26.7.09

finally, Jaunty Jackalope

bebas.vlsm.org

Beberapa bulan yang lalu saya menerimakiriman CD Ubuntu Linux versi terbaru dari vendor komersil-nya, Canonical Ltd. Sama sekali tidak menyangka bahwa kiriman itu benar-benar gratis. Awalnya saya mendaftar untuk mendapatkan rilis terbaru Ubuntu yang berkode Jaunty Jackalope itu di situs https://shipit.ubuntu.com

Dulu saya pernah dengar bahwa setiap rilis Ubuntu, selalu ada acara bagi-bagi CD gratis di seluruh dunia melalui Komunitas Ubuntu di setiap negara. Saya kira kalaupun CD benar-benar dikirimkan, Komunitas Ubuntu Indonesia yang akan melakukannya. Ternyata CD itu dikirimkan langsung dari kantor pusatnya di Eropa. Agak bingung menjelaskan letak persisnya kantor pusat Canonical. Di sampul belakang paket seukuran 20x20 cm disebutkan bahwa Canonical Ltd teregistrasi di Isle of Man. Sementara cap pos dari perusahaan pengiriman TNT beralamatkan sebuah kotak pos di Belanda.


Sedikit tentang Canonical

Isle of Man? Belum pernah denger tuh. Ternyata, Isle of Man adalah sebuah pulau di tengah Inggris Raya. Dan yang menakjubkan, pulau mungil itu adalah sebuah negara dengan status Crown Dependency. Mirip Commonwealth. Bedanya kalau negara-negara commonwealth benar-benar negara merdeka, sedangkan CD adalah negara yang dikepalai langsung oleh Ratu Inggris dan kepala pemerintahannya adalah seorang Gubernur Letnan. Pulau ini bukan bagian dari Kerajaan Inggris meski secara geografis merupakan bagian dari Inggris Raya (Great Britain).

Anehnya lagi, meski Canonical terdaftar di Isle of Man, di Wikipedia disebutkan bahwa kantor pusat operasionalnya berada di gedung Milbank Tower, di tepi sungai Thames, London. Meski para programmer biasanya bekerja secara virtual melalui rumah, Canonical juga membuka kantor layanan dan dukungan di Montreal Kanada plus sebuah kantor untuk tim OEM di Massachusetts, Amerika Serikat.

Setelah membaca profil Isle of Man di wikipedia, saya mengerti kenapa Canonical yang berstatus private company itu teregistrasi di sana. Negara kecil itu amat permisif soal pajak. Seperti kebanyakan proyek open source lainnya, pendapatan Canonical berasal dari layanan pihak ketiga, tidak dari penjualan komersial CD Ubuntu Linux karena Linux pada dasarnya gratis di-download, diperbanyak dan didistribusikan oleh siapa saja. Dengan terdaftar di Isle of Man, potongan pajak yang dikenakan lebih rendah dari negara-negara besar semacam Inggris dan Amerika. Pun, aturan hukum Eropa dan Kanada lebih nyaman bagi para pengembang open source yang bekerja lebih karena alasan sosial (volunteerism) ketimbang profit.  


Dari *.rpm ke *.deb

Pengalaman saya dengan rilis Ubuntu sebelumnya tidak begitu baik. Ubuntu 8.10 yang dirilis di tahun 2000 bulan ke-10 tidak berjalan dengan baik karena kurangnya dukungan terhadap Kartu Grafis S3/Unichrome buatan Via di laptop saya. Ubuntu bisa dijalankan tapi tidak bisa di-shutdown dengan baik. Benar-benar menjengkelkan ! Akhirnya, saya menginstall OpenSuse 11.1 meski tidak antusias. Dengan dual-boot, saya lebih sering menggunakan Windows XP. Font OpenSUSE jelek seperti kebanyakan distro Linux sementara Slab (Menu Program) terasa menjengkelkan. Saya lebih suka tampilan default Gnome Menu yang lebih user-friendly.

Setelah menginstall Ubuntu 9.04, saya benar-benar kagum pada dukungan grafisnya. Tidak hanya font yang sebanding dengan font Windows Vista, icon-icon Ubuntu bahkan lebih cool. Themes standarnya memang tidak bagus. Saya ganti dengan themes New Wave. Tapi belum juga puas. Akhirnya, setelah googling sana-sini, saat ini saya menggunakan theme Mac OS X Leopard dari mac4lin, salah satu proyek Sourceforge. Penerapan theme Mac di Linux bahkan lebih mendekati aslinya ketimbang di Windows yang mengandalkan Stardock dan Stylexp atau Flykiteosx. 

Tapi masalah terbesarnya bukan sekedar lipstik dan makeover seperti dandanan Mac OS X. Mengubah kebiasaan dari menggunakan distro linux berbasir rpm (Fedora, OpenSUSE, Mandriva, Nusantara) ke distro berbasis deb (Debian, Ubuntu, Blankon, gOS, Knoppix, Mepis). Banyak perintah di Command Line Interface atau Terminal / Console yang khas Debian yang harus dipelajari lagi. Khususnya cara instalasi program (apt, dpkg). Tapi setelah mempelajari beberapa tutorial (sebagiannya sudah usang :) akhirnya saya bisa menggunakan Ubuntu dengan baik.


Windows XP dikandangkan

Ubuntu adalah salah satu distro yang dirawat dengan sangat baik, baik oleh vendornya maupun para developer volunteer. Keduanya pun berkolaborasi melalui launchpad.net. Karena itu paket program yang bisa diinstall di Ubuntu sangat banyak. Selain kemudahan penggunaanya, faktor ini juga membuat Ubuntu sebagai distro linux terpopuler versi distrowatch.com. Selain itu, untuk perbanding software Linux vs Windows bisa ditemukan di linuxappsfinder.com

Karenanya saya amat jarang menggunakan Windows XP kecuali untuk ACDSee, MS-Office 2007 dan terkadang UltraISO. Fitur "Batch Editing" ala ACDSee belum ada tandingannya di Linux. Fitur "skip bad sector" di UltraISO sedikiiiit lebih baik ketimbang Brasero. Juga, masih ada masalah kompatilitas Office2007 terhadap OpenOffice 3.0. File *.docx yang dibuat dengan Office2007 kadang tampil berantakan jika dibuka dengan OpenOffice. Begitu juga sebaliknya. (Kalau gak salah,  developer OpenOffice sedang memperjuangkan standar dokumen untuk mengatasi masalah interoperabilitas lewat jalur hukum dengan menggunakan UU Anti-Trust. )

Akhirnya Win XP saya hapus sama sekali dan saya "kandangkan" di dalam VirtualBox buatan SUN. Bila perlu pake 3 program di atas, saya tidak perlu me-restart komputer lagi. Cukup dengan menghidupkan mesin virtual dan WinXP langsung muncul.

Viva Ubuntu !





30.4.09

kapan Nabi Muhammad lahir?

Berkunjung ke islamlib.com selalu bikin geleng-geleng kepala dengan bahasan yang disajikan. Ketika di Barat, sistem ekonomi berbasis ajaran (dan tradisi) Islam dikaji, islib justru sibuk mencari pembenaran teologis terhadap kapitalisme. Ketika teori evolusi menuai kritik, terutama karena prinsip missing link yang tak berhasil dibuktikan dan malah memunculkan banyak kebohongan akademis, islib justru memunculkan masalah baru dengan mengkaji kemungkinan pendekatan evolusionis terhadap tumbuh dan berkembangnya agama-agama. Seakan tidak cukup pendekatan sinkretisme dan konsep trancendent unity of religion menimbulkan masalah.

Pendekatan saintifik tersebut tidak begitu merisaukan saya. Yang merisaukan justru tulisan-tulisan ala orientalis atau islamolog seperti yang diungkapkan Abdul Moqsith Ghazali. Setelah sebelumnya melontarkan pandangan bahwa Ishaq-lah yang dikurbankan, bukan Ismail, kali ini ia mempermasalahkan kapan tepatnya Nabi Muhammad lahir.

Setelah memaparkan panjang lebar tentang ikhtilaf para ulama dan sejarawan, Abdul Moqsith menutup tulisannya dengan pertanyaan tentang siapa yang kita rayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal. Bagi saya, pertanyaannya tidak lebih dari sekedar trik murahan. Ya, tentu saja perayaan maulid yang didasarkan pada pendapat salah satu sejarawan, Ibn Ishaq. Hal yang lumrah bila dalam ikhtilaf, diambil salah satu pendapat.

Di atas semua ikhtilaf itu, semua orang tahu bahwa perayaan maulid Nabi berbeda kedudukannya dengan perayaan Natal atau Waisak misalnya. Perayaan Natal atau Waisak hanya bisa dibandingkan dengan perayaan 'Ied

Maulid Nabi tidak berada di pusat teologi Islam. Tidak ada satupun doktrin keislaman yang berhubungan dengan hari kelahiran Nabi. Perayaan Maulid adalah tradisi bukan ibadah. Tentu saja itu berarti bid'ah. Sebahagian ulama membagi bid'ah dalam 2 kategori bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat). Kalangan ortodok menganggap semua bid'ah adalah sesat tanpa harus menyelidiki bentuknya. Saya tentu saja lebih cenderung menganggapnya sebagai bid'ah hasanah karena perayaan maulid tidak mempunyai bentuk baku tertentu. Di kampung saya, maulid dirayakan dengan mengadakan ceramah di mesjid-mesjid. Di beberapa tempat di Jawa, maulid dirayakan dengan menyelenggarakan tradisi shalawatan.

15.4.09

Ioanes Rakhmat: Nasrani, Muslim atau Agnost ?

Google sering membuat saya terkaget-kaget. Kali ini contohnya. Awalnya, saya hanya ingin tahu bagaimana orang-orang Nasrani atau Kristen mengapresiasi The Passion of The Christ. Sebahagian besar ulasan yang saya temukan via Google memuji film besutan Mel Gibson ini. Bahkan Paus terdahulu menyebutnya sebagai "as it is" (apa adanya) meski kemudian pujian itu ditariknya.

Hingga saya menemukan kritik Ioanes Rakhmat. Tidak hanya mengkritik film itu, ia bahkan menggugat dogma-dogma utama yaitu dosa warisan dan penebusan dosa. Di posting-posting lain, ia menggugat Trinitas atau Tritunggalisme; ambiguitas teks-teks Injil dalam memaparkan sosok Yudas. Secara implisit, ia mengkritik kebertuhanan Yesus.

Sungguh mengejutkan ketika akhirnya saya menemukan (lagi-lagi via Google) bahwa beliau adalah (mantan ?) pendeta GKI yang mengajar di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Sebaliknya, saya tidak heran jika pandangan-pandangan terhadap dogma-dogma itu datang dari seorang muslim atau pengkaji Kristologi.

Melihat gambar-gambar dewa-dewi berbagai agama dan external links di blognya, saya menduga pikiran liberal beliau mempunyai resonansi yang sama dengan liberalisme yang dianut Jaringan Islam Liberal. Benar saja. Di situs Islamlib.com, tersaji wawancara beliau yang terang-terangan menyebut perayaan natal sebagai warisan pagan. (Pandangannya tentang natal ini bisa jadi liberal di kalangan Nasrani, tapi biasa di kalangan Kristolog. Lucunya, kalangan Islam Liberal sama sekali tidak berminat mengkaji Kristologi). Temuan berikutnya, ia sering diundang untuk berbicara dalam diskusi kalangan Islib.

Saya bisa maklum kalau Ioanes mewakili cara pandang Protestan. Tapi mungkin ia terlalu liberal bahkan untuk seorang Protestan sekalipun. Kalau Ioanes bukan seorang pendeta, saya yakin dia malas ke gereja. Sama halnya, saya menyaksikan para aktivis Islam Liberal duduk santai melewatkan waktu sholat maghrib dengan ngobrol di Kedai Tempo Utan Kayu hingga menjelang diskusi jam 19.00. Diam-diam saya percaya bahwa kaum liberal pada akhirnya adalah orang-orang Agnost.


Catatan kecik:
Saya bukan peminat kajian Kristologi. Bidang itu terlalu berat :)

Satu-satunya yang koheren antara The Passion of The Christ dengan pandangan keislaman saya adalah fakta sejarah bahwa para pemimpin Yahudi punya andil besar terhadap kematian Yesus. Selebihnya, Islam menyatakan bahwa detil-detil saat-saat terakhir Yesus tidak jelas. Yudas jelas berkhianat. Sejak zaman Nabi Musa, memang muncul orang-orang yang menzalimi para nabi. Nabi Zakaria dan Yahya pun terbunuh.

Bagi saya, anti-semit yang diartikan sebagai anti-Yahudi adalah terminologi politik yang diciptakan kaum Zionis untuk menyerang para pengkritiknya, bukan terminologi yang bisa diterima secara akademik. Terutama karena kerancuan etimologisnya. Memang, tidak semua Yahudi itu zionis. Tapi faktanya, zionisme adalah pandangan mayoritas Yahudi atau setidaknya pandangan dominan. Atau mungkin, sebagaimana doktrin Zionisme, doktrin Talmud menyalahi ajaran para nabi

Yang paling menyedihkan bila berkunjung ke Utan Kayu 68 adalah melihat mushalla yang hanya seluas 2 x 2,3m dengan 2 sajadah lusuh. Sama menyedihkannya dengan berkunjung ke mushalla di Universitas Paramadina ketika waktu shalat tiba. Terlalu kecil dan sepi untuk sebuah kampus berfakultas agama.

