29.1.09

konstelasi politik pilpres 2009

Rakernas PDI-P di Solo berakhir antiklimaks. Tidak ada calon definitif yang akan mendampingi Megawati sebagai calon wakil presiden. Cukup logis, mengingat fragmentasi politik Indonesia tidak memungkinkan sebuah partai menang mutlak dalam pilpres. Pasangan capres - cawapres haruslah mencermikan aliansi politik identitas / aliran (ideologis).

Hidayat Nur Wahid tidak hanya terikat dengan aturan formal partainya, tapi secara ideologis sulit untuk beraliansi dengan PDIP di tingkat kenegaraan. Kepemimpinan negara oleh wanita masih merupakan polemik besar bagi mereka. Sutiyoso sama sekali bukan calon yang menjanjikan. Keberhasilannya memimpin DKI Jakarta masih debatable. Pun, polarisasi konstituen ibukota yang tercermin dari pilgub kemarin adalah preseden buruk bagi Sutiyoso. Bad political capital.


Akbar Tandjung sudah redup karir politiknya. Prabowo yang berhasil menggandeng anak kedua Bung Hatta dalam partai Gerindra bukan calon yang menjanjikan. HKTI sebagai basis konstituen Gerindra tidak bisa dibilang mengakar hingga ke tingkat petani di berbagai pelosok. Lembaga tersebut tidak pernah benar-benar berhasil mewakili kepentingan petani. Ia lebih merupakan wahana politik elitis guna mendapatkan bargain power. Pun, petani adalah pemilih tradisional yang mempunyai hambatan psikologis untuk memilih partai baru dengan muka-muka baru.

Menariknya, muncul nama Surya Paloh dalam bursa cawapres. Sudah menjadi kebiasaan bahwa pasangan capres-cawapres hendaknya mencerminkan perimbangan (sentimen) politik Jawa - Luar Jawa. Surya Paloh lumayan, meski konstituennya tidak mudah dihitung. Setidaknya, SP sudah lama membangun citra publiknya dengan cukup baik: orang pers (menurut MetroTV), orator ulung ala Soekarno, terpelajar, berwibawa sekaligus akomodatif. Namun sulit menantang pengaruh JK di tubuh Golkar sejak Akbar Tandjung lengser.

Bakal calon lain yang menarik adalah Sri Sultan HB X. Hanya saja tidak terlihat perimbangan Jawa - Luar Jawa. Sultan boleh jadi calon yang bisa diterima di berbagai kalangan: priyayi, abangan, santri. Belakangan, penolakannya terhadap RUU APP akan menegaskan posisi politiknya yang berseberangan dengan santri. Saya kira, ketegangan antara priyayi yang santri dan priyayi yang abangan akan kembali meruyak sejak ia pertama kali mengemuka pada Perang Diponegoro. Priyayi memang lebih identik dengan abangan ketimbang santri. Artinya, sebagaimana kaum abangan, priyayi lebih mengasosiasikan diri dengan identitas kultural (Jawa) ketimbang identitas keagamaan.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, duet Megawati-Sultan cukup dilematis karena keduanya mencerminkan konstituen politik yang hampir serupa. Artinya kehadiran Sultan tidak banyak membantu Mega mendulang suara dari konstituen baru. Mega boleh dibilang priyayi-abangan karena mewarisi darah aristokrat Soekarno.

NASIONALIS - ISLAMIS
Dengan demikian pilpres 2009 tidak akan menghadirkan nuansa politik baru. Politik identitas atau politik aliran belum akan mencair. Mega-SP atau Mega-Sultan mencerminkan identitas politik nasionalis abangan/sekular sementara SBY-JK mencerminkan nasionalis santri/agamis. Dua pasangan capres 2009 ini tampaknya yang paling berpeluang. Lalu bagaimana dengan kalangan Islamis atau santri murni?

Kekuatan politik Islamis hingga saat ini belum signifikan untuk menawarkan capres sendiri. Mereka masih terfragmentasi sedemikian rupa hingga sulit menawarkan pasangan capres tunggal.

PKS mencerminkan lapisan baru kalangan islamis yang merevitalisasi identitas relijiusnya mengatasi identitas budaya. Identitas relijius tersebut tersambung dengan concern mereka terhadap gerakan Islam di Timur Tengah, terutama Ikhwanul Muslimin. Jadi, meski puritan, mereka mampu mengorganisir diri dengan baik sehingga cukup menjanjikan sebagai partai modern yang mengusung nilai-nilai islam yang berdialektika dengan modernitas. Kepemimpinan kolegial, rekrutmen politik ketat, kaderisasi, integritas kader dst cukup tercermin dalam semboyan "peduli, bersih, profesional." Di satu sisi mereka adalah anak-anak pemikiran Hassan Al-Banna, di sisi lain mereka juga anak-anak pikiran Natsier. Hanya saja, mereka belum mampu menjangkau demografi konstituen yang luas. Masih ada hambatan-hambatan psikologis dan ortodoksi penafsiran keagamaan yang harus mereka pecahkan terlebih dahulu.

Partai-partai islam yang mencerminkan aliran politik lama sudah mulai tergerus suaranya atau mereka saling berebut konstituen yang sama: pemilih tradisional. PBB, PPP, PKNU, PPNUI. PKB yang berasas Pancasila dan PAN yang telah berganti asas menjadi islam tidak lebih baik nasibnya.

Di sisi lain, gerakan islam radikal semakin mampu mengorganisir dirinya. Suara mereka sebenarnya cukup signifikan menambah perolehan partai-partai islam. Namun mereka menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan ajaran islam. Bagi mereka, yang ada hanya konsep syura, bukan konsep demokrasi. Sebahagian mencita-citakan syariah menjadi hukum positif negara, sebahagian lain lebih jauh dari itu, mencita-citakan khilafah dengan mengambil Turki Ustmani sebagai model. Di atas semua itu, pemikiran politik mereka boleh dibilang belum matang atau tidak ada satu metodologi atau teori politik tertentu yang bisa merinci pemikiran politik mereka secara analitik.

Terlepas dari fragmentasi di atas, kaum islamis, baik yang berada di atas panggung politik maupun yang menolak sistem demokrasi akan sangat menentukan di putaran kedua pilpres 2009. Meski bertengkar sesamanya, mereka akan menjegal Megawati menjadi presiden meski raport SBY-JK selama memerintah tidak lebih baik, kecuali PKB yang masih kuat pengaruh Gus Dur di dalamnya. Tidak hanya karena Megawati perempuan, tapi karena haluan politik yang teramat berseberangan.

Di titik ini, sulit mengharapkan pemilu sebagai ajang kontestasi yang "menghukum" rezim yang punya track record jelek. Sulit mengharapkan perubahan signifikan dalam pola pemerintahan. Sekali lagi, kalangan islamis akan memberikan cek kosong dan dikecewakan. [ ]


Catatan kecik :
  • Etnis Jawa merupakan 42% populasi. Megawati-Sultan akan amat efektif mendulang suara mereka terlepas dari kecenderungan pemilih tradisional partai-partai lama lainnya.
  • LKiS pernah menerbitkan buku karya seorang NU Liberal yang mencurigai PKS mempunyai hidden agenda merubah dasar negara Pancasila menjadi Islam. Saya kira analisa itu lebih berbau propaganda ketimbang akademik. Pertama, kader PKS berbeda dengan kalangan islamis yang menolak demokrasi. Keputusan untuk menegakkan partai dalam alam demokrasi adalah sikap akomodatif dan kemauan mereka memahami realitas politik yang kompleks. Kedua, meski fungsi Pancasila di era kapitalistik ini tidak jelas atau tidak lebih dari sekedar pajangan yang tergantung di ruang tamu, tidak mudah menggusurnya :)

memahami fatwa rokok dan golput

MUI sudah bertindak bijaksana ketika mengeluarkan fatwa bahwa rokok dan golput haram. Polemik yang timbul meski mencerminkan realitas masyarakat yang kontradiktif, bagi saya, hanyalah permainan media. Debat di tvOne kemarin tidak menjernihkan masalah, tapi membuatnya kusut. Tulisan ini hanya bermaksud mendudukkan persoalan di tempat seharusnya.

Debat sesi pertama
Sesi pertama menghadirkan aktivis Majelis Mujahidin Indonesia dan wakil ketua komisi fatwa MUI. Aktivis Islam fundamentalis itu pada dasarnya tidak mempermasalahkan fatwa MUI secara partikular tapi lebih mempermasalahkan eksistensi MUI dalam negara Indonesia yang menggunakan sistem demokrasi yang dianggapnya sekular. Bagi mereka, seharusnya MUI tidak hanya membimbing umat (menghadapi dunia modern ini), tapi lebih jauh menyatakan pemihakan pada agenda menjadikan syariah sebagai hukum positif. Inilah seharusnya titik pusat debat yang menggelinding tidak jelas arah itu.

Harapannya terlalu berlebihan terhadap MUI. Sebagai organisasi ulama yang terdiri dari wakil-wakil ormas-ormas besar Islam, tentu saja satu-satunya posisi yang bisa diambil MUI adalah moderat. Satu-satunya jalur yang paling logis untuk memperjuangkan syariat Islam adalah strategi politik dan itu menuntut akomodasi terhadap demokrasi. Di titik inilah sebenarnya dilema terbesar kalangan islam fundamentalis. Perjuangan dari pinggir panggung politik hanya bisa dilakukan dalam kerangka strategi budaya dan mobilitas sosial. Dan itu berarti perjuangan jangka panjang. Jika kedua saluran perjuangan ini ingin mendapatkan posisi politisnya, mau tidak mau, ia harus menerima konsep demokrasi.


Bagi saya, agenda yang paling mungkin adalah menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum alternatif terhadap sistem hukum yang kita warisi dari kolonial Belanda saat ini. Dalam kasus UU yang mengatur wilayah privat warga negara, sedikit banyak hukum Islam sudah terkodifikasi ke dalam hukum positif. Saya cukup optimis dengan prospeknya.

Debat sesi kedua
Sesi kedua menghadirkan Fadjroel Rahman dan Lukman Syaefuddin. Fadjroel, mantan aktivis mahasiswa ITB era 90-an, pernah mendekam di bui rezim Soeharto, sosialis demokrat dan capres independen pilpres 2009. Syaefuddin, legislator dari PPP dan mantan anggota Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Agung Al-Azhar.
Saefuddin menerangkan bahwa fatwa lahir dari pertanyaan masyarakat awam terhadap fenomena kekinian. Dan MUI telah menjalankan fungsinya membimbing umat dengan mengeluarkan fatwa. Jadi, fatwa bersifat bimbinngan. Bagi Fadjroel, fatwa MUI adalah kudeta konstitusi. Menurutnya, konstitusi tidak pernah melarang untuk golput dan MUI bertindak terlalu jauh dengan mengharamkannya. Fadjroel juga mengungkit-ngungkit bahwa MUI juga pernah mengeluarkan fatwa serupa di era Orde Baru. (Saya tidak yakin dengan kebenaran statemen terakhir ini. Hanya saja, memang paska kepemimpinan Hamka, MUI melempem)

Kompleksitas Islam
Menurut saya, istilah kudeta konstitusi kedengaran menyakitkan. Saya kira Fadjroel awam terhadap agamanya sendiri. Pertama, tidak ada keharusan bagi MUI untuk mengakomodasi konstitusi negara. Ketika membahas fatwa, sumber-sumber hukum Islamlah yang menjadi rujukan, bukan konstitusi sekular. Kedua, Islam adalah agama yang kompleks dan integral. Ia tidak hanya mengatur wilayah privat, tapi juga publik. Disamping itu, tidak seperti Barat yang mengalami sekularisme dan Revolusi Perancis, sejarah umat Islam tidak mengenal ketegangan ekstrim antara agama dan negara sehingga wilayah politik pun tak luput dari urusan agama. Tidak ada dikotomi absolut antara agama dan negara. Ketegangan yang pernah terjadi dalam sejarah Islam hanyalah dalam soal memilih mazhab resmi negara, seperti yang terjadi di era raja Ma'mun dari Dinasti Abbasiyyah.

