30.5.13

dan membaca pun adalah kemewahan..

Seperti menonton film, membaca pun hampir-hampir menjadi semacam kemewahan belakangan ini. Saya mulai membatasi nonton film hanya genre drama saja. Film thriller bolehlah asal review di internet bagus. Baca fiksi pun cuman yang penting-penting aja. Lagian saya lebih banyak baca non-fiksi ketimbang fiksi. Nanti deh kalau udah tua, baru baca non fiksi sepuasnya. Ujung-ujungnya saya cuman baca novel-novel sastra. Boleh dibilang saya ini rada old-school untuk urusan baca novel.


Di bawah ini saya salinkan Daftar 100 Buku Sastra yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan. Daftar yang lumayan komprehensif walaupun ada beberapa karya fiksi dan non fiksi yang bisa diperdebatkan apakah bernilai sastra atau tidak. Bagi saya, yang karya fiksi yang bisa disebut sastra adalah yang punya teknik narasi yang baik; bahasa yang baik dan indah serta kisah bermutu alias tidak klise.


Saya lupa-lupa ingat apa pernah baca Manusia Indonesia-nya Moechtar Lubis padahal saya ngaku fan beratnya. Begitu juga Sitor Situmorang, Motinggo Busye, Subagyo Sastrowardoyo. Mereka punya magis sendiri.


Daftar ini ditnukil oleh seseorang dari buku Seratus Buku Yang Harus Dibaca Sebelum Dikuburkan terbitan tahun 2009. Saya sudah baca buku no. 2, 4, 6, 10, 13,17,24, 35, 44, 46, 51, 54, 58, 60, 63, 68, 70, 74, 79, 100. Lebih dari 60% pengarang dalam daftar di bawah yang saya tahu. Saya sering baca puisi-puisi Zawawi Imron dan Asep Zamzam Noor. Saya malu belum baca novel-novel Pramoedya. Padahal mudah didapat.

 1. Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo (1919)

2. Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920)

3. Hikayat Kadiroen karya Semaoen (1920)

4. Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Rusli (1922)

5. Tanah Air karya Muhammad Yamin (1922)

6. Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (1928)

7. Melawat Ke Barat karya Adinegoro (1930)

8. Kalau Tak Untung karya Selasih (1933)

9. Kenang-Kenangan karya Dokter Soetomo (1934)

10.Lajar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936)

11. Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah (1937)

12. Patjar Merah Indonesia karya Matu Mona (1938)

13. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA (1939)

14. Belenggu karya Armijn Pane (1940)

15. Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma karya Idrus (1948)

16. Polemik Kebudayaan karya Achdiat K. Mihardja

17. Atheis karya Achdiat Karta Mihardja (1949)

18. Yang Terampas dan Yang Putus dan Deru Campur Debu karya Chairil Anwar (1950)

19. Tiga Menguak Takdir karya Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani (1958)

20. Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis (1952)

21. Surat Kertas Hijau karya Sitor Situmorang (1953)

22. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (I-IV) karya H.B.Jassin (1954-1967)

23. Priangan Si Jelita karya Ramadhan KH (1956)

24. Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis (1956)

25. Si Doel Anak Djakarta Karya Aman Dt. Madjoindo (1956)

26. Malam Jahanam karya Motinggo Busye (1958)

27. Pulang karya Toha Mohtar (1958)

28. Ramayana karya R.A. Kosasih (1960)

29. Empat Kumpulan Sajak karya WS Rendra (1961)

30. Matinja Seorang Petani karya Agam Wispi

31. Pagar Kawat Berduri karya Trisnojuwono (1961)

33. Angkatan 66 Prosa dan Puisi karya H.B. Jassin (1968)

34. Gairah untuk Hidup dan untuk Mati karya Nasjah Djamin (1968)

35. Duka-Mu Abadi karya Sapardi Djoko Damono (1969)

36. Ziarah karya Iwan Simatupang (1969)

37. Heboh Sastra karya H.B. Jassin (sebagai penyunting) (1970)

38. Pariksit karya Goenawan Mohamad (1971)

39. Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat karya Asrul Sani (1972)

40. Karmila karya Marga T (1973)

41. Pada Sebuah Kapal karya N.H Dini (1973)

42. Sajak-sajak 33 karya Toeti Heraty Noerhadi (1973)

43. Godlob karya Danarto (1975)

44. Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo (1976)

45. Meditasi karya Abdul Hadi WM (1976)

46. Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (1977)

47. Laut Biru Langit Biru karya Ajip Rosidi (1977)

48. Raumanen karya Marianne Katoppo (1977)

49. Upacara karya Korrie Layun Rampan (1978)

50. Dan Perang Pun Usai karya Ismail Marahimin (1979)

51. Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis (1980)

52. Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer (1980-1980-1985-1987)

53. Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH. (1981)

54. O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri (1981/1973-1977-1979)

55. Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG (1981)

56. Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya (1982)