Saya bahkan melihat 2 botol Anker Bir di salah satu meja Kedai Tempo itu.

Saya setuju dengan Ioanes bahwa messianisme akan problematik jika dibenturkan dengan demokrasi. Namun, berbeda dengan kesimpulan Ioanes, rasa percaya saya pada janji-janji eskatologis jauh lebih tinggi ketimbang janji-janji demokrasi. Demokrasi memang pandangan konvensional zaman ini, tapi siapa tahu ia dianggap usang di akhir zaman. Hhh, cara berpikir ahistoris. Tapi setidaknya dengan begitu saya yakin kiamat belum terjadi di abad ini. 2012? Gila aja! :)

Saya menemukan solusi teologis untuk mengucapkan selamat natal tanpa harus menjadi liberal


14.4.09

i hate firefox 3.1b



For Firefox, beta is beta.
I switch to Chrome 2b & Safari 4b often

more funny pics



11.4.09

arah koalisi pilpres dan sekularisme

Postingan ini hanya penegasan dari posting konstelasi politik pilpres 2009 yang ditulis di awal tahun ini. Orang-orang rame bicara soal arah koalisi. Skenario ini dan itu. Padahal, petunjuknya sudah jelas. Golkar, sekali lagi, akan menunjukkan gaya berpolitiknya yang pragmatis, terlepas dari faksi-faksi yang bertarung dalam tubuh Golkar. Mereka tidak pernah bisa membayangkan menjadi oposan. Entah itu akan rujuk dengan SBY atau dengan Mega. Pokoknya harus ada dalam koalisi yang berpeluang besar memerintah.

PKS & PBB sudah jelas tidak akan mau berkoalisi dengan PDI-P. Entah itu karena faktor ideologi yang berbeda diametral atau karena faktor Megawati. Jusuf Kalla memberikan pilihan yang sulit bagi kedua partai ini ketika ia mulai menggandeng PDI-P. Gerindra dan Hanura masing mungkin berada dalam satu koalisi, menilik bila kedua mantan jenderal itu melihat SBY sebagai common enemy. Retorika iklan kampanye keduanya sudah jelas memposisikan pemerintah saat ini sebagai yang bersalah terhadap kondisi bangsa saat ini, padahal warisan pemerintahan Megawati tidak sedikit menyumbang masalah.

PPP & PKB entah itu bisa disebut fleksibel atau pragmatis, tetap akan menggambarkan cara berpolitik yang cenderung established, mempertahankan status quo. Partai-partai Islam atau yang secara inheritant bermassa muslim akhirnya hanya akan memberikan cek kosong. Islam politik sudah berada di depan jurang. Entah itu karena retorika politik yang membingungkan, atau karena masyarakat sudah semakin sekuler. Agama bukan lagi konsideran yang penting dalam hidup manusia. Sekularisasi, kata alm. Prof. Selo Soemardjan, adalah proses yang tidak bisa dihindari. Bagi saya, kalau dunia dilihat secara positivistik, bukan normatif, kayaknya emang begitu. Teori, dalam dunia modern, dibuat pertama kali untuk menjelaskan apa yang terjadi, bukan mengangankan apa yang seharusnya terjadi. Posmodern pun begitu. Ahli agama sejak awal sudah curiga bahwa posmo hanya perpanjangan dari modernism. Bedanya, posmo hanya kelihatan sedikit lebih sophisticated.

Yup, Pilihannya adalah antara theis, agnost, dan atheis. Sekularisme tidak mengangankan manusia menjadi atheis. Ia hanya akan memberikan pilihan antara selembar tipis keimanan dan selembar KTP. Spritualisme minus organized religion? Oh, tawaran posmodernism itu kan hanya bentuk lain dari gejala agnostik. Perrenialism? Lagi-lagi hanya soal pecanggihan..




Kutu Gila !

Dari sekian add-on firefox yang pernah saya gunakan, firebug mungkin yang paling mengagumkan. Ide gila! Awalnya, saya cukup puas menggunakan webdeveloper. WD ini lebih bersifat informatif. Mulai dari melihat source code, properti gambar, warna, topografi, outline hingga CSS. Firebug lebih kurang menyediakan informasi yang serupa. Namun kelebihannya adalah firebug menyediakan area kerja (work space).

Jika sebelumnya dalam mendesain ulang tampilan blog, saya harus repot-repot berpindah-pindah dari webdeveloper -- Adobe Dreamweaver -- dashboard/layout/edit html, sekarang yang saya butuhkan hanya mendesain di area kerja firebug. Ya, karena agak "buta warna" dan gak punya rasa seni dalam kombinasi warna, saya masih butuh bantuan add on ColorZilla sehingga tidak perlu mengkonfirmasi warna dengan bantuan eyedropper Photoshop. Yang penting, saya tidak harus berpindah dari firefox.

Jadi pengen utakatik lagi. Firebug membuat saya lebih ngeh thd struktur XML. Kalo bisa, saya bikin template sendiri. Blogspot emang tempat bermain yang asik :)

8.4.09

Catatan Pemilu 2009

Pemilu 2009 adalah pemilihan umum ke-3 paska rezim Orde Baru. Pemilu kali ini adalah pemilu ke-2 dimana presiden akan dipilih langsung oleh rakyat dan untuk pertama kalinya wakil rakyat akan dipilih berdasarkan suara terbanyak. Demokrasi bisa berarti kekuasaan di tangan mayoritas dan akomodasi terhadap minoritas. Ia juga bisa berarti perayaan sekaligus penghargaan terhadap kapasitas individu, baik individu pemilih maupun yang dipilih. Sebagai bagian dari proses konsolidasi demokrasi, ada baiknya kita catat pernak perniknya.

Rekruitmen Politik
Caleg vs kursi
 
Caleg
Kursi
% Kursi/Caleg
DPR
11.215
560
5,0
DPD
1.109 
132
11,9
DPRD Prop
112.000
1.998
1,8
DPRD Kab/Kota
1.500.000
15.750
1,1
Diolah dari djombang.com

Data diatas bisa ditafsirkan macam-macam. Negara yang mengalami emerging democracy memang selalu menghadirkan partisipasi politik yang antusias. Tapi di sisi lain, kita melihat lemahnya rekruitmen politik di tingkat partai politik. Akhirnya, rakyat yang diminta untuk "menyaring" orang-orang yang layak mewakili mereka. Di tengah kebingungan menentukan pilihan, agaknya pemilih akan cenderung memilih partai ketimbang individu caleg. Di kemudian hari, mungkin dibutuhkan penyederhanaan jumlah partai.

Ongkos politik
Menurut VIVANews.com, biaya paling murah untuk menjadi caleg adalah Rp 210 juta. Hermawan Kartawijaya dari Mark Plus bahkan menyebut angka minimal sebesar Rp 500 juta. Survey AC Nielsen menyebutkan bahwa biaya iklan caleg dan partai politik sudah mencapai Rp 3 Trilyun. Pertanyaannya kemudian, apakah kita bisa berharap bahwa legislator yang menanggung ongkos politik sebegitu besar bisa bersih dari penyelewengan?

Survey pemenang pemilu
Lembaga Survey Indonesia mengumumkan hasil survey per Februari 2009. Partai Demokrat akan mendapat 22,2%; PDI-P 17,3%; P-Golkar 15,4%; PKS 5,3%; PPP 5,3% kemudian berturut-turut PAN, Hanura dan Gerindra dibawah 5%. SBY masih berpotensi kuat memerintah kembali. Selengkapnya baca disini

Hasil survei LSN tentang tingkat elektabilitas 12 partai papan atas PD 19,3%, PDIP 16,2%, Partai Gerindra 15,6%, Golkar 14,0%, PKS 6,6%, PAN 4,3%, PPP 4,1%, PKB 4,0%, Hanura 2,1%, PKNU 1,2% dan PDS 1,0%. Selengkapnya baca disini

Hasil survei yang dilakukan oleh LP3ES pada 9-20 Februari 2009 menunjukkan bahwa Demokrat tertinggi (21,52%), disusul PDIP (15,51%) dan Golkar (14,27%). Yang lulus threshold adalah PPP, PKS, PKB, PAN dan Gerindra. Sekitar 22,83% menyatakan belum tahu. Sampel responden adalah 2.957 yang diambil secara acak. Ringkasnya klik disini. Klik disini untuk Pernyataan Pers

Seberapa akurat?

Platform, janji-janji politik, dan pragmatisme
Janji Megawati hanya 3 poin: sembako murah; lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Terkesan sederhana dan tidak menarik. Soetrisno Bachir menjanjikan anggaran Rp 1 Milyar per desa per tahun. Sementara PKS, menjanjikan DPR yang bersih.

Dari sekian janji-janji politik, agaknya janji Prabowo-lah yang paling manis. Delapan poin janji politiknya benar-benar lengkap! Mulai dari pemihakan pada petani, buruh dan nelayan; penghijauan 59 juta hektar hutan; harga pupuk; sekolah gratis; moratorium hutang; hingga layanan kesehatan yang lebih baik. Mereka yang menolak neo-kapitalisme bakal tergiur. Tapi yang agak di luar akal sehat yaitu pertumbuhan ekonomi 12% dan 1 juta laptop gratis per tahun. Mungkin saya bisa percaya pada lokomotifnya, tapi saya ragu dengan gerbongnya.

Masalahnya adalah bagaimana jika Prabowo urung mencalonkan diri atau tak terpilih jadi presiden dan Gerindra menjadi komponen minoritas dalam suatu koalisi yang memerintah. Apakah janji-janjinya terhapus dengan sendirinya? Tidakkah janji-janji itu adalah bagian dari platform yang harus dipertahankan dalam kondisi apapun.

Dia lagi presiden kita?
Pastinya saya tidak akan memilih capres yang pernah menjual BCA dan Indosat dan dengan harga murah pula; melego kontrak Blok Tangguh dan menjual kapal tanker VLCC Pertamina dengan harga jauh di bawah harga pasar maupun harga beli. Saya juga tidak akan memilih capres yang pernah melego Blok Cepu kepada pihak asing padahal Pertamina bisa mengurusnya. Juga karena di kabinetnya diisi oleh ekonom-ekonom neo-liberal. Ia memang menggalakkan pemberantasan KKN (padahal hanya rimah-rimah saja); mengakomodasi aspirasi umat lewat UU AP. Ia berpolitik "cantik".
Masalahnya, tidak ada capres alternatif. What a pity protest voter..

6.4.09

wordpress vs blogspot

Saya punya 2 blog yang sudah tidak digunakan lagi di wordpress.com. Sampai saat ini, salah satu dari 2 blog tersebut masih menuai komentar. Terutama postingan impersonal menyoal SPEEDY PERSONAL vs SPEEDY TIME-BASED. Padahal halaman komentarnya membutuhkan moderasi. Dan saya tidak tahu bagaimana cara menghapuskan moderasi komentar di wordpress. Dan entah kenapa pula kok bisa-bisanya butuh moderasi. Huh, tidak ketemu tombol resetnya nih. Blog wordpress yang satunya lagi tidak butuh moderasi. System failure atau bug kali tuh..

Saya coba memasukkan judul postingan tersebut ke mesin pencari Google. Juga judul posting Masa Depan PKS yang baru-baru ini mendapat komentar entah dari siapa. Ternyata tampil di halaman pertama. Lalu, saya coba masukkan judul postingan di wordpress beberapa orang ke Google. Dan memang tampil di halaman pertama. Ternyata wordpress merupakan mesin blog ber-SEO (Search Engine Optimization) yang terpasang otomatis. Pola ini memungkinkan postingan di wordpress lebih mudah ditemukan di mesin pencari ketimbang postingan di blogspot yang notabene milik Google.

Dulu, saya pindah dari wordpress ke blogspot karena wordpress tidak memberikan keleluasaan untuk mengedit script / kode. Karena itu tampilan blog di wordpress.com sesuai dengan template yang tersedia. Memang sih, saat ini template yang tersedia cukup bagus dan variatif. Tapi bagi mereka yang tertarik untuk belajar mengedit HTML / CSS, wordpress mengharuskan account di-upgrade ke premium alias bayar. Yah, mungkin dari sana, wordpress bisa mendapatkan penghasilan, karena jarang saya temukan AdSense google di wordpress.com. Lagian sidebar di wordpress.com tidak mau menerima JavaScript dan tag <embed>. Kompensasinya, kebijakan konservatif wordpress.com ini memberikan akses yang lebih stabil dan cepat ketimbang blogspot.

Pada dasarnya wordpress (baca: bukan wordpress.com) adalah mesin blog terbuka (open source). Pengembangannya dilakukan oleh banyak orang di seluruh dunia. Karena sifatnya yang terbuka dan gratis, wordpress mendominasi pasar mesin blog. Bahkan mereka yang hanya ingin membangun sebuah situs sederhana, akan cenderung memilih menggunakan mesin blog wordpress ketimbang mesin portal Joomla yang juga populer. Dan menggunakan mesin wordpress dengan domain pribadi jauh lebih nyaman dan leluasa ketimbang di wordpress.com. Masalah lain, program web-grabber semacam Teleport Pro dan WebZilla tidak bisa mendownload blog di wordpress.com. Ada system blocking. Program web-grabber melakukan request yang konstan terhadap server hosting sehingga membebani sistem. Ketimbang melayani program yang lebih mirip tukang download ini, server diatur untuk menolak. Artinya, saya tidak bisa membackup blog saya ke hard disk.

Jadi, blogging di wordpress atau blogspot, ada plus minusnya. Tergantung kebutuhan anda. SEO di blogspot membutuhkan usaha pribadi masing-masing pengguna.


2.4.09

rumah emak


Pagi ini iseng ngdownload & menginstall (lagi) Google Earth. Sebenarnya saya gak punya ide apa-apa tentang GE. Dari dulu paling banter digunakan untuk melihat apa rumah emak ada di peta. Hhh, kampungan banget :) Eh ternyata kekeran satelitnya lebih keren dari tahun kemaren. 3D tampak lebih realistik sekarang.

Ternyata sudah banyak lokasi di Padang yang ditandai. Dari dulu sudah saya tandai rumah emak, tapi kok gak keliatan bekasnya ya? Hmm.. coba saya tandai lagi. Btw, ternyata Padang hanya 0'5" di selatan garis ekuator. Nas panas panasss..

Update:
Saya baru ngerti kenapa banyak lokasi yang ditandai. Sebahagiannya, pengguna wireless internet. Mereka butuh GE untuk bekerja lebih efisien dalam memasang antena. Gak ada lagi ceritanya putar-putar antena. Kan tinggal bawa gadget GPS; tandai koordinat area; trus buka Google Earth, masukin koordinat; tarik garis dari kantor pusat atau pemancar BTS / repeater; dan periksa penghalang fisik di sepanjang jalur yang akan dilalui gelombang; periksa ketinggian penghalang; nah baru diketahui berapa tinggi pemancar yang dibutuhkan.

31.3.09

the almighty dollar

Para ahli ekonomi sependapat bahwa krisis kapitalisme saat ini lebih dalam ketimbang Great Depression di paruh ketiga abad 20. Krisis ini diperparah dengan tingginya biaya perang Amerika di Afghanistan dan Irak serta program bailout. Selain anggaran yang selalu defisit, neraca perdagangan Amerika selalu defisit bahkan selisihnya secara konstan hampir 20 persen. Jadi seberapa pun kuatnya Amerika menggenjot ekspor, hasilnya toh tetap defisit.

Pengangguran naik dari 851.000 menjadi 12,5 juta orang pada Februari 2009 dengan persentase naik menjadi 8,1%. Lima juta pengangguran tercipta dalam kurun 12 bulan terakhir atau dalam persentase sebesar 3,3%. Hutang Amerika saat ini melonjak dari $5,2 Trilyun di tahun 1998 menjadi $10,9 Trilyun. Sementara GNP Amerika berjumlah $13,8 Trilyun. Bayangkan jika keseluruhan GNP digunakan untuk membayar hutang. Atau bagaimana bisa seorang yang memiliki penghasilan Rp 1.300 bisa berhutang sebesar Rp 1.100

Secara matematis, seharusnya Amerika sudah bangkrut. Setidaknya mereka tidak lagi memiliki modal cair untuk menjalankan ekonominya. Dan kaum sosialis pun boleh bermimpi tentang tatanan dunia baru tanpa Amerika sebagai negara adidaya.



in the world without dollar, who needs america ?

Namun apa yang lazim bagi negara lain, belum tentu terjadi di Amerika. Kurva-kurva moneter dalam buku teks tidak bekerja dalam ekonomi Amerika. Lebih kurang 60% dari total transaksi dagang di seluruh dunia menggunakan mata uang dollar. Hampir keseluruhan transaksi migas menggunakan dollar. Menurut A. Riawan Amin dalam Satanic Finance, jika Amerika membutuhkan dana tambahan, yang perlu mereka lakukan hanyalah mencetak uang dengan biaya 6 cent per lembar (bukan per dollar). Dan lazimnya semakin banyaknya uang primer yang beredar, semakin tinggi angka inflasi. Tapi jika yang mengalami inflasi itu Amerika, efeknya sampai ke seluruh dunia karena ketergantungan terhadap dollar. Di samping itu, ekspor ke Amerika menjadi kurang kompetitif akibat melemahnya dollar terhadap mata uang lainnya.

Nah, jika pelemahan dollar sudah dirasa ikut merugikan Amerika, terutama dalam transaksi dagang yang mengharuskan Amerika menggunakan mata uang kuat Euro atau Yen, yang perlu mereka lakukan hanyalah menerbitkan surat hutang dalam bentuk US Treasury Note, Bill atau Bond. Bagi negara-negara lain, surat hutang Amerika dibutuhkan sebagai cadangan devisa selain dollar itu sendiri. Bagi Amerika, surat hutang hanyalah dollar dalam bentuknya yang lain. Demikianlah lingkaran setan tak berujung. Dan mesin perang Amerika pun didanai dengan mesin uang, disamping dari uang pembayar pajak tentunya.

Lalu kapan Amerika akan bangkrut? Ya, tentu jika dunia mulai berpikir tentang mata uang idaman lain. Eropa sudah menggunakan mata uang Euro dengan bantuan Robert A. Mundell. Dalam forum G20, Cina sudah menyerukan perlunya mata uang global di bawah otoritas lembaga superbodi IMF. Rusia mengajukan ide tentang mata uang global yang di-back up nilainya dengan emas setara. Dan tentu saja bisa ditebak: Obama menolak..


Catatan kecik :
Robert A Mundell adalah peraih nobel ekonomi 1999 dengan teorinya Optimum Currency Area. Teori ini mengandaikan bahwa penggunaan mata uang tunggal untuk suatu kawasan geografis dengan luas tertentu akan menghasilkan optimasi ekonomis. Lebih dari itu, Mundel percaya bahwa emas akan menjadi mata uang global di abad 21 dengan pola yang berbeda dengan yang pernah terjadi di pertengahan abad 20.

Luthfi Hamidi mengajukan pola yang cukup rasional dalam penggunaan emas sebagai mata uang. Menurutnya, setiap negara dapat menggunakan mata uang masing-masing dalam transaksi internalnya. Emas digunakan dalam transaksi dagang antar negara. Dalam suatu skema yang menarik, Luthfi menyatakan bahwa semakin banyak negara yang terlibat dalam penggunaan emas, semakin sedikit emas yang dibutuhkan. Hal ini sekaligus menjawab kritik bahwa penggunaan emas sebagai mata uang akan terhambat karena faktor kelangkaan

Emas sebenarnya bisa saja digunakan saat ini juga dalam transaksi dagang antar negara dengan perjanjian bilateral maupun unilateral. Tidak butuh forum mewah seperti G20. Hanya saja belum ada political will dari para penguasa dan ekonom.

Salah satu hal yang membuat Amerika marah pada Saddam Hussein adalah karena ia meminta penjualan minyak dibayar dengan Euro. Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad juga melakukan hal yang sama.

Kalau ada yang dituduh bermain Yoyo, seharusnya itu BI. Instrumen SBI yang digunakan BI naik turun guna menahan laju inflasi dan turunnya rupiah. Belum lagi apa yang disebut dengan operasi pasar. Krisis atau pun tidak, bank konvensional lebih suka memarkir duit di SBI atau pun SUN sementara riil economy kekurangan modal kerja. Kalau emas digunakan, permainan baru akan tercipta. Sayangnya, para ekonom sudah terlalu lama keracunan buku teks ekonomi kapitalistik.

Blok Dollar vs Blok Euro. Bisakah kita berharap lahirnya Blok Emas? Sepertinya harus menunggu Cina dan Rusia menyatukan ide, bukan negara-negara OKI yang kumpul-kumpul kayak arisan ibu-ibu. Cipika-cipiki, nggosip dan bubar. Padahal hampir 1/2 duit di Wall Street itu punya mereka :(

Pranala terkait :
*.pdf: Robert A Mundell: The International Monetary System in the 21st Century: Could Gold Make a Comeback?
Gold Dinar: Sistem Moneter Terbaik
China calls new global curreny
Rusia calls global currency backed gold
Obama rejects China's call for global currency





22.3.09

it's just a drama, my dear..

Faisal Basri punya solusi menarik tentang krisis ekonomi Amerika. Dalam sebuah diskusi di bulan Januari 2009 di Freedom Institute, sarang kaum neoliberal, ekonom UI yang punya kecenderungan sosialis demokrat itu menyatakan bahwa tindakan paling logis terhadap perusahaan-perusahaan yang ingin menghindari pailit selain opsi akuisisi / merger adalah opsi JUAL. Dan pembeli potensial berkantong tebal tersebut bisa jadi investor dari Timur Tengah, Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Dan krisis akan berlalu. Ekonomi akan mengalami recovery meski tidak instant.

Ide Faisal ini memang kedengaran sederhana. Tapi memang begitulah ilmu ekonomi konvensional (baca: kapitalistik) mengajarkan. Krisis berlalu dan setiap pemain antagonis yang memicu krisis ini mendapatkan ganjaran setimpal: dipecat, didaftarhitamkan, dianggap wan prestasi atau kemungkinan "terbaik" adalah diadili atas aksinya. No drama. Setiap orang bisa menerima akhir cerita: everybody's happy except criminals.

Tapi apa yang kita saksikan saat ini? Kongres Amerika akhirnya menyetujui program bailout (dana talangan) yang hampir mencapai USD 1 Trilyun untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan multinasional Amerika, baik perusahaan finansial yang memutar duitnya pada aset-aset finansial yang tampak "sophisticated" itu; perusahaan non-finansial yang menginvestasikan idle cash-nya pada marketable securities; atau perusahaan non-finansial yang mengalami penurunan demand yang drastis akibat kontraksi ekonomi. Apa yang dilakukan pemerintah Amerika saat ini benar-benar melawan logika neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkannya: deregulasi, privatisasi dan fair open free trade. Yang terjadi adalah nasionalisasi.

Faisal dengan tandas menyatakan bahwa program bailout adalah kezaliman! Tindakan tersebut akan membawa dunia pada krisis yang tidak seorang ekonom pun berani memprediksi seberapa lama akan berlangsung dan seberapa dalam. Dunia sudah lama tergantung pada sistem ekonomi Amerika dan dolar sebagai hard currency.



Lalu, darimana sumber irasionalitas ini? Nyata bagi kita, Amerika tidak hanya menerapkan standar ganda dalam kebijakan politik internasionalnya, tapi juga dalam ekonomi. Bahwa perusahaan-perusahaan Amerika jangan sampai jatuh ke tangan asing. Dan tidak sekali ini saja Amerika berlaku unfair. Kongres Amerika pernah mementahkan kemenangan Dubai Port (DP) World, BUMN Dubai dalam tender pengelolaan 6 pelabuhan di Amerika atas nama keamanan negara (dan sentimen nasionalisme). Padahal privatisasi pelabuhan adalah gejala umum di dunia dan banyak juga perusahaan-perusahaan Barat yang mengelola pelabuhan di negara lain.

Dan tidak hanya Amerika. Nicholas Sarkozy, PM Perancis yang sudah lama dikenal cenderung rasis (dan mengidap islamophobia) , melarang perusahaan atau investor non-Uni Eropa untuk membeli perusahaan-perusahaan Perancis yang terancam pailit. Sudah lama Uni-Eropa menerapkan non-tarrif barrier (protectionism) dengan mengharuskan eksportir udang dari Indonesia untuk mengikuti sertifikasi yang mahal. Dan lelucon yang sering diulang-ulang dalam buku teks dan media massa adalah bagaimana Eruopean Community di awal dekade 90-an menerapkan standar aneh terhadap impor pisang. Pisang yang masuk ke negara-negara UE haruslah mempunyai warna kuning tertentu dan mempunyai bentuk kelengkungan tertentu.

Dan lelucon baru yang kita dengar adalah bagaimana para eksekutif perusahaan yang mengemis dana talangan naik pesawat jet pribadi ke Washington dan berpesta pora dengan mewah setelah mendapat sinyal positif. Ketika tindakan itu dicemooh publik, di kesempatan berikutnya mereka naik bis berbahan bakar hidrogen yang belum atau sama saja tidak ekonomisnya. Dan terakhir, kita mendengar AIG berencana membagi-bagikan jutaan dolar sebagai bonus bagi para eksekutifnya setelah perusahaan itu mendapat milyaran dolar dana talangan.

Atau mungkin sumber irasionalitas ini adalah karena memang film-film Hollywood hampir selalu mensyaratkan akhir tak terduga. Para penonton bisa saja dibuat "berpihak" pada tokoh antogonis. Atau mungkin karena orang Amerika lebih menyukai gaya bertinju Muhammad Ali yang fighter itu ketimbang Mike Tyson yang boxer. Membeli tiket pertandingan Tyson yang mahal bisa amat menjengkelkan karena penantang Tyson terkapar hanya beberapa menit setelah pertandingan dimulai. Sebaliknya, Ali selalu menghadirkan drama dari ronde ke ronde. Drama yang bisa jadi beresiko membuat Ali dipukul jatuh atau malah kalah.