Ketiga, yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang adalah kecenderungan hukum Islam yang dinamis sehingga tetap relevan dengan zaman. Syariat atau sumber-sumber hukum Islam diformulasikan dalam Ushul Fiqh. Bila fiqh adalah produk hukum Islam, maka Ushul Fiqh adalah metodologi untuk menghasilkan fiqh. Tidak hanya perbedaan dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, perbedaan penafsiran terhadap Kaidah-kaidah Ushuliyyah akan menghasilkan produk hukum atau fiqh yang berbeda. Karenanya perbedaan adalah hal yang lumrah dalam islam. Hanya saja memang terdapat konsep-konsep yang relatif baku untuk menjaga formulasi fiqh untuk tidak rancu. Seperti konsep tsubut-taghayyur (tetap dan berubah). Munqathi'-mustasyaabihaat (jelas dan abu-abu). Fatwa dan ijtihad dibutuhkan dalam wilayah taghayyur dan mutasyaabihat.

Keempat, fatwa, ijtihad atau produk hukum Islam tidak lahir dari ruang hampa (emptiness). Ia berinteraksi dengan realitas kekinian. Misalnya, secara umum, hukum merokok ditafsirkan sebagai makruh. Tapi MUI melihat realitas sosial sudah sedemikian meresahkan. Indonesia adalah surga bagi para perokok. Bahkan melebihi Barat yang sekuler, rokok disini murah, mudah didapatkan dan begitu bebas merokok dimana saja tanpa peduli hak non-perokok. Ironisnya, konsumen terbesar rokok adalah rakyat miskin. Artinya, sebahagian pendapatan mereka menguap menjadi asap. Pun bahwa anak-anak sudah berkenalan dengan rokok dalam usia dini. Dan memang masalah rokok tidak selesai begitu saja dengan fatwa. Perlu kepedulian negara dan peran masyarakat.

MUI bukan kependetaan
Islam adalah satu-satunya agama yang tidak mengenal kependetaan dan hirarki otoritas keagamaan. Ungkapan paling populer dalam buku-buku adalah Laa rahbaniyah fil Islam. Tidak ada kerahiban dalam Islam. Ulama (secara kolektif) memang pewaris para nabi sesuai hadits Nabi. Al-ulamaa waratsatul anbiyaa. Mereka mewarisi otoritas keilmuan bukan kenabian itu sendiri. Karenanya fatwa MUI tidak mengikat dan tidak ada keharusan setuju dengan fatwa MUI. Ia hanya bersifat bimbingan dari kalangan yang berkutat pada kajian keagamaan (tafaqquh fid diin) ke kalangan awam.

Dampak politis fatwa golput
Tentu saja fatwa tentang kehidupan politik mempunyai konsekuensi politik tertentu. Partai-partai Islam bersuka cita dengan fatwa ini karena memberikan tambahan konstituen dari kalangan yang mengikatkan relijiusitasnya dengan MUI. Kalangan sekular tidak begitu banyak diuntungkan dengan fatwa tersebut. Sesuai kaidah ushuliyyah: "ma laa yudraku kulluhu la yutraku kulluhu." Apa-apa yang tidak dipahami sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan sepenuhnya juga.

Mari pilih calon pemimpin yang terbaik di antara yang jelek-jelek :)

27.1.09

Yusuf Islam - Angel of War

O Angel Of War! What am I fighting for?
If death comes tomorrow inform me before, inform me before

O Young Soldier Boy! Ill tell you what I know,
If peace is your wish, to battle you must go, to battle you must go

O Angel Of War! Please make it clear to me,
Which is my side, and who is my enemy? and who is my enemy?

O Young Soldier Boy! The world is open wide,
So look to wherever, the truth is forced to hide, the truth is forced to hide

O Angel Of War! Within myself I see
Battle has started, what will become of me? what will become of me?

O Young Soldier Boy! You’re Wiser than you seem,
Look into your heart, and keep your motives clean, and keep your motives clean

O Angel Of War! What weapons do I need?
Lest I may perish, that I may succeed, that I may succeed

O Young Soldier Boy! If you protect the poor,
Let truth be your armour, and justice be your sword, and justice be your sword

O Angel Of War! What makes me want to fight?
I sometimes feel hatred, is it wrong or right? is it wrong or right?

O Young Soldier Boy! The war you wage,
If it’s for your ego, it will die in rage, it will die in rage

O Angel Of War! How can I tell for sure,
Pride’s not its reason that I’m fighting for, that I’m fighting for

O Young Soldier Boy! That’s something I can’t tell,
God knows you reason and you should know as well, and you should know as well

O Angel Of War! When I look at me,
I’m fearful to confess, the enemy I see, the enemy I see

O Young Soldier Boy! Now you can go your war,
I’ll see you tomorrow, a boy you’ll be no more, a boy you’ll be no more

23.1.09

Boemipoetra vs Teater Utan Kayu

Semenjak wafatnya HB Jassin, sang Paus/Wali Penjaga Sastra Indonesia dan era reformasi (serta kebebasan berpendapat) banyak fenomena aneh bermunculan dalam jagad sastra kita. Salah satunya adalah munculnya karya-karya sastra yang mengangkat tema-tema seks secara vulgar. Tema-tema seks mungkin bukan hal yang baru dalam jagat sastra. Sebut saja Motinggo Busye dan Abdullah Harahap dengan novel-novelnya yang cenderung pop. Akan tetapi fenomena Saman-nya Ayu Utami dengan ketinggian nilai sastrawinya telah memposisikan seks di episentrum novelnya. Tidak pelak, Taufiq Ismail, sastrawan angkatan 66, gusar.

Tidak main-main, dalam sebuah orasi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Taufiq menunjuk hidung beberapa orang generasi muda sastrawan yang menvulgarkan seks. Maka meruyaklah sebuah polemik dengan kata-kata tandas: Sastra Mazhab Selangkang (SMS), Gerakan Syahwat Merdeka (GSM).... dst. Hampir semua sastrawan nimbrung dalam polemik ini dan menciptakan polarisasi yang jelas. Tampak nyata bahwa para sastrawan muda yang aktif di Teater Utan Kayu atau setidaknya bergaul dekat dengan KUK berseberangan dengan Taufiq dkk. Polarisasi itu semakin kentara dengan terbitnya Jurnal kebudayaan Kalam dari Komunitas Utan Kayu, organisasi induk TUK. Sedikit banyak, jurnal tersebut "berselisih paham" dengan jurnal sastra Horison yang dibidani Taufiq dkk.