57. Sastra dan Religiositas karya Y.B Mangunwijaya (1982)

58. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982-1985-1986)

59. Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983)

60. Olenka karya Budi Darma (1983)

61. Abad yang Berlari karya Afrizal Malna (1984)

62. Hamba-hamba Kebudayaan karya Dami N. Toda (1984)

63. Dari Pojok Sejarah (Sebuah Renungan Perjalanan) karya Emha Ainun Nadjib (1985)

64. Sakerah karya Djamil Soeherman (1985)

65. Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (1987)

66. Antologi Puisi Indonesia Modern: Tonggak karya Linus Suryadi AG (penyunting) (1987)

67. Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C Noer (1989)

68. Wiro Sableng karya Bastian Tito (1990)

69. Catatan Pinggir karya Goenawan Mohamad (1991)

70. Para Priyayi karya Umar Kayam (1991)

71. Seri Cerpen Pilihan Kompas 1991-2007

72. Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma (1994)

73. Dan Kematian Makin Akrab karya Soebagio Sastrowardojo (1995)

74. Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia karya H.B. Jassin (editor) (1995)

75. Asal Usul Karya Mahbub Djunaidi (1996)

76. Pendekar Super Sakti karya Asmaraman S Kho Ping Hoo (1996)

77. Senjakala Kebudayaan karya Nirwan Dewanto (1996)

78. Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa (1997)

79. Saman karya Ayu Utami (1998)

80. Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul (1999)

81. Celana karya Joko Pinurbo (1999)

82. Di Atas Umbria karya Acep Zamzam Noor (1999)

83. Kali Mati karya Joni Ariadinata (1999)

84. Madura Akulah Darahmu karya D. Zawawi Imron (1999)

85. Memorabilia karya Agus Noor (1999)

86. Sampek dan Engtay karya Nano Riantiarno (1999)

87. Angkatan 2000 karya Korrie Layun Rampan (2000)

88. Nonsens karya Sitok Srengenge (2000)

89. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 1 karya Marcus A.S. dan Pax Benedanto (penyunting) (2001)

90. Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan (2002)

91. Area X Hymne Angkasa Raya karya Eliza V Handayani (2003)

92. Cala Ibi karya Nukila Amal (2003)

93. Kill The Radio karya Dorothea Rosa Herliany (2000)

94. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden (2003)

95. Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M Dahlan

96. Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy (2004)

97. Cintapuccino karya Icha Rahmanti (2004)

98. Puisi-puisi Mbeling karya Remy Silado (2004)

99. Sastra Cyber Polemik Sastra Cyberpunk karya Saut Situmorang (Ed.) (2004)

100.Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2005)

30.4.13

puzzle

Di sekolah saya dulu ada sebuah mading yang terbit setiap minggu dalam sebuah etalase kaca berukuran besar. Isinya karya-karya seni rupa. Mulai dari karikatur, komik, kartun, dan aneka karya seni rupa lainnya. Beberapa kali muncul juga seni kaligrafi. Tapi LIMITS, demikian nama klub para pelajar penyuka seni rupa ini tidak ingin komunitas mereka identik dengan kaligrafi. Selain mereka ada juga AKLAM, klub yang fokus pada kaligrafi.

Saya suka berlama-lama berdiri di depan mading mereka. Selain membaca serial komik hasil karya mereka ada 2 jenis karya seni rupa yang cukup menarik perhatian saya. Pertama, vignette, yaitu sejenis seni rupa impressionis yang entah apalah artinya. Biasanya dikerjakan dengan menggunakan pena steadler mahal. Kedua, potret-potret yang terbentuk dari ratusan atau mungkin ribuan titik.

Saya kira mungkin itu sebabnya saya kemudian mempunyai hobi baru: mengunjungi pameran lukisan atau desain grafis dan duduk di bangku yang disediakan di depan lukisan-lukisan. Saya tidak dikarunia bakat seni rupa. Tidak pula cita rasa yang baik untuk mengapreasiasi. Yang bisa saya lakukan hanyalah memandangi sebuah lukisan. Bila saya gagal memahami lukisan itu secara keseluruhan, saya akan mulai menemukan satu-dua bagian dari lukisan itu yang bisa membuat saya terkesan.

Mungkin hanya karena komposisi warnanya. Mungkin karena satu sapuan kuas yang amat "lihai" atau "bertenaga" atau kuat karakternya. Mungkin karena judulnya yang kok gak nyambung sama lukisannya. Dan tiba-tiba saya jatuh cinta pada lukisan itu..

15.3.13

welcome, Mr. (real?) 4 !


