21.11.08

Lintang dalam diriku.. (2)

Lintang tak lagi pandai melukis, Ibunda..


Aku seringkali terpukau bila dosen tersayang, Ibuk Anurlis Abbas, MA masuk kelas, melukis kurva, menjelaskannya dlm bahasa Inggris yang "aduhai," & mulai menulis angka-angka Microeconomics. Lukisan kurva, kata-kata dan angka-angka. Oh, betapa pandai ibunda bermain sulap !




Dan ketika angka-angka disodorkan pada kami untuk disulap jadi kurva, aku tergagap. Aku tak pandai bermain sulap, Ibunda. Lintang sudah berkubur di jiwaku 5 tahun lalu, ketika mata pelajaran di kelas 3 Gontor (3 SMP) menjadi begitu sulit, dan aku tidak bisa lagi fokus pada eksakta. (Dan lagi, Gontor tidak concern dengan eksakta.)

* * *

Saat kelas 6 SD, beberapa bulan sebelum Ebtanas, orang tuaku memintaku pergi ke Gontor bersama sepasang anak dan ibu, kerabat kami, yang pergi menghadiri yudisium kelulusan anaknya. Tahun-tahun sebelumnya selembar surat keterangan sudah duduk di kelas 6 SD sudah cukup untuk bisa masuk Gontor karena perbedaan kalender akademis. Bila sekolah pemerintah menggunakan Kalender Akademik Agustus - Juli, maka Gontor menggunakan kalender Syawwal - Ramadhan.

Rupanya tahun itu sudah tidak diperbolehkan lagi menggunakan surat keterangan tersebut. Artinya jeda waktu antara tamat SD hingga masa tahun ajaran baru di Gontor harus digunakan calon santri untuk nyantri di pesantren-pesantren kecil. Dan aku memilih meneruskan bersekolah di SMPN 1 Padang.

Dan orang tuaku dengan mimpi-mimpi Timur Tengah-nya itu masih saja merayuku masuk Gontor. Akhirnya aku, bocah ingusan itu, tak berdaya. Ia kemudian menuruti kemauan orang tuanya padahal hanya beberapa minggu lagi ujian semester II kelas 1 SMP. Selama masa ujian masuk Gontor, ia hanya butuh belajar dikte Arab saja dan hafalan ayat-ayat pendek. Kesibukan lainnya adalah mengajar teman-temannya soal-soal berhitung (aritmatika) yang akan diujikan.

Dan ketika namanya dibacakan sebagai yang lulus ujian, ia hampir tidak merasakan euforia. Jangankan ujian kelulusan yang mudah itu, Ebtanas pun ia lalui tanpa perasaan tertentu. Akhirnya, menyesuaikan diri dengan tradisi, ia ikut bersujud syukur, dengan rasa syukur yang entah ada atau tidak.

* * *

Demikianlah. Di saat liburan panjang kelas 3 Gontor, ia mengeluh pada ibunya bahwa ingin sekolah di SMA saja. Dan jawaban ibunya sungguh memilukan: ia boleh masuk SMA tapi di Bandung, tidak di Padang. Artinya, tidak lulus sampai kelas 6 Gontor adalah aib, dan karena itu ia harus "diasingkan." Oh, bocah yang malang. Andai saja ia menerima menjalani masa pengasingan di Bandung, mungkin ia masih bisa menjadi Lintang seperti dahulu. Tapi ia hanya bocah ingusan tak berdaya.

Akhirnya ia kembali ke Gontor, menjalani kelas 4, melupakan bahwa ia pernah jatuh cinta pada eksakta. Lintang berkubur di jiwanya. Hingga suatu saat, Tunis memanggilnya menjadi anggota ITQAN (penerbitan majalah, penulis) dan kemudian FP2WS (klub diskusi, pemikir). Ia seperti menemukan obat luka hatinya. Ia tiba-tiba saja jatuh cinta pada ilmu-ilmu sosial.

1,5 tahun kemudian, beberapa bulan menjelang Yudisium kelulusan kelas 6, perkenalannya dengan pikiran-pikiran Kuntowijoyo, membawanya pada kesimpulan: bahwa ekonomi-lah Panglima, bukan politik. Kunto memaparkan 3 strategi perjuangan: struktural, kultural dan mobilitas sosial. Bagi Kunto yang terpenting adalah kultural & mobilitas sosial. Dan menurut bocah yang tak lagi ingusan itu, ekonomi-lah solusi untuk mewujudkan kedua strategi itu.

Dan melangkahlah ia ke fakultas ekonomi dengan penuh ragu. Apakah Lintang masih bisa hidup lagi?
Ternyata, bahkan berurusan dengan "debet - kredit" saja ia tak cakap..

Ia tak lagi peduli mimpi-mimpi Timur Tengah orang tuanya. Ia memeluk mimpi-mimpinya sendiri. Entah sampai entah tidak..


Catatan kecik :
Belakangan aku baru tahu, temanku Harpro Asra Omika, juga merasakan bahwa Gontor tidak concern dengan eksakta. Ia kemudian bersekolah di SMAN 3 Padang, giat di Rohis dan menjadi Ketua OSIS. Harpro yang lahir di Hari Proklamasi itu, kuliah di Teknik Elektro ITB, lalu bekerja di Nokia - Siemen Networks.

Gontor lebih tepat untuk mereka yang akan melanjutkan kuliah di bidang studi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sosial. Gontor punya 2 perpustakaan yang kaya dengan buku-buku yang biasa dibaca kalangan mahasiswa. Teman-teman yang kuliah di IAIN bahkan menjalani 2 tahun pertama mereka di bangku kuliah dengan santai. Menurut mereka seperti mengulang pelajaran di Gontor. Beberapa di antara mereka bahkan sering tidak masuk mata kuliah Bahasa Arab. Ada yang karena bosan, ada yang karena lelah berdebat dengan dosennya :)

Gontor adalah wadah yang tepat bagi mereka yang ingin menjadi pemimpin politik. Bahkan menjadi ketua kelas pun bisa dianggap sebagai karir politik pertama. Di Gontor, aku tidak pernah terpilih sebagai ketua kelas :D


No comments:

Post a Comment

feel free to comment :)

recent post