Tapi mungkin juga orang Amerika suka juga menonton sinetron-sinetron Indonesia. Begitu banyak hal irasional dan begitu banyak logika yang diterobos dalam alur cerita. Dan anehnya, kaum hawa pecandu sinetron bisa menangis dibuatnya. Ah, tak ada lagi yang bisa saya katakan. Tidak mudah memahamkan para pecandu sinetron betapa kacaunya logika dalam skenario opera sabun itu. It's just a drama, my dear..  [ ]

Catatan kecik:
Entah kenapa situs Freedom Institute tidak mendokumentasikan diskusi yang menghadirkan Faisal Basri tersebut. Saya menduga karena Faisal Basri dengan gaya bicaranya yang lugu itu mengkritik tajam Amerika dengan neoliberalismenya atau karena Chatib Basri, salah seorang pendiri FI berhalangan hadir sebagai pembicara pembanding. Diskusi itu tidak kalah berbobot dengan hadirnya seorang  ekonom muda dari Belgia sebagai pembicara. 
 

bacaan lanjutan:
Bailout anecdote
Protectionism
Gold Dinar: Sistem Moneter Terbaik

16.3.09

ghost in my machine

Ada banyak cara untuk melakukan recovery Windows XP, lingkungan sistem operasi yang rentan virus dan kurang stabil ini. Pertama, dengan menggunakan System Restore. Layanan restorasi ini sudah ada sejak Windows Millenium, generasi sebelum XP. Namun menurut pengalaman saya, efektivitasnya diragukan. Kinerja Windows XP menjadi sedikit melambat. Mungkin karena terjadi duplikasi banyak file sistem. Secara default, Windows cenderung menyimpan file sistem lama ketimbang menghapusnya sehingga ukuran sistem secara keseluruhan membengkak.



Karena tidak efektif, berbagai tips Windows XP yang bertebaran di majalah dan buku cenderung menyarankan untuk mematikan layanan restorasi ini. Saya tidak tahu apakah layanan ini masih tersedia di Windows Vista. Hingga saat ini saya belum pernah menggunakan Vista. Dulu, ketika Windows XP sudah populer digunakan, saya tetap menggunakan Windows ME sampai ketika saya butuh menginstall Norton Antivirus 2005, Dreamweaver MX dan Photoshop CS yang hanya bisa dijalankan di lingkungan XP. Dibanding XP, Vista lebih rewel, banyak tanya dan mengkonsumsi sumberdaya sistem (memory & processor) cukup banyak.

Kedua, dengan menggunakan program imaging harddisk seperti Norton Image atau Norton Go Back. Tapi masalahnya kedua program itu aktif di background dan menggunakan sumberdaya sistem cukup banyak.

Ketiga, dengan menggunakan program pengunci partisi semacam DeepFreeze atau CleanSlate. Perubahan apapun yang terjadi pada suatu partisi, dalam konteks ini partisi atau Drive C, bisa hilang setelah restart. Bila sistem terserang virus atau rusak registry-nya, ia akan kembali normal setelah restart. Masalahnya, saya suka melakukan kostumisasi konfigurasi beberapa program dan aktivitas ini mensyaratkan DeepFreeze non-aktif atau pada posisi DeepThawed. Untuk itu sistem harus di-restart dulu. Dan me-restart komputer adalah pekerjaan yang cukup menjengkelkan. Berbeda dengan DF, CleanSlate bisa di-non aktifkan tanpa restart. Masalahnya, saya tidak punya versi CleanSlate yang bisa digunakan di lingkungan XP. Versi terakhir yang saya gunakan adalh CleanSlate 3 yang bekerja baik di WinME tapi tidak stabil di XP.

Keempat, dengan menggunakan Norton GHOST versi DOS. NG versi Windows bagi saya terlalu merepotkan dan lamban kinerjanya. Lagian kalau sistem crash dan tidak bisa booting ke Windows, tetap saja DOS menjadi jalan penyelamat. Yang dibutuhkan hanya sebuah CD bootable DOS yang bisa dibuat dengan menggunakan 1 Floppy Disk Bootable DOS dan program burning Nero. Tapi belakangan saya punya sebuah CD bootable DOS berbasis isolinux yang tersedia di dalamnya berbagai program underDOS seperti AcronicsPartition, PartitionMagic dan Norton Ghost.


Sampai saat ini, saya hanya sekali menggunakan image yang dibuat beberapa bulan yang lalu menggunakan Norton Ghost. Waktu itu saya heran karena waktu booting yang dibutuhkan lebih lama dari biasanya. Saya kira masalahnya ada pada Vista Inspirat 2.1 atau TuneUp Utilities 2008. Tapi rupanya masalahnya pada Adobe Photoshop CS3 yang secara default mengkonsumsi 55% memory. Solusinya adalah memindahkan scrath disk atau swap file ke partisi D dan mengaktifkan kembali fungsi prefetching di registry.

Tampaknya saya tidak terlalu memerlukan GHOST atau cara lain untuk recovery. Yang dibutuhkan sebenarnya hanyalah antivirus handal yang bisa menjaga sistem dari virus dan threat lain yang diam-diam berjalan di background dan merubah konfigurasi sistem/registry. Favorit saya, Norton AntiVirus. NAV ini secara default memang mengkonsumsi sumberdaya sistem cukup banyak. Tapi setelah dikostumisasi dan dimatikan beberapa fungsi gak pentingnya (email/messenger real-time protection, automatic LiveUpdate, dan office documents scanning), program ini akan berjalan cukup ringan. Dan saat ini saya menggunakan NAV 2007 karena hanya itu yang saya punya dan ringan pula. Lagian apa perlunya upgrade selama masih tersedia layanan live update untuk versi ini [ ]

Catatan kecik:
Judul posting ini meminjam istilah "ghost in the machine" yang digunakan pertama kali oleh filsuf Inggris, Gilbert Ryle, ketika membahas dualisme Cartesian (1949). Dalam budaya populer, istilah ini juga digunakan dalam film "The Ghost in the machine" dengan tekanan berbeda (1993). Film i-Robot yang dibintangi Will Smith juga menyinggung kemungkinan humanisasi android.

1.3.09

sampai ke ubun-ubun !

Lia menertawakan saya karena mengikuti kuis "How Minang Are You?" di FB. Rupanya, saya pernah mengikuti kuis itu sebelumnya dengan hasil sama: "Dari Kaki ka Kapalo" alias Minang 100%. Soal-soal di kuis itu terlalu mudah. Harusnya, ada pertanyaan-pertanyaan sulit tentang pepatah-petitih Minang lama atau kosakata Minang lama yang semakin jarang digunakan dalam keseharian oleh orang-orang muda, terutama di wilayah-wilayah urban Ranah Minang (baca: Sumatera Barat). Contohnya: cido, hao, poak dst.

Saya mungkin bukan Orang Minang 100%. Semasa kecil dulu, di zaman Orba, di sekolah dasar belum ada mata pelajaran muatan lokal seperti Budaya Alam Minangkabau. Kemudian saya nyantri di sebuah pesantren di Ponorogo. Kota ini berada hampir di tengah-tengah antara Yogya-Solo/Surakarta (pusat kekuasaan Mataram Islam dulu) dan Jombang (pusat pengaruh NU) dan Blitar (tanah kelahiran dan makam Soekarno).

Saya menerima pengaruh Jawa meski kultur Jawa (uniknya) tidak dominan dalam pesantren ini. Saya juga menerima pengaruh Arab dari buku-buku bacaan; lagu-lagu yang diperdengarkan; dan secara formal diajarkan pepatah-petitih Arab di ruang kelas.

Tapi mungkin ada sisi Minang yang tidak bisa saya tinggalkan. Belakangan, saya mulai rewel soal makanan. Apalagi kalau bukan soal selera pedas. Beli makanan di warteg bukan lagi gagasan menarik. Bahkan Rumah Makan Sederhana yang sudah franchise itu ternyata tidak Minang 100% di lidah saya. Padahal dulu saya tidak bermasalah makan lauk yang sedikit manis atau sama sekali tidak pedas. Sekarang saya kapok juga makan Mie Ayam, Siomay dan sejenisnya karena tidak sepedas racikan orang Jawa yang sudah bertahun-tahun jualan mie ayam di Minang.

Selera pedas orang Minang cukup menarik. Tidak pedas "membabibuta" ala masakan istri sepupu saya yang Gorontalo. Juga tidak pedas tanpa dimasak ala Mbok Dapur di PLMPM Mantingan. Dalam masakan Minang, cabe rawit tidak dominan digunakan. Yang lebih dominan adalah cabe merah meski dalam beberapa masakan digunakan cabe hijau. Biasanya cabe merah itu diulek atau di-blender, ditambahkan sedikit tomat, ditumis dan digoreng hingga bau pedasnya berubah. Perubahan bau pedas ini hanya bisa dideteksi dengan hidung. Nah mungkin disini letak perbedaan selera pedas antara orang Minang dengan suku lain. Hidung orang Minang mungkin sudah mengalami "evolusi" berabad-abad yang membuatnya semakin jauh dari "konfigurasi" hidung Jawa misalnya. Selera pedas yang sudah mengakibatkan mutasi DNA :)

Kata sambal dan lauk berasal dari bahasa Melayu yang menjadi lingua franca nusantara pada era kolonial. Kosakata Melayu dan Minang tidak jauh berbeda. Sambal di dalam bahasa Minang berarti lauk pauk karena lada atau cabe adalah unsur yang hampir selalu ada dalam masakan Minang. Sementara kata "lauk" digunakan sesuai makna harfiahnya yaitu ikan. Sambal dalam bahasa Minang baru bermakna sambal sebagaimana dipakai dalam bahasa Indonesia jika ditambahkan kata lado atau lada. Ringkasnya, sambal = lauk; sambal lado = sambal.




Saya jadi ingat kali pertama makan di Dapur Umum pesantren. Sepiring nasi dengan tahu dan kuah manis. Hampir muntah! Tapi lama kelamaan gak masalah. Uniknya, di Dapur Umum yang saat itu berkapasitas 1500-an orang itu ada tradisi makan di waktu istirahat pertama. Sekitar jam 08.45. Mereka yang tidak sempat sarapan sebelum masuk kelas bisa makan di saat rehat ini. Tapi seringkali lauk habis karena dari 1500-an orang itu ada yang curang, mengambil lauk 2x atau bahkan makan 2x.

Sebagai "hiburan", para pengurus dapur menyediakan sambal yang benar-benar pedas. Kami menyebutnya SALATOH ROHAH atau sambal (jam) rehat. Berkilo-kilo cabe merah digiling oleh para pekerja dapur dengan mesin yang juga biasa digunakan untuk menggiling kacang. Ditambahkan hanya sedikit tomat, ditumis dan digoreng sekedarnya. Salatoh Rohah ini akhirnya menjadi salah satu makanan favorit. Minang dan bukan Minang pun jadi gak beda. Tidak ada yang berdebat soal enak dan pedasnya. Yang bukan anggota Dapur Umum ikutan makan. Bahkan makan keroyokan sepiring bertiga atau lebih jadi lumrah meski terlarang. Biasanya, pengawasan disiplin dapur di jam istirahat ini cukup longgar. Bisa berkali-kali nambah saking serunya ngeroyok sepiring nasi. Dengan atau tanpa lauk.

Nah, habis makan sambal sepedas itu, pedesnya sampai ke urat syaraf dan panas sampai ke ubun-bun. Terkadang musti kabur ke pancoran, kran atau masuk ke kamar mandi dan membenamkan kepala ke dalam bak. Pedes, Gila !

6.2.09

ideologi, ideologisasi, "the end of ideology" dan perlunya objektivikasi

Sebenarnya saya ingin membuat tulisan yang cukup utuh tentang ideologi. Akan tetapi, dalam beberapa hari ke depan, saya mungkin tidak sempat ngblog. Jadi tulisan ini hanyalah proyeksi dari serpihan-serpihan pikiran yang mengendap dalam ingatan.

Pertanyaannya adalah apakah berbicara dengan ideologi masih relevan saat ini ataukah yang lebih penting adalah membawa semua persoalan di muka bumi ini ke dalam ranah objektivikasi atau diskusi keilmuan yang terbuka terhadap dialektika. Setidaknya ada 3 kutub dalam diskursus ideologi.

Pertama, mereka yang berbicara amat ideologis. Kedua, mereka yang mengganggap era ideologi telah berakhir. Pihak kedua ini lebih banyak tentunya yang mengganggap diri mereka sebagai pemenang dalam kontestasi global, yaitu para ideolog kapitalisme dan demokrasi liberal. Pihak ketiga adalah pihak yang memandang perlunya objektivikasi atau keterbukaan untuk meletakkan semua persoalan tidak dengan menggunakan kacamata ideologis yang cenderung menegasikan semua solusi yang ditawarkan lawan ideologinya. Objektivikasi mensyaratkan pembicaraan dibawa ke tataran pengetahuan karena sifatnya yang terbuka.

Di satu sisi kita melihat kecenderungan menguatnya ideologisasi. Dalam ranah keislaman, tumbuh kaum fundamentalis di sisi kanan dan Islam Liberal di Kiri Tengah. Di sisi lain Kaum Kapitalis terutama yang menganut mazhab ekonomi neo-liberal maupun mazhab demokrasi liberal berakhirnya dunia di bawah hegemoni meraka. Di Indonesia, gejala ini tampak dari berdirinya Freedom Institute. Uniknya, Jaringan Islam Liberal dan Freedom Institute bersimbiosis karena kesamaan pandangan, terutama tentang kekaguman keduanya terhadap Dunia Modern dan kemajuan Barat. JIL berkontribusi memberikan pembenaran teologis terhadap pandangan liberal dalam ekonomi dan politik.

Lalu ada gejala menguatnya Kaum Sosialis yang kemudian mengoreksi dirinya dan bermetamorfosis menjadi Sosialis Demokrat. Mereka menguatkan fenomena bahwa Marxisme tidak pernah mati sebagaimana pengaruh Marx tidak hanya dalam ekonomi dan politik saja, tapi hampir ke semua bidang keilmuan. Tapi tentu saja, banyak gagasan Marx, Stalin, Lenin dan Mao yang harus mereka koreksi untuk menemukan horison baru.

Objektivikasi, salah satu gagasan Kuntowijoyo, adalah suatu proses de-ideologisasi dan mengembalikannya sebagai paradigma. Terminologi ideologi dan paradigma mungkin serupa tapi tak sama. Paradigma cenderung digunakan untuk rangka pikir keilmuan yang terbuka terhadap kritik. Dengan demikian pembicaraan terhadap persoalan apapun hendaknya dikembalikan dalam dialog pengetahuan yang memungkin setiap ideologi menawarkan solusi ekletik.

Di atas pembicaraan tentang ideologi, harus saya katakan juga bahwa Islam bukan ideologi, tapi mengatasi semua ideologi. Menganggap Islam sebagai ideologi hanya akan mengakibatkan inflasi epistimologis parah yang mengarah pada ekstrimitas. Dengan melakukan objektivikasi terhadap ajaran-ajaran Islam, maka ia bisa memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang menjadi concern semua ideologi di dunia. Setidaknya itu yang diharapkan Kuntowijoyo.

Dari tulisan ringkas di atas, saya berharap khalayak pembaca bisa menggunakannya untuk menganalisis berbagai persoalan. Mulai dari arah pemilu Indonesia, krisis kapitalisme, dan perkembangan ekonomi syariah. Sedikit tentang demokrasi di Indonesia. Di tingkat pilkada ada 3 kemungkinan ketika 2 partai yang berseberangan secara ideologis mencalonkan orang yang sama: pragmatisme politik; de-ideologisasi atau ketulusan keduanya untuk mencapai common goods atau aspirasi publik ditengah kepentingan masing-masing. Namun di tataran politik nasional, terutama dalam pilpress 2009, gejala ideologisasi belum akan mencair. [ ]

5.2.09

visual problem

Akhirnya saya menggunakan template 3 kolom dari ourbloggertemplates untuk mengurangi masalah imbalance main-wrapper dan sidebar. Prinsip saya tetep main-wrapper atau tempat posting di sebelah kiri. Sejauh yang saya ketahui, mata manusia lebih suka membaca teks di sebelah kiri dan gambar di sebelah kanan. Kebanyakan buku-buku psikologi populer seperti Quantum Learning menggunakan pola ini.

Dalam desain web, saya cenderung meletakkan kolom terbesar yang didominasi teks di kiri. Tapi semuanya mungkin masih hipotesis. Apa sebenarnya yang lebih penting adalah kebiasaan ?

Menubar dan beberapa widget untuk sementara tidak ada. Satu per satu akan ditampilkan kembali :)

Chiko

Dia teman sekamar di asrama Indonesia Empat. Saat itu saya baru saja naik kelas 2 dan dia masih tetap di kelas 2 (setara kelas 2 SMP). Tidak hanya demikian berbeda, saya pendiam dan dia punya banyak teman. Tidak hanya sesama santri, tapi mbok-mbok dapur dan mbok-mbok penjaga kantin. Wah, jangan remehkan koneksi dengan ibu-ibu sepuh ini. Urusan "logistik" jadi lebih lancar jika bisa mengambil hati mereka :)

Dan di liburan semesteran yang cuma 10 hari itu, dia mengundang saya ke rumahnya. 1994. Setelah menaruh tas di rumah Tante Ayu yang saat itu masih tinggal di Kompleks Pertanian Pasar Minggu, saya naik KRL ke Bogor. Sesampai di Stasiun Bogor, saya menelpon ke rumahnya. Setengah jam kemudian ia muncul bersama seorang teman dari Flores. Saya lupa namanya. Teman sekamar saya juga. Dua orang yang konyol. Dengan tidak banyak bicara, mereka berdua menyuruh saya ikut. Berjalan cepat. Naik turun tangga. Berbelok kesana kemari. Keluar masuk pasar. Ketika saya bertanya mau kemana, mereka bilang ikut saja. Rupanya berakhir di Bioskop 21. Maka siang itu, perjalanan pertama saya di Bogor dimulai dari menonton sebuah film action-thriller

Sesampai di rumahnya, segera saja ia mengajak saya pergi ke warung. Tidak untuk belanja, tapi mengenalkan saya ke ibu Padang, pemilik warung, dan menyuruh saya berbahasa Minang. Dasar konyol. Dari beliau saya tahu bahwa sebelum nyantri, Chiko dikenal bandel. Dan sekarang begitu sopan. Dan demikianlah, setiap berlibur ke Jakarta, saya selalu menyempatkan diri menginap di rumahnya. Saya menyukai rumahnya. Bergaya minimalis, efisien dalam tata ruang, rindang dengan pepohonan dan tanaman hias. Benar-benar mencerminkan si arsitek sekaligus tuan rumah: ayah Chiko. Seorang insinyur pertanian yang kemudian mengambil kursus kelistrikan dan menjadi kontraktor. Berbeda dengan anaknya, beliau pendiam. Di kemudian hari, setiap liburan semester, rumah itu disinggahi oleh banyak teman Chiko yang sebahagian besar anggota klub basketnya, Rajawali. Pernah suatu kali, di tahun 1996, setelah menginap beberapa hari di rumah Anizar di Batang Pekalongan, saya hampir menghabiskan sisa libur panjang di rumah Chiko sebelum akhirnya ibu menelpon dan menyuruh pulang di pertengahan Ramadhan. Tuh kan, sejak lama, pulang bukan gagasan menarik :)

Yang paling saya suka ke rumahnya adalah membaca jilid lengkap Balada Si Roy, komik Ashura dan majalah-majalah pertanian dari Malaysia. Atau diajaknya ke ladang atau empang tak jauh dari rumahnya. Pergi ke pasar Parung membeli bibit ikan atau ke taman agrowisata yang dibangun ayahnya di Cileungsi dengan odong-odong (suzuki carry pick up jadoel) dan kehujanan.

Chiko tidak pandai. Ia sederhana, rendah hati dan begitu mudah akrab dengan orang lain. Kecerdasan semacam itu seringkali membuat saya iri. Di tahun 2003, saya singgah ke rumahnya dan ia sudah jadi mahasiswa London School of Public Relation. Sebelumnya ia hanya mengambil kursus teknik di BLK. Di waktu senggangnya, Chiko menjadi makelar kaos dari kampus ke kampus. Bila akan ada kegiatan di suatu kampus, ia segera mendekati panitianya dan menawarkan harga bersaing untuk pembuatan kaos. Maka kesibukannya adalah mencari bahan kaos dan mencari tukang sablon. Hampir tanpa modal.

Tahun lalu saya dua kali ke rumahnya dan tak bertemu dengannya. Saat ini ia berada di anjungan minyak lepas pantai untuk sebuah proyek kelistrikan di Kalimantan selama 6 bulan. Ketika saya menelponnya Ramadhan, ia hampir tak percaya dan berucap masyaAllah berulang kali. Terkadang saya merasa istimewa baginya atau ibunya karena saya agak berbeda dibanding teman-teman dekatnya yang lain. Dan ajaibnya, setahun yang lalu ia menikah dengan seorang alumni akuntansi Brawijaya, di Malang, kota kelahiran kedua orang tuanya. Ah, saya kira ia akan menikah dengan seorang gadis yang dulu sering kali lalu lalang di depan rumahnya dengan sepeda. Ibunya bilang, gadis bersepeda itu cinta masa kecil Chiko. Tapi mungkin si akuntan itu cinta masa kecilnya pula :)



pranala terkait:
Mantingan, Medio '99
Cinta Masa Kecil




3.2.09

kebenaran vs orang benar

Sepupu saya pernah bertanya tentang baliho-baliho besar yang memasang sosok bersorban, gamis, janggut dan jambang. Habib. Sebahagian mereka secara eksplisit menyatakan diri sebagai keturunan nabi Muhammad. Bagi saya, gelar Habib tak lebih dari gelar kyai di Jawa atau Buya di Minang. Dan lagi apa pentingnya keturunan dalam Islam? Itu hanya bagian dari budaya tribalisme Arab yang ada sejak masa pra-Muhammad dan masih tetap bertahan hingga kini. Islam datang dengan konsep bahwa hanya kualitas ketaatan kepada Allah (taqwa) yang menjadi pembeda.

Itulah kenapa saya tidak tertarik untuk mengikuti suatu tarikat atau perkumpulan sufistik tertentu. Saya melihat banyak sekali kecenderungan kultus individu terhadap guru-guru tarikat, para mursyid. Bagi saya, jika para guru itu hanya akan menghalangi jalan saya kepada Allah, menjadi berhala-berhala baru, saya memilih untuk tidak mengikuti mereka.

Lagian, satu-satunya washilah, perantara, teman seperjalanan yang sahih hanyalah Sang Nabi. Nabi sendiri menyatakan bahwa ia hanya lelaki biasa yang makan, minum, berjalan ke pasar,  dan menikah seperti halnya manusia lainnya. Salah seorang Kyai saya pernah bilang: "ikutilah kebenaran bukan orang yang benar. Sebab orang benar suatu saat bisa salah." Dan saya setuju dengan Sang Kyai. Karenanya saya juga tidak selalu setuju dengan Sang Kyai. Saya kira terkadang kebenaran yang ia yakini berbeda dengan kebenaran yang saya yakini.

kekacauan spiritualisme lintas agama

Dua minggu yang lalu saya menyempatkan diri mengikuti Urban Sufism Days yang berlangsung selama dua hari di Universitas Paramadina. Acara ini bertajuk: Urban Sufisme: Gairah Spiritual atau Eskapisme? Saya ingin tahu apakah ajang ini diikuti oleh pengamal sufisme atau sekedar kajian sufisme dengan nuansa yang kental intelektualisme tapi nir-spiritualitas belaka?

Kenyataannya, acara ini membuka mata saya pada banyak masalah yang timbul bila sufisme diapresiasi oleh kalangan yang menganut teologi inklusif. Pertama, pembicaraan tentang sufisme melebar pada spiritualisme lintas agama atau nir-agama. Selain Haqqani Sufi Institute, Tarikat Naqsabandi yang mewarisi praktik sufisme Jalaluddin Rumi, turut diundang untuk berbicara wakil-wakil dari kelompok-kelompok spiritual yang anggotanya berasal dari berbagai agama, seperti Brahma Kumaris, Anand Ashram, Mata Air, CSL (Center for Spiritual & Leadership) dan Pusaka Hati. Brahma Kumaris adalah para pengamal Yoga. Anand Ashram adalah padepokan yang didirikan Anand Krishna, seorang spiritualis yang meracik ajarannya dari sisi esoteris agama-agama besar (Islam, Hindu, Kristen, Tao, Zen, Buddhisme).

Para spiritualis itu tampak berusaha menemukan satu Tuhan dengan menggunakan istilah The One Being. Dan pijakan spiritual mereka adalah kebijaksanaan, wisdom. Saya jadi teringat pada para filsuf Yunani yang pagan itu. Kedalaman pemikiran mereka hanya sampai pada kemampuan mereka-reka suatu zat yang bernama Prima Causa, Sebab Tertinggi. Disinilah masalahnya. Saya kira pencarian akan Tuhan hanya bisa diselesaikan dengan tuntunan agama, bukan spiritualitas yang sudah menjelma isme atau paham baru.
Kedua, banyak pembicara yang keseleo lidah hari itu. Prof. Kautsar Azhari Noer dengan percaya diri menyatakan bahwa metode terbaik untuk meneliti ajaran agama lain adalah dengan ikut serta dalam ritus-ritus ibadah agama tersebut. Saya lupa istilah dari metodologi yang dipinjamnya dari seorang peneliti Barat itu. Menurutnya, dulu, imannya melarang untuk melakukan yang demikian. Kini, imannya membolehkan.

Haidar Bagir dengan halus menawarkan pendekatan fenomenologis sebagai alternatif dari pendekatan yang digunakan Kautsar. Bagi saya, fenomenologis memang lebih sahih, karena masih memberi jarak antara peneliti dan objek yang diteliti. Metode tersebut juga digunakan oleh Annemarie Schimmel.

Abdul Muis Naharong, seorang dosen filsafat Paramadina berusia 50-an membawakan makalah tentang New Age, sebuah gerakan spiritualisme yang berkembang pesat di Barat. Kesalahan fatal yang dibuatnya pertama adalah pernyataannya bahwa New Age baru ditemukan dalam literatur Indonesia sejak tahun 2000-an. Padahal, di tahun 97, saya sudah membaca tentang New Age dari tulisan Buddy Munawar-Rahman yang diterbitkan Paramadina juga. Kesalahan kedua, ia menyebut bahwa pengaruh New Age sudah sampai ke Indonesia. Mungkin benar, tapi contohnya salah fatal. Ia mencontohkan bahwa PKS sudah terpengaruh New Age karena menggunakan cara-cara yang sama dengan New Age. Ah, bapak ini lucu sekali. Lebih lucu lagi, diawal pembicaraannya ia dengan malu-malu menyebut PKS, tapi akhirnya keseleo lidah juga.

Dari ketiga pembicara itu, hanya Haidar Bagir (full time businessman, part time intellectual) yang mampu bicara runut dan kaya referensi. Kautsar dan Abdul Muis yang dosen murni itu harusnya malu :)

Menjadi sufi atau menjadi muslim?
Di sesi lain, Muhammad Haidar, dosen filsafat Paramadina lulusan Qom Iran, pengkaji Ibn Araby, membahas tentang apa artinya menjadi sufi. Bagi dia, sufi berarti pencapaian kesadaran ketuhanan. Pembicaraannya tidak begitu bermasalah hingga ia mengatakan bahwa shalat dan puasa tidak akan memberikan kemampuan untuk mencapai kesadaran ketuhanan. Saya kira disinilah masalahnya. Ia secara implisit ingin mengatakan dengan zikir ala sufi-lah, kesadaran ketuhanan bisa ditemukan.

Bagi saya, jika menjadi sufi berarti mengutamakan zikir dan memandang remeh shalat dan puasa, saya memilih menjadi muslim saja. Saya tidak perlu memahami jalan pikiran Ibn Araby untuk menjadi muslim. Ah, wihdatul wujud hingga zaman ini masih saja membawa masalah. Yang paling konyol, Muhammad Haidar lebih suka dipanggil Romo ketimbang Ustadz. Dan ia berbicara demikian di depan khalayak yang sebahagiannya muslim awam. Saya jadi teringat Syekh Siti Jenar. Seharusnya pembicaraan tentang wihdatul wujud tidak bersama kaum muslim awam. Hari ini, maqam-maqam sufistik, formulasi yang dikembangkan Al-Ghazali untuk mendamaikan sufisme dan syariah, diterobos begitu saja.

Ketiga, timing acara itu tidak memberikan kedamaian spiritual. Sesi pertama di hari pertama dimulai dari pagi hari dan berakhir jam 13.30. Lebih parah lagi, sesi pertama di hari kedua dimulai jam 14.30 dan berakhir jam 17.30. Saya mengira banyak orang yang tidak shalat Ashar hari itu, termasuk Muhammad Haidar. Mungkin sebahagiannya adalah musafir yang sudah menjamak shalat di waktu zuhur. Tapi bagi saya, yang terpenting adalah sebuah acara keagamaan hendaknya mencerminkan rasa hormat terhadap shalat sebagai tiang agama. Bukankah shalat bagi orang-orang mukmin adalah ketetapan yang terjadwal (kitaaban mauquuta)? Artinya, sehendaknya ritme hidup muslim selaras dengan ritme azan sebagai panggilan bagi orang-orang mukmin. Sebagaimana kita mendirikan shalat subuh ketika umat agama-agama lain masih enak-enakan tidur. Sehendaknya jam biologis kita selaras dengan panggilan untuk shalat subuh (bahkan kalau bisa shalat tahajjud). Bukankah kita disuruh untuk fasaariuu ila maghfirati rabbikum (bersegeralah pada ampunan Tuhan kalian).

Sufisme Days ini akhirnya hanya ajang intelektualisme yang meminggirkan pengalaman esoterik yang paling utama: shalat. Shalat menjadi urusan privat semata. Padahal kita dianjurkan berjamaah, berhimpun, bersosial, dalam mendirikan shalat. Kaum inklusivisme yang ambigu. Masyarakat urban yang malang.. [ ]


Catatan kecik:
  • Tazkia Institute dan IiMan yang merupakan lembaga sufisme dan pengajian kalangan Islam liberal tidak berfungsi. Aktivitasnya mati suri. Bagi saya, mereka gagal menghadirkan solusi alternatif bagi majelis-majelis taklim biasa (moderat, mainstream) yang terus tumbuh. Islam liberal akhirnya tak lebih dari gerakan intelektualisme eksklusif kaum terdidik yang gagal turun ke akar rumput. Hanya saja mereka menjadi minoritas elit yang mampu meraih posisi sosio-politik yang kuat karena dukungan dana serta sponsor; jaringan; bantuan dari kolega-kolega di belahan dunia lain, terutama Barat; dan public relation.
  • Bagi saya, pengajian-pengajian moderat yang bertumpu pada pemahaman Islam mainstream lebih cocok dikembangkan di akar rumput untuk menumbuhkan kesadaran keagamaan ketimbang pengajian-pengajian yang menawarkan pencarian spiritual ekletik, sinkretik, lintas agama yang beresiko menyimpang. Di sisi lain, patut diwaspadai pengajian-pengajian yang menguatkan kecenderungan ortodoksi, fundamentalisme, eksklusivisme dan ekstrimitas.


rindu tanpa akhir

Saya suka buku ini sejak pertama kali melihatnya di Toko Buku Masagung di Kwitang. Pertama, karena judul buku itu. Rindu Tanpa Akhir. Bila diturunkan menjadi rindu antar manusia, saya setuju dengan sebuah pepatah Arab bahwa perjumpaan takkan menyudahi rindu, tapi hanya akan membuatnya membuncah, karena setelahnya tentu ada perpisahan. Perjumpaan kemudian tidaklah begitu penting. Tidak lagi gagasan menarik.

Kedua, buku ini disadur dari karya al-Ghazali, al-mahabbah wa al-uns wa as-syawq wa ar-ridho. Saya memang dialektis, aristotelian, lebih dekat kepada Ibn Rusyd. Membaca buku ini seperti menziarahi seorang "kawan" lama. Berkunjung ke alam pikiran intuitif, alternatif dari cara berpikir rasioanal. Sebuah upaya untuk menerima kebenaran tidak dengan akal. Tidak melawan akal, tapi melampauinya. Tidak anti-rasional, tapi supra-rasional.

Ketiga, dalam buku ini, saya menemukan bahwa ujung cinta adalah ridho, kerelaaan, ketulusan, keikhlasan. Ia menjelma kesadaran tertinggi. Mungkin itu sebabnya surat yang menyatakan konsep tauhid, dinamakan surat al-Ikhlas. Dalam ayat-ayat lain diungkapkan bahwa hubungan Allah dengan hamba-hambanya adalah ridho yang resiprokal, yang dua arah. Saya kira inilah bagian intim dari ajaran Islam.

Al-Ghazali menyatakan bahwa bukan ketaatan yang melahirkan cinta. Tapi cinta-lah yang melahirkan ketaatan. Jadi, awalnya bukan ketaatan, tapi cinta. Buku ini mengapresiasi sisi lembut Sang Pencipta: Maha Indah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Maha Cinta.

Saya rasa cara mencintai sesama manusia adalah tetesan dari ajaran mencintai Sang Maha Cinta. Bahwa mencintai seorang makhluq, katakanlah, seorang lawan jenis, tak lain adalah pendaran, illuminasi dari cinta kepadaNya.


Catatan kecik:
  • Islam sendiri secara harfiah berarti keselamatan, kedamaian, penyerahandirian total. Bukan kepasrahan pasif tapi ke-berserahdiri-an aktif. Itulah sejatinya pengertian tawakkal. Dalam bahasa populer, kita mengenal istilah "doa dan usaha"
  • Buku itu saya hadiahkan kepada seorang gadis yang mungkin takkan saya jumpai 1-2 tahun mendatang. Saya menyukainya sejak pertama kali melihatnya dengan jilbab putih dan kaos orange, ketika datang terlambat. Saya masih ingat dengan baik hari itu. Seperti bab pertama dari Laskar Pelangi. Atau bab pertama dari Negeri Hujan, sebuah novel Thailand yang pernah diajukan untuk mendapat nobel sastra.








hati perempuan

Sebuah buku tergeletak begitu saja di ruang tamu rumah saudara saya. Catatan Hati Seorang Istri. Asma Nadia. Bukan genre buku yang biasa saya baca. Dan akhirnya saya baca. Lagian sudah lama saya tidak baca karya para penulis alumni majalah Annida.

Buku itu berisi kisah-kisah nyata kehidupan berumah tangga banyak orang yang dituliskan kembali oleh Asma Nadia dalam bahasa cerpen. Sebahagian lebih mirip testimonial. Dan hampir separuh buku itu haru, biru. Bagi saya kisah-kisah dalam buku itu terbilang "aneh", baru atau bisa dibilang di luar "imajinasi" saya tentang rumah tangga.

Misalnya, Catatan 2 yang berkisah tentang seorang laki-laki yang baru melihat wajah istrinya setelah di pelaminan. Ia menikah lewat perjodohan yang diatur oleh guru ngajinya. Pernikahan itu melahirkan 4 orang anak. Tapi ia mengaku tidak mencintai istrinya. Ketika Asma bertanya, ia beralasan karena istrinya tidak cantik. Pertanyaan saya, bagaimana mungkin sebuah pernikahan dijalani tanpa cinta yang resiprokal? Apakah karena tidak cantik, lalu ia tidak berhak dicintai?

Di halaman 47 saya menemukan kisah rumah tangga yang nyaris sempurna hingga ditemukan sebuah contact dalam phonebook suaminya. Contact itu bernama Spongebob. Sms-sms antara sang suami dan contact itu bernada mesra. Akhirnya, sang suami mengaku sudah 3 tahun keduanya berkenalan. Terlepas dari apa yang mungkin terjadi selama kurun itu, sang istri memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu.

Kisah berikutnya bertutur tentang seorang perempuan yang berusaha menjaga keutuhan rumah tangga meski suaminya selingkuh. Demi anak-anak mereka.

Cinta, saling mengerti dan amanah
Secara garis besar, buku ini merangkum hal-hal terpenting dalam hidup berumah tangga: cinta, saling mengerti dan amanah. Betapa hambar rumah tangga tanpanya. Dan laki-laki menjadi terdakwa dalam buku ini. Kenapa lelaki bermain-main dengan perselingkuhan yang penuh dengan ketidakpastian di tengah kepastian pernikahan? Apakah mereka tidak berpikir bahwa kesenangan sesaat bisa menghancurkan sebuah pernikahan serta dampak psikologisnya pada anak-anak dan masa depan mereka? Apa yang salah dengan otak lelaki? 

Buku ini bisa menambah pemahaman tentang hati perempuan. Saya merasa beruntung membacanya. Semoga saya bisa mengambil hikmah dari buku ini.

Catatan kecik:
Saya seperti kehilangan kemampuan menulis ketika membuat posting ini :)


29.1.09

konstelasi politik pilpres 2009

Rakernas PDI-P di Solo berakhir antiklimaks. Tidak ada calon definitif yang akan mendampingi Megawati sebagai calon wakil presiden. Cukup logis, mengingat fragmentasi politik Indonesia tidak memungkinkan sebuah partai menang mutlak dalam pilpres. Pasangan capres - cawapres haruslah mencermikan aliansi politik identitas / aliran (ideologis).

Hidayat Nur Wahid tidak hanya terikat dengan aturan formal partainya, tapi secara ideologis sulit untuk beraliansi dengan PDIP di tingkat kenegaraan. Kepemimpinan negara oleh wanita masih merupakan polemik besar bagi mereka. Sutiyoso sama sekali bukan calon yang menjanjikan. Keberhasilannya memimpin DKI Jakarta masih debatable. Pun, polarisasi konstituen ibukota yang tercermin dari pilgub kemarin adalah preseden buruk bagi Sutiyoso. Bad political capital.


Akbar Tandjung sudah redup karir politiknya. Prabowo yang berhasil menggandeng anak kedua Bung Hatta dalam partai Gerindra bukan calon yang menjanjikan. HKTI sebagai basis konstituen Gerindra tidak bisa dibilang mengakar hingga ke tingkat petani di berbagai pelosok. Lembaga tersebut tidak pernah benar-benar berhasil mewakili kepentingan petani. Ia lebih merupakan wahana politik elitis guna mendapatkan bargain power. Pun, petani adalah pemilih tradisional yang mempunyai hambatan psikologis untuk memilih partai baru dengan muka-muka baru.

Menariknya, muncul nama Surya Paloh dalam bursa cawapres. Sudah menjadi kebiasaan bahwa pasangan capres-cawapres hendaknya mencerminkan perimbangan (sentimen) politik Jawa - Luar Jawa. Surya Paloh lumayan, meski konstituennya tidak mudah dihitung. Setidaknya, SP sudah lama membangun citra publiknya dengan cukup baik: orang pers (menurut MetroTV), orator ulung ala Soekarno, terpelajar, berwibawa sekaligus akomodatif. Namun sulit menantang pengaruh JK di tubuh Golkar sejak Akbar Tandjung lengser.

Bakal calon lain yang menarik adalah Sri Sultan HB X. Hanya saja tidak terlihat perimbangan Jawa - Luar Jawa. Sultan boleh jadi calon yang bisa diterima di berbagai kalangan: priyayi, abangan, santri. Belakangan, penolakannya terhadap RUU APP akan menegaskan posisi politiknya yang berseberangan dengan santri. Saya kira, ketegangan antara priyayi yang santri dan priyayi yang abangan akan kembali meruyak sejak ia pertama kali mengemuka pada Perang Diponegoro. Priyayi memang lebih identik dengan abangan ketimbang santri. Artinya, sebagaimana kaum abangan, priyayi lebih mengasosiasikan diri dengan identitas kultural (Jawa) ketimbang identitas keagamaan.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, duet Megawati-Sultan cukup dilematis karena keduanya mencerminkan konstituen politik yang hampir serupa. Artinya kehadiran Sultan tidak banyak membantu Mega mendulang suara dari konstituen baru. Mega boleh dibilang priyayi-abangan karena mewarisi darah aristokrat Soekarno.

NASIONALIS - ISLAMIS
Dengan demikian pilpres 2009 tidak akan menghadirkan nuansa politik baru. Politik identitas atau politik aliran belum akan mencair. Mega-SP atau Mega-Sultan mencerminkan identitas politik nasionalis abangan/sekular sementara SBY-JK mencerminkan nasionalis santri/agamis. Dua pasangan capres 2009 ini tampaknya yang paling berpeluang. Lalu bagaimana dengan kalangan Islamis atau santri murni?

Kekuatan politik Islamis hingga saat ini belum signifikan untuk menawarkan capres sendiri. Mereka masih terfragmentasi sedemikian rupa hingga sulit menawarkan pasangan capres tunggal.

PKS mencerminkan lapisan baru kalangan islamis yang merevitalisasi identitas relijiusnya mengatasi identitas budaya. Identitas relijius tersebut tersambung dengan concern mereka terhadap gerakan Islam di Timur Tengah, terutama Ikhwanul Muslimin. Jadi, meski puritan, mereka mampu mengorganisir diri dengan baik sehingga cukup menjanjikan sebagai partai modern yang mengusung nilai-nilai islam yang berdialektika dengan modernitas. Kepemimpinan kolegial, rekrutmen politik ketat, kaderisasi, integritas kader dst cukup tercermin dalam semboyan "peduli, bersih, profesional." Di satu sisi mereka adalah anak-anak pemikiran Hassan Al-Banna, di sisi lain mereka juga anak-anak pikiran Natsier. Hanya saja, mereka belum mampu menjangkau demografi konstituen yang luas. Masih ada hambatan-hambatan psikologis dan ortodoksi penafsiran keagamaan yang harus mereka pecahkan terlebih dahulu.

Partai-partai islam yang mencerminkan aliran politik lama sudah mulai tergerus suaranya atau mereka saling berebut konstituen yang sama: pemilih tradisional. PBB, PPP, PKNU, PPNUI. PKB yang berasas Pancasila dan PAN yang telah berganti asas menjadi islam tidak lebih baik nasibnya.

Di sisi lain, gerakan islam radikal semakin mampu mengorganisir dirinya. Suara mereka sebenarnya cukup signifikan menambah perolehan partai-partai islam. Namun mereka menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan ajaran islam. Bagi mereka, yang ada hanya konsep syura, bukan konsep demokrasi. Sebahagian mencita-citakan syariah menjadi hukum positif negara, sebahagian lain lebih jauh dari itu, mencita-citakan khilafah dengan mengambil Turki Ustmani sebagai model. Di atas semua itu, pemikiran politik mereka boleh dibilang belum matang atau tidak ada satu metodologi atau teori politik tertentu yang bisa merinci pemikiran politik mereka secara analitik.

Terlepas dari fragmentasi di atas, kaum islamis, baik yang berada di atas panggung politik maupun yang menolak sistem demokrasi akan sangat menentukan di putaran kedua pilpres 2009. Meski bertengkar sesamanya, mereka akan menjegal Megawati menjadi presiden meski raport SBY-JK selama memerintah tidak lebih baik, kecuali PKB yang masih kuat pengaruh Gus Dur di dalamnya. Tidak hanya karena Megawati perempuan, tapi karena haluan politik yang teramat berseberangan.

Di titik ini, sulit mengharapkan pemilu sebagai ajang kontestasi yang "menghukum" rezim yang punya track record jelek. Sulit mengharapkan perubahan signifikan dalam pola pemerintahan. Sekali lagi, kalangan islamis akan memberikan cek kosong dan dikecewakan. [ ]


Catatan kecik :
  • Etnis Jawa merupakan 42% populasi. Megawati-Sultan akan amat efektif mendulang suara mereka terlepas dari kecenderungan pemilih tradisional partai-partai lama lainnya.
  • LKiS pernah menerbitkan buku karya seorang NU Liberal yang mencurigai PKS mempunyai hidden agenda merubah dasar negara Pancasila menjadi Islam. Saya kira analisa itu lebih berbau propaganda ketimbang akademik. Pertama, kader PKS berbeda dengan kalangan islamis yang menolak demokrasi. Keputusan untuk menegakkan partai dalam alam demokrasi adalah sikap akomodatif dan kemauan mereka memahami realitas politik yang kompleks. Kedua, meski fungsi Pancasila di era kapitalistik ini tidak jelas atau tidak lebih dari sekedar pajangan yang tergantung di ruang tamu, tidak mudah menggusurnya :)

memahami fatwa rokok dan golput

MUI sudah bertindak bijaksana ketika mengeluarkan fatwa bahwa rokok dan golput haram. Polemik yang timbul meski mencerminkan realitas masyarakat yang kontradiktif, bagi saya, hanyalah permainan media. Debat di tvOne kemarin tidak menjernihkan masalah, tapi membuatnya kusut. Tulisan ini hanya bermaksud mendudukkan persoalan di tempat seharusnya.

Debat sesi pertama
Sesi pertama menghadirkan aktivis Majelis Mujahidin Indonesia dan wakil ketua komisi fatwa MUI. Aktivis Islam fundamentalis itu pada dasarnya tidak mempermasalahkan fatwa MUI secara partikular tapi lebih mempermasalahkan eksistensi MUI dalam negara Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi yang dianggapnya sekular. Bagi mereka, seharusnya MUI tidak hanya membimbing umat (menghadapi dunia modern ini), tapi lebih jauh menyatakan pemihakan pada agenda menjadikan syariah sebagai hukum positif. Inilah seharusnya titik pusat debat yang menggelinding tidak jelas arah itu.

Harapannya terlalu berlebihan terhadap MUI. Sebagai organisasi ulama yang terdiri dari wakil-wakil ormas-ormas besar Islam, tentu saja satu-satunya posisi yang bisa diambil MUI adalah moderat. Satu-satunya jalur yang paling logis untuk memperjuangkan syariat Islam adalah strategi politik dan itu menuntut akomodasi terhadap demokrasi. Di titik inilah sebenarnya dilema terbesar kalangan islam fundamentalis. Perjuangan dari pinggir panggung politik hanya bisa dilakukan dalam kerangka strategi budaya dan mobilitas sosial. Dan itu berarti perjuangan jangka panjang. Jika kedua saluran perjuangan ini ingin mendapatkan posisi politisnya, mau tidak mau, ia harus menerima konsep demokrasi.


Bagi saya, agenda yang paling mungkin adalah menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum alternatif terhadap sistem hukum yang kita warisi dari kolonial Belanda saat ini. Dalam kasus UU yang mengatur wilayah privat warga negara, sedikit banyak hukum Islam sudah terkodifikasi ke dalam hukum positif. Saya cukup optimis dengan prospeknya.

Debat sesi kedua
Sesi kedua menghadirkan Fadjroel Rahman dan Lukman Syaefuddin. Fadjroel, mantan aktivis mahasiswa ITB era 90-an, pernah mendekam di bui rezim Soeharto, sosialis demokrat dan capres independen pilpres 2009. Syaefuddin, legislator dari PPP dan mantan anggota Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Agung Al-Azhar.
Saefuddin menerangkan bahwa fatwa lahir dari pertanyaan masyarakat awam terhadap fenomena kekinian. Dan MUI telah menjalankan fungsinya membimbing umat dengan mengeluarkan fatwa. Jadi, fatwa bersifat bimbinngan. Bagi Fadjroel, fatwa MUI adalah kudeta konstitusi. Menurutnya, konstitusi tidak pernah melarang untuk golput dan MUI bertindak terlalu jauh dengan mengharamkannya. Fadjroel juga mengungkit-ngungkit bahwa MUI juga pernah mengeluarkan fatwa serupa di era Orde Baru. (Saya tidak yakin dengan kebenaran statemen terakhir ini. Hanya saja, memang paska kepemimpinan Hamka, MUI melempem)

Kompleksitas Islam
Menurut saya, istilah kudeta konstitusi kedengaran menyakitkan. Saya kira Fadjroel awam terhadap agamanya sendiri. Pertama, tidak ada keharusan bagi MUI untuk mengakomodasi konstitusi negara. Ketika membahas fatwa, sumber-sumber hukum Islamlah yang menjadi rujukan, bukan konstitusi sekular. Kedua, Islam adalah agama yang kompleks dan integral. Ia tidak hanya mengatur wilayah privat, tapi juga publik. Disamping itu, tidak seperti Barat yang mengalami sekularisme dan Revolusi Perancis, sejarah umat Islam tidak mengenal ketegangan ekstrim antara agama dan negara sehingga wilayah politik pun tak luput dari urusan agama. Tidak ada dikotomi absolut antara agama dan negara. Ketegangan yang pernah terjadi dalam sejarah Islam hanyalah dalam soal memilih mazhab resmi negara, seperti yang terjadi di era raja Ma'mun dari Dinasti Abbasiyyah.

Ketiga, yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang adalah kecenderungan hukum Islam yang dinamis sehingga tetap relevan dengan zaman. Syariat atau sumber-sumber hukum Islam diformulasikan dalam Ushul Fiqh. Bila fiqh adalah produk hukum Islam, maka Ushul Fiqh adalah metodologi untuk menghasilkan fiqh. Tidak hanya perbedaan dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, perbedaan penafsiran terhadap Kaidah-kaidah Ushuliyyah akan menghasilkan produk hukum atau fiqh yang berbeda. Karenanya perbedaan adalah hal yang lumrah dalam islam. Hanya saja memang terdapat konsep-konsep yang relatif baku untuk menjaga formulasi fiqh untuk tidak rancu. Seperti konsep tsubut-taghayyur (tetap dan berubah). Munqathi'-mustasyaabihaat (jelas dan abu-abu). Fatwa dan ijtihad dibutuhkan dalam wilayah taghayyur dan mutasyaabihat.

Keempat, fatwa, ijtihad atau produk hukum Islam tidak lahir dari ruang hampa (emptiness). Ia berinteraksi dengan realitas kekinian. Misalnya, secara umum, hukum merokok ditafsirkan sebagai makruh. Tapi MUI melihat realitas sosial sudah sedemikian meresahkan. Indonesia adalah surga bagi para perokok. Bahkan melebihi Barat yang sekuler, rokok disini murah, mudah didapatkan dan begitu bebas merokok dimana saja tanpa peduli hak non-perokok. Ironisnya, konsumen terbesar rokok adalah rakyat miskin. Artinya, sebahagian pendapatan mereka menguap menjadi asap. Pun bahwa anak-anak sudah berkenalan dengan rokok dalam usia dini. Dan memang masalah rokok tidak selesai begitu saja dengan fatwa. Perlu kepedulian negara dan peran masyarakat.

MUI bukan kependetaan
Islam adalah satu-satunya agama yang tidak mengenal kependetaan dan hirarki otoritas keagamaan. Ungkapan paling populer dalam buku-buku adalah Laa rahbaniyah fil Islam. Tidak ada kerahiban dalam Islam. Ulama (secara kolektif) memang pewaris para nabi sesuai hadits Nabi. Al-ulamaa waratsatul anbiyaa. Mereka mewarisi otoritas keilmuan bukan kenabian itu sendiri. Karenanya fatwa MUI tidak mengikat dan tidak ada keharusan setuju dengan fatwa MUI. Ia hanya bersifat bimbingan dari kalangan yang berkutat pada kajian keagamaan (tafaqquh fid diin) ke kalangan awam.

Dampak politis fatwa golput
Tentu saja fatwa tentang kehidupan politik mempunyai konsekuensi politik tertentu. Partai-partai Islam bersuka cita dengan fatwa ini karena memberikan tambahan konstituen dari kalangan yang mengikatkan relijiusitasnya dengan MUI. Kalangan sekular tidak begitu banyak diuntungkan dengan fatwa tersebut. Sesuai kaidah ushuliyyah: "ma laa yudraku kulluhu la yutraku kulluhu." Apa-apa yang tidak dipahami sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan sepenuhnya juga.

Mari pilih calon pemimpin yang terbaik di antara yang jelek-jelek :)

27.1.09

Yusuf Islam - Angel of War

O Angel Of War! What am I fighting for?
If death comes tomorrow inform me before, inform me before

O Young Soldier Boy! Ill tell you what I know,
If peace is your wish, to battle you must go, to battle you must go

O Angel Of War! Please make it clear to me,
Which is my side, and who is my enemy? and who is my enemy?

O Young Soldier Boy! The world is open wide,
So look to wherever, the truth is forced to hide, the truth is forced to hide

O Angel Of War! Within myself I see
Battle has started, what will become of me? what will become of me?

