23.5.10

jumatan

Sudah lama saya ingin menuliskan khutbah-khutbah Jumat yang berkesan di hati. Saya bukan muslim yang baik jika ukurannya adalah berapa pengajian yang saya ikuti setiap bulannya. Ya, Jumatan hampir merupakan satu-satunya pengajian yang saya ikuti beberapa tahun terakhir. Karenanya saya berusaha menghilangkan kebiasaan ngantuk apalagi tidur saat Jumatan; berusaha mendengarkan dengan hati, bukan dengan kritisisme kognitif.

Jumat kemarin cukup berkesan di hati saya. Di antara kantuk yang mendera setelah semalaman begadang, masih bisa saya simak khutbah Sang Khatib. Entah ada hubungannya dengan Everybody Draws Mohammad Day, Khatib bercerita tentang hari-hari terakhir Nabi Muhammad. Entah sudah berapa kali saya baca dan simak cerita itu. Tetap saja, tidak bosan.

Mulai dari paska penaklukan Khaibar, dimana Nabi dihidangkan seekor kambing yang dilumuri racun oleh seorang wanita tua Yahudi. Dalam hati, saya selalu bertanya, kenapa Jibril telat memberitahukan Rasulullah bahwa daging tersebut beracun. Nabi sempat menyantap hidangan itu. Dan ajaibnya, beliau tidak meninggal seketika. Setelah itu Nabi memanggil si wanita tua itu dan menanyakan kenapa ia ingin meracuninya. Sang wanita menjawab: "Jika engkau benar-benar utusan Allah, niscaya engkau mengetahui bahwa daging itu beracun. Sekarang aku percaya." Saya lupa apakah wanita itu akhirnya menjadi muallaf. Yang pasti, Nabi memaafkannya. (Bagi saya, perkara memaafkan ini jauh lebih penting dari soal muallaf)

Beberapa bulan kemudian Nabi mulai sakit-sakitan akibat racun yang bersemayam dalam tubuhnya. Di hari-hari terakhir beliau, Abu Bakar diperintahkan menjadi imam shalat menggantikan Nabi yang terbaring di tempat tidur. Saya membayangkan suasana kediaman Rasulullah. Bagaimana dukanya Fatimah, Aisyah dan istri-istri beliau lainnya. Saya membayangkan beliau masih saja mengingat keadaan dan masa depan umatnya di saat-saat seperti.  Saya membayangkan Jibril yang memalingkan mukanya, saat nyawa Nabi Muhammad dicabut. Nabi bertanya, "Kenapa kau memalingkan muka, wahai Jibril. Apakah kau tidak suka melihatku ?" Jibril menjawab, "Bukan begitu, wahai kekasih Allah. Saya tidak tega melihatmu begitu kesakitan."

Dan ketika kabar wafatnya Nabi diketahui khalayak, semuanya gempar. Umar ibn Al-Khattab sampai-sampai mencabut pedangnya dan berjanji akan menebas semua orang yang berani mengatakan bahwa Nabi wafat. Di kejauhan, Abu Bakar yang saat itu berada di salah satu sudut kota Medinah datang tergopoh-gopoh menenangkan situasi. Dibacakannya selarik ayat, "Barang siapa yang akan menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa ia (Muhammad) akan mati suatu saat. Barang siapa yang menyembah Allah, maka Ia kekal selamanya." Dan khalayak pun tersadar. Umar berkata, "Wahai Abu Bakar, seakan-akan aku baru mendengar ayat itu untuk pertama kalinya saat ini.

Sang Khatib bercerita dengan menahan rasa haru yang begitu mendalam. Terkadang ia berhenti sesaat, terisak, menahan tangis, dan melanjutkan kembali kisah itu. Suaranya parau. Yang lebih menyentuh lagi, di rakaat kedua Shalat Jumat, khatib itu membacakan 3 bait ayat yang amat indah. Bahasa yang begitu puitis.

"Kullu maa 'alaihaa faaan
Fayabqa wajhu rabbika dzull jallali wal ikraam
..........."

"Setiap yang ada di atas semesta akan berakhir (fana)
Yang akan tersisa hanyalah wajah Tuhanmu yang Maha Tinggi dan Maha Terpuji"

Begitu lembut bahasa ayat ini. Sang Khatib yang menjadi Imam Shalat itu seakan-akan ingin meredakan kesedihannya dengan membacakannya. Bahwa wafatnya Rasulullah adalah bagian dari takdir kefanaan Nabi sebagai manusia biasa. Jumat yang mengesankan !

Catatan Kecik :
  • Entah kenapa Allah mengirimkan kekasih-kekasihnya (Ibrahim dan Muhammad) ke tengah-tengah padang pasir amat luas yang kemudian bernama Makkah. Siang hari, suhunya bisa mencapai 50° C di musim panas. Dan di musim dingin, suhunya menusuk tulang. Begitu ekstrim. Bayangkan hidup di zaman tanpa AC dan sun block
  • Dan entah kenapa sakratul maut Rasulullah tidak dimudahkan semudah-mudahnya oleh Allah. Bandingkan dengan kisah-kisah sakratul maut orang-orang yang dianggap wali. Entah hikmah apa yang bisa kita petik.
  • Kata "Fana" yang bearti tidak abadi, punya akar yang sama dengan kata "funun" yang berarti seni, creature atau ciptaan. Segala sesuatu yang diciptakan selalu punya awal dan punya akhir. Alam semesta ini adalah maha karya seni Sang Abadi. Mungkin diciptakan dengan kerumitan kalkulasi fisika dan matematika. Tapi yang pasti, Allah menciptakannya dengan rasa seni.
  • Saya tidak tahu 3 larik ayat yang dibacakan di rakaat kedua itu berasal dari surat apa. Ada yang bisa bantu ?


recent post