29.11.08

Live update from Silatnas Gontor

0830 : Nyampe lokasi acara di Cendrawasih Room JCC. Rencananya datang lebih awal buat bantu2. Tapi apa yang dibantu lagi. Panitianya seabrek. Semuanya pake baju batik keren. Hohoho.. Lihat ada bus berisi ustadz-ustadz Senior langsung dari Gontor. Buset. Pasukannya lengkap nih. Plus puluhan santri senior 62008. Putra dan Putri. Wah gak nyangka acaranya bakal semeriah ini. Di luar ruangan, ada beberapa stand yang menampilkan produk-produknya: beberapa produk wirausaha, beberapa bank syariah, lembaga ZIS, perguruan tinggi ekonomi Islam dan karya2 seni. Plus tak ketinggalan di pojok ruangan diadakan Arabic Speech Contest dan (English) Telling Story untuk tingkat SMP/SMA/Pesantren untuk sebagai sub-acara. Di langit2 ruangan, spanduk-spanduk begitu banyak.

0900 : Sesuai jadwal acara dimulai. Peserta diminta masuk. Tapi acara kayak gini seakan-akan sekali seumur hidup. Semuanya pada reunian dengan teman-teman se-angkatannya.

0920 :
Akhirnya acara dimulai. Tapi tetep aja. Tidak ada yang mo duduk diam di tempat. Celingak celinguk nyari teman-temannya. Keadaan jadi "terkendali" ketika pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an. Otomatis semuanya duduk diam. Seakan sudah terprogram di chip kepala masing-masing. Tradisi..

Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya & lagu (kebangsaan Gontorians:) Hymne Oh Pondokku. Indonesia Rayanya kurang khidmat karena gegap gempita. Soalnya ini acara reunian yg penuh haru. Hymne Oh Pondokku syahdu banget, seperti menyanyi dengan lirih. Beberapa hadirin sampe nangis.

Berikutnya beberapa sambutan. Kyai Syukri ngasih sambutan ringkas, padat. Artikulasi & retorikanya keren. Khas dia. Pengajar Mantiq/Ilmu Logika gw tuh. Hohoho.. sayangnya, isinya masih indoktrinasi di satu sisi, dan tasji'/support di sisi lain. Sorry ustadz.. some part of ur speech doesn't work in real world. Gontor tidak pernah berubah. Ia masih tenggelam pada kebesaran masa lalu. Ah, andai saja ustadz Syukri pernah kuliah di perguruan tinggi umum di fakultas umum seperti diriku. Dimana orang berkerenyit kening mendengar nama Gontor.

Mendikbud, Bambang Sudibyo ngasih sambutan. Panjaaang bgt. Plz deh, Pak. Anda sedang berhadapan dengan jago-jago pertunjukan, publik speakers. Mereka semua mengerti bahwa sambutan sepanjang itu hanya ada di zaman batu. Kuno

Pelantikan pengurus IKPM Cab. DKI Jakarta (ikatan alumni gontor). Plz, deh. Kayaknya gak pas aja di acara sebesar ini diadakan pelantikan itu.

1030 :
Kyai Syukri, Dien Syamsuddin, Habib Khirzin tampil bersama dalam format diskusi panel. Saya gak terlalu mengikuti pembicaraan mereka. Tapi intinya tentang peranan alumni di masyarakat. Saya sibuk dengan kamera Canon ZLSR punya Himawan. Keluar masuk ruangan. Rupanya yang ngobrol sambil berdiri di luar ruangan hampir sama banyaknya dengan yang di dalam. Ya, kapan lagi bisa ngumpul2 selengkap ini.

1220 : Istirahat


SALUT BUAT PANITIA serta dukungan Pesantren Darunnajah serta paduan suaranya, Akhi Dedy dkk. Putra mahkota Daarunnajah ini emang keren & down to earth. Sip !


25.11.08

Ming

+ : Ah, Ming, gak dewasa, nih
- : Aku gak mau dewasa, Sonniiii..
(a conversation, years ago)

Namanya Ming Aswaty Halim. Satu dari 2 anggota kelas Ing yang non-muslim selain Petronela Somi Kedan yang asli Flores itu. Seperti Nela, Ming jarang hadir dalam kumpul-kumpul kelas Ing, terutama yang berhubungan dengan makan-makan dan buka puasa. Mungkin keduanya menganggap buka puasa adalah bagian dari ritual muslim. Padahal seringkali itu lebih merupakan acara makan & bincang-bincang yang memang kadang diselingi dengan sedikit ceramah agama bila acaranya diadakan di rumah salah satu anggota kelas Ing. Tapi nyatanya buka puasa (dan reuni) lebih sering dilakukan di tempat-tempat "netral," seperti rumah makan kaki lima di Jalan Pattimura; Malabar di Pondok, kafe Mentawai Surf di Jati. Pernah juga reunian di Restoran Pak Haji di Damar.

Saya memang antusias punya teman non-muslim. Kalau sama Nela kadang ngomong soal sastra dan teologi, maka sama Ming saya suka bicara hal-hal ringan saja untuk memicu ketawa kanak-kanaknya itu. Ya ! Suaranya yang kecil sedikit melengking seperti anak-anak itu tidak pernah berubah hingga saat ini. Ditambah lagi kesukaannya pada komik-komik Jepang. Dan wajahnya yang mirip tokoh komik. Suara, wajah dan hobi. Ia benar-benar komikal ! Dan sisi diri saya yang kanak-kanak menyukainya.

Harus saya akui sekarang bahwa saya berusaha mencari alasan untuk datang ke rumahnya di kawasan Pondok / Pecinan Padang itu. Ya, karena ia menarik, Buddhis, peranakan Tionghoa dan bagi saya ia pengalaman baru. Sama halnya saya suka bersepeda di Minggu pagi, menyusuri Pantai Padang hingga Kota Tua / Padang Lama dan berakhir di pelataran Klenteng, menikmati jernihnya air kolam dan memandangi ikan-ikan mas, mujair (dan koi?) yang berenang bebas. Kesemuanya adalah daerah jelajah saya bersama teman-teman semasa kecil. (Dan teman-teman kecil saya dulu, saat ini lebih sering molor sampai siang di hari Minggu karena hobi begadang).



Saya baru tahu betapa sepinya hidup Ming ketika datang di rumahnya.  Ketika masuk rumah, saya mendapati altar doa, dupa & hio. Saya selalu memandang altar itu dengan takzim, mengingatkan saya pada serial tv Oshin atau novel Musashi. Saya menaruh semacam rasa hormat yang aneh terhadap Buddha, Lao Tse dan Taoism. Mungkin melebihi rasa hormat saya terhadap agama-agama Semitik. Mungkin karena aroma konflik yang selalu ada di antara sesama agama-agama Semitik. Mungkin karena agama atau kepercayaan yang dianut bangsa-bangsa Timur Jauh berikut tradisi asketiknya terasa dekat dengan sufisme atau tasawwuf. Atau mungkin saya memandang Timur Jauh sebagai eksotik, cara pandang yang mungkin sedikit beraroma Orientalism.

* * *

Dan apalagi alasan saya untuk datang sendirian ke rumah Ming kalau bukan urusan komputer. Kalau tidak salah, waktu itu dia punya komputer baru dengan Prosesor Pentium 4, frekuensi 1 GHz. Prosesor yang merupakan lompatan besar dalam dunia semi konduktor dan teknologi nano. Orang bilang 1 GigaHertz atau 1000 MHz adalah angka psikologis karena sejak itu teknologi nano, terutama untuk kebutuhan personal (PC / Laptop) berkembang pesat. Dan lagi, tahun 2000 adalah tahun pertama saya belajar komputer secara otodidak. Saya takjub dengan Windows Millenium yang ter-install di komputernya. Begitu cantik dibanding Windows 98 di komputer saya, yang meski reliable, tampilannya agak kaku.

Di kemudian hari, sebelum mengenal Linux, saya cukup fanatik dengan WinME ketika orang lain sudah menggunakan Windows XP. Pertama, karena komputer saya cuman Pentium 3 768MHz. Bisa sih diinstallkan Windows XP tapi jadi lebih lambat. Lagian saya tidak nyaman berhadapan dengan komputer lelet. Saya kan tweak freak! :) Kedua, di Windows ME saya tetap bisa menggunakan flash disk dan tidak wajib menginstall Program Antivirus. Saya memang suka bermain-main dengan virus. Toh, saya juga virus. Sesama virus dilarang saling menvirusi :D


* * *

Rumah Ming memang menyenangkan untuk dikunjungi. Terutama kalau pohon Jambu di pekarangannya sedang berbuah. Teman-teman Ing sering menanyakan pohon Jambu itu ke Ming. Dasar.. :D Iya sih, rumahnya terlalu jauh untuk sering-sering dikunjungi. Tinggal panjat dikit, dapet deh buahnya. Atau silahkan lompat-lompat sampe capek.. :p


* * *

Januari 2007, setelah bertahun-tahun, saya bertemu 5 menit dengan Ming di Cengkareng. Saat itu ia bersama seorang rekannya hendak pulang ke Padang. Masih dalam pakaian kantor, saya takjub dengan penampilannya yang dewasa. Saya waktu itu hendak pulang ke Padang dengan pesawat berbeda setelah perjalanan jauh hingga kota Kediri itu.

