Hidayat Nur Wahid tidak hanya terikat dengan aturan formal partainya, tapi secara ideologis sulit untuk beraliansi dengan PDIP di tingkat kenegaraan. Kepemimpinan negara oleh wanita masih merupakan polemik besar bagi mereka. Sutiyoso sama sekali bukan calon yang menjanjikan. Keberhasilannya memimpin DKI Jakarta masih debatable. Pun, polarisasi konstituen ibukota yang tercermin dari pilgub kemarin adalah preseden buruk bagi Sutiyoso. Bad political capital.
Akbar Tandjung sudah redup karir politiknya. Prabowo yang berhasil menggandeng anak kedua Bung Hatta dalam partai Gerindra bukan calon yang menjanjikan. HKTI sebagai basis konstituen Gerindra tidak bisa dibilang mengakar hingga ke tingkat petani di berbagai pelosok. Lembaga tersebut tidak pernah benar-benar berhasil mewakili kepentingan petani. Ia lebih merupakan wahana politik elitis guna mendapatkan bargain power. Pun, petani adalah pemilih tradisional yang mempunyai hambatan psikologis untuk memilih partai baru dengan muka-muka baru.
Menariknya, muncul nama Surya Paloh dalam bursa cawapres. Sudah menjadi kebiasaan bahwa pasangan capres-cawapres hendaknya mencerminkan perimbangan (sentimen) politik Jawa - Luar Jawa. Surya Paloh lumayan, meski konstituennya tidak mudah dihitung. Setidaknya, SP sudah lama membangun citra publiknya dengan cukup baik: orang pers (menurut MetroTV), orator ulung ala Soekarno, terpelajar, berwibawa sekaligus akomodatif. Namun sulit menantang pengaruh JK di tubuh Golkar sejak Akbar Tandjung lengser.
Bakal calon lain yang menarik adalah Sri Sultan HB X. Hanya saja tidak terlihat perimbangan Jawa - Luar Jawa. Sultan boleh jadi calon yang bisa diterima di berbagai kalangan: priyayi, abangan, santri. Belakangan, penolakannya terhadap RUU APP akan menegaskan posisi politiknya yang berseberangan dengan santri. Saya kira, ketegangan antara priyayi yang santri dan priyayi yang abangan akan kembali meruyak sejak ia pertama kali mengemuka pada Perang Diponegoro. Priyayi memang lebih identik dengan abangan ketimbang santri. Artinya, sebagaimana kaum abangan, priyayi lebih mengasosiasikan diri dengan identitas kultural (Jawa) ketimbang identitas keagamaan.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, duet Megawati-Sultan cukup dilematis karena keduanya mencerminkan konstituen politik yang hampir serupa. Artinya kehadiran Sultan tidak banyak membantu Mega mendulang suara dari konstituen baru. Mega boleh dibilang priyayi-abangan karena mewarisi darah aristokrat Soekarno.
NASIONALIS - ISLAMIS
Dengan demikian pilpres 2009 tidak akan menghadirkan nuansa politik baru. Politik identitas atau politik aliran belum akan mencair. Mega-SP atau Mega-Sultan mencerminkan identitas politik nasionalis abangan/sekular sementara SBY-JK mencerminkan nasionalis santri/agamis. Dua pasangan capres 2009 ini tampaknya yang paling berpeluang. Lalu bagaimana dengan kalangan Islamis atau santri murni?
Kekuatan politik Islamis hingga saat ini belum signifikan untuk menawarkan capres sendiri. Mereka masih terfragmentasi sedemikian rupa hingga sulit menawarkan pasangan capres tunggal.
PKS mencerminkan lapisan baru kalangan islamis yang merevitalisasi identitas relijiusnya mengatasi identitas budaya. Identitas relijius tersebut tersambung dengan concern mereka terhadap gerakan Islam di Timur Tengah, terutama Ikhwanul Muslimin. Jadi, meski puritan, mereka mampu mengorganisir diri dengan baik sehingga cukup menjanjikan sebagai partai modern yang mengusung nilai-nilai islam yang berdialektika dengan modernitas. Kepemimpinan kolegial, rekrutmen politik ketat, kaderisasi, integritas kader dst cukup tercermin dalam semboyan "peduli, bersih, profesional." Di satu sisi mereka adalah anak-anak pemikiran Hassan Al-Banna, di sisi lain mereka juga anak-anak pikiran Natsier. Hanya saja, mereka belum mampu menjangkau demografi konstituen yang luas. Masih ada hambatan-hambatan psikologis dan ortodoksi penafsiran keagamaan yang harus mereka pecahkan terlebih dahulu.
Partai-partai islam yang mencerminkan aliran politik lama sudah mulai tergerus suaranya atau mereka saling berebut konstituen yang sama: pemilih tradisional. PBB, PPP, PKNU, PPNUI. PKB yang berasas Pancasila dan PAN yang telah berganti asas menjadi islam tidak lebih baik nasibnya.
Di sisi lain, gerakan islam radikal semakin mampu mengorganisir dirinya. Suara mereka sebenarnya cukup signifikan menambah perolehan partai-partai islam. Namun mereka menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan ajaran islam. Bagi mereka, yang ada hanya konsep syura, bukan konsep demokrasi. Sebahagian mencita-citakan syariah menjadi hukum positif negara, sebahagian lain lebih jauh dari itu, mencita-citakan khilafah dengan mengambil Turki Ustmani sebagai model. Di atas semua itu, pemikiran politik mereka boleh dibilang belum matang atau tidak ada satu metodologi atau teori politik tertentu yang bisa merinci pemikiran politik mereka secara analitik.
Terlepas dari fragmentasi di atas, kaum islamis, baik yