Semenjak wafatnya HB Jassin, sang Paus/Wali Penjaga Sastra Indonesia dan era reformasi (serta kebebasan berpendapat) banyak fenomena aneh bermunculan dalam jagad sastra kita. Salah satunya adalah munculnya karya-karya sastra yang mengangkat tema-tema seks secara vulgar. Tema-tema seks mungkin bukan hal yang baru dalam jagat sastra. Sebut saja Motinggo Busye dan Abdullah Harahap dengan novel-novelnya yang cenderung pop. Akan tetapi fenomena Saman-nya Ayu Utami dengan ketinggian nilai sastrawinya telah memposisikan seks di episentrum novelnya. Tidak pelak, Taufiq Ismail, sastrawan angkatan 66, gusar.
Tidak main-main, dalam sebuah orasi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Taufiq menunjuk hidung beberapa orang generasi muda sastrawan yang menvulgarkan seks. Maka meruyaklah sebuah polemik dengan kata-kata tandas: Sastra Mazhab Selangkang (SMS), Gerakan Syahwat Merdeka (GSM).... dst. Hampir semua sastrawan nimbrung dalam polemik ini dan menciptakan polarisasi yang jelas. Tampak nyata bahwa para sastrawan muda yang aktif di Teater Utan Kayu atau setidaknya bergaul dekat dengan KUK berseberangan dengan Taufiq dkk. Polarisasi itu semakin kentara dengan terbitnya Jurnal kebudayaan Kalam dari Komunitas Utan Kayu, organisasi induk TUK. Sedikit banyak, jurnal tersebut "berselisih paham" dengan jurnal sastra Horison yang dibidani Taufiq dkk.
Ketika polemik ini sedikit demi sedikit mereda, timbul polemik baru yang sedikit banyak adalah kelanjutan dari polemik pertama. Saut Situmorang dkk/Boemipoetra vs TUK. Tema polemik kali ini melebar ke arah politik sastra. Adalah Saut yang memicu polemik dengan hipotesanya bahwa tema politik menjadi titik sentral dalam karya sastra sejak 90-an. Ia juga mengkritik tindak tanduk Komunitas Utan Kayu yang dianggapnya berlaku hegemonik: seringkali mengatasnamakan Indonesia di forum-forum internasional. Dan yang tak kalah pentingnya dalam tema polemik kali ini adalah kecenderungan liberal dan pro pasar bebas (baca: kapitalisme) yang diusung KUK.
Belum jelas kemana muara polemik ini. I'm watching..
Tidak main-main, dalam sebuah orasi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Taufiq menunjuk hidung beberapa orang generasi muda sastrawan yang menvulgarkan seks. Maka meruyaklah sebuah polemik dengan kata-kata tandas: Sastra Mazhab Selangkang (SMS), Gerakan Syahwat Merdeka (GSM).... dst. Hampir semua sastrawan nimbrung dalam polemik ini dan menciptakan polarisasi yang jelas. Tampak nyata bahwa para sastrawan muda yang aktif di Teater Utan Kayu atau setidaknya bergaul dekat dengan KUK berseberangan dengan Taufiq dkk. Polarisasi itu semakin kentara dengan terbitnya Jurnal kebudayaan Kalam dari Komunitas Utan Kayu, organisasi induk TUK. Sedikit banyak, jurnal tersebut "berselisih paham" dengan jurnal sastra Horison yang dibidani Taufiq dkk.
Ketika polemik ini sedikit demi sedikit mereda, timbul polemik baru yang sedikit banyak adalah kelanjutan dari polemik pertama. Saut Situmorang dkk/Boemipoetra vs TUK. Tema polemik kali ini melebar ke arah politik sastra. Adalah Saut yang memicu polemik dengan hipotesanya bahwa tema politik menjadi titik sentral dalam karya sastra sejak 90-an. Ia juga mengkritik tindak tanduk Komunitas Utan Kayu yang dianggapnya berlaku hegemonik: seringkali mengatasnamakan Indonesia di forum-forum internasional. Dan yang tak kalah pentingnya dalam tema polemik kali ini adalah kecenderungan liberal dan pro pasar bebas (baca: kapitalisme) yang diusung KUK.
Belum jelas kemana muara polemik ini. I'm watching..
Catatan kecik:<
- Bagi saya, novel-novel seks Motinggo Busye adalah moyangnya novel-novel seks pop murahan yang beredar di pasaran saat ini. Meskipun demikian, seks bukan tema utama novel-novel Motinggo atau tidak semua karya Motinggo berbau seks. Ada juga karyanya yang bernilai sastra tinggi
- KUK punya festival sastra Internasional dua tahunan. Baru-baru ini, Ahmadun dkk dari Horison dan Komunitas Sastra Indonesia mengadakan festival tandingan: Jakarta International Literary (JIL) Fiesta yang juga bertajuk 2 tahunan.
- KUK yang dibidani Goenawan Mohammad memang mengundang polemik. JIL vs INSIST, KUK/Teater Utan Kayu vs Taufiq/Saut. Saya kira Goenawan akan dikenang oleh banyak orang sebagai orang besar yang di masa tuanya menjadi bagian dari masalah, bukan solusi bagi bangsa ini. Seperti Dawam Rahardjo dan Gus Dur. Padahal dulunya, ia dan Taufiq Ismail sama-sama memperjuangkan Manifesto Kebudayaan yang menolak hegemoni Lekra (underbow PKI) dalam jagad sastra Indonesia.
- Saut memang unik. Ia seorang Toba, berpikiran marxist, menganut Zen Buddhism dan menikah dengan seorang pengamat sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel. Saya sempat 2 kali melihatnya dalam forum sastra berbeda. Suara baritonnya bisa bikin iri penyair-penyair lain ketika berdeklamasi. Ia cerdas, hanya saja nakal dan tulisan-tulisannya kurang santun dalam berpolemik. Mungkin itu yang membuatnya keliatan romantik sebagai seorang yang anti kemapanan. Jikalau ia lebih elegan dalam berpolemik, akan semakin banyak orang yang berpihak padanya.
- Ada yang membanding-bandingkan Saut dan Sapardi Joko Damono. Puisi-puisi Sapardi, Sang Imajis, emang keren, tapi Saut juga tak kalah keren :)
Terus terang saya tidak begitu mengikuti trend sastra saat ini, sekedar mengomentari perilaku sastra yang cenderung nge-seks itu, saya cuma bisa bilang: Bukankah sastra itu merupakan cerminan dari masyarakat kita? Lebih tepat, cerminan masyarakat kelas menengah kita yang bisa dikatakan telah mapan dari segi finansial dan tumbuh dalam lingkaran euforia Jakarta yang metropolitan itu. Dan bukan hanya di KUK saja, dalam berbagai blog gaya hidup dimana penulisnya berasal dari tingkat sosial yang serupa, seks adalah tema yang digandrungi.
ReplyDeleteHipotesis saya, adalah ketiadaan tema besar yang mampu diapresiasi. Tidak ada lagi tembok Berlin, komunisme (meskipun muncul satu dua sekedar mengaitkan dengan trauma masa lalu). Seksualitas pada akhirnya menjadi tema tradisional yang paling laris. Kalau tidak salah itukan mestinya terjadi pada medio 90-an, saat ekonomi Indonesia sedang boom. Episode setelah itu semestinya terpengaruh oleh kondisi Nasional yang kacau balau, KKN, dan konfliks sosial. Dari beragam sastra koran yang saya baca, hampir semuanya berpaling dari realitas tadi, dengan pengecualian masalah kerusuhan Mei 98. Wacana di sekitar tema ini begitu besar.
Ada apa sebenarnya di Mei itu? Pemerkosaan, seksualitas hegemonik, dan eksploitasi besarbesaran akan minoritas. Para sastrawan menganggap seksualitas seabagai sebuah medan ekspresi. Entah kamu sudah baca buku Faucoult "Ingin tahu sejarah seksualitas?" Bisa saya katakan, perkembangan sastra saat ini mirip dengan wacana seks yang digambarkan oleh buku itu. Kalangan homoseksual, free seks, dan para pecandu narkoba, yang kebetulan berasal dari kelas sosial yang sama dengan para pengarang itu, merekalah yang hendak disuarakan keberadaan mereka. Bila demikian, dukungan KUK terhadap pasar bebas sebenarnya adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak lagi. Mereka adalah anak sah dari kapitalisme berikut mimpimimpi dan penyimpangannya.
Yang menarik bagi saya dalam polemik ini justru sebuah dialektika antara apa yang disebut dengan sastra yang mapan dan sastra pinggiran. Maksud saya, dua pelabelan ini sepenuhnya bersifat kategoris. Ia telah ada terlebih dahulu dalam pola pikir, sebelum mencium realitas. Dari sudut pandang keindonesiaan, kubu Boemiputra mewakili golongan sastra mapan yang telah beuratakar lama di Indonesia. Sedangkan KUK bisa dilihat sebagai kelompok sastra pinggiran, yang baru dan progresif yang ingin menggantikan peran generasi lama itu. Sayangnya, dari kacamata ekonopolitik internasional, KUK itulah yang merupakan kelompok sastra mapan, sedangkan Taufik Ismail dkk yang dikenal sebagai sastra pinggiran.
Pelabelan inilah yang bagi saya akan membentuk militansi setiap kelompok. Dalam gambar yang kamu berikan di atas, ternyata polarisasi yang ada antara Boemiputra dan KUK. Antara yang indigenous dan non-indigenous, dalam dan luar. Apa ini menegaskan bahwa KUK itu Neo-imperialis baru?
Tentang Saman, tumben juga kau memberinya label nilai sastrawi yang tinggi. Bagi saya, kekuatan Saman adalah dalam teknik penulisannya semata. Ayu Utami sangat cerdas dalam mengembangkan gaya dan alur tulis. Sedangkan Goenawan Mohammad sangat ensiklopaedis dan detil, meski sedikit out of context. Cuma, setiap membaca karyakarya mereka, tidak pernah saya jumpai sebuah kebergerakan di dalamnya. Euforia ada, tapi tidak cukup membuat kita bergerak, dalam terminologi Kunto tentang sastra yang menggerakkan. Apa ini berarti KUK itu jauh lebih mapan dari Boemiputra?
Tentang Taufik Ismail, bagiku di terlalu tua untuk bisa menggetarkan. Yang menarik justru Emha atau bisa jadi Rendra. Mungkin kamu bisa meneliti mereka satupersatu, dan tak perlu lagi melihat kemana air bermuara.
:D
sastra??? tidak terlalu ngerti awa..
ReplyDeletepenting ke?? :)