19.1.09

Filsafat, Logika, Fallacy, Catur, Retorika dan Psikologi Komunikasi

INTERNALISASI
Filsafat mengajari kita untuk berpikir secara mendasar. Mempertanyakan dari muasal, dari sebab, dari substansi. Rinciannya kemudian beranakpinak menjadi logika: definisi, kategorisasi, kausalitas dst.

Ketika ada sebuah judul diskusi umum: "Rekonsiliasi Partai-partai Islam, mungkinkah? Pertanyaan awalnya bukan "mungkinkah." Tapi, apa itu rekonsiliasi? Tidakkah rekonsiliasi mengandaikan keadaan perpecahan sebelumnya hingga dibutuhkan penyatuan? Apakah kita sepakat bahwa saat ini partai-partai Islam pecah? Lalu, apa yang disebut sebagai partai Islam? Partai yang berasas Islam-kah? Bila demikian, PAN dan PKB tidak bisa disebut partai Islam? Rekonsiliasi dalam bentuk apa? Partai Islam tunggal, aliansi permanen, atau sekedar koalisi temporer menjelang pilpres?



Atau definisi partai-partai Kaum Santri merujuk pada kategorisasi Abangan - Santri dari Clifford Gertz? Tidakkah, kategorisasi itu agak usang saat ini mengingat mobilitas sosial lewat jalur pendidikan telah membuat batas-batas Abangan - Santri menjadi cair? Nah, jika kita sudah sepakat soal definisi rekonsiliasi & partai Islam, baru kita bisa bicara soal "mungkinkah."

Proses berpikir penuh dengan jebakan-jebakan. Fallacy. Setiap kesalahan dalam proses tersebut akan berujung pada kesimpulan yang compang-camping. Seperti ketika mengkancingkan buah baju. Kesalahan mengkancingkan di kancing yang tidak semestinya, akan mengakibatkan pakaian bukannya jadi jombang, tapi compang.

Untuk memandu proses berpikir dibutuhkan sebuah skema atau peta pikiran. Sebut saja aturan tidak baku yang dilalui otak untuk sampai pada suatu kesimpulan. Masalahnya, pikiran adalah sesuatu yang abstrak dan tidak semua orang punya cara berpikir linear. Bagi saya, seabstrak & kusut apapun pikiran, seperti gulungan benang wol yang dipermainkan seekor kucing, ia punya 2 ujung: awal dan akhir. Saya kira mengajarkan catur sejak dini hingga belia akan melatih seseorang untuk berpikir linear teratur.

EKSTERNALISASI
Ketika sebuah gagasan dihantarkan ke khalayak, yang dibutuhkan adalah kemampuan mengemas. Packaging. Menggunakan analogi kemasan produk, di titik inti: core product, dalam konteks ini, ide yang sudah mengalami proses internalisasi. Kemudian, package yang didalamnya bisa kita sebutkan retorika dan psikologi komunikasi. Bila ide itu dalam bentuk tulisan, kita mengenal komunikasi visual: desain buku, desain web/blog dst. Dan lapisan ketiga, after-sale service. Kita bisa menyebutnya sebagai pola mengelola komunikasi/interaksi dengan pemirsa gagasan.

Jadi, eksternalisasi punya adagium: metode lebih penting ketimbang content. Dalam konteks ini, metode komunikasi lebih penting ketimbang ide itu sendiri. Dalam teknik pengajaran, menurut Mahmud Yunus, metode mengajar lebih penting ketimbang pelajaran itu sendiri.


Bacaan lanjutan:
Pengantar logika, fallacy, retorika dan psikologi komunikasi
Buku pengantar filsafat konyol: Filsafat Ilmu, Jujun S Sumantri
Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rachmat, Rosdakarya, Bandung, cetakan entah keberapa
Retorika, Jalaluddin Rachmat, penerbit entah siapa


No comments:

Post a Comment

feel free to comment :)

recent post