Dua minggu lalu, saya baru menyadari bahwa Ming masih seperti dulu. Suara, ketawa, dan hobinya tidak berubah. Hanya tampak lebih cantik (dan tambah tinggi? Masih dalam tahap pertumbuhan? :) Saya bertemu dengannya di Indonesia Book Fair 2008 bersama Didi dan Randi. Ketika saya dan Ming asyik berburu novel diskon, Didi dan Randi menghilang dan ternyata duduk ngobrol di Foodcourt di lantai 2 Jakarta Convention Center. Akhirnya, saya hanya berdua dengan Ming. Dan begitulah kami menyusuri stand demi stand dan "menghindar" dari stand penerbit buku-buku Islam. Saya jadi ingat gayanya yang ogah rugi itu. Ketika liat komik dijual murah Rp 5000 saya tawarkan ke Ming. Dia bilang di Gramedia GajahMada hanya Rp 3000 / eks. Ketika liat novel bagus lagi diskon, dia bilang bisa dipinjam kok di Taman Bacaan.

Hahaha.. begitulah Ming. Anda bisa menemukannya dengan mudah di taman bacaan. Cukup duduk baca-baca di sebuah Taman Bacaan terlengkap di kawasan Pondok / Pecinan Padang di hari Sabtu atau Minggu, dan Ming akan muncul: meminjam seabrek komik dan kabur. Tapi itu duluuu...

Tidak seperti Debi yang bisa main sampe Plaza Semanggi, Ming taunya cuman Gajah Mada, Glodok dan Mangga Dua. Dasar preman Pondok. Dan sampe sekarang tetep saja hanya bisa masak air. Itu pun hangus :p


Catatan kecik:

Komik-komik kesukaan saya:

Samurai & Ashura, Masatoshi Kawahara.
Samurai punya latar belakang sejarah aliran Karate Enmei. Di beberapa bagian, komik ini menyinggung beberapa peristiwa besar dalam sejarah Jepang. Terutama terkait dengan beberapa nama besar, seperti Musashi, Hideyoshi, Nobunaga dst.. Untuk pertama kalinya saya belajar sejarah Jepang lewat komik ini. Teknik grafis Masatoshi-san emang unik dibanding manga Jepang lainnya. Ia seperti menggambar tokoh-tokohnya dengan ujung pedang: luwes & penuh garis-garis tajam & bebas. Benar-benar komikus berkarakter. Belakangan ini saya kecewa dengan kenyataan bahwa Samurai & Ashura diterbitkan ulang oleh penerbit lain (bukan Elex MK) dengan kualitas kertas dan tinta cetak yang jelek.

The Return of Condor Heroes,
Lie Chi Ching (grafis) & Jin Yong (narasi)
Komik dalam format A5, cetakan hitam putih ini bagi saya adalah versi terbaik dari TROCH. Selain karena grafisnya yang natural, adegan pertarungannya juga natural. Ditambah lagi, kepiawaian naratornya, JY. Ada lagi versi lain TROCH yang grafisnya dikerjakan oleh Tony Wong. Bagi saya, TW tidak pantas menangani komik berlatar sejarah. Gaya grafisnya terlalu berlebihan.

Pendekar Hina Kelana,
Lie Chi Ching (grafis) & Jin Yong (narasi)
Komik dengan grafis yang sealiran dengan TROCH-nya JY ini bercerita tentang sejarah 4 perguruan pedang di Tiongkok. Dalam beberapa bagian, saya menemukan kesamaan dengan novel-novel Kho Ping Hoo. Agak membingungkan. Mungkin hanya kesamaan nama-nama tokoh-tokohnya saja, tidak alur ceritanya.

Saya juga membaca beberapa komik Tony Wong, mulai dari Tapak Sakti, Pukulan Geledek, Heroes, Pedang Mahadewa, Long Hu Men. Tapi yang berkesan bagi saya cuman versi lama dari Long Hu Men, yaitu Tiger Wong

Diluar semua itu saya juga generasi pembaca komik-komik silat Indonesia yang hitam putih & tebel-tebel itu. Si Buta dari Gua Hantu dkk. Yang menyebalkan hanya bahwa pendekar-pendekar Indonesia-nya terlalu hebat dibanding musuh-musuhnya. Jadi jalan ceritanya kurang menarik.


Kungfu Boy?
Kurang suka tuh :D

22.11.08

Live update from Pesta Blogger 2008

0815 : Kenalan sama asisten Ust. Shofwan Manaf dari Darunnajah. Tapi segan kenalan sama Ust. Shofwan. Padahal sama-sama aktif di milis Gontorians & Dunia Blog. Soalnya saya pake celana pendek :D

0835 : Registrasi ulang dibuka, telat 20 menit dari yang tertera di pengumuman depan pintu.

0850 : Staf Menristek minta panitia menyiapkan laptop berbasis OpenSource (Linux, *Nix family) yang dibawanya untuk disambungkan ke screen.

0920 : Barusan ngecek posting terbaru blog panitia. Petunjuk arah dan peta lokasi baru di-post tadi malam. Jam 9 tadi malam saya online posting penting kayak gini belum juga ada. Padahal pesertanya mencapai 1500-an orang dari seluruh Indonesia. Setidaknya, seminggu sebelum ini lah. Konyolnya peta-nya menggunakan Google Map embedded. Oh, Plz deh Panitia. Lo pikir bandwith Indonesia ini kayak Amerika. Ya kasih jugalah peta still picture laaah. Cape' deeeh.. Contohnya ni niiih, peta untuk Didi. Udah segamblang itu aja masih aja bloon dia :D

0920 : Bandwith hotspot internet gratisan dari Speedy ini kurang kenceng. Plz deh, Speeeedaaa, tunjukkan mukamu di depan para blogger & penggila internet. Bermurah hatilah sehari saja. Kasih dong BANDWITH GROSIRAN / GRONTONGAN ! 1 MBps kayak bandwith untuk KPU 2004 dulu ? Kuraaannggg. Pesertanya 1500. Idealnya, Bandwithnya 1500 x 32 kbps = 48 Mbps. Yaah, 8Mbps dedicated laaah..



0935 : Internet hotspot speedy mati hingga 40 menit. LAN nya sih hidup. Memalukan :D


Blog panitia :

Susunan acara
Lokasi acara

Pesta Blogger 2008: rencana pribadi, panitia & borjuasi

Rencana saya memakai celana pendek, baju kaos lusuh & sandal jepit ke Pesta Blogger 2008 berantakan. Celananya di rumah tante di Ciledug, kaosnya di Ciputat, dan untuk suatu keperluan Jumat malam saya terburu-buru ke Depok. Pun, sudah lama saya tidak jadi-jadi weekend di Depok. Akhirnya sampai Sonokembang, Depok jam 22.15, ngobrol dengan istri sepupu & kemudian sepupu sampai jam 23.30 dan beres-beres untuk acara besok 1/2 jam. Bangun pas adzan Subuh, sampai di mesjid orang sudah zikir ba'da shalat.



Akhirnya saya meminjam celana pendek & kaos dari sepupu plus sepatu kantoran saya yang match juga untuk berpetualang. Tapi penampilan saya bukannya seperti kaum proletar, malah borjuis. Ckckckck.. Besok saya mau pergi ke musium di Medan Merdeka Barat (silang Monas) dan Musium Fatahillah di kota. Jadi di tas saya ada pakaian ganti serta sikat gigi. Rencananya mo nginap di rumah teman di Kebon Kacang atau Dewi Sartika Cawang (atau ke kos seseorang di Salemba?). Rencana oh rencana..

Tapi sepertinya bukan saya saja yang berantakan hari ini. Tepat jam 0635 saya sudah sampai di lokasi PB2008, Gedung BPPT. Tak satupun panitia yang tampak batang hidungnya. (Mungkin hidungnya patah belum dioperasi plastik seperti saya :). Lima belas menit kemudian datang seorang panitia dan ia sendirian hingga jam 0740. Lebih parahnya lagi tidak tampak tanda-tanda ada acara akbar di Gedung 2 BPPT ini. Sejak pintu masuk yang ada hanya umbul-umbul Telkomsel sebagai salah satu sponsor. Petunjuk arah pun tak ada.

Saya jadi ingat dengan Kyai Hasan. Kalau acara sebesar ini sama sekali tidak dipersiapkan dengan matang, beliau bisa mencak-mencak. Pertama, karena itu tidak baik. Kedua, bukan level beliau marah-marah untuk acara sekelas ini. Pernah suatu ketika beliau datang terlambat menghadiri Public Speaking Contest dan acara belum juga dimulai. Beliau marah-marah dan langsung pulang. Beliau bilang, hadir atau tidaknya beliau tidak harus membuat acara ini ditunda. The show must go on. Kalau tidak salah, sebagai hukuman pada panitia, acaranya dibubarkan malam itu, dan harus diulang lagi minggu depan. Benar-benar mendidik !

Yah, setidaknya harus ada panitia PB2008 yang stand by di lokasi acara. Pesertanya kan dari seluruh Indonesia. Bagaimana kalau ada peserta yang jauh-jauh dari Papua trus tidak melihat tanda-tanda acara dan pulanglah ia dengan gusar. Kasihan sekali panitia yang baru datang itu harus beres-beres sendirian.


posted at 0805 wib

elite minority, ing, and friendship

: a tribute to Pak De, Prof. Syafrizal, Former Dean of FE UNAND, d father of Ing

Beliau mungkin hanya seorang dosen biasa. Generasi awal FE Unand. Ayah saya bahkan pernah diajar oleh beliau. Kebetulan menjabat Dekan selama 2 periode. Terakhir, Pak De atau Pak Syaf, diangkat sebagai profesor untuk studi Ekonomi Regional. Entah berapa kali beliau bicara soal AFTA, mengingatkan bahwa disaat batas-batas negara hanya menyangkut soal politik saja, arus tenaga kerja asing adalah efek berikutnya dari globalisasi.