Pada akhirnya peluncuran sebuah produk gadget bukan lagi soal teknologi. Tidak peduli seberapa canggih gadget itu, kemampuan marketing atau PR-lah yang akhirnya menentukan. Triknya dimulai dari rumor yang dilontarkan salah seorang petinggi perusahaan melalui media mainstream yang kredibel tentang gadget yang akan mereka rilis. Tidak peduli apakah produk tersebut sudah mencapai tahap prototipe atau masih berada di "meja gambar", si petinggi berusaha menarik lampu sorot agar mengarah pada perusahaannya. Lalu para jurnalis teknologi mulai kasak-kusuk membahas semua hal yang dihubung-hubungkan dengan gadget "siluman" (yang sialan) itu. Berspekulasi tentang ini-itu hingga memunculkan prototipe imajinatif karya mereka sendiri.

Mereka yang sedang mempertimbangkan untuk membeli gadget baru mulai mengarahkan perhatiannya ke si siluman. Para pemamah berita teknologi (tech news junkies) macam saya mulai bertanya-tanya tentang fitur-fitur apalagi yang akan disematkan si sekuel itu. Seberapa mutakhir teknologi yang akan diadopsi. Seberapa bagus perangkat kerasnya. Seberapa baik dukungan sistem operasi dan aplikasi-aplikasinya terhadap kecanggihan perangkat kerasnya. Para penggemar fanatik masing-masing gadget, macam Apple fans, Android-Linuxer, BB fans mulai mengisi baris-baris komentar di halaman-halaman daring dengan berbagai macam tingkah polah kekanak-kanakannya. Yup, boyz is boyz, no matter how old they are. When it comes to toyz, they are still childish.

Begitulah sebuah kekonyolan berawal. Orang-orang PR mulai berbuat genit. Muncul bocoran-bocoran foto si gadget. Entah itu rumor gadungan atau issue beneran. Kerjaan mereka tidak lebih baik dari majalah-majalah dewasa yang menstimulasi pembacanya dengan menampilkan paha saja, pundak putih mulus saja, atau dan setengah lingkaran atas dari itu. Sompret ! Gadget berubah nilainya dari sebuah puncak inovasi yang esensial menjadi pameran casing yang amat artifisial. Memang sih gak artifisial artifisial amat. Design is design. Tapi menampilkan rumor-rumor gak penting itu akan meningkatkan jumlah berita sampah yang menghiasi bahkan media mainstream sekalipun.

Dan anda tahu siapa yang patut "dipersalahkan" atas tren ini? Steve Job !
Ya, Mungkin menurutnya, kharisma di panggung presentasi saja tidak cukup untuk era post-PC, post x86-x64 atau era mobile handheld atau era komputasi mobile atau apalah namanya. Sejak Apple merilis iPhone, nuansa marketing dan PR genit mulai terasa. Gaya Apple yang begini mulai ditiru oleh Samsung dalam merilis perangkat Galaxy paling premium mereka. Tidak peduli berapa budget marketing, PR dan iklan yang harus dikeluarkan, Apple dan Samsung sukses dengan semua kegenitan itu. Jadi, boleh dibilang, mereka menjadi produsen terbesar gadget bukan karena soal teknologi saja, tapi kemampuan untuk bergenit-genit ria.

Catatan:
Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut rilis Samsung Galaxy S4 di New York yang sedang berlangsung saat ini. Beberapa jam sebelum acara Unpacking itu berlangsung LG dan Apple mulai mengganggu dengan kegenitannya untuk membikin bingung para calon pembeli potensial Galaxy S4. LG yang beberapa bulan sebelumnya merilis Google Nexus 4 a.k.a Optimus G mencuri perhatian publik dengan iklan Optimus G Pro tepat di atas billboard Samsung di Times Square. Apple merilis rumor tentang perangkat terbarunya yang akan hadir beberapa bulan lagi. Keduanya berusaha mencuri lampo sorot dari Samsung.
Apapun itu, Blackberry Z10 yang akan dirilis di Amerika Serikat pertengahan Maret ini tampaknya tidak hanya kehilangan momentum, tapi juga kehilangan perhatian publik karena semua kegaduhan ini. Ditambah lagi rumor Lenovo yang akan mengakuisisi Blackberry. Semuanya mulai kacau buat mereka.
Meskipun demikian tetap saja rilis SGS 4 ini agak jomplang dengan tidak hadirnya si aktor utama (atau peran pembantu?): Android 5.0 a.k.a Key Lime Pie sehingga BB Z10 masih punya kesempatan untuk dilirik. Semuanya baru bisa disimpulkan di acara Google IO di bulan Mei. Seberapa keren Motorola X-Phone menyajikan Pie ?

13.3.13

home server impian

Pengen banget punya home server. Dari modem trus ke home server, nah baru di-share koneksinya ke Access Point. Mo-nya di-instal-in Firewall buat nyetop macem-macem: mulai dari virus, iklan, situs-situs gak jelas, spam dll. Trus mo diinstalin MailServer, WebServer, FTP, HTB dan fungsi-fungsi router.

Pengen juga bisa jadi Media Center sekalian. Disambungin ke LCD Projector. Biar bisa nonton layar tancap atau sekedar baca majalah. Ckckckck.. Yang terakhir nih rada konyol. O ya, pengen juga jadi Network Attached Storage (NAS) sekalian. Hard Disk Portable 1 Terabyte saya udah penuh. Film-film yang udah ditonton banyak yang terpaksa dihapus. Yang ngabisin space paling banyak, kayaknya file-file ISO, tutorial, buku-buku, majalah-majalah, plus film-film dokumenter BBC, NG, CBC, HC, DC etc. Yup saya pencinta film dokumenter.

Konyolnya kemarin mikir Raspberry Pi bisa dijadiin home server. Emang sih bisa diinstallin Ubuntu. Tapi versi lite banget. Bisa mampus tuh si Pi kalo dipaksain jadi server. Belakangan Intel katanya mo ngeluarin saingannya Raspberry, tapi untuk arsitektur x86. Hmm.. kayaknya seru tuh. Gak sekedar imut, tapi juga ber-te-na-ga. Tapi apa cukup kuat untuk jadi server sekelas home gitu.

Kayaknya, motherboard mini-ATX cukup deh buat dijadiin server. Tapi mo cari yang slot memory-nya bisa nrima 8 GB RAM. Dan harus optimal. Soalnya mo diinstalin program virtualisasi sekalian, biar bisa nginstallin macam-macam OS sebagai guests. Soalnya ada yang suka maen game-game RPG-nya Windows tuh. CounterStrike. Trus mo-nya jadi terrorist aja. Suka main pisau lagi. Ckckck...

Ubuntu Server, CentOS, atau Fedora aja sekalian? Bagusnya yang banyak dokumentasinya. Yup, musti belajar LinuxServer lebih dalam dulu nih. Otodidak aja. Gak ada kursusnya sih..

Update: ternyata CounterStrike bisa dimainin secara native di Linux. Tapi yg versi 1.6 aja. Lainnya musti pake emulator. Testing ntar.. Smooth gak ya..

18.2.13

night n cloud

saya menemukan blog ini :


http://nightncloud.wordpress.com


entah kenapa saya bahagia. sangat...

15.2.13

my android

Smartphone saya sampai saat ini Samsung Galaxy Spica (i5700). Spica adalah smartphone Android kedua yang dirilis oleh Samsung setelah Samsung i7500. Spek Spica mirip dengan Galaxy Ace, ponsel Android keempat dari Samsung, kecuali layarnya yang 3,2 inci, sedikit lebih berat dan androidnya yang hanya bisa diupgrade ke 2,1. Spek Spica bahkan masih lebih baik dibanding Galaxy Y yang dirilis sesudah Ace. Resolusi Spica jauh lebih tinggi yang artinya tampilan layar lebih halus dan detil. Keunggulan paling jelas dibanding seri Galaxy manapun adalah Spica tahan banting. Spica saya berkali-kali jatuh dan pernah lepas dari genggaman saya dan jatuh sejauh 4 meter. Saya pikir tamat riwayatnya. Luar biasanya cuman lecet bezelnya. Saya jadi benar-benar jatuh hati pada Spica ini. Sayang di pasaran tidak ada aksesoris khusus Spica seperti rubber penahan benturannya. Mungkin android kala itu kurang diminati



Sudah lewat 3 tahun saya menggunakannya. Waktu beli Spica, kebanyakan orang lagi demam Blackberry, harga saham RIM sedang tinggi-tingginya dan iPhone 3G baru masuk Indonesia dengan sistem kontrak eksklusif. Ringkasnya, belum banyak yang tahu atau mau tahu dengan Android. Saya memilih Android karena kernel-nya Linux. Dan linux berarti kebebasan. Keterbukaan.

Secara praktis, itu berarti smartphone Android akan mendekati fitur-fitur yang ditawarkan desktop Linux. Ya, smartphone sebagai komputer genggam adalah ide yang belum sepenuhnya ditawarkan Blackberry saat itu. iPhone sudah mulai menawarkan gagasan itu tapi minus kebebasan. Saya menggunakan Spica untuk membaca dan menulis dokumen (DTG); membaca buku digital dan ebook berformat PDF, PRC dan MOBI; mengakses laptop secara remote (Teamviewer); membaca Quran (iQuran) dan mendownload video youtube dalam format MP3

pengalaman pertama
Setelah dites oleh si penjual, Spica saya bawa pulang. Sesampai di rumah, saya hidupkan. Butuh waktu hampir 20 menit hanya untuk mengetahui cara mengaktifkan layar yang mati setiap 30 detik dan membuka kunci layar. Waktu itu masih Android 1,5 (Cupcake), versi ketiga dari Android . Tampilannya masih sederhana dan bulky. Kemudian saya upgrade sendiri. Proses upgradenya cukup mendebarkan tapi akhirnya plong. Spica saya loncat ke versi kelima (Android 2,1). Lebih keren tapi belum mendukung fitur app2sd. Artinya, saya tidak bisa menginstal puluhan aplikasi dari ratusan ribu yang tersedia di Android Market.

upgrade ke android 2,2
Upgrade ke android 2,2 adalah mimpi buruk. Saya menemukan panduan di youtube kemudian saya coba mengikutinya. Spica saya tidak mau booting secara normal. Terjadi bootloop. Kemudian saya kirim Spica ke kakak saya untuk diperbaiki. Karena begitu lamanya Spica saya di tangan kakak, akhirnya saya putuskan beli Samsung Galaxy Spica lagi. (Dan beberapa bulan kemudian si Ace dirilis. Huh !) Setelah beberapa bulan gak ada kabar, akhirnya Spica saya dibawa Kakak ke tukang servis spesialis android. Memang gak bisa dibawa ke servis resmi Samsung karena tindakan upgrade ke 2,2 tidak di-support dan merusak garansi.Setelah memperhatikan  cara kerja si spesialis Android dalam menginstal ulang Spica, sesampai di kos-an-nya, kakak saya mencari-cari tutorial android dan ketemu tutorial yang bener-bener keren. Di-install ulang lagi deh tu Spica.

Akhirnya, Spica pertama saya jadi hak milik kakak dan ter-upgrade ke 2,2. Maka bertambahlah hobi barunya: utak-atik Spica. Dan akhirnya itu Spica lebih sering di tangan ponakan saya yang baru berumur 4 tahun yang hobi banget main game. It's okelah. Tapi tuh bocah susah banget diingetin agar menjaga jarak mata dengan layar Spica waktu main game. Like father like son. Jangan-jangan gedenya jadi gamer hardcore. Cape deeh..

upgrade ke android 2,3
Saya mengira para hacker berhenti mengutak-atik Spica sampai mencapai versi android 2,2. Mereka memang sedang mencoba meng-install android 2,3 ke Spica. Namun sepertinya lamaaa banget nunggu versi beta 2,3 menjadi versi final sehingga saya tidak mengikuti lagi informasi pengembangannya di internet.

Sebulan yang lalu saya menelpon kakak untuk bertanya apakah Android 2,3 versi final untuk Spica sudah dirilis. Menurut dia sudah beberapa bulan ini dirilis. Saya sedikit jengkel mengingat beberapa bulan yang lalu kami pernah bertemu dan dia tidak bilang apa-apa. Padahal Spica-nya sudah menggunakan android 2,3 versi final dari Cyanogenmod. Akhirnya dia mengirimkan email berisi link-link yang harus saya ikuti untuk menginstall android 2,3 ke Spica.



MIUI
Ada 3 pilihan versi Android 2,3 yang bisa saya gunakan: CyanogenMod (CM), NextGeneration (NG) dan MIUI (dibaca: "Me You I"). Pada awalnya sesuai saran kakak, saya menggunakan CM. Setelah beberapa hari saya gunakan, sepertinya kurang nyaman. Sering lag dan banyak bugs. Lalu saya mencoba menggunakan versi NG dengan asumsi saya juga menggunakan versi NG di Android 2,2 dan cukup nyaman. Tapi sepertinya NG yang ini bukan versi yang final-final amat. Taste-nya masih beta. Sama seperti CM, aplikasi kamera tidak berjalan dengan baik di NG ini. NG sendiri adalah kombinasi hybrid dari CM dan MIUI. Akhirnya saya menggunakan MIUI untuk pertama kalinya.

Yang bikin bingung, ketika di-boot untuk pertama kalinya, Spica saya tampil dalam bahasa Rusia. Akhirnya saya berusaha merubah bahasa-nya ke Inggris dengan mencari Setting >> Language & Keyboard. Setelah trial dan error, akhirnya Spica berubah ke bahasa Inggris. "Sesuai janji" para pengembangnya, MIUI Spica ini tidak bisa atau belum ditemukan cara untuk memperbaiki masalah video recording. It's okelah.

keunggulan MIUI
Lagian banyak nilai plus dari MIUI Spica ini. Pertama, aplikasi-aplikasi bawaannya (default) sudah memadai. Saya tidak perlu lagi meng-install Mini File Manager, QuickPic, Advanced Task Killer, ColorNote dan App2SD atau Android Assistant. Artinya, ada banyak sumber daya sistem yang bisa dihemat. Ponsel saya akan bekerja lebih cepat dan stabil. Kedua, beberapa fitur android 4,0 sudah tersedia, seperti keyboard, Setting, Toogles dan font Roboto. Ketiga, ada yang bilang MIUI mencontek iPhone. Di awal kemunculannya mungkin benar. Namun mereka mulai menemukan identitas desainnya sendiri, seperti tampilan aplikasi Sound Recorder, Music, Gallery dan Camera. Saya menyukai warna-warna pastel pada ikon-iko default MIUI. Di satu sisi mereka masih mengikuti aliran skeuomorphism-nya iOS. Di sisi lain mereka mulai mengikuti jejak aliran flat desain-nya Google. Jadi, masih terlihat ambiguitas.

