Belakangan ini saya menyusun ulang struktur data di laptop dan menemukan sepucuk email dari seorang kolega di Pustaka OPPM Gontor. Tiba-tiba saya merindukannya. Saya kehilangan kontak dengannya hingga saat ini.
Ia teman yang menyebalkan karena terkadang begitu cuek ketika banyak tugas-tugas yang harus diselesaikan. Tapi sebenarnya saya mengagumi cowok tampan itu. Hanya butuh 3 bulan baginya untuk belajar gitar dari Alex yang menguasai berbagai alat musik dan berbagai olahraga. Selepas Gontor, kami bertiga sama-sama memilih bertualang di PLMPM, wadah belajar radikal yang menggunakan Andragogi Paulo Freire.
Selepas PLMPM, saya kuliah ke Padang. Thomas di Jogja dan Alex pulang ke rumahnya di Lampung mengurus bisnis keluarga yang terbengkalai karena kakaknya menjadi pecandu narkoba. Alex. Dia dan saya begitu rapat. Tiga tahun saya sekelas dengannya. Saya dan dia tidak sependapat tentang hampir semua hal. Dari perkara sepele hingga besar. Tapi entah kenapa saya dan diat tidak pernah berjauhan. Tapi sudah lama ia hilang seperti ditelan bumi. Akhir Oktober lalu, saya ketemu Mustaqiem (Gembol) dan dia bilang sudah mencari ke rumahnya di Lampung dan tidak menemukan. Mungkin pindah rumah
Mengenang Thomas, mengenang Alex, mengenang kembali sisi lain dari sebuah pustaka. Musik, gitar, makan-makan, tajammu' di tengah tumpukan buku-buku baru dan lama yang harus disampul ulang. Sketsa romantik bocah-bocah yang menikmati hidup dan buku-buku sekaligus
Dan setiap lubang di lantai bangunan tua arsitektur Jawa (pendopo) itu menjadi asbak rokok. Saya dan para perokok tengik itu harus kompromi! Dan berubahlah sebuah laci meja ukuran 50x40cm yang dicat hijau lumut mejadi A S B A K
Dan begitulah sang A S B A K berada di tengah-tengah kami, 5 staf pustaka dan 12-an mantan asisten staf angkatan saya yang kadang datang. Melingkarinya. Menjadi teman yang tak pernah absen di tengah obrolan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Kepadanya kami tumpahkansumpah serapah seluruh sampah kulit kacang, bungkus makanan ringan dan tentu saja abu rokok. Kalau kami manusia-manusia tidak beradab zaman purba, orang-orang mungkin akan curiga bahwa kami melingkari, menyembah sang A S B A K :)
pranala dalam terkait:
Mantingan, Medio '99
Ia teman yang menyebalkan karena terkadang begitu cuek ketika banyak tugas-tugas yang harus diselesaikan. Tapi sebenarnya saya mengagumi cowok tampan itu. Hanya butuh 3 bulan baginya untuk belajar gitar dari Alex yang menguasai berbagai alat musik dan berbagai olahraga. Selepas Gontor, kami bertiga sama-sama memilih bertualang di PLMPM, wadah belajar radikal yang menggunakan Andragogi Paulo Freire.
Selepas PLMPM, saya kuliah ke Padang. Thomas di Jogja dan Alex pulang ke rumahnya di Lampung mengurus bisnis keluarga yang terbengkalai karena kakaknya menjadi pecandu narkoba. Alex. Dia dan saya begitu rapat. Tiga tahun saya sekelas dengannya. Saya dan dia tidak sependapat tentang hampir semua hal. Dari perkara sepele hingga besar. Tapi entah kenapa saya dan diat tidak pernah berjauhan. Tapi sudah lama ia hilang seperti ditelan bumi. Akhir Oktober lalu, saya ketemu Mustaqiem (Gembol) dan dia bilang sudah mencari ke rumahnya di Lampung dan tidak menemukan. Mungkin pindah rumah
Mengenang Thomas, mengenang Alex, mengenang kembali sisi lain dari sebuah pustaka. Musik, gitar, makan-makan, tajammu' di tengah tumpukan buku-buku baru dan lama yang harus disampul ulang. Sketsa romantik bocah-bocah yang menikmati hidup dan buku-buku sekaligus
Dan setiap lubang di lantai bangunan tua arsitektur Jawa (pendopo) itu menjadi asbak rokok. Saya dan para perokok tengik itu harus kompromi! Dan berubahlah sebuah laci meja ukuran 50x40cm yang dicat hijau lumut mejadi A S B A K
Dan begitulah sang A S B A K berada di tengah-tengah kami, 5 staf pustaka dan 12-an mantan asisten staf angkatan saya yang kadang datang. Melingkarinya. Menjadi teman yang tak pernah absen di tengah obrolan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Kepadanya kami tumpahkan
pranala dalam terkait:
Mantingan, Medio '99
No comments:
Post a Comment
feel free to comment :)