Beliau yang menyelesaikan studi masternya di Filipina, kalau tidak salah pernah mengungkapkan bahwa tenaga kerja Filipina adalah orang-orang cerdas, berbahasa Inggris dengan baik dan yang terpenting, bersedia digaji murah. Nah, mungkin itu sebabnya beliau berinisiatif menciptakan sebuah kelas yang menggunakan bahasa pengantar dan buku teks berbahasa
Inggris. Boleh jadi Kelas Inggris atau sekarang diformat sebagai menjadi Kelas Internasional adalah warisan terpenting era kepemimpinan beliau selama menjabat Dekan.



reuni at Rome ? yuuukk..



Kelas Ing adalah kelas pertama (pionir) berbahasa Inggris di luar fakultas sastra di kampus mana pun di luar Jawa. Dimulai sejak tahun 1997 dengan segala keterbatasan, termasuk kemampuan lisan bahasa Inggris pengajarnya. Karenanya dosen yang mengajar kelas ini tidak banyak. Beberapa dosen pernah mengajar kami 2 -3 untuk mata kuliah berbeda sehingga cukup akrab. Saya sendiri masuk ke kelas ini untuk belajar bahasa Inggris dan yang lebih penting, saya tidak terbiasa dengan kerumunan. Mungkin karena saya tak pandai berkawan. Mungkin karena saya sudah 7 tahun merantau dan asing dengan cara bergaul kampung sendiri. Asing dengan pola bahasanya.


Mungkin juga karena saya tertarik dengan pikiran-pikiran Ahmad Wahib tentang elite minority. Cak Nur, kalau tidak salah ingat, dalam acara Nostalgia, acara puncak Peringatan 70 tahun PM Gontor di tahun 1996 pernah menjelaskan tentang elite minority. Ia menganalogikannya dengan tombol, ruangan dan lampu. Tombol = Elite minority. Ruangan = society / floating mass. Dan lampu = authority. Elit disini tidak sama dengan elitis atau elitism. Elitisme memang jelek karena itu juga semacam eksklusivisme.

Minoritas elit adalah sekumpulan orang berjumlah sedikit yang "berbeda" dengan masyarakat umum. Dalam konteks tertentu mereka punya budaya sendiri atau bisa jadi menantang budaya mainstream: menciptakan budaya tanding. Apa yang diterima secara taken for granted oleh masyarakat umum, belum tentu begitu menurut minoritas elit. Pada akhirnya, karena kemauan berkumpul dan mengembangkan diri secara bersama, mereka merebut otoritas untuk menentukan gelap-terangnya segala sesuatu.

Cina Komunis, pada dasarnya didirikan oleh sekumpulan kaum muda yang giat berdiskusi di sebuah ruangan sempit. Lalu pikiran-pikiran itu diinterpretasikan menjadi aksi. Adam Smith - Karl Marx - Freud - Darwin adalah Yahudi, sebuah bangsa kecil dengan ambisi besar. Merekalah grand designer Dunia Modern yang kita kenal saat ini. Terlepas dari teori konspirasi dan data-data sejarah yang mengendap di ruang-ruang gelap, faktanya Yahudi atau lebih tepatnya gerakan Zionis menguasai pusat-pusat keuangan dunia, mulai dari Frankfurt, Zurich, New York, Singapura, hingga yang teranyar Dubai. George Soros seringkali berhasil bermain uang karena dianggap selalu bisa "mendahului kurva." Menurut saya, itu karena dia selalu punya "informasi" yang mendahului peristiwa-peristiwa.

* * *




Anak-anak Ing seringkali disalahpahami oleh teman-teman reguler. Kami dianggap tidak gaul, eksklusif dan seterusnya. Masalahnya lebih karena jarang bertemu. Yan Iswara baru tahu kalau Debi orangnya malu-maluin. Is - Armen - Pa' Let dkk (Akt Ganjil) baru tau kalau saya cocok berteman dengan mereka ketimbang cowok-cowok Akt Genap yang "rapi-rapi" semacam Alfi - Randi cs. Saya selalu saja ingat olok-olokan tajam si Armen tentang ke-udik-an saya. (Apa tidak sebaliknya, Armen yang udik?). Dan Armen ternyata ingat saya yang nolong dia bikin account Friendster padahal saya sudah lupa tuh. Sialnya, mereka tidak pernah bisa lupa insiden "memory card PS" yang memalukan itu. Tidak memalukan sih, hanya saja saya bertanya ke orang yang salah. Habislah saya diolok-olok.

Overall, kelas Ing menyenangkan. Karena kelas ini bukan semacam floating mass, Ing2000 sebagai sebuah komunitas tetep solid hingga saat ini. Thx for Debi atas kehandalannya menyelesaikan urusan hutang-piutang fotokopian buku dan kontak-mengontak. Thx for Ai, yang seringkali menyediakan rumahnya untuk kumpul-kumpul. For Hesty, our chef. For Didi yang rajin menelpon sana-sini, jadi pusat informasi (dan gosip). For everyone, i cant mention one by one who makes this community colorfull..

21.11.08

Lintang dalam diriku.. (2)

Lintang tak lagi pandai melukis, Ibunda..


Aku seringkali terpukau bila dosen tersayang, Ibuk Anurlis Abbas, MA masuk kelas, melukis kurva, menjelaskannya dlm bahasa Inggris yang "aduhai," & mulai menulis angka-angka Microeconomics. Lukisan kurva, kata-kata dan angka-angka. Oh, betapa pandai ibunda bermain sulap !




Dan ketika angka-angka disodorkan pada kami untuk disulap jadi kurva, aku tergagap. Aku tak pandai bermain sulap, Ibunda. Lintang sudah berkubur di jiwaku 5 tahun lalu, ketika mata pelajaran di kelas 3 Gontor (3 SMP) menjadi begitu sulit, dan aku tidak bisa lagi fokus pada eksakta. (Dan lagi, Gontor tidak concern dengan eksakta.)

* * *

Saat kelas 6 SD, beberapa bulan sebelum Ebtanas, orang tuaku memintaku pergi ke Gontor bersama sepasang anak dan ibu, kerabat kami, yang pergi menghadiri yudisium kelulusan anaknya. Tahun-tahun sebelumnya selembar surat keterangan sudah duduk di kelas 6 SD sudah cukup untuk bisa masuk Gontor karena perbedaan kalender akademis. Bila sekolah pemerintah menggunakan Kalender Akademik Agustus - Juli, maka Gontor menggunakan kalender Syawwal - Ramadhan.

Rupanya tahun itu sudah tidak diperbolehkan lagi menggunakan surat keterangan tersebut. Artinya jeda waktu antara tamat SD hingga masa tahun ajaran baru di Gontor harus digunakan calon santri untuk nyantri di pesantren-pesantren kecil. Dan aku memilih meneruskan bersekolah di SMPN 1 Padang.

Dan orang tuaku dengan mimpi-mimpi Timur Tengah-nya itu masih saja merayuku masuk Gontor. Akhirnya aku, bocah ingusan itu, tak berdaya. Ia kemudian menuruti kemauan orang tuanya padahal hanya beberapa minggu lagi ujian semester II kelas 1 SMP. Selama masa ujian masuk Gontor, ia hanya butuh belajar dikte Arab saja dan hafalan ayat-ayat pendek. Kesibukan lainnya adalah mengajar teman-temannya soal-soal berhitung (aritmatika) yang akan diujikan.

Dan ketika namanya dibacakan sebagai yang lulus ujian, ia hampir tidak merasakan euforia. Jangankan ujian kelulusan yang mudah itu, Ebtanas pun ia lalui tanpa perasaan tertentu. Akhirnya, menyesuaikan diri dengan tradisi, ia ikut bersujud syukur, dengan rasa syukur yang entah ada atau tidak.

* * *

Demikianlah. Di saat liburan panjang kelas 3 Gontor, ia mengeluh pada ibunya bahwa ingin sekolah di SMA saja. Dan jawaban ibunya sungguh memilukan: ia boleh masuk SMA tapi di Bandung, tidak di Padang. Artinya, tidak lulus sampai kelas 6 Gontor adalah aib, dan karena itu ia harus "diasingkan." Oh, bocah yang malang. Andai saja ia menerima menjalani masa pengasingan di Bandung, mungkin ia masih bisa menjadi Lintang seperti dahulu. Tapi ia hanya bocah ingusan tak berdaya.

Akhirnya ia kembali ke Gontor, menjalani kelas 4, melupakan bahwa ia pernah jatuh cinta pada eksakta. Lintang berkubur di jiwanya. Hingga suatu saat, Tunis memanggilnya menjadi anggota ITQAN (penerbitan majalah, penulis) dan kemudian FP2WS (klub diskusi, pemikir). Ia seperti menemukan obat luka hatinya. Ia tiba-tiba saja jatuh cinta pada ilmu-ilmu sosial.