wishlist
Di satu sisi, siklus rilis ponsel Android per 6 bulan membuat pengguna Android merasa ponsel yang telah dibelinya cepat ketinggalan zaman. Tapi dengan adanya komunitas pengembang custom ROM, ponsel android lama pun bisa mendapatkan fitur-fitur terbaru. Spica yang saya miliki saat ini sudah cukup memadai dengan adanya custom ROM MIUI di dalamnya. Android 4,0 (Ice Cream Sandwich) dan 4,1/4,2 (Jelly Bean) memang sudah membawa fitur-fitur ciamik. Tapi belum cukup memuaskan untuk bisa disebut sebagai update mayor.

Tampaknya Android 5,0 (Key Lime Pie) yang akan dirilis Mei ini-lah yang akan membawa lompatan besar. Bila itu memang terjadi, Android akan meneruskan dominasinya di pasar smartphone dan menambah jumlah peminat baru. Versi yang akan datang ini akan menjadi mimpi buruk bagi Blackberry Inc., yang menggantungkan masa depannya pada penjualan ponsel Z10. Dan mungkin itulah saatnya saya memiliki perangkat baru.
device-2012-09-07-234745.pngdevice-2012-09-07-234848.pngdevice-2012-09-07-234855.pngdevice-2012-09-08-122401.pngdevice-2012-09-08-122406.pngdevice-2012-09-08-122444.pngdevice-2012-09-08-122459.pngdevice-2012-09-08-122540.png

20.1.13

berkebun

Saya senang menonton film yang ada adegan berkebunnya. Saya menyukai ide berkebun. Sejak lama. Di masa kecil yang singkat di Padang Panjang, orang tua saya membeli sebidang tanah di Silaing Atas. Setiap minggu kami pergi berkebun, menanam palawija: kacang panjang, cabe, bawang dan seterusnya. Bahan membuat pecel. Lebih banyak hanya untuk rekreasi.

Saya menyukai keasrian alam di sekitar ladang itu. Pada angin sepoi-sepoi yang turun dari perbukitan di sekitarnya. Di kaki Singgalang. Pada tanahnya yang hitam lembut dan baunya. Pada gemericik air, pada saluran irigasi persawahan yang lewat di samping kanan ladang kami. Pada gerimis yang datang dan pergi tanpa permisi. Pada tanaman strawberry yang merambat liar di tepian ladang. Pada sumber mata air di lurah yang tepat berada di sisi kiri ladang

(Mungkin seharusnya saya tak pernah keluar dari cangkang saya di pesantren untuk menikmati lagi kesemua itu setiap hari. Saya suka berjalan kaki atau bersepeda ontel di pedesaan Jawa yang tenang dan rapi. Persawahan, hutan jati, ladang tebu dan jagung. Tapi tinggal di desa, mengajar dan hidup hampir tanpa riak bukan ide menarik hingga saat ini.)

Mungkin saya mewarisi sedikit bagian terbaik dari ayah saya. Di umur 3 tahun, beliau sudah diajak kakeknya  pergi ke parak atau kebun milik neneknya yang melingkupi bukit-bukit kecil di kaki Tandikat. Durian, karet, salak, jengkol dan tanaman selingan lainnya. Ayah saya mewarisi sifat suka bekerja keras dari kakeknya. Kakeknya menunjukkan kesyukurannya menikahi nenek ayah saya, si anak tunggal, dengan bekerja keras memelihara tanah yang luas itu bahkan menambah jumlah warisan untuk nenek saya yang juga anak tunggal.  Kakek ayah saya menanam banyak pohon durian, kelapa, nangka, salak, saus, manggis, jengkol dan lainnya. Hasil jerih payahnya masih kami nikmati hingga saat ini.

Di masa kecil, saya sering pergi ke parak, kebun di belakang rumah nenek bersama cucu-cucu lain dengan bekal parang dan pisau. Ada nanas, manggis, saus, dan pisang yang bisa kami bawa pulang ke kota. Saya menikmati berjalan-jalan di pematang sawah. Dan berakhir dengan mandi di sungai yang airnya turun dari Tandikat. Air yang sama yang menghidupi dua pabrik air mineral dan PDAM Pariaman.

Di saat pensiunnya, ayah saya tak pernah berhenti bekerja. Saat ini, ketika ibu saya sudah mendapat tambahan tanah warisan, ayah saya pergi setelah subuh untuk berkebun di bagian tanah yang belum dijadikan rumah. Hampir setiap hari. Hampir tanpa tujuan ekonomis. Di kampung, dengan izin nenek, ayah saya juga menanam pisang di sepetak tanah di pinggir sungai di sela-sela pohon durian, dekat dengan reruntuhan rumah kincir air penumbuk beras yang di waktu kecil sempat jadi tempat main saya. Ibu  tidak setuju karena ayah menghabiskan banyak uang untuk modal menanam pisang karena tidak ada waktu untuk mengurus dan memasarkannya.

