Smartphone saya sampai saat ini Samsung Galaxy Spica (i5700). Spica adalah smartphone Android kedua yang dirilis oleh Samsung setelah Samsung i7500. Spek Spica mirip dengan Galaxy Ace, ponsel Android keempat dari Samsung, kecuali layarnya yang 3,2 inci, sedikit lebih berat dan androidnya yang hanya bisa diupgrade ke 2,1. Spek Spica bahkan masih lebih baik dibanding Galaxy Y yang dirilis sesudah Ace. Resolusi Spica jauh lebih tinggi yang artinya tampilan layar lebih halus dan detil. Keunggulan paling jelas dibanding seri Galaxy manapun adalah Spica tahan banting. Spica saya berkali-kali jatuh dan pernah lepas dari genggaman saya dan jatuh sejauh 4 meter. Saya pikir tamat riwayatnya. Luar biasanya cuman lecet bezelnya. Saya jadi benar-benar jatuh hati pada Spica ini. Sayang di pasaran tidak ada aksesoris khusus Spica seperti rubber penahan benturannya. Mungkin android kala itu kurang diminati
Sudah lewat 3 tahun saya menggunakannya. Waktu beli Spica, kebanyakan orang lagi demam Blackberry, harga saham RIM sedang tinggi-tingginya dan iPhone 3G baru masuk Indonesia dengan sistem kontrak eksklusif. Ringkasnya, belum banyak yang tahu atau mau tahu dengan Android. Saya memilih Android karena kernel-nya Linux. Dan linux berarti kebebasan. Keterbukaan.
Secara praktis, itu berarti smartphone Android akan mendekati fitur-fitur yang ditawarkan desktop Linux. Ya, smartphone sebagai komputer genggam adalah ide yang belum sepenuhnya ditawarkan Blackberry saat itu. iPhone sudah mulai menawarkan gagasan itu tapi minus kebebasan. Saya menggunakan Spica untuk membaca dan menulis dokumen (DTG); membaca buku digital dan ebook berformat PDF, PRC dan MOBI; mengakses laptop secara remote (Teamviewer); membaca Quran (iQuran) dan mendownload video youtube dalam format MP3
pengalaman pertama
Setelah dites oleh si penjual, Spica saya bawa pulang. Sesampai di rumah, saya hidupkan. Butuh waktu hampir 20 menit hanya untuk mengetahui cara mengaktifkan layar yang mati setiap 30 detik dan membuka kunci layar. Waktu itu masih Android 1,5 (Cupcake), versi ketiga dari Android . Tampilannya masih sederhana dan bulky. Kemudian saya upgrade sendiri. Proses upgradenya cukup mendebarkan tapi akhirnya plong. Spica saya loncat ke versi kelima (Android 2,1). Lebih keren tapi belum mendukung fitur app2sd. Artinya, saya tidak bisa menginstal puluhan aplikasi dari ratusan ribu yang tersedia di Android Market.
upgrade ke android 2,2
Upgrade ke android 2,2 adalah mimpi buruk. Saya menemukan panduan di youtube kemudian saya coba mengikutinya. Spica saya tidak mau booting secara normal. Terjadi bootloop. Kemudian saya kirim Spica ke kakak saya untuk diperbaiki. Karena begitu lamanya Spica saya di tangan kakak, akhirnya saya putuskan beli Samsung Galaxy Spica lagi. (Dan beberapa bulan kemudian si Ace dirilis. Huh !) Setelah beberapa bulan gak ada kabar, akhirnya Spica saya dibawa Kakak ke tukang servis spesialis android. Memang gak bisa dibawa ke servis resmi Samsung karena tindakan upgrade ke 2,2 tidak di-support dan merusak garansi.Setelah memperhatikan cara kerja si spesialis Android dalam menginstal ulang Spica, sesampai di kos-an-nya, kakak saya mencari-cari tutorial android dan ketemu tutorial yang bener-bener keren. Di-install ulang lagi deh tu Spica.
Akhirnya, Spica pertama saya jadi hak milik kakak dan ter-upgrade ke 2,2. Maka bertambahlah hobi barunya: utak-atik Spica. Dan akhirnya itu Spica lebih sering di tangan ponakan saya yang baru berumur 4 tahun yang hobi banget main game. It's okelah. Tapi tuh bocah susah banget diingetin agar menjaga jarak mata dengan layar Spica waktu main game. Like father like son. Jangan-jangan gedenya jadi gamer hardcore. Cape deeh..
upgrade ke android 2,3
Saya mengira para hacker berhenti mengutak-atik Spica sampai mencapai versi android 2,2. Mereka memang sedang mencoba meng-install android 2,3 ke Spica. Namun sepertinya lamaaa banget nunggu versi beta 2,3 menjadi versi final sehingga saya tidak mengikuti lagi informasi pengembangannya di internet.
Sebulan yang lalu saya menelpon kakak untuk bertanya apakah Android 2,3 versi final untuk Spica sudah dirilis. Menurut dia sudah beberapa bulan ini dirilis. Saya sedikit jengkel mengingat beberapa bulan yang lalu kami pernah bertemu dan dia tidak bilang apa-apa. Padahal Spica-nya sudah menggunakan android 2,3 versi final dari Cyanogenmod. Akhirnya dia mengirimkan email berisi link-link yang harus saya ikuti untuk menginstall android 2,3 ke Spica.
MIUI
Ada 3 pilihan versi Android 2,3 yang bisa saya gunakan: CyanogenMod (CM), NextGeneration (NG) dan MIUI (dibaca: "Me You I"). Pada awalnya sesuai saran kakak, saya menggunakan CM. Setelah beberapa hari saya gunakan, sepertinya kurang nyaman. Sering lag dan banyak bugs. Lalu saya mencoba menggunakan versi NG dengan asumsi saya juga menggunakan versi NG di Android 2,2 dan cukup nyaman. Tapi sepertinya NG yang ini bukan versi yang final-final amat. Taste-nya masih beta. Sama seperti CM, aplikasi kamera tidak berjalan dengan baik di NG ini. NG sendiri adalah kombinasi hybrid dari CM dan MIUI. Akhirnya saya menggunakan MIUI untuk pertama kalinya.
Yang bikin bingung, ketika di-boot untuk pertama kalinya, Spica saya tampil dalam bahasa Rusia. Akhirnya saya berusaha merubah bahasa-nya ke Inggris dengan mencari Setting >> Language & Keyboard. Setelah trial dan error, akhirnya Spica berubah ke bahasa Inggris. "Sesuai janji" para pengembangnya, MIUI Spica ini tidak bisa atau belum ditemukan cara untuk memperbaiki masalah video recording. It's okelah.
keunggulan MIUI
Lagian banyak nilai plus dari MIUI Spica ini. Pertama, aplikasi-aplikasi bawaannya (default) sudah memadai. Saya tidak perlu lagi meng-install Mini File Manager, QuickPic, Advanced Task Killer, ColorNote dan App2SD atau Android Assistant. Artinya, ada banyak sumber daya sistem yang bisa dihemat. Ponsel saya akan bekerja lebih cepat dan stabil. Kedua, beberapa fitur android 4,0 sudah tersedia, seperti keyboard, Setting, Toogles dan font Roboto. Ketiga, ada yang bilang MIUI mencontek iPhone. Di awal kemunculannya mungkin benar. Namun mereka mulai menemukan identitas desainnya sendiri, seperti tampilan aplikasi Sound Recorder, Music, Gallery dan Camera. Saya menyukai warna-warna pastel pada ikon-iko default MIUI. Di satu sisi mereka masih mengikuti aliran skeuomorphism-nya iOS. Di sisi lain mereka mulai mengikuti jejak aliran flat desain-nya Google. Jadi, masih terlihat ambiguitas.
wishlist
Di satu sisi, siklus rilis ponsel Android per 6 bulan membuat pengguna Android merasa ponsel yang telah dibelinya cepat ketinggalan zaman. Tapi dengan adanya komunitas pengembang custom ROM, ponsel android lama pun bisa mendapatkan fitur-fitur terbaru. Spica yang saya miliki saat ini sudah cukup memadai dengan adanya custom ROM MIUI di dalamnya. Android 4,0 (Ice Cream Sandwich) dan 4,1/4,2 (Jelly Bean) memang sudah membawa fitur-fitur ciamik. Tapi belum cukup memuaskan untuk bisa disebut sebagai update mayor.
Tampaknya Android 5,0 (Key Lime Pie) yang akan dirilis Mei ini-lah yang akan membawa lompatan besar. Bila itu memang terjadi, Android akan meneruskan dominasinya di pasar smartphone dan menambah jumlah peminat baru. Versi yang akan datang ini akan menjadi mimpi buruk bagi Blackberry Inc., yang menggantungkan masa depannya pada penjualan ponsel Z10. Dan mungkin itulah saatnya saya memiliki perangkat baru.
Sudah lewat 3 tahun saya menggunakannya. Waktu beli Spica, kebanyakan orang lagi demam Blackberry, harga saham RIM sedang tinggi-tingginya dan iPhone 3G baru masuk Indonesia dengan sistem kontrak eksklusif. Ringkasnya, belum banyak yang tahu atau mau tahu dengan Android. Saya memilih Android karena kernel-nya Linux. Dan linux berarti kebebasan. Keterbukaan.
Secara praktis, itu berarti smartphone Android akan mendekati fitur-fitur yang ditawarkan desktop Linux. Ya, smartphone sebagai komputer genggam adalah ide yang belum sepenuhnya ditawarkan Blackberry saat itu. iPhone sudah mulai menawarkan gagasan itu tapi minus kebebasan. Saya menggunakan Spica untuk membaca dan menulis dokumen (DTG); membaca buku digital dan ebook berformat PDF, PRC dan MOBI; mengakses laptop secara remote (Teamviewer); membaca Quran (iQuran) dan mendownload video youtube dalam format MP3
pengalaman pertama
Setelah dites oleh si penjual, Spica saya bawa pulang. Sesampai di rumah, saya hidupkan. Butuh waktu hampir 20 menit hanya untuk mengetahui cara mengaktifkan layar yang mati setiap 30 detik dan membuka kunci layar. Waktu itu masih Android 1,5 (Cupcake), versi ketiga dari Android . Tampilannya masih sederhana dan bulky. Kemudian saya upgrade sendiri. Proses upgradenya cukup mendebarkan tapi akhirnya plong. Spica saya loncat ke versi kelima (Android 2,1). Lebih keren tapi belum mendukung fitur app2sd. Artinya, saya tidak bisa menginstal puluhan aplikasi dari ratusan ribu yang tersedia di Android Market.
upgrade ke android 2,2
Upgrade ke android 2,2 adalah mimpi buruk. Saya menemukan panduan di youtube kemudian saya coba mengikutinya. Spica saya tidak mau booting secara normal. Terjadi bootloop. Kemudian saya kirim Spica ke kakak saya untuk diperbaiki. Karena begitu lamanya Spica saya di tangan kakak, akhirnya saya putuskan beli Samsung Galaxy Spica lagi. (Dan beberapa bulan kemudian si Ace dirilis. Huh !) Setelah beberapa bulan gak ada kabar, akhirnya Spica saya dibawa Kakak ke tukang servis spesialis android. Memang gak bisa dibawa ke servis resmi Samsung karena tindakan upgrade ke 2,2 tidak di-support dan merusak garansi.Setelah memperhatikan cara kerja si spesialis Android dalam menginstal ulang Spica, sesampai di kos-an-nya, kakak saya mencari-cari tutorial android dan ketemu tutorial yang bener-bener keren. Di-install ulang lagi deh tu Spica.
Akhirnya, Spica pertama saya jadi hak milik kakak dan ter-upgrade ke 2,2. Maka bertambahlah hobi barunya: utak-atik Spica. Dan akhirnya itu Spica lebih sering di tangan ponakan saya yang baru berumur 4 tahun yang hobi banget main game. It's okelah. Tapi tuh bocah susah banget diingetin agar menjaga jarak mata dengan layar Spica waktu main game. Like father like son. Jangan-jangan gedenya jadi gamer hardcore. Cape deeh..
upgrade ke android 2,3
Saya mengira para hacker berhenti mengutak-atik Spica sampai mencapai versi android 2,2. Mereka memang sedang mencoba meng-install android 2,3 ke Spica. Namun sepertinya lamaaa banget nunggu versi beta 2,3 menjadi versi final sehingga saya tidak mengikuti lagi informasi pengembangannya di internet.