1,5 tahun kemudian, beberapa bulan menjelang Yudisium kelulusan kelas 6, perkenalannya dengan pikiran-pikiran Kuntowijoyo, membawanya pada kesimpulan: bahwa ekonomi-lah Panglima, bukan politik. Kunto memaparkan 3 strategi perjuangan: struktural, kultural dan mobilitas sosial. Bagi Kunto yang terpenting adalah kultural & mobilitas sosial. Dan menurut bocah yang tak lagi ingusan itu, ekonomi-lah solusi untuk mewujudkan kedua strategi itu.

Dan melangkahlah ia ke fakultas ekonomi dengan penuh ragu. Apakah Lintang masih bisa hidup lagi?
Ternyata, bahkan berurusan dengan "debet - kredit" saja ia tak cakap..

Ia tak lagi peduli mimpi-mimpi Timur Tengah orang tuanya. Ia memeluk mimpi-mimpinya sendiri. Entah sampai entah tidak..


Catatan kecik :
Belakangan aku baru tahu, temanku Harpro Asra Omika, juga merasakan bahwa Gontor tidak concern dengan eksakta. Ia kemudian bersekolah di SMAN 3 Padang, giat di Rohis dan menjadi Ketua OSIS. Harpro yang lahir di Hari Proklamasi itu, kuliah di Teknik Elektro ITB, lalu bekerja di Nokia - Siemen Networks.

Gontor lebih tepat untuk mereka yang akan melanjutkan kuliah di bidang studi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sosial. Gontor punya 2 perpustakaan yang kaya dengan buku-buku yang biasa dibaca kalangan mahasiswa. Teman-teman yang kuliah di IAIN bahkan menjalani 2 tahun pertama mereka di bangku kuliah dengan santai. Menurut mereka seperti mengulang pelajaran di Gontor. Beberapa di antara mereka bahkan sering tidak masuk mata kuliah Bahasa Arab. Ada yang karena bosan, ada yang karena lelah berdebat dengan dosennya :)

Gontor adalah wadah yang tepat bagi mereka yang ingin menjadi pemimpin politik. Bahkan menjadi ketua kelas pun bisa dianggap sebagai karir politik pertama. Di Gontor, aku tidak pernah terpilih sebagai ketua kelas :D


20.11.08

at a center of Capitalism (2)

Neoliberalism, Globalization and Bubble - Roller Coaster Economics

Minggu kemarin saya membeli beberapa komputer. Dan menyebalkan bahwa harga barang-barang impor itu berfluktuasi sedemikian cepat. Dua minggu lalu, toko-toko komputer masih menggunakan kurs Rp 11.500 / dollar. Kemarin Rp 12.200 / dollar. Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu pernah membantu teman membeli komputer dalam kurs Rp 8.700 / dollar. Tepat seminggu sesudah itu, kurs mendekati Rp 10.000. Gaji kita secara nominal memang tidak berkurang, tapi secara moneter menurun drastis. Lebih parah lagi, kata ayah saya, di zaman Soekarno nilai mata uang rupiah secara moneter tergunting jadi setengahnya.

Kalau gak salah, saya & teman itu beli komputer di era Rezim Gus Dur, pemerintahan yang tidak hanya tidak mampu menyelesaikan masalah, malah memproduksi masalahnya sendiri. Pemikir konyol semacam itu sebaiknya tidak jadi presiden. Plato salah kalo bilang yang paling pantas jadi presiden itu seorang filsuf. Filsuf itu pertapa, cukuplah ia berada di ketinggian. Tidak usah menghinakan diri dengan menjadi seorang presiden. Seperti Einstein, ia memilih matematika ketimbang jadi presiden Israel.

Saya juga tidak bisa menyalahkan pemilik toko itu. Meski ia membeli saat kurs di bawah Rp 9.000 / dollar, ia tetap saja tidak secure. Dan saya juga tidak bisa menyalahkan diri sendiri karena membutuhkan komputer baru di saat yang tidak tepat. Kami hanyalah korban sebuah struktur. Struktur menindas bernama kapitalisme. Ironisnya lagi, struktur itu mengglobal lewat globalisasi uang dan barang secara ekonomi - politik.

Secara budaya, globalisasi berarti westernisasi, penyeragaman taste. Pada satu titik ia merayakan demokrasi liberal, pasar bebas, inklusivisme, dan kebebasan individu. Tapi di titik lain ia berarti ekslusivisme: modernisasi berarti westernisasi, westernisasi adalah modernisasi. Food, fashion, fun (3F). Mac Donalds, Macintosh, Mac Gyver (3M). Pada satu titik ia menyatakan kebebasan pers adalah pilar keempat demokrasi. Pada titik lain, jejaring korporasi mengkooptasi media lewat kepemilikan oligopolik dan bermain mata dengan Gedung Putih. Parlemen Amerika memang tampak mencerminkan kebebasan berpendapat, tapi ditilik lagi ia hanyalah sebuah sirkus dimana suara-suara kritis terperangkap dalam sunyi. Sejak New Left kehilangan posisi politiknya, Partai Republik dan Demokrat hanyalah 2 pemain sirkus yang bermain mata. Semacam 2 polisi yang memainkan drama "Bad Cop - Good Cop." Dan pesakitannya adalah--siapa yang dalam bahasa hegemonik disebut sebagai--the rest of the world. Sisa dunia. Istilah geopolitis yang mencerminkan eurocentric, chauvinism, machiavellism. Rasis.

* * *

Sudah lama saya jarang membaca koran. TV pun tiada. Cuman radio. Maklum anak kos :) Artinya saya banyak ketinggalan informasi terkini yang mungkin lebih kurang itu berarti FENOMENA terkini. Saya menyerap informasi lebih sering dari mendengarkan obrolan teman-teman; menyimak saat briefing ringan atau acara makan siang dengan Boss. Ia memang berurusan dengan perkara terkini dalam dunia keuangan. Saya beruntung punya Boss seperti dia: menjelaskan fenomena krisis subprime mortgage ; memperkaya ulasannya dengan teori-teori, informasi dari media dan informasi terbatas yang beredar di antara sesama top executive. Ia semacam dosen plus. Plus kemauan untuk tidak textbook dan rajin memperhatikan fenomena.

* * *

Di atas seluruh fenomena krisis subprime mortgage, substansinya tetap sama: bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi roller coaster, penumpangnya tidak tahu kapan menaik, menurun, menikung. Jangankan penumpang, pengemudinya juga tidak tahu. Prediksi-prediksi analis, kecanggihan ekonometrik, keajaiban compound interest rate, dunia derivatif, ilmu management, marketing yang manipulatif kehilangan wibawanya di tengah krisis ini. Tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Jangankan orang awan, orang-orang dunia keuangan selalu was-was, panik, histeria, dan mudah terpengaruh euphoria. Semua logika kapitalisme dan finance benar-benar dihancurkan oleh krisis ini. Homo Homini Lupus, Zero - Sum Game, Time value of money, fungsi uang (alat atau komoditas ?), fiat money, market effeciency, agency problem, moral hazard, dan akhirnya ethic.

Ditambah lagi sejak era Milton Friedman dan Jhon Nash disembah. Bretton Woods System, Washington Consensus dan IMF - World Bank - WTO lahir. Sejak Alan Greenspan menjadi Gubernur The Fed--dan bertampuk bak raja di tengah demokrasi liberal--selama 3 dekade, roaller coaster itu berubah lebih gila: Bubble Economy. Saya kesal bahwa keputusan apapun di Republik merdeka ini harus selalu menunggu pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur The Fed. Juga bahwa pers selalu menggunakan istilah GLOBAL terhadap krisis subprime mortgage. The rest of the world do nothing with this crisis !!!

Rasanya baru kemarin dosen saya bilang bahwa investasi terbaik adalah
di bidang properti. Rasanya baru kemarin Francis Fukuyama merayakan
kehancuran Uni Soviet dengan menulis The End of History. Sama halnya
ketika Jhon Naisbitt yang ngaku futorolog itu memuji-muji negara-negara
Asia Tenggara dan Timur Jauh sebagai Macan Asia dan tidak lebih satu
dekade kemudian Krisis Moneter melanda kawasan ini. Dan saat itu tak
ada yang mengatakan krisis itu sebagai krisis GLOBAL.

Kerakusan, keserakahan Amerika lah yang menimbulkan krisis ini. Mereka kira kecanggihan matematika dan kemajuan teknologi komputer bisa menyelamatkan mereka dari akibat keserakahan itu. Sama halnya ketika Karl Marx membumbui Teori-teori Ekonomi-nya dengan persamaan matematika yang bertakik-takik. Seluruh kecanggihan matematis Marx pada akhirnya hanya untuk membuktikan bahwa kesimpulannya salah! Dan masyarakat tanpa kelas hanya utopia. Bagaimana mungkin sebuah dunia yang lebih adil dibangun diatas pembantaian, gunungan mayat-mayat dan bau anyir darah? Revolusi Boshelvik, Maoisme, Killing Field-nya Pol Pot.

Pada akhirnya saya harus menyerang para ekonom. Bahwa otak mereka itu tidak pernah berpikir keluar dari kotak ilmu ekonomi kapitalistik. Senyata-nyatanya teori-teori mereka sudah gagal. Bahwa kapitalisme sudah berulang kali gagal sejak Great Depression hingga era Neoliberalism. Sektor keuangan menggelembung sedemikian besarnya tanpa mampu diikuti perkembangan sektor riil.

Kapitalisme, sejatinya, baru berusia 3 abad sejak Adam Smith menulis The Wealth of Nation. Ekonomi Islam sebagai budaya, belum sebagai sistem pengetahuan, membuktikan kemampuan & keadilannya selama masa keemasan peradaban muslim: 7 abad terhitung sejak Nabi Muhammad menerima wahyu.