Apa yang dikatakan ibu saya memang terbukti. Terkadang pisang memang bisa kami jual ke penjual gorengan di dekat rumah. Tapi lebih sering tidak dijual. Dan ayah tahu, ibu saya pandai memasak. Bagi ayah saya mungkin ini bukan soal uang. Uang jualannya hanya cukup untuk menutup ongkos pulang kampung. Ini soal kecintaannya pada tanah dan kebun. Dan masakan ibu saya.

Mungkin sudah saatnya saya berkebun juga..

18.1.13

"pinky and the brain" serta proyek menguasai dunia

Di usia remaja tidak banyak lagi serial kartun televisi yang saya sukai. Salah satunya, Pinky and The Brain. Karya Steven Spielberg. Entah kenapa sutradara sekelas Spielberg membuat kartun semacam itu. Mungkin sama misteriusnya dengan Alfred Hitchcock yang luar biasa itu menyisihkan waktunya untuk menulis Trio Detektif, bacaan anak-anak  favorit saya. Lebih realistis ketimbang 5 Sekawan-nya Enid Blyton. Atau mungkin lebih tepatnya, segmen usia pembaca 5 Sekawan lebih muda ketimbang pembaca Trio Detektif, meskipun bisa jadi saling beririsan.

Pinky & The Brain adalah film kartun yang bercerita tentang 2 ekor tikus. Pinky tampak bodoh, periang dan hidup tanpa beban. Atau mungkin lebih tepatnya, hidup tanpa misi tertentu. Brain, sebaliknya cerdas, banyak ide, nyaris tanpa nurani dan punya misi seumur hidup: MENGUASAI DUNIA. Pinky dan Brain berteman, meski Brain terkadang tampak hanya membutuhkan Pinky sebagai asisten misinya, bukan teman dalam arti sebenarnya. Tapi dalam beberapa misinya, Brain terkadang berhenti mewujudkan salah satu idenya dalam menguasai dunia ketika ternyata berdampak buruk atau membahayakan nyawa Pinky.

Meskipun Brain terkadang membahayakan nyawanya atau gagal dalam misinya, Pinky tetap setia menemani Brain. Pinky menerima Brain apa adanya, dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan ketidakacuhannya yang terkadang amat kentara. Atau mungkin lebih tepatnya, Pinky menerima dunia apa adanya. Sementara Brain, berusaha mengubah dunia agar kongruen dengan cara pandangnya atau kongruen dengan ambisi-ambisinya atau tunduk pada apa yang dianggapnya ideal, meski harus gagal berkali-kali.

Pinky dan Brain bisa jadi mewakili 2 sisi otak kita, kiri dan kanan. Pada sebagian orang, sisi Pinky lebih besar ketimbang Brain. Atau sebaliknya. Bagi manusia berkarakter Pinky, manusia Brain cenderung tidak realistis. Bagi manusia Brain, manusia Pinky tidak begitu bernilai selain sebagai penambah atau pengurang dalam statistik.

Pinky and The Brain bisa jadi adalah parodi dari sejarah Yahudi sendiri. Atau lebih tepatnya parodi dari sejarah para pembangkang Nabi Musa yang kemudian hari kita kenal sebagai Zionis. Boleh dibilang para zionis adalah fundamentalis Yahudi pagan, yang memegang teguh paganisme Mesir Kuno, untuk membedakannya dengan pengikut para Nabi Israel yang monoteis, bahkan berbeda dengan Ya'kub, pendiri "marga" Israel itu sendiri.

Bahkan jauh sebelum dideklarasikannya Protokol Zionis, kaum Zionis sudah berusahaa menguasai dunia. Karenanya di Eropa pada abad pertengahan mereka amat dibenci bahkan di usir. Dimana saja mereka berada selalu berbuat onar, destruktif, merusak tatanan sosial dan berusaha mendominasi. Sebahagian lari ke negeri-negeri muslim yang menerima dengan tangan terbuka karena menganggap mereka adalah bagian dari pengikut agama-agama samawi, ahlul kitab, sebuah konsep yang teramat toleran (atau teramat modern). Tapi Yahudi adalah yahudi. Atau lebih tepatnya zionis tetap saja zionis. Mereka tidak pernah berhenti untuk menguasai dunia. Itu adalah proyek hingga akhir zaman. Mereka-lah yang kemudian berhasil meruntuhkan imperium terbesar terakhir dunia Islam: Ottoman, atau Turki Utsmani. Air susu dibalas dengan air tuba.