Ketika polemik ini sedikit demi sedikit mereda, timbul polemik baru yang sedikit banyak adalah kelanjutan dari polemik pertama. Saut Situmorang dkk/Boemipoetra vs TUK. Tema polemik kali ini melebar ke arah politik sastra. Adalah Saut yang memicu polemik dengan hipotesanya bahwa tema politik menjadi titik sentral dalam karya sastra sejak 90-an. Ia juga mengkritik tindak tanduk Komunitas Utan Kayu yang dianggapnya berlaku hegemonik: seringkali mengatasnamakan Indonesia di forum-forum internasional. Dan yang tak kalah pentingnya dalam tema polemik kali ini adalah kecenderungan liberal dan pro pasar bebas (baca: kapitalisme) yang diusung KUK.

Belum jelas kemana muara polemik ini. I'm watching..


Catatan kecik:
  • Bagi saya, novel-novel seks Motinggo Busye adalah moyangnya novel-novel seks pop murahan yang beredar di pasaran saat ini. Meskipun demikian, seks bukan tema utama novel-novel Motinggo atau tidak semua karya Motinggo berbau seks. Ada juga karyanya yang bernilai sastra tinggi
  • KUK punya festival sastra Internasional dua tahunan. Baru-baru ini, Ahmadun dkk dari Horison dan Komunitas Sastra Indonesia mengadakan festival tandingan: Jakarta International Literary (JIL) Fiesta yang juga bertajuk 2 tahunan.
  • KUK yang dibidani Goenawan Mohammad memang mengundang polemik. JIL vs INSIST, KUK/Teater Utan Kayu vs Taufiq/Saut. Saya kira Goenawan akan dikenang oleh banyak orang sebagai orang besar yang di masa tuanya menjadi bagian dari masalah, bukan solusi bagi bangsa ini. Seperti Dawam Rahardjo dan Gus Dur. Padahal dulunya, ia dan Taufiq Ismail sama-sama memperjuangkan Manifesto Kebudayaan yang menolak hegemoni Lekra (underbow PKI) dalam jagad sastra Indonesia.
  • Saut memang unik. Ia seorang Toba, berpikiran marxist, menganut Zen Buddhism dan menikah dengan seorang pengamat sastra Indonesia dari Jerman, Katrin Bandel. Saya sempat 2 kali melihatnya dalam forum sastra berbeda. Suara baritonnya bisa bikin iri penyair-penyair lain ketika berdeklamasi. Ia cerdas, hanya saja nakal dan tulisan-tulisannya kurang santun dalam berpolemik. Mungkin itu yang membuatnya keliatan romantik sebagai seorang yang anti kemapanan. Jikalau ia lebih elegan dalam berpolemik, akan semakin banyak orang yang berpihak padanya.
  • Ada yang membanding-bandingkan Saut dan Sapardi Joko Damono. Puisi-puisi Sapardi, Sang Imajis, emang keren, tapi Saut juga tak kalah keren :)
<

INSIST vs JIL

Rabu malam, Minggu kemarin, (14/1) berlangsung acara Debat di TVOne dengan topik "Krisis Palestina: Perang atau Damai?". Bagi saya sesi ke-2 debat itu amat istimewa karena menghadirkan Asep Sobari vs Novriantoni. Asep, aktivis INSIST, S1 di Madinah University, Madinah dan belum sempat menyelesaikan S2 nya di Malaysia. Novriantoni, aktivis JIL, S1 di Al-Azhar University Cairo dan S2 di UI. Keduanya pernah mondok di pesantren yang sama dan kemungkinan besar sudah kenal lama.


* * *

Perdebatan intelektual antara 2 kubu ini sudah sampai ke media visual. Sebelumnya, mereka berpolemik tentang hampir semua topik pemikiran di berbagai media terbatas, mulai dari mailing list, website, buku-buku, jurnal dan diskusi-diskusi.

JIL adalah bagian dari Komunitas Utan Kayu yang diprakarsai oleh Goenawan Mohammad. Lembaga think tank ini berisi sekelompok intelektual muda yang mengapresiasi pemikiran Islam modernis, terutama Cak Nur. Bahkan, menurut aktivis-nya sendiri, mereka jauh lebih liberal ketimbang Cak Nur. Dalam analisa saya, agaknya memang demikian. Mereka telah membawa pemikiran Cak Nur melewati "garis-garis" yang Cak Nur sendiri mungkin tidak berani melewatinya. Artinya, JIL telah membawa pemikiran Cak Nur ke tingkat ekstrimitas tertentu. Tidak lagi berada di tengah sebagai moderat. Tapi mungkin bisa disebut Islam Kiri, mirip judul buku Kazuo Simogaki, Kiri Islam, yang pernah diterbitkan LKiS, kolega JIL dari akar NU. (Buku itu sebenarnya membahas pemikiran Hassan Hanafi, professor filsafat Universitas Kairo)

Tapi label Islam Kiri juga tidak bisa menjelaskan posisi mereka dalam peta pemikiran keislaman, mengingat Kiri selalu identik dengan nilai-nilai progresif atau perlawanan terhadap dunia modern yang kapitalistik, sementara beberapa pemikir JIL mengapresiasi pasar bebas dan globalisasi hampir tanpa reserve. Beberapa orang di antara mereka juga aktif di Freedom Institute-nya Rizal Mallarangeng, lembaga think tank yang benar-benar kentara "berbau" pasar bebas.

Beberapa tahun setelah JIL berdiri, INSIST muncul ke permukaan. Rata-rata mereka adalah alumni ISTAC yang rektornya Sayyid Naquib Al-Attas. Naquib pernah menulis Islam dan Sekularisme dengan maksud menolak ide sekularisasi Cak Nur. Kolega beliau antara lain (alm) Ismail Raji al-Faruqy dengan proyek Islamization of Knowledge, seorang Palestina eksodus, profesor studi Islam di Temple University of Pensylvania yang terbunuh oleh orang tak dikenal. Dalam peta pemikiran Islam, Ismail dianggap sebagai pemikir neo-revivalis.

Cak Nur menyelesaikan studi doktoralnya di Chicago University, di bawah bimbingan Fazlur Rahman, seorang Pakistan yang dikenal sebagai pemikir neo-modernis. Neo-revivalis vs Neo-modernis. Itulah hulu dari perseteruan INSIST vs JIL. Tapi agaknya tidak mudah juga menyederhanakan peta perdebatan ini karena meskipun keduanya berbeda dalam hal-hal prinsipil, pada dasarnya kedua kubu ini berusaha menjawab pertanyaan paling rumit dari abad-abad silam: "Kenapa umat Islam mundur ?"

Neo-revivalis naik kereta waktu, kembali ke abad-abad silam untuk mencari jawaban dan pulang dengan oleh-oleh revitalisasi pengetahuan Islam masa lampau ke masa saat ini. Sementara itu, neo-modernis berkutat mencari relevansi Islam dengan dunia modern ini.

Dan saya, masih disini, barusan lepas dari kebingungan tahun-tahun silam, ketika saya memutuskan untuk lari dari tanggung jawab intelektual dengan tidak mengambil kuliah agama, tapi akhirnya terjerambab juga di antara kedua kubu ini. Saya sudah memutuskan akan berpihak pada siapa. Hanya saja, saya belum memutuskan kapan turun ke gelanggang carut marut itu. Memang dalam dunia riil, tidak ada middle ground. Tapi kecenderungan berpikir saya tidak sepenuhnya setuju dengan salah satu dari kedua kubu.

Pejuang selalu mengasah pedangnya tetap tajam
tapi tak pernah menghunusnya tanpa sebab
(Musashi Miyamoto)

Catatan:
Tulisan ini masih terlalu pendek untuk menjelaskan semuanya

Sesi pertama debat itu kurang menarik karena menghadirkan 2 orang yang tidak sama kapasitas intelektualnya. Akhirnya, keduanya berbicara dalam frekuensi yang berbeda. Penampilan yang amat beda semakin menciptakan distorsi. Yang satu dengan jenggot panjangnya dan yang satu lagi dengan kepala botak, berkacamata dan tanpa jenggot. Keduanya menampilkan stereotipe kaum islamis vs sekular. Dalam konteks psikologi komunikasi, pemirsa tv akan dengan cepat terpolarisasi bahkan sebelum mereka melontarkan pikiran-pikirannya.

Dalam debat kedua, Novriantoni melakukan kesalahan fatal ketika menafsirkan sejarah Perang Khaibar dan Yahudi di Madinah. Menurutnya, kedudukan kaum muslim yang masih goyah di Madinah tidak meyakinkan Kaum Yahudi untuk tetap beraliansi. Dengan cepat, pembawa acara menyergap dengan pertanyaan: "apa itu bukan pengkhianatan namanya..". Bagi saya memang pengkhianatan, karena Kaum Muslimin-Kristen-Yahudi sudah menyepakati Piagam Madinah, konstitusi/kontrak sosial yang salah satu butirnya adalah tidak bersekutu dengan musuh dari salah satu pihak. Ah, percuma dia belajar sejarah Islam di umur belasan tahun dari sebuah buku sejarah fantantis: khulasoh nurul yaqin. Buku tersebut adalah ringkasan dari ringkasan sebuah buku sejarah Islam dari abad pertengahan. Ah, mungkin dia tidur ketika ustadznya membahas Perang Khaibar :)

Saya kira dalam debat tersebut, para pendukung masing-masing kubu seringkali melontarkan pendapat yang tidak kontekstual dengan isi perdebatan yang sedang berlangsung. Mereka adalah noise dalam debat ini. Masalahnya, bagi tvOne, kehadiran mereka memang ditujukan untuk entertaining, memanaskan situasi, ketimbang untuk tujuan yang lebih relevan dengan debat

Agaknya kategorisasi modern-revivalis-tradisionalis harus didefiniskan ulang. Siapa yang menyangka dari rahim NU yang tradisionalis lahir para pemikir liberal. Bahkan Ulil Abshar Abdalla adalah menantu dari KH. Mustofa Bisri, seorang "ningrat" NU. Greg Barton memuji fenomena unik ini. Bagi saya, penting gak sih pujian seorang Indonesianis? Tidakkah Indonesianis itu terkadang hanya bentuk pejoratif dari kata yang kedengarannya jelek: orientalis! Bagi Edward W Said, orientalisme adalah skandal akademik atau pelacuran intelektual terbesar sepanjang sejarah! Menghamba pada tujuan-tujuan imperalisme

Ok, tidak semua orientalis melacur. Sebahagian dari mereka berkontribusi pada studi Islam spt menulis indeks Qur'an dan Hadits. (al-Mu'jam al-mufahrasy li alfaadzil al-qur'an...)

19.1.09

Filsafat, Logika, Fallacy, Catur, Retorika dan Psikologi Komunikasi

INTERNALISASI
Filsafat mengajari kita untuk berpikir secara mendasar. Mempertanyakan dari muasal, dari sebab, dari substansi. Rinciannya kemudian beranakpinak menjadi logika: definisi, kategorisasi, kausalitas dst.

Ketika ada sebuah judul diskusi umum: "Rekonsiliasi Partai-partai Islam, mungkinkah? Pertanyaan awalnya bukan "mungkinkah." Tapi, apa itu rekonsiliasi? Tidakkah rekonsiliasi mengandaikan keadaan perpecahan sebelumnya hingga dibutuhkan penyatuan? Apakah kita sepakat bahwa saat ini partai-partai Islam pecah? Lalu, apa yang disebut sebagai partai Islam? Partai yang berasas Islam-kah? Bila demikian, PAN dan PKB tidak bisa disebut partai Islam? Rekonsiliasi dalam bentuk apa? Partai Islam tunggal, aliansi permanen, atau sekedar koalisi temporer menjelang pilpres?



Atau definisi partai-partai Kaum Santri merujuk pada kategorisasi Abangan - Santri dari Clifford Gertz? Tidakkah, kategorisasi itu agak usang saat ini mengingat mobilitas sosial lewat jalur pendidikan telah membuat batas-batas Abangan - Santri menjadi cair? Nah, jika kita sudah sepakat soal definisi rekonsiliasi & partai Islam, baru kita bisa bicara soal "mungkinkah."

Proses berpikir penuh dengan jebakan-jebakan. Fallacy. Setiap kesalahan dalam proses tersebut akan berujung pada kesimpulan yang compang-camping. Seperti ketika mengkancingkan buah baju. Kesalahan mengkancingkan di kancing yang tidak semestinya, akan mengakibatkan pakaian bukannya jadi jombang, tapi compang.

Untuk memandu proses berpikir dibutuhkan sebuah skema atau peta pikiran. Sebut saja aturan tidak baku yang dilalui otak untuk sampai pada suatu kesimpulan. Masalahnya, pikiran adalah sesuatu yang abstrak dan tidak semua orang punya cara berpikir linear. Bagi saya, seabstrak & kusut apapun pikiran, seperti gulungan benang wol yang dipermainkan seekor kucing, ia punya 2 ujung: awal dan akhir. Saya kira mengajarkan catur sejak dini hingga belia akan melatih seseorang untuk berpikir linear teratur.

EKSTERNALISASI
Ketika sebuah gagasan dihantarkan ke khalayak, yang dibutuhkan adalah kemampuan mengemas. Packaging. Menggunakan analogi kemasan produk, di titik inti: core product, dalam konteks ini, ide yang sudah mengalami proses internalisasi. Kemudian, package yang didalamnya bisa kita sebutkan retorika dan psikologi komunikasi. Bila ide itu dalam bentuk tulisan, kita mengenal komunikasi visual: desain buku, desain web/blog dst. Dan lapisan ketiga, after-sale service. Kita bisa menyebutnya sebagai pola mengelola komunikasi/interaksi dengan pemirsa gagasan.

Jadi, eksternalisasi punya adagium: metode lebih penting ketimbang content. Dalam konteks ini, metode komunikasi lebih penting ketimbang ide itu sendiri. Dalam teknik pengajaran, menurut Mahmud Yunus, metode mengajar lebih penting ketimbang pelajaran itu sendiri.


Bacaan lanjutan:
Pengantar logika, fallacy, retorika dan psikologi komunikasi
Buku pengantar filsafat konyol: Filsafat Ilmu, Jujun S Sumantri
Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rachmat, Rosdakarya, Bandung, cetakan entah keberapa
Retorika, Jalaluddin Rachmat, penerbit entah siapa


minggu

Minggu ini sebenarnya saya agak males ngelayap. Sepupu saya baru saja ikut pengajian di YISC Al-Azhar. Emang saya juga yang ngajak dia. Itung-itung buat nambah ilmu dan tak kalah pentingnya nambah teman. Lagian yang diajarin di YISC normal-normal aja, tidak seperti kakak perempuan saya yang kuliah di IPB dan pulang-pulang udah jadi aktivis Hizbut Tahrir Indonesia. Dan kebanyakan yang ngaji emang anak-anak muda yang kerja kantoran.

Saya suka menunggunya sampai selesai ngaji. Kalo tidak keluyuran dulu ke bagian lain Jakarta, biasanya saya cuman duduk sambil baca buku di pelataran masjid. Kalo capek, saya tidur di ruang terbuka itu dengan beralaskan tas. Kebiasaan lama. Dulu, waktu masih di rumah, ibu saya punya jawaban standar kalo teman-teman saya nelpon: "Oh, Si Son kalo gak ke gramedia, mungkin di pustaka daerah. Kalo gak, dia mungkin tidur di mesjid Taqwa di Pasar Raya."

yakin mo baca lanjutannya? Read it wisely..


Tapi kali ini saya juga punya acara sendiri di lantai bawah mesjid al-azhar: "Perayaan Tahun Baru Islam" yang diadakan ikatan alumni Gontor cabang Jakarta. Dua orang kyai dari Gontor diundang sekaligus untuk ceramah plus katanya Ust. Yusuf Mansur di akhir acara. (Selesai 2 kyai itu ceramah saya, kemudian rehat, dan saya gak masuk ruangan lagi. Jadi gak tahu, Yusuf-nya datang apa enggak).

Sebenarnya acara ini gak terlalu istimewa. Buktinya yang hadir tidak sebanyak saat silatnas kemarin. Tapi ada tujuan lain saya hadir ke acara ini: pengen liat dari dekat wajah seorang alumni Gontor Putri yang saya intip di facebook, friendster dan sempat saling berkirim email beberapa kali. Dan konyolnya, di facebook, dengan bercanda saya minta seorang senior kami sebagai pak comblang: ngirim salam saya buat dia. Aduh, sifat usil saya emang kadang kumat :)

Setelah mendaftar di meja panitia khusus putra, saya masuk ruangan. Dan saya merasa bahwa dia pasti jadi panitia. Karena biasanya, seksi sibuk pasti diserahkan ke alumni yang masih kuliah. Setelah liat sana-sini, eh ternyata dia ada di antara panitia di meja pendaftaran khusus putri, di bagian paling pojok. Terang saja tidak ngeliat.

Dan begitulah. Perhatian saya terpecah antara dengerin ceramah 2 kyai yang tampil bergantian dan ngeliatin tingkah polah gadis itu. (Kyai pertama agak membosankan karena saya hafal omongannya dari A - Z. Kyai ke-2 cukup menarik karena penuh kejutan (thinking out-of-the-box), nyentrik dan sedikit radikal.)

Ya, dia mungkin tipe saya. Tapi sepertinya untuk lebih dekat dengannya cukup rumit. Selain karena dia bukan gadis Minang, ada beberapa alasan lain yang tidak bisa saya utarakan disini. Ya, saya melihatnya di kejauhan dan dia melihat saya. Bagi saya itu sudah cukup. Case is closed.



Siangnya saya mengantar sepupu ke kos-an temannya di Pejompongan. Setelah itu saya menelpon Mela untuk meng-cancel janji ketemu ntar sore bersama Gita a.k.a Nyitnyit. Keduanya pernah tinggal 4 tahun di kos-an ibu saya di Padang. Tadi pagi saya bilang setuju. Tapi sepertinya saya ingin cepat-cepat pulang dan tidur saja. Tadi malam cuman tidur 4 jam.