Sebulan yang lalu saya menelpon kakak untuk bertanya apakah Android 2,3 versi final untuk Spica sudah dirilis. Menurut dia sudah beberapa bulan ini dirilis. Saya sedikit jengkel mengingat beberapa bulan yang lalu kami pernah bertemu dan dia tidak bilang apa-apa. Padahal Spica-nya sudah menggunakan android 2,3 versi final dari Cyanogenmod. Akhirnya dia mengirimkan email berisi link-link yang harus saya ikuti untuk menginstall android 2,3 ke Spica.
MIUI
Ada 3 pilihan versi Android 2,3 yang bisa saya gunakan: CyanogenMod (CM), NextGeneration (NG) dan MIUI (dibaca: "Me You I"). Pada awalnya sesuai saran kakak, saya menggunakan CM. Setelah beberapa hari saya gunakan, sepertinya kurang nyaman. Sering lag dan banyak bugs. Lalu saya mencoba menggunakan versi NG dengan asumsi saya juga menggunakan versi NG di Android 2,2 dan cukup nyaman. Tapi sepertinya NG yang ini bukan versi yang final-final amat. Taste-nya masih beta. Sama seperti CM, aplikasi kamera tidak berjalan dengan baik di NG ini. NG sendiri adalah kombinasi hybrid dari CM dan MIUI. Akhirnya saya menggunakan MIUI untuk pertama kalinya.
Yang bikin bingung, ketika di-boot untuk pertama kalinya, Spica saya tampil dalam bahasa Rusia. Akhirnya saya berusaha merubah bahasa-nya ke Inggris dengan mencari Setting >> Language & Keyboard. Setelah trial dan error, akhirnya Spica berubah ke bahasa Inggris. "Sesuai janji" para pengembangnya, MIUI Spica ini tidak bisa atau belum ditemukan cara untuk memperbaiki masalah video recording. It's okelah.
keunggulan MIUI
Lagian banyak nilai plus dari MIUI Spica ini. Pertama, aplikasi-aplikasi bawaannya (default) sudah memadai. Saya tidak perlu lagi meng-install Mini File Manager, QuickPic, Advanced Task Killer, ColorNote dan App2SD atau Android Assistant. Artinya, ada banyak sumber daya sistem yang bisa dihemat. Ponsel saya akan bekerja lebih cepat dan stabil. Kedua, beberapa fitur android 4,0 sudah tersedia, seperti keyboard, Setting, Toogles dan font Roboto. Ketiga, ada yang bilang MIUI mencontek iPhone. Di awal kemunculannya mungkin benar. Namun mereka mulai menemukan identitas desainnya sendiri, seperti tampilan aplikasi Sound Recorder, Music, Gallery dan Camera. Saya menyukai warna-warna pastel pada ikon-iko default MIUI. Di satu sisi mereka masih mengikuti aliran skeuomorphism-nya iOS. Di sisi lain mereka mulai mengikuti jejak aliran flat desain-nya Google. Jadi, masih terlihat ambiguitas.
wishlist
Di satu sisi, siklus rilis ponsel Android per 6 bulan membuat pengguna Android merasa ponsel yang telah dibelinya cepat ketinggalan zaman. Tapi dengan adanya komunitas pengembang custom ROM, ponsel android lama pun bisa mendapatkan fitur-fitur terbaru. Spica yang saya miliki saat ini sudah cukup memadai dengan adanya custom ROM MIUI di dalamnya. Android 4,0 (Ice Cream Sandwich) dan 4,1/4,2 (Jelly Bean) memang sudah membawa fitur-fitur ciamik. Tapi belum cukup memuaskan untuk bisa disebut sebagai update mayor.
Tampaknya Android 5,0 (Key Lime Pie) yang akan dirilis Mei ini-lah yang akan membawa lompatan besar. Bila itu memang terjadi, Android akan meneruskan dominasinya di pasar smartphone dan menambah jumlah peminat baru. Versi yang akan datang ini akan menjadi mimpi buruk bagi Blackberry Inc., yang menggantungkan masa depannya pada penjualan ponsel Z10. Dan mungkin itulah saatnya saya memiliki perangkat baru.
da sooon... kama se mailang???? di telp dak ado yang aktif nomornyoo...
ReplyDelete