Sebahagian lari ke tanah impian, Amerika, dimana mereka bisa mewujudkan mimpi, idealisme dan ambisi. Ide liberalisme, demokrasi dan sekularisme pun sebenarnya digunakan untuk menguasai dunia. Mereka membuka jasa penyimpanan emas bagi para penambang emas dan sebagai gantinya menerbitkan selembar kertas biasa dengan sedikit tulisan yang dianggap setara dengan nilai emas tersebut. Di kemudian hari, kita mengenalnya dengan uang kartal dan kita kemudian mengenal jasa perbankan. Kita membiarkan para Zionis menyimpan emas, uang sesungguhnya dan menerima saja ketika disodorkan kartal sebagai alat pembayaran sah.

Emas tidak bisa dicetak, ia hanya bisa ditemukan, ditambang. Abaikan saja dongeng tentang jenius kimia yang bisa mengubah batu menjadi emas. Menurut teori fisika, emas terbentuk dari proses kimiawi sebagai akibat benturan antar benda-benda langit yang amat jarang terjadi dalam hitungan jutaan tahun. (Hal ini baru saya ngerti ketika dengan amat hati-hati nonton Seri The Planet-nya BBC. Si astro-fisikawan yang gak nerd looking itu benar-benar hebat karena bisa menjelaskan teori rumit pada para idiot semacam saya :)

Sebaliknya uang kartal bisa dicetak sesuka hati mereka yang menguasainya. Sesuka hati mereka yang secara demokrasi diberi otoritas untuk melakukannya. Dan secara global, demokrasi memberi otoritas pada korporasi besar yang bernama perbankan internasional, bank dunia, IMF dan alat-alat Zionis lainnya.

Mereka begitu sabar menjalankan proyek menguasai dunia. Proyek sepanjang zaman, antar generasi. Dimulai dari Bank of England dan puncaknya ketika menguasai Bank Sentral Amerika dan mendikte dunia dengan Bretton Wood System. Sejak itulah dimulailah ekonomi gaya rodeo yang mendunia: bubble economy.

Mereka juga sabar menguasai jaringan informasi dunia. Menguasai apa yang seharusnya masuk ke otak kita, para pinky. Apa yang kemudian kita olah dalam cara berpikir kita. Mereka mendikte apa yang seharusnya kita pikirkan. Duo Yahudi, Larry Page dan Sergey Brinn dibantu Eric Schmidt yang lagi-lagi juga Yahudi menciptakan Mesin Pencari dan dengan algoritma rumit mulai mendikte apa yang seharusnya kita temukan dan tidak kita temukan.

Dan mereka tidak pernah puas. Eric Schmidt pernah keceplosan yang kemudian diralat pihak Google. Berikut kutipan langsungnya:
With your permission you give us more information about you, about your friends, and we can improve the quality of our searches [...] We don't need you to type at all. We know where you are. We know where you've been. We can more or less know what you're thinking about.

Dan Google pun menciptakan Chrome dan Android yang kita terima dengan suka cita. Chrome adalah browser tercepat dan Android adalah sistem operasi ponsel pintar yang murah meriah. Imbalannya, dengan Chrome, anonimitas, hal yang paling dibenci Eric Schmidt, perlahan mulai berkurang dengan atau tanpa sepengetahuan kita. Dengan Android, hidup kita semakin bergantung pada Google. Fasilitas sync memungkinkan Google mengetahui siapa saja yang kita telpon setiap hari.

Informasi pribadi para pinky semakin terekspos ketika menggunakan Facebook yang diciptakan Mark Zuckerberg, Yahudi lainnya. Privasi dan anonimitas para pinky seperti kita mungkin tidak begitu penting. Informasi para pinky yang berusaha menjadi Brain-lah yang diincar Zionis untuk mengenali musuh-musuh potensialnya.

Pinky and The Brain mungkin hanya sekedar kartun yang kebetulan diciptakan Spielberg yang Yahudi dan Warner yang juga milik Yahudi. Dan inilah kita para pinky yang tak berdaya. Kita hanya berharap si Brain dalam dunia nyata punya sedikit nurani kemanusiaan. Tapi apa bisa ? Toh mereka adalah ras paling rasis, paling apharteid yang tersisa di muka bumi.

Atau mungkin secara pasif kita berharap Imam Mahdi dan Nabi Isa segera turun ke muka bumi untuk mengalahkan si Brain. Tapi entah kenapa saya lelah untuk berharap. Saya mulai mempertanyakan otentisitas konsep Imam Mahdi. Skenario apa yang terjadi di akhir zaman ? Apakah Brain benar-benar dikalahkan lewat sebuah perang fisik ? Atau dikalahkan secara sistematik dan gradual sebagaimana Brain dengan sabar menjalakan proyek menguasai dunianya. Apakah Imam Mahdi itu sesosok figur pribadi dan tampaknya itu tidak fair atau ia bisa direpresentasikan secara komunal ? Bisakah kita para pinky ini menjadi Imam Mahdi secara kolektif ?

recent post