Akhirnya, sistem pengetahuan kita harus kembali mengkaji ulang sumber-sumber agama (apa saja) dan kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) untuk memperbaiki sistem ekonomi kita. Dan semuanya tentu harus bermuara pada matematika. Sayang, Lintang sudah lama berkubur di jiwaku. Kalau tidak, sudah ku bantai ekonom-ekonom itu !!!


Another perspective: Mimpi by Himawan

Bacaan lanjutan : (googling & wiking aja)
Satanic Finance,
Gold Dinar, Sistem Moneter yang stabil dan berkeadilan
Postcolonial Theory, Dependency Theory
Amartya Sen, Edward W Said, Noam Chomsky, Stiglitz,

17.11.08

Anak Bundo jo Adiak Ambo





btw, Bundo jo Ambo baa ?
:D

fs: scheduled maintenance ?

adapaini? adapaini?

Friendster scheduled maintenance smp berhari-hari? Ada 2 kemungkinan. Lagi upgrade mesin / sistem atau dpt serangan hacking. Kalo upgrade, mungkin besar2an karena bs sampe berhari-hari. Hacking? Bs saja, tapi menilik lokasi server FS yg distributed among regions, kayaknya gak mungkin se-fatal ini (baca: berhari-hari down).

Dalam dunia yg hitungannya menggunakan bit & byte, 3 hari down itu kelamaan. Penambahan kapasitas sistem tidak seharusnya membuat sistem down, kecuali memang sedang terjadi migrasi besar-besaran seperti ketika FS me-migrasi mesin blognya ke wordpress

Overall, gw optimis dengan FS.

12.11.08

PETA buat DIDI

Didi mo datang dari Bandung Jumat Sore (14/11)
Nah ini peta ke kontrakan Sonny & Raymond

a/n Pak Rohandi
Jl WR Supratman Gg Tangkil dst dst..

8.11.08

johari window

jd inget johari window

years ago, it changed my personality, radically..
not easy change, painful but self-healing n i get a new beginning

i have cycle of 2 - 3 years to
reborn, redefine, remap, renew, reload my human soul
i feel it's time to reborn again

samsara ni'immaahiya !
*o reborn.. how pleasure !*

7.11.08

Polemik Genta Andalas

Polemik Genta setidaknya dipicu oleh 2 peristiwa. Pertama, tulisan saya yang berjudul Febri Diansyah & tulisan di blog lama berjudul Kiamat Unand. Kedua, seorang anggota milis Akuntansi Unand, Afridian Wirahadi mengintip blog saya, di saat terjadi kegaduhan di milis akuntansi. Konyolnya, Si “POSISI PUNCAK & SERING SEKALI MEMIMPIN DEMO” ini bersikap REAKTIF, bukannya PROAKTIF. (Gelarnya panjang amaaat :)

Berhubung data sejarahnya lengkap, silahkan anda baca polemik dibawah. Apakah polemik PRODUKTIF atau KONTRA PRODUKTIF? Silahkan simpulkan sendiri:


[ Tulisan di bawah ini aselinya dari SURAT PENGUNJUNG Febri Diansyah. Dikutip u kepentingan dokumentasi ]

1. Salam febri.. sebelumnya saya rasanya mengenal febri kalo gak salah,
Ketika saya membaca posting dari Sony, sejujurnya ingin rasanya mengajarkan bahasa dan etika yang baik dan benar padanya dan ingin mengajarkan kepadanya sejarah GENTA, HMI dan siapa dia di akuntansi.
Sebelumnya perkenalkan, saya afridian Wirahadi biasanya dipanggil Iwir. Akuntansi 98. Saya aktif di HMI, GENTA Andalas, KOPMA Dan Koparma (semuanya diposisi2 puncak..he.he..sdekit menyombong)..
pertama, Genta Andalas waktu kami menghidupkan dulunya tahun 1999 ketika dia sudah mati. Kami (budi Fitra Helmi, Alfitra, Ainul Ridha, Dewi Puspita, Silvia, dan saya sendiri koalisi HMI-IMM). Banyak perjuangan dari awal sampe kami berhasil mendirikan lg. Gontokan dengan pejabat Unand kami rasakan, sampai akhirnya kita menang dengan adanya bargaining (dana, fasilitas dll)..termasuk Vieda (yang kami rekrut). Namun karena kesibukan pengurus dan konflik (sebenarnya karena keegoisan msing2)…suksesi berlangsung dengan cara yg tidak wajar..sampai Budi dan Dewi (almarhumah) mendirikan Radio.
Namun yang ingin saya katakan, Organisasi mahasiswa adalah organisasi pembelajaran (tempat latihan kepemimpinan dan manajemen). Malahan yang pengecut adalah orang yg tidak bisa berbuat, tapi pinter mengomentari (Sony-red). Tapi saya bersyukur Febri dkk, sudah mencoba berbuat

Kedua, HMI. Banyak yang sentimen dengan HMI, karena bagi saya wajar, HMI adalah organisasi tua dan besar. Umumnya yg berkomentar adalah orang yg tidak dapat bersaing dengan anak HMI dan jaringannya. HMI ibarat bengkel, asalkan mahasiswa dan beragama islam masuk kesana. Wajar jika ada yg keciprat OLi. Namun setidaknya organisasi ini telah membuktikan kepeduliannya pada bangsa. Bukan omong kosong aja (NATO). Saya pernah jd ketua HMI. Febri anggota HMI?

Ketiga, tentang sony. maaf ya. Saya dulu yang mengospeknya. Dia bukan siapa2. Dia aktif dmn? lompat sana lompat organisasi sini hanya sesaat tanpa aktif dalamnya (tipe oportunis dan pengecut) dan bahkan berani mengomentari organisasi tersebut tanpa pernah berbuat untuk organisasi itu.

Maaf..saya cuma ingin mengatakan…tolong sampaikan pada Sony..belajarlah etika.

Saat ini saya msh di kampus Unand, Politeknik Unand Jurusan Akuntansi.
sekarang S 2 di UGM
Wassalam

“Da Wir yang baik, terimakasih komentar dan penegasannya di halaman ini. Dimanapun itu, hitam-putih-abu-abu atau apapun, agaknya kita punya konsep yang sama, organisasi mahasiswa dan pergerakan mahasiswa adalah tempat belajar. Kawah candradimuka. Belajar dalam sakit, atau bahkan belajar dalam senyum, dengan sedikit–katakanlah–”resiko” populeritas atau sebaliknya.
Tapi, keluarpun, atau bahkan lari dari arena pun adalah pilihan. Dalam bahasa berbeda, mungkin teman kita Sonny melakukan hal itu. Dengan cara belajarnya, agaknya ia merasa lebih efektif “menuntut ilmu” dari satu tempat ke tempat lainnya. Biarlah. Meskipun, tentu agak kaget dan sedikit “tersentil” ketika sebuah organisasi, “sekolah” sekaligus “rumah kita” dikecam dalam nada minor.

Da Wir yang baik,
apakah sekarang mengajar di Poltek?
S.2 di FE UGM?
Jika ya, aku pikir akan terus bertambah satu persatu generasi yang terdidik dan peduli dengan ketertindasan dan penghisapan masy di sekitarnya…Tidak sekedar membangun orientasi berpikir individualis-opotunis.

Aku dulu hanya sempat 2 tahun (dengan sangat banyak Titip Absen) di Manajemen Unand. Kemudian mendapat Girah baru di FH UGM. Dengan lebih banyak “konflik” dan rasa sakit, orang ternyata lebih cepat belajar. Sekarang, aku belajar di kota sesak. Jakarta. Belajar menjadi berguna.

Salam

nb: adakah blog?

Comment by Afridian Wirahadi - iwir Akt 98 — October 11, 2008 @ 1:40 am


2.



FS yg lucu :D


da wir yg baik,
(tulisan ini bukan u sombong)
saya kenal anda & tau persis komisariat di jalan Apel. Saya jg tau anda dosen Poltek Unand & sudah menikah.

Kalau tdk salah anda pernah ke rumah saya u nyari Mela. Zumaila Hasna. Gadis cantik itu sekarang pegawai BPK-RI. Saya memberikan bbrp booklet pergerakan mahasiswa ke dia, termasuk panduan training PII & booklet Andragogi-nya Paolo Freire

Secara resmi, saya memulai karir intelektual saya di umur 15 th. saya memulai aktivisme di usia 15 th. di usia 16 th saya sudah membaca ttg sejarah pergerakan pra kemerdekaan hingga HMI MPO. saya diberkahi sebuah perpustakaan yg kaya plus agency majalah yg kami tangani. Ditambah minat saya pada sejarah & ilmu2 sosial. Favorit saya: Kuntowijoyo

Genta ?
bagi saya yg penting warisan sistem. apa yg anda wariskan ke generasi selanjutnya ? pemimpin yg baik adl yg bisa menciptakan pemimpin berikutnya. Sekali lagi, WARISAN SISTEM. Kalau ada, Genta tak mungkin begini jadinya. bagi saya pribadi, tidak ada yg bisa saya pelajari di Genta. Malah ingin sebenarnya memberikan sesuatu ke Genta kalau tidak terhalang hirarki senioritas. Rumah saya di depan Fekon. Saya cukup rajin ke Genta tp jarang ketemu anda. (Anda dimana?)

