The Brain mungkin hanya sekedar kartun yang kebetulan diciptakan Spielberg yang Yahudi dan Warner yang juga milik Yahudi. Dan inilah kita para pinky yang tak berdaya. Kita hanya berharap si Brain dalam dunia nyata punya sedikit nurani kemanusiaan. Tapi apa bisa ? Toh mereka adalah ras paling rasis, paling apharteid yang tersisa di muka bumi.

Atau mungkin secara pasif kita berharap Imam Mahdi dan Nabi Isa segera turun ke muka bumi untuk mengalahkan si Brain. Tapi entah kenapa saya lelah untuk berharap. Saya mulai mempertanyakan otentisitas konsep Imam Mahdi. Skenario apa yang terjadi di akhir zaman ? Apakah Brain benar-benar dikalahkan lewat sebuah perang fisik ? Atau dikalahkan secara sistematik dan gradual sebagaimana Brain dengan sabar menjalakan proyek menguasai dunianya. Apakah Imam Mahdi itu sesosok figur pribadi dan tampaknya itu tidak fair atau ia bisa direpresentasikan secara komunal ? Bisakah kita para pinky ini menjadi Imam Mahdi secara kolektif ?

recent post