Siang ini sebenarnya saya juga ingin duduk-duduk di Taman Suropati sambil melihat komunitas biola (dan cello) berlatih (Taman Suropati Chamber). Dan saya mendengar nada kecewa di ujung telpon sana. Dia bilang, setelah ini lebih sulit menemukan waktu kosong di akhir pekan untuk ketemuan. Akhirnya saya pulang ke rumah tante di Ciledug karena udah lama janji mo ngobrol dengan sepupu saya yang sebentar lagi tamat SMA.

Dan Mela lagi-lagi nelpon. Rupanya dia sudah bersama Gita. Lagi-lagi soal ketemuan. Ya, setelah mengelak dengan berbagai macam alasan, di menit ke-14 saya menyerah. Janji tepat waktu: ketemu di mushola lantai 5A Plaza Blok M ba'da maghrib. Setelah telpon itu saya mencoba tidur sebentar tapi gak bisa juga. Ya, sudahlah, saya mandi dan berpakaian dengan "dress code" acara ceramah tadi pagi (celana katun & kemeja)

Pertemuan yang menarik. Keduanya masih sama seperti dulu, kompak dengan joke-joke tengilnya yang ofensif. Di kampus mungkin kami jarang ketemu atau keliatan tak saling kenal. Tapi di rumah beda banget. Sekarang, Mela keliatan dewasa gaya bicaranya, padahal dulunya saya menganggapnya pecicilan :) Gita tetep dengan cengar-cengir dan kesukaannya menyanyi. Sebenarnya ada 1 lagi gadis telmi yang asik kalo diajak ketemuan. Saya lupa nama aslinya, tapi mereka berdua suka memanggilnya Udin, Saepuddin. Sayangnya, dia kerja di Bangkinang.

Yup, hari Minggu dengan akhir ceria :)


pranala dalam serupa:
anak kos gw
hobi cadangan si bokap


16.1.09

Thomas, Alex, gitar, pustaka & asbak

Belakangan ini saya menyusun ulang struktur data di laptop dan menemukan sepucuk email dari seorang kolega di Pustaka OPPM Gontor. Tiba-tiba saya merindukannya. Saya kehilangan kontak dengannya hingga saat ini.

Ia teman yang menyebalkan karena terkadang begitu cuek ketika banyak tugas-tugas yang harus diselesaikan. Tapi sebenarnya saya mengagumi cowok tampan itu. Hanya butuh 3 bulan baginya untuk belajar gitar dari Alex yang menguasai berbagai alat musik dan berbagai olahraga. Selepas Gontor, kami bertiga sama-sama memilih bertualang di PLMPM, wadah belajar radikal yang menggunakan Andragogi Paulo Freire.


Selepas PLMPM, saya kuliah ke Padang. Thomas di Jogja dan Alex pulang ke rumahnya di Lampung mengurus bisnis keluarga yang terbengkalai karena kakaknya menjadi pecandu narkoba. Alex. Dia dan saya begitu rapat. Tiga tahun saya sekelas dengannya. Saya dan dia tidak sependapat tentang hampir semua hal. Dari perkara sepele hingga besar. Tapi entah kenapa saya dan diat tidak pernah berjauhan. Tapi sudah lama ia hilang seperti ditelan bumi. Akhir Oktober lalu, saya ketemu Mustaqiem (Gembol) dan dia bilang sudah mencari ke rumahnya di Lampung dan tidak menemukan. Mungkin pindah rumah

Mengenang Thomas, mengenang Alex, mengenang kembali sisi lain dari sebuah pustaka. Musik, gitar, makan-makan, tajammu' di tengah tumpukan buku-buku baru dan lama yang harus disampul ulang. Sketsa romantik bocah-bocah yang menikmati hidup dan buku-buku sekaligus

Dan setiap lubang di lantai bangunan tua arsitektur Jawa (pendopo) itu menjadi asbak rokok. Saya dan para perokok tengik itu harus kompromi! Dan berubahlah sebuah laci meja ukuran 50x40cm yang dicat hijau lumut mejadi A S B A K

Dan begitulah sang A S B A K berada di tengah-tengah kami, 5 staf pustaka dan 12-an mantan asisten staf angkatan saya yang kadang datang. Melingkarinya. Menjadi teman yang tak pernah absen di tengah obrolan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Kepadanya kami tumpahkan sumpah serapah seluruh sampah kulit kacang, bungkus makanan ringan dan tentu saja abu rokok. Kalau kami manusia-manusia tidak beradab zaman purba, orang-orang mungkin akan curiga bahwa kami melingkari, menyembah sang A S B A K :)


pranala dalam terkait:
Mantingan, Medio '99





Album

ini aku



friendster.com/sonmah, sonny@facebook, @goodreads >>


sonnylagi@yahoo.co.id


pranala

Free n Free: Gutenberg, buku_koran_gratis, rapidshare, Ziddu, buku gratis, bukugratis, free ebook, free book, 4shared, ubuntu, ebooke, bukuislam,
FF AddOns: free ebook search 3.0


Writing: kutubuku, rumahtulisan, sastra3, seno, utamy,


BloggingTips: bloggingline, thegadgetnet, ayongeblog, dailyblogtips, edittag


Campaign: Firefox 3

BlogSearchEngine: technorati, google, delicious,cuil
FF addOns: technorati, delicious, flickr,


Aggregator: Indonesian Muslim Bloggers, Merdeka.or.id, Planet Terasi


CloudComputing: befunky accs: font css: blogandweb, freecsstemplates,,


akupunya :


 

ParaPetualang: Chayos - 25 days at Himalaya, alone INFO; Foto : 1, 2 FS: friendster.com/chayos Ema - Seychelles, Pulau Sorga Homepage Ema Himawan - Kegilaan & Maut di Sulawesi Chayos - 25 days at Himalaya, alone

INFO; Foto : 1, 2 FS: friendster.com/chayos





Ema - Seychelles, Pulau Sorga

Homepage Ema





Himawan - Kegilaan & Maut di Sulawesi


afrianto, khusairi, max, nando, pien, rio, revi, reni,


padangekspress, padangkini, padangmedia, singgalang, urang-minang
,

Buku Tamu

silahkan meninggalkan jejak disini

14.1.09

thinkingoutofdbox


kok penulis2 bisa bikin hujan tampak begitu indah

while i hate when the dirty water wet my shoes

9.1.09

3 gila, 3 tikungan

Kalo tidak nulis perihal gadis-gadis, biasanya saya menulis hal-hal membosankan. Teman-teman cowok saya memang tidak menarik untuk diceritakan:

Hari ke-2 Idul Fitri kemarin, saya berkunjung ke rumah hp. Tidak sulit menemukan rumahnya. Kami membicarakan posisi rumahnya via email dengan bantuan sepotong peta Bekasi. Persis seperti cara saya bepergian ke seantero Jakarta. Di mulai dari peta digital.

Begitulah, sesampai di rumahnya, saya bicara beberapa menit di ruang tamu sebelum akhirnya pindah ke depan komputer untuk bicara teknis ngblog (scribefire, fireflix dst..) Sampe melihat-lihat koleksi bukunya yang bikin ngiri. Koleksi buku saya sendiri tidak lengkap. Hilang; dipinjam teman dan tak kembali; atau saya berikan ke orang lain atas berbagai alasan. Untung saya pembaca yang cukup baik. Kalau tidak, hilang buku, hilang pula pengetahuan :)

Tak berapa lama kemudian, kami bertamu ke rumah Bowo, sarjana Sejarah UIN Jakarta. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai editor di Erlangga dan menulis 3 buku, ia mendirikan penerbitan bersama teman-temanya dan bekerja dari rumah. Saat itu ia sedang mengerjakan beberapa buku yang kini terbit. Diantaranya, Atlas Al-Qur'an

DIALOG
Kami mulai bicara tentang kabar teman-teman sekolah; tentang kabar almamater dan para guru; lalu tentang dunia yang kami geluti masing-masing. Saya bicara tentang bisnis dan ekonomi. HP bicara tentang kuliah filsafat dan kerjaan marketingnya. Dan Bowo bicara tentang kuliah sejarah dan dunia perbukuan.

Bowo bertanya pada saya tentang seberapa baik saya memahami ilmu ekonomi dan pekerjaan saya. Bowo bertanya pada HP tentang sarjana filsafat yang terjun ke dunia marketing. Saya bertanya pada HP, tentang kemungkinan ia membuka apotik sendiri dengan product knowledge dan relasi-relasi yang ia dapatkan selama bekerja. Saya bertanya pada Bowo tentang cara menerbitkan buku. Bowo bercerita banyak tentang hal-hal detil tentang dunia penerbitan yang benar-benar baru bagi saya. Saya agak terkejut bahwa keterampilan komputer Bowo lebih tinggi dari yang saya kira: mulai dari jaringan komputer hingga program-program desain grafis (corel, photoshop, illustrator dst). Saya bertanya tentang beberapa filsuf pada HP.

Dan kami saling mengagumi kemampuan menulis masing-masing. Bowo tertawa ketika saya menyebutnya pria melankolis karena blog-nya amat melow dan indah. Terjun ke dunia perbukuan benar-benar merubah diri Bowo. Ia banyak menyunting novel-novel indah dan akhirnya mempengaruhi gaya tulisannya. Ia juga belajar banyak dari teman-temannya sesama editor. Salah satunya, Daniel, seorang Purba yang amat saya kagumi sejak membaca blognya 2 tahun silam.

Saya mengagumi tulisan-tulisan HP karena ia menunjukkan kepiawaiannya mengolah logika dan filsafat ke dalam tulisan yang mudah dimengerti. Ia membawa filsafat dari ranah abstrak untuk diaplikasikan sebagai cara berpikir dalam memandang segala sesuatu. Puncaknya, ia menjelaskan secara filosofis tentang patah hatinya. Saya baru mengerti tentang jagad simulacra Baudrillard dari tulisannya ini.

PROVOKASI
Kami bicara banyak hal tentang dunia intelektual. Di tengah pembicaraan itu saya membujuk Bowo untuk jadi dosen saja. Agar ia banyak mencurahkan waktu untuk mengelaborasi gagasan dan menulis buku ketimbang menjadi pekerja buku dan berurusan dengan tetek bengek menerbitkan buku. Ia menolak dengan halus permintaan saya. Dan provokasi diarahkan ke HP. Bagi saya, diantara teman-teman kami, ia yang paling jauh masuk ke dunia gagasan. Ia memilih kuliah filsafat. Filsafat sebagai cara berpikir radikal adalah pintu terbaik untuk mempertanyakan segala sesuatu dan berkreasi, menciptakan, menemukan gagasan baru. Setidaknya, ia bisa memperbaiki pemikiran Cak Nur atau melanjutkan pemikiran Komaruddin Hidayat.

Tapi apa gunanya memprovokasi sesama provokator? Bowo menertawakan bujuk rayu saya yang tidak mempan itu.

EPILOG
Tidak terasa hampir 4 jam kami bicara. Banyak hal yang saya dapatkan dari obrolan itu. Seperti sudah bertahun-tahun tidak ada teman bicara tentang hal-hal yang paling inheren dalam diri saya: intelektualitas. Dan kami menggunakan kosakata yang begitu khas, kaya, dan cukup asing dalam pembicaraan sehari-hari. Semoga saja, seperti harapan Bowo, kami bisa bekerja sama menulis buku.

Sepulang dari Bekasi, saya mampir ke rumah Andung Halimah, sepupu nenek, di Poltangan Pasar Minggu.

7.1.09

UN: Under one Nation


United Nations = United States. Nations=States


Lewat 1/2 abad Dewan Keamanan PBB berdiri, masih menggambarkan anasir militer era Perang Dunia 2. Mekanisme veto adalah anomali dalam dunia yang demokratis. Siapa penyandang dana terbesar kegiatan PBB? Jepang ! Bukan para pemilik hak veto


Courtesy: shirtalks.com
silahkan beli kaosnya :)

api dan cahaya

HP menulis Api dan Cahaya at FB

Sedikit potongan tulisan & komentar:



Saya jadi ingat laron-laron yang mabuk cahaya dan mati. Mata fisik mungkin melihat apa yang dilakukan laron-laron itu amat absurd. Mati untuk sesuatu yang tidak bernilai. Kebodohan. Tapi bagi mata batin, laron ibarat sufi yang menyerahkan hidupnya pada Sang Maha Cahaya..

recent post