HMI ?
maaf, kalau saya mengkritik HMI
saya hanya mengutip senior anda di HMI: Ahmad Wahib & Johan Effendi. Dan kritik pendiri Formaci thd HMI

Lompat ?
Ya, saya hanya pernah masuk Genta & AIESEC. Itu saja. FSI ? mereka teman2 baik saya. Sejak hari pertama kuliah, 4 sept 2000 saya tak pernah berjanji masuk Lembaga Dakwah Kampus. Saya memahami seluk beluk dunia mahasiswa jauh hari sebelum menjadi mahasiswa. Mentor2 saya aktivis mahasiswa tulen

bukan siapa siapa ?
memang, saya hanya pernah mencoba mendirikan klub studi di Unand. Dan gagal krn mungkin ide ini terlalu maju u ukuran
Padang. Intelektualisme minus aktivisme, itu motto saya. Saya bosan di padang.
Saya pernah nimbrung di Litbang BEM KM Unand u memberi masukan ttg OSPEK. (Oh maap, ini millenium baru, OSPEK warisan rezim korup. Saya jd ikut2an lupa istilah barunya)

Soal aktivisme saya memang amat terpengaruh ahmad wahib. saya membaca diary-nya di th 1997, di umur 17 tahun

Organisasi mahasiswa adalah organisasi pembelajaran (tempat latihan kepemimpinan dan manajemen) ?
Sebelum menjadi mahasiswa saya sudah melaluinya. maaf, tdk u sombong. Sekali lagi, saya menyesal memilih
Padang. Kalau tdk Cairo, harusnya saya di Jakarta atau Jogja

MASALAH UTAMANYA
Kita hanya tidak saling mengenal. Coba kalau ada pertemuan rutin di Genta & semuanya hadir. ( Kenapa harus memperkenalkan diri ke Febri, kita
kan hanya beda 2 th ? Anda dimana ? )

insyaAllah saya akan menjadi siapa siapa, saya baru saja menggelar kembali formasi intelektual saya setelah 8 th terkubur di Padang. Klik disini untuk memahaminya.
saya jg berdoa demikian u anda.

etika ?
hey, saya menulisnya di blog milik saya sendiri. Anda paham teknologi ?
Dan saya jd ikut2an menumpahkannya di blog aktivis ICW ini u mereply anda

soal gaduh di milis akt ?
masalahnya: beda frekuensi :)
Saya bicara di channel ini, yg lain mereply lewat channel itu, gak nyambung..

thx,

Comment by sonny — October 11, 2008 @ 11:41 am

3. adakah blog?
pertanyaan plg bagus

ayo tunjukkan siapa anda lwt blog. apa portfolio anda yg panjang itu bs dibuktikan ?

maaf kalau kurang etis,
rasanya kita seumur & kita tdk di unand lg. Lagian anda
kan intelektual. Diktum intelektual: we can agree to disagree, right ?

Comment by sonny — October 11, 2008 @ 11:48 am

4. aku percaya, seorang dewasa harus terlebih dahulu mampu mengkritik diri sendiri. meskipun tidak berarti berhak mengecam pihak lain.
tapi, tidak apa-apa juga. ku kira ini justru menarik

Da Wir dan Sonny. Dua rekan yang baik.
yang pasti kita sama-sama pernah di Genta Andalas. Aku di Genta, lebih pada kepentingan belajar. Ke dalam diri. Dan, keluar diri.

Tentang pertanyaan “Adakah senior yang menghambat?” Ada. Namun, itu biasa terjadi di organisasi manapun.
Dan, kita paham. Setidaknya ada dua jalan perubahan. Secara perlahan. atau, sebaliknya. Dekonstruksi (meminjam istilah J. Deridda). Di Genta kita bisa lakukan keduanya.

Tentang Genta Andalas yang baru, yang berkantor di Rektorat. Ku kira ini bukan sekedar soal formalitas alamat redaksi. Tapi lebih pada cerita tentang “kekalahan” dan oportunitas yang buruk. Apalagi jika isi tabloid tersebut lebih minus tulisan mahasiswa, misalnya.

Dan, untuk teman-teman Genta Andalas yang sempat baca tulisan ini, anda harus percaya kritikan itu penting. Se pedih apapun. Kewajiban si pengkiritik ya mengkritik. Persoalan anda akan dengar dan ikuti saran tersebut, itu terserah anda. Silahkan, karena kita percaya setiap masa punya generasi masing-masing.

Da Wir dan Sonny, dua rekanku yang baik. Jika ada waktu “yang berbaik diri”, sesekali mungkin kita perlu ketemu bersama, bicara (agar tidak terlalu serius untuk dikatakan diskusi). Bukan tentang bagaimana “menyelamatkan” Genta. Tapi, bagaimana memancing kawan-kawan di Genta memahami, bahwa mereka sedang mendiami rumah kecil yang seharusnya menjadi suluh bagi diri dan masyarakatnya. Agar mereka bisa jadi jauh lebih baik dibanding cecunguk kecil seperti aku. Agar mereka tahu juga, di Genta kita pernah bilang “tidak ada orang cerdas disini, yang ada hanyalah mereka yang terus merasa “bodoh” dan terus belajar”.

Comment by febri diansyah — October 11, 2008 @ 5:11 pm

5. Salam, Kawan. Saya sudah lama tidak komunikasi dengan komunitas unand. Syukur sekarang bisa ketemu dengan beberapa nama. Dan bangga dengan Febri di ICW yang beberapa kali sempat saya tonton di TV.

Saya belum bisa komentar banyak. Cuma salam untuk Sonny dan da Wir.
Saya cukup sering discuss dengan Sonny. Dia sahabat yang baik dan cerdas. Gagasannya menarik dan berani melawan arus di
Padang. Sayangnya kawan kita ini tidak punya wadah untuk mengimplementasikan pikirannya. Mungkin wadahnya tdak siap, atau mungkin Sonny nya yang belum bisa membahasakan gagasannya kepada publik.

Adakalanya, orang cerdas terkurung dalam zamannya, dan tidak ada yang menganggapnya bermanfaat. Seperti Mendell yang baru dihargaiu setelah matinya. Atau seperti Imam Ali As yang baru diberi kesempatan setelah masa produktifnya berlalu. Cuma untuk Sonny, gagasan-gagasannya selayaknya kita dokumentasikan, ditulis dan disebarluaskan agar menjadi keresahan semua orang. Mungkin tidak diterima sekarang tapi akan diapresiasi oleh anak cucu di kemudian hari :)

Pilihannya sederhana, menjadi Karl Marx yang tidak mati dalam revolusi, tapi mati di atas meja atau menjadi Ali Syariati yang mati dalam mempersiapkan gerakan atau mungkin seperti Khomeini yang bergerak dan berhasil

Salam untuk semua

Comment by Yudi Helfi — October 17, 2008 @ 3:11 am

6. Ah…
ternyata, aku memang masih kerdil.
Ternyata di genta andalas, begitu banyak yang belum ku ketahui.

“Pita yang baik, justru itu tantangannya. Genta. Aku percaya, setidaknya kamu punya semangat. Apakah kamu juga punya kemampuan (selain kemauan)? kita lihat dari apa yang kamu bisa lakukan bersama teman-teman. Dan, jangan kuatir, “kita adalah si bodoh yang selalu ingin belajar” :-)

Comment by pita — October 23, 2008 @ 11:34 am

7. Assalamu alaikum Wr.Wb

Da Sonny yang baik,
Senang sekali rasanya membaca blog yang uda tulis khusus mengulas tentang organisasi pers mahasiswa yang sama-sama kita berproses untuk belajar. Mengutip kata-kata bang feb: “kita adalah si bodoh yang selalu ingin belajar”.
Cuma…ada hal-hal yang harus kita luruskan di sini. Maaf, karena ternyata, kami, baru membaca keluhan dan “kritikan” (walaupun esensinya bukan untuk GENTA ANDALAS).
Maksud kami, setelah membaca posting da sonny, kami rasa yang uda maksud bukanlah GENTA ANDALAS.
Mengapa?
Alasannya:
1. GENTA ANDALAS TIDAK PERNAH beralamat redaksi atau pindah atau berkantor atau apalah….di REKTORAT. Sekali lagi ditegaskan, sejak tahun 2002, GENTA ANDALAS tidak pernah meninggalkan PUSAT KEGIATAN MAHASISWA lantai II. Sekali lagi, TIDAK PERNAH.
2. Yang uda baca (kalau uda masih menyimpan arsipnya, tolong diteliti nama tabloidnya, karena kami YAKIN, itu adalah “GEMA ANDALAS” yang merupakan tabloid HUMAS REKTORAT, yang memang dihandle oleh REKTORAT dan DOSEN. GEMA ANDALAS memang merupakan media publikasi ilmiah yang diisi oleh para dosen.
3. alhamdulillah sampai hari ini kami masih membiayai penerbitan kami sendiri melalui iklan dan kerjasama dengan berbagai pihak (sedikit pihak rektorat, itupun pengadaan barang).
Sedikit konfirmasi kepada bang feb, da wir, da sonny, juga kepada alumni2 GENTA ANDALAS yang terhormat,
kita tidak pernah mimilih jalur “BERMESRAAN” dengan rektorat. Nyatanya, sampai sekarang, dana kami tertahan sejak 2007, bahkan dana-dana kegiatan yang sering “lenyap” sesampai di kantor PR3.
Jadi, mohon, kepada uda-uda atau alumni yang terhormat, jangan langsung menuduh, kalau belum tahu kepastiannya. Kami merasa malu, ketika posting atau coretan uda-uda tentang genta andalas, yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, dibaca oleh pers mahasiswa yang lain. Toh, kembali lagi, kita sama-sama pernah mendiami rumah “belajar” ini. Kenapa uda-uda tidak memberikan solusi daripada hanya menuduh?
Maaf, mungkin agak basi, tapi nyatanya, kami baru membaca tulisan tentang uda-uda alumni yang terhormat.

Doakan saja, segala tuduhan ataupun kekhawatiran uda-uda yang terhormat, tidak akan…TIDAK AKAN pernah terjadi. Untuk itu, kami sangat membutuhkan dukungan, masukan, kritikan, untuk kami, generasi yang kini meneruskan perjuangan di pers mahasiswa ini yang juga telah “kedatangan” generasi baru, agar kita tetap menjadi MEDIA PEDULI BANGSA, DAMAI, DAN BERMORAL.
Salam Pers Mahasiswa,
Wassalamu alaikum, Wr.Wb

“salam juga…posting kawan-kawan ini akan ku forward ke Sonny, agar komunikasi kita bisa lebih baik.

kawan-kawan Genta Andalas yang baik, kawan-kawan memang punya masa sendiri, karena itu… berkaryalah. dan teruslah belajar, terutama menulis. dan, siapapun tentu akan bisa menilainya dari karya yang dihasilkan. tapi tentu tidak menghilangkan hak yang lain untuk mengkritik.

tentang kecaman dari berbagai pihak, jika kawan-kawan dewasa, tidak perlu menganggapnya sebagai tuduhan. cukuplah klarifikasi saja dan buktikan bahwa kalian memang berkarya. Misal: jika memang teman-teman berhasil menerbitkan tabloid, jurnal, ataupun buletin, kenapa tidak posting di Web atau bahkan Blog. Agar kita semua bisa saling berkomunikasi, diskusi dan saling belajar.

Aku secara pribadi menunggu tulisan kawan-kawan.

Pada FS Yunita, aku memberikan beberapa catatan, demikian juga dengan FS Genta. Yang penting kita ingat, organisasi yang kita pilih adalah sebuah rumah tempat kita belajar, khususnya menulis. Sehingga, tentu wajar jika proses belajar itu -salahsatunya- dinilai dari apa yang kita tulis. Pertanyaanya, “dimana tulisan kawan-kawan genta saat ini?” Aku yakin kalian telah menulis, tapi mungkin kami yang belum membaca. Karena itu biarkan uda, uni ataupun kawan-kawan yang diluar membacanya.

Maka, aku lebih menyarankan agar kawan-kawan juga tidak “tipis kuping” dari segala kritikan. Belajarlah tentang dialektika, tentang perbedaan, bahkan tentang “kecaman” dalam nada sinis. Itu wajar jika kita masuk dalam dunia aktivis seperti ini.

tentang “kemesraan” kawan-kawan dengan rektorat, aku secara pribadi -sayangnya- mendengar juga hal itu dari rekan-rekan UKM lain. Apakah itu benar? Mari buktikan saja dengan tulisan yang kritis. Karena -katakanlah- benar kalian menjalin komunikasi dengan rektorat, itu tidak masalah jika dari karya kawan-kawan bisa tetap terlihat independensi dan kecerdasan mengkritik.

Aku secara pribadi menunggu karya kawan-kawan…

tentang Dana yang tertahan…Rebutlah! Karena itu hak.

Terakhir, selamat datang kawan-kawan yang memilih memulai nafasnya di Genta Andalas. Semoga kawan-kawan tidak masuk karena “kewajiban” kurikulum semata :-)

Selamat belajar.
“Tidak ada satu orang cerdas pun di rumah kita, yang ada hanya kesadaran merasa bodoh dan kesadaran untuk terus belajar”
Menulislah…

Comment by genta andalas — October 25, 2008 @ 10:23 am

8. adik2ku di genta,

terima kasih atas koreksinya,

seperti sebuah pengadilan,
semuanya kembali ke pembuktian

buktikan berapa kali adik2 mampu terbit dlm setahun
buktikan kemandirian
buktikan bhw independensi terjaga
buktikan bhw kritisisme tumbuh

senyata-nyatanya…
buktikan bhw kalian produktif kemudian.. kreatif menulis

ayo ngblog.. :)
aku ingin tahu sejauhmana adik2ku tumbuh

salam sayang,

Sonny,

Comment by sonny — October 25, 2008 @ 5:37 pm

9. oooooh……………….ternyata tahun belakangan ini
aku lupa sesuatu,aku telah tua, aku baru sadar lantaran mimpi tadi pagi

bukan iseng belaka memang.
terlahir dari sebuah banyolan goblok sampai aku benar-benar datang melihat sendiri.bang feb,bung feb,mas feb, kertas ini aroma baru buat hidungku, terima kasih,aku memaksa diri menulis disini.

atas kegentaan yang kita sandang bersama,aku,kau,kalian,dan teman-teman yang baru dan tentunya bang feb(aku memanggilmu sperti itu),da wir,mas sonny,kapan kita bisa bertemu ada secangkir kopi buat kalian jangan pakai rokok ya, tidak sehat,
aku ingin bercerita menertawakan diri kita yang dungu atau lucu…ha….ha….ha….edan.

tidak masalah nantinya lucu atau tidak
yang penting kita tertawa dulu sebagai penghargaan atas cerita itu
tentang GENTA ANDALAS yang menjadi dirinya sendiri
tentang abang2ku yang sekarang hidup dizaman siapa punya !
tentang angka-angka
tentang senyum kita masing-masing
tentang kedunguan yang betul-betul lugu
tentang kalian yang betul2 aku, kami dan genta andalas rindu

aku tak pernah ingin berkaca pada cermin yang terlanjur retak,namun cermin itu terlalu banyak menawarkan nostalgia yang indah,bukan maksud hati berkaca namun apa daya wajahku dipantulkannya dari sana.

aku adalah manusia biasa saja di rumah yang kita ujar genta andalas
hidupkupun biasa saja, hanya perulangan dari pagi ke pagi selanjutnya
setelah wisuda aku baru mengenal perulangn baru buat tahun berikutnya, hidup sebagai mahasiswa dengan kampus berbeda.

tentang dia,si genta andalas itu,dia mengundang kawan-kawan untuk menonton aquariumnya, katanya ikan disana membuat tenang hati.
tentang dia,si genta andalas itu,biarkan darah baru itu berkenalan dengan alamnya sendiri, merangkak,berjalan,menangis,jangan kita pangku, tinjunya tetap kuat, aku paling tau itu.
walau karyamu sedikit tak melekat
namun tinjunya tetap bergaung keras

sekali lagi
singgahlah lagi dirumah itu
bukankah kita pernah menadi bagiannya.

TIDAK SEMUA TAMU HARUS KEMBALI,BUKAN.

Langgeng yang sudah tua.. :-) Genta itu tempat belajar, namun memang sebagian dari kita terlanjur jatuh cinta, dan menanggapnya sebagai rumah. tempat pulang. tapi, sebagian lain hanya singgah, dan pergi lagi.
So, yang terpenting, orang di setiap masa nya memang harus berbuat. termasuk teman-teman di genta sekarang

Comment by elang — October 28, 2008 @ 12:37 pm

Catatan: HMI aset umat & bangsa. Siapa pun berhak bahkan wajib mengkritiknya. Otokritik dan kritisisme adalah bagian dari budaya intelektual






anak kost gw : 2003 - 2007
cantik, lincah, aktivis HMI lagi. Harusnya gw "bajak" dia
sbl dunia tahu keelokannya. Tp dasar gw MIOPI :D

perfectly imperfect..

Ketika Allah menciptakan manusia, Ia tahu bahwa kreasinya ini adalah sebuah kesempurnaan yang tidak sempurna. Meski begitu, Allah amat mencintai makhluq ini. Kepada manusia, diteteskan sifat-sifatNya. Lelaki mencitrakan sifat-sifat maskulinNya. Perempuan mencitrakan keelokanNya. Bila semesta, alam jagad raya tak terhingga ini adalah makro kosmos, maka manusia yang hanya sebutir karbon itu ternyata sama nilainya dengan seluruh ciptaannya: mikro kosmos.

Manusia pertama dihadirkan di surga, digelari Nabi. Para malaikat "bersujud" takzim pada kesempurnaan yang tidak sempurna ini. Sebahagian menolak dan menjadi iblis, setan. Dan manusia pun berada di antara 2 kutub ini: malaikat & iblis. Hanya saja ketika begitu baik, ia tak sekali pun menjadi malaikat. Kebaikannya tak sempurna. Atau bila jahat, tak menjadi setan. Karena dalam jiwanya masih ada sejumput mutiara berdebu yang sudah lama tak digosok.

Maka jika ada kerabat, orang-orang di sekeliling anda, tak sebaik yang ada kira, berempatilah. Karena manusia memang tak sempurna..

6.11.08

another fan of Musashi


polemik di milis AKUNTANSI Unand

[ berhubung saya sudah gak jadi anggota milis Akt, kutipan yang ada diposting ini sepenuhnya tidak literer ]

Awalnya Rope Rova (Akt ’87) menginformasikan bahwa seorang rekannya yang maju sebagai caleg dari “Partai Berlambang Burung Garuda.” Dia atau beliau minta dukungan ke milis. Dengan isengnya saya ikutan reply: “Kalau yang ada Pancasila Pancasilanya gak ikutan deeh.“

Lucunya, saya terkejut dengan reaksi Rope (reaksi bukan proaksi) : “ini no HP saya, kirimkan nomor HP anda, biar saya telpon !” Dan dimulailah sebuah sirkus. Ibarat Roller Coaster, saya suka menaikinya berkali-kali sampai bosan (Saya memang pembosan :) Pada satu titik, saya jenuh dan meninggalkan milis Akuntansi. Beberapa orang jg memilih unsubscribe dari milis itu, seperti Iad & Diyana.

[Kok ada yaa orang yang suka bagi-bagi nomor HP di ruang publik seperti milis. Saya bisa saja mengirimkan nomor HP nya ke seorang teman yang bekerja di bidang marketing, biar ditelpon habis-habisan sampai gak bisa ngapa-ngapain :D ]

Sejak awal saya sudah tahu bahwa berdebat di milis ini dengan orang-orang yang tidak terbiasa dengan perbedaan sama sekali tidak produktif. Tapi begitulah, saya si USIL bin KADAL bin BUAYA (menurut Lia) bin BIAWAK (menurut Ai) ini susah menghilangkan penyakit lama.

Dan KOMEDI MILIS pun berjalan. Milis ini sepertinya dikuasai Rope & The Gank. Mereka bilang: “wak japuik se nyo lai,”; “jan sampai Uda 87 tu berang”. “Kalau sobok dicekuih.” ”; “Sayang sekali selama itu kuliah di Padang tidak mendalami Budaya Minangkabau yang luhur.”

Saya me-reply dengan tak kalah lucu: “Kampung saya Jati Koto Panjang, FEKON Unand itu area main sepatu roda saya waktu kecil. Yang jadi tukang parkir hari Minggu disana masih Abang-abang saya. Ada yang mo jemput saya ? (Maksodnya, awas lo kalo reunian di FEKON, orang sekampung bisa bertindak :D” Btw, masak saya mau kalah lucu ketimbang orang lain. Sorry.. Kalah JAHIL aja gak mau. Lia: “senyum jahil.” Himawan: “sangat jahil.” Sonny: “jahil juga.”)

Sempat juga saya mempertanyakan definisi SENIORITAS & soal KESANTUNAN di milis. Sama seperti surat kaleng yang saya tulis di saat OSPEK th 2000. Senioritas itu takdir. Anda ditakdirkan lebih dulu masuk Akuntansi ketimbang orang lain. Sesuatu yang harusnya disyukuri, bukan diunjukkan.

[Surat kaleng itu berjudul PERLAWANAN DALAM DIAM. Saya serahkan ditengah kerumunan ke Pembantu Dekan III, Pak Zamzami Munaf, MA. Beliau kemudian membacakannya di depan mahasiswa baru. Teman saya, Alfiansyah Barnas mengkritik saya karena berani menulis surat kaleng itu. Katanya senior bisa jadi lebih sadis. Komentar saya, siapa takut. Belakang saya tahu dia anggota SALAFY. Ah, Salafy / Wahhaby sudah lama kehilangan progresifitas-nya sejak Arab Saudi berdiri. Pemikiran politik mereka sudah lama mandeg.]

Ibu saya guru bidang studi Budaya Alam Minangkabau. Saya memahami Minangkabau sebagai sebuah pengalaman sekaligus ketertarikan intelektual. Saya juga mempertanyakan dimana keluhuran Budaya Minangkabau. Korupsi, nilai UAN yang rendah dibanding propinsi lain, dan tawuran mahasiswa.

Dan mulailah satu persatu, pendukung saya bermunculan. Ada yang dari Akt 87, ada juga Akt 99.

Lalu saya melontarkan wacana EGALITARIAN & mengkaitkannya dengan USAMAH bin ZAID bin HARITSAH yang berumur 18 tahun tapi ditunjuk Rasulullah memimpin ekspedisi pembebasan Yerussalem. Di antara anggota pasukannya banyak sahabat-sahabat yang berusia paruh baya dan lebih berpengalaman.

Seorang anggota milis kemudian menjabarkan definisi EGALITARIAN. Reply bermutu.

Rope me-reply dengan lucu lagi: jangan memahami agama setengah-setengah. Anda harus mengerti dulu tafsir, hadits, asbabun nuzul. Kalau anda belajar agama sendiri, sebaiknya tidak usah menjadi agama sebagai bumper.

Akhirnya, tidak bisa tidak, saya melancarkan pukulan telak terhadap kesombongannya. Sudahlah di awal Rope & The Gank menganggap saya tidak mengerti budaya Minangkabau yang luhur, sekarang mempertanyakan pengetahuan agama saya.

Dan saya jawab: Saya belajar di Pesantren Gontor selama 7 tahun. Pesantren yang melahirkan tokoh-tokoh si A, B, C, D, dst. Mohon maaf kalau saya tidak bisa bicara agama lebih baik ketimbang Uda Rope. Jangan jadikan agama sebagai bumper? Islam is inherently mine. How could I deny that.

Setelah beberapa posting, KOMIDI PUTAR pun berakhir. Milis ini hanya tempat sampah dimana orang mem-forward ini dan itu. Bahkan ada seorang dosen bergelar MBA yang ikutan milis ini tapi kerjaannya cuman forward. Saya pun akhirnya ikut-ikutan terbawa suasana dan ikutan sindir-menyindir. Agar tidak menularkan penyakit REAKSIONER ke dalam diri, saya memilih UNSUBSCRIBE.

Tidak lama lagi, akan hadir milis International Class FE-UA, lengkap dengan blog untuk berwacana, portal informatif plus database. InsyaAllah bermutu. Everyone’s invited.. Semoga terwujud.. [ ]

2.11.08

fundamentalisme, Pancasila, Orde Baru dan 911

[ tentang Intelektualisme Nol ]


Ini bukan sekedar passion in debate. Debat bkn tujuan, hny alat. Aku ingin menginspirasi dia dg menggunakan teori konflik atau lebih jauh lg teori dekonstruksi Derrida. Lagian dia & temannya di Klub Bahas Unand bljr kedua teori ini, entah cukup dlm atau tidak.

Kedua pisau bedah ini seharusnya tdk hny digunakan u membedah apa yg di seberang lautan, tp bedahlah diri sendiri, tancapkan dlm2 ke tubuh, bunuhlah diri sendiri, jadilah manusia baru !

Aku membaca diskursus fundamentalisme sebelum era reformasi '98 dan jauh sbl peristiwa 911. Jd pandanganku cukup bersih dr pengaruh2 artifisial yg diakibatkan kedua peristiwa ini thd diskursus fundamentalisme.

Fundamentalisme di setiap agama tentu ada. Pun, harus dibedakan fundamentalisme & budaya kekerasan yg ditimbulkannya. Harus diteliti dulu apakah kekerasan itu inherent dlm fundamentalisme atau hny akibat dari benturan dengan faktor-faktor eksternal.

Pada dasarnya, budaya kekerasan bukan atau belum menjadi bagian dari fundamentalisme di Indonesia. Berbeda dg di Timur Tengah & Mesir misalnya dimana rezim terlalu menekan kaum fundamentalis shgg menimbulkan konflik terbuka.


Di sekolahku, Gontor, tdk pernah diajarkan Pendidikan Moral Pancasila. Jangankan indoktrinasi itu, lagu Garuda Pancasila tdk pernah (dan tdk akan pernah) dikumandangkan di Gontor. Singkatnya, aku merasa persoalan kompatibilitas dg Pancasila tdk penting. Jd kata2 "awas & waspada" itu jgn2 hanyalah hasil indoktrinasi yg dilakukan Orde Baru. Orba berhasil menciptakan mitos ttg Pancasila. Kesaktian Pancasila, SARA, dll hanyalah sebagian dari kosa kata yg berhasil dibenamkan Orba k kepala setiap org di negeri ini.

Menurut Fachry Ali, Orba tdk hanya mengangkangi kekayaan negeri ini, lebih jauh ia merusak dunia simbolik, menciptakan tanda & penanda sendiri yg menciptakan, mengutip Kang Jalal, Homo Orbaicus, mirip Homo Sovieticus, atau orang-orang Polandia, the biggest liars in the world. (Lebih jauh, baca Rekayasa sosial: Reformasi atau Revolusi ?, Jalaluddin Rachmat, Rosdakarya, 1999)

Di acara pembukaan Simposium & Lokakarya Seminar Internasional Antropologi di Auditorium Universitas Andalas yang diadakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia beberapa tahun yang lalu, Taufik Abdullah mengatakan bahwa hanya ada 2 daerah yang mampu mempertahankan kelanggengan kearifan lokal-nya dari daya rusak Orde Baru: Bali & Minangkabau. Local Wisdom versus Homo Orbaicus !

Terakhir, Republik ini tdk dibangun atas konsensus bulat thd Pancasila, tp lebih kepada keinginan u membuatkan wadah bg bangsa yg dinamakan Indonesia. Nation - State. Diperkuat lagi dg konsensus bernama Mosi Integral yg diusulkan Natsier th 1950. Natsier - Soekarno di tahun 1930-an pernah berpolemik panjang ttg asas negara. Di atas segala perbedaan, mereka bahu membahu urun mendirikan Republik ini.


Catatan kecik :

Benedict Anderson punya pandangan unik tentang negara - bangsa & nasionalisme lewat bukunya Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism

recent post