O Young Soldier Boy! You’re Wiser than you seem,
Look into your heart, and keep your motives clean, and keep your motives clean

O Angel Of War! What weapons do I need?
Lest I may perish, that I may succeed, that I may succeed

O Young Soldier Boy! If you protect the poor,
Let truth be your armour, and justice be your sword, and justice be your sword

O Angel Of War! What makes me want to fight?
I sometimes feel hatred, is it wrong or right? is it wrong or right?

O Young Soldier Boy! The war you wage,
If it’s for your ego, it will die in rage, it will die in rage

O Angel Of War! How can I tell for sure,
Pride’s not its reason that I’m fighting for, that I’m fighting for

O Young Soldier Boy! That’s something I can’t tell,
God knows you reason and you should know as well, and you should know as well

O Angel Of War! When I look at me,
I’m fearful to confess, the enemy I see, the enemy I see

O Young Soldier Boy! Now you can go your war,
I’ll see you tomorrow, a boy you’ll be no more, a boy you’ll be no more

23.1.09

Boemipoetra vs Teater Utan Kayu

Semenjak wafatnya HB Jassin, sang Paus/Wali Penjaga Sastra Indonesia dan era reformasi (serta kebebasan berpendapat) banyak fenomena aneh bermunculan dalam jagad sastra kita. Salah satunya adalah munculnya karya-karya sastra yang mengangkat tema-tema seks secara vulgar. Tema-tema seks mungkin bukan hal yang baru dalam jagat sastra. Sebut saja Motinggo Busye dan Abdullah Harahap dengan novel-novelnya yang cenderung pop. Akan tetapi fenomena Saman-nya Ayu Utami dengan ketinggian nilai sastrawinya telah memposisikan seks di episentrum novelnya. Tidak pelak, Taufiq Ismail, sastrawan angkatan 66, gusar.

Tidak main-main, dalam sebuah orasi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Taufiq menunjuk hidung beberapa orang generasi muda sastrawan yang menvulgarkan seks. Maka meruyaklah sebuah polemik dengan kata-kata tandas: Sastra Mazhab Selangkang (SMS), Gerakan Syahwat Merdeka (GSM).... dst. Hampir semua sastrawan nimbrung dalam polemik ini dan menciptakan polarisasi yang jelas. Tampak nyata bahwa para sastrawan muda yang aktif di Teater Utan Kayu atau setidaknya bergaul dekat dengan KUK berseberangan dengan Taufiq dkk. Polarisasi itu semakin kentara dengan terbitnya Jurnal kebudayaan Kalam dari Komunitas Utan Kayu, organisasi induk TUK. Sedikit banyak, jurnal tersebut "berselisih paham" dengan jurnal sastra Horison yang dibidani Taufiq dkk.

Ketika polemik ini sedikit demi sedikit mereda, timbul polemik baru yang sedikit banyak adalah kelanjutan dari polemik pertama. Saut Situmorang dkk/Boemipoetra vs TUK. Tema polemik kali ini melebar ke arah politik sastra. Adalah Saut yang memicu polemik dengan hipotesanya bahwa tema politik menjadi titik sentral dalam karya sastra sejak 90-an. Ia juga mengkritik tindak tanduk Komunitas Utan Kayu yang dianggapnya berlaku hegemonik: seringkali mengatasnamakan Indonesia di forum-forum internasional. Dan yang tak kalah pentingnya dalam tema polemik kali ini adalah kecenderungan liberal dan pro pasar bebas (baca: kapitalisme) yang diusung KUK.

Belum jelas kemana muara polemik ini. I'm watching..


Catatan kecik:
  • Bagi saya, novel-novel seks Motinggo Busye adalah moyangnya novel-novel seks pop murahan yang beredar di pasaran saat ini. Meskipun demikian, seks bukan tema utama novel-novel Motinggo atau tidak semua karya Motinggo berbau seks. Ada juga karyanya yang bernilai sastra tinggi
  • KUK punya festival sastra Internasional dua tahunan. Baru-baru ini, Ahmadun dkk dari Horison dan Komunitas Sastra Indonesia mengadakan festival tandingan: Jakarta International Literary (JIL) Fiesta yang juga bertajuk 2 tahunan.
  • KUK yang dibidani Goenawan Mohammad memang mengundang polemik. JIL vs INSIST, KUK/Teater Utan Kayu vs Taufiq/Saut. Saya kira Goenawan akan dikenang oleh banyak orang sebagai orang besar yang di masa tuanya menjadi bagian dari masalah, bukan solusi bagi bangsa ini. Seperti Dawam Rahardjo dan Gus Dur. Padahal dulunya, ia dan Taufiq Ismail sama-sama memperjuangkan Manifesto Kebudayaan yang menolak hegemoni Lekra (underbow PKI) dalam jagad sastra Indonesia.
  • Saut memang unik. Ia seorang Toba, berpikiran marxist, menganut Zen Buddhism dan menikah dengan seorang pengamat sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel. Saya sempat 2 kali melihatnya dalam forum sastra berbeda. Suara baritonnya bisa bikin iri penyair-penyair lain ketika berdeklamasi. Ia cerdas, hanya saja nakal dan tulisan-tulisannya kurang santun dalam berpolemik. Mungkin itu yang membuatnya keliatan romantik sebagai seorang yang anti kemapanan. Jikalau ia lebih elegan dalam berpolemik, akan semakin banyak orang yang berpihak padanya.
  • Ada yang membanding-bandingkan Saut dan Sapardi Joko Damono. Puisi-puisi Sapardi, Sang Imajis, emang keren, tapi Saut juga tak kalah keren :)
<

INSIST vs JIL

Rabu malam, Minggu kemarin, (14/1) berlangsung acara Debat di TVOne dengan topik "Krisis Palestina: Perang atau Damai?". Bagi saya sesi ke-2 debat itu amat istimewa karena menghadirkan Asep Sobari vs Novriantoni. Asep, aktivis INSIST, S1 di Madinah University, Madinah dan belum sempat menyelesaikan S2 nya di Malaysia. Novriantoni, aktivis JIL, S1 di Al-Azhar University Cairo dan S2 di UI. Keduanya pernah mondok di pesantren yang sama dan kemungkinan besar sudah kenal lama.


* * *

Perdebatan intelektual antara 2 kubu ini sudah sampai ke media visual. Sebelumnya, mereka berpolemik tentang hampir semua topik pemikiran di berbagai media terbatas, mulai dari mailing list, website, buku-buku, jurnal dan diskusi-diskusi.

JIL adalah bagian dari Komunitas Utan Kayu yang diprakarsai oleh Goenawan Mohammad. Lembaga think tank ini berisi sekelompok intelektual muda yang mengapresiasi pemikiran Islam modernis, terutama Cak Nur. Bahkan, menurut aktivis-nya sendiri, mereka jauh lebih liberal ketimbang Cak Nur. Dalam analisa saya, agaknya memang demikian. Mereka telah membawa pemikiran Cak Nur melewati "garis-garis" yang Cak Nur sendiri mungkin tidak berani melewatinya. Artinya, JIL telah membawa pemikiran Cak Nur ke tingkat ekstrimitas tertentu. Tidak lagi berada di tengah sebagai moderat. Tapi mungkin bisa disebut Islam Kiri, mirip judul buku Kazuo Simogaki, Kiri Islam, yang pernah diterbitkan LKiS, kolega JIL dari akar NU. (Buku itu sebenarnya membahas pemikiran Hassan Hanafi, professor filsafat Universitas Kairo)

Tapi label Islam Kiri juga tidak bisa menjelaskan posisi mereka dalam peta pemikiran keislaman, mengingat Kiri selalu identik dengan nilai-nilai progresif atau perlawanan terhadap dunia modern yang kapitalistik, sementara beberapa pemikir JIL mengapresiasi pasar bebas dan globalisasi hampir tanpa reserve. Beberapa orang di antara mereka juga aktif di Freedom Institute-nya Rizal Mallarangeng, lembaga think tank yang benar-benar kentara "berbau" pasar bebas.

Beberapa tahun setelah JIL berdiri, INSIST muncul ke permukaan. Rata-rata mereka adalah alumni ISTAC yang rektornya Sayyid Naquib Al-Attas. Naquib pernah menulis Islam dan Sekularisme dengan maksud menolak ide sekularisasi Cak Nur. Kolega beliau antara lain (alm) Ismail Raji al-Faruqy dengan proyek Islamization of Knowledge, seorang Palestina eksodus, profesor studi Islam di Temple University of Pensylvania yang terbunuh oleh orang tak dikenal. Dalam peta pemikiran Islam, Ismail dianggap sebagai pemikir neo-revivalis.

Cak Nur menyelesaikan studi doktoralnya di Chicago University, di bawah bimbingan Fazlur Rahman, seorang Pakistan yang dikenal sebagai pemikir neo-modernis. Neo-revivalis vs Neo-modernis. Itulah hulu dari perseteruan INSIST vs JIL. Tapi agaknya tidak mudah juga menyederhanakan peta perdebatan ini karena meskipun keduanya berbeda dalam hal-hal prinsipil, pada dasarnya kedua kubu ini berusaha menjawab pertanyaan paling rumit dari abad-abad silam: "Kenapa umat Islam mundur ?"

Neo-revivalis naik kereta waktu, kembali ke abad-abad silam untuk mencari jawaban dan pulang dengan oleh-oleh revitalisasi pengetahuan Islam masa lampau ke masa saat ini. Sementara itu, neo-modernis berkutat mencari relevansi Islam dengan dunia modern ini.

Dan saya, masih disini, barusan lepas dari kebingungan tahun-tahun silam, ketika saya memutuskan untuk lari dari tanggung jawab intelektual dengan tidak mengambil kuliah agama, tapi akhirnya terjerambab juga di antara kedua kubu ini. Saya sudah memutuskan akan berpihak pada siapa. Hanya saja, saya belum memutuskan kapan turun ke gelanggang carut marut itu. Memang dalam dunia riil, tidak ada middle ground. Tapi kecenderungan berpikir saya tidak sepenuhnya setuju dengan salah satu dari kedua kubu.

Pejuang selalu mengasah pedangnya tetap tajam
tapi tak pernah menghunusnya tanpa sebab
(Musashi Miyamoto)

Catatan:
Tulisan ini masih terlalu pendek untuk menjelaskan semuanya

Sesi pertama debat itu kurang menarik karena menghadirkan 2 orang yang tidak sama kapasitas intelektualnya. Akhirnya, keduanya berbicara dalam frekuensi yang berbeda. Penampilan yang amat beda semakin menciptakan distorsi. Yang satu dengan jenggot panjangnya dan yang satu lagi dengan kepala botak, berkacamata dan tanpa jenggot. Keduanya menampilkan stereotipe kaum islamis vs sekular. Dalam konteks psikologi komunikasi, pemirsa tv akan dengan cepat terpolarisasi bahkan sebelum mereka melontarkan pikiran-pikirannya.

Dalam debat kedua, Novriantoni melakukan kesalahan fatal ketika menafsirkan sejarah Perang Khaibar dan Yahudi di Madinah. Menurutnya, kedudukan kaum muslim yang masih goyah di Madinah tidak meyakinkan Kaum Yahudi untuk tetap beraliansi. Dengan cepat, pembawa acara menyergap dengan pertanyaan: "apa itu bukan pengkhianatan namanya..". Bagi saya memang pengkhianatan, karena Kaum Muslimin-Kristen-Yahudi sudah menyepakati Piagam Madinah, konstitusi/kontrak sosial yang salah satu butirnya adalah tidak bersekutu dengan musuh dari salah satu pihak. Ah, percuma dia belajar sejarah Islam di umur belasan tahun dari sebuah buku sejarah fantantis: khulasoh nurul yaqin. Buku tersebut adalah ringkasan dari ringkasan sebuah buku sejarah Islam dari abad pertengahan. Ah, mungkin dia tidur ketika ustadznya membahas Perang Khaibar :)

Saya kira dalam debat tersebut, para pendukung masing-masing kubu seringkali melontarkan pendapat yang tidak kontekstual dengan isi perdebatan yang sedang berlangsung. Mereka adalah noise dalam debat ini. Masalahnya, bagi tvOne, kehadiran mereka memang ditujukan untuk entertaining, memanaskan situasi, ketimbang untuk tujuan yang lebih relevan dengan debat

Agaknya kategorisasi modern-revivalis-tradisionalis harus didefiniskan ulang. Siapa yang menyangka dari rahim NU yang tradisionalis lahir para pemikir liberal. Bahkan Ulil Abshar Abdalla adalah menantu dari KH. Mustofa Bisri, seorang "ningrat" NU. Greg Barton memuji fenomena unik ini. Bagi saya, penting gak sih pujian seorang Indonesianis? Tidakkah Indonesianis itu terkadang hanya bentuk pejoratif dari kata yang kedengarannya jelek: orientalis! Bagi Edward W Said, orientalisme adalah skandal akademik atau pelacuran intelektual terbesar sepanjang sejarah! Menghamba pada tujuan-tujuan imperalisme

Ok, tidak semua orientalis melacur. Sebahagian dari mereka berkontribusi pada studi Islam spt menulis indeks Qur'an dan Hadits. (al-Mu'jam al-mufahrasy li alfaadzil al-qur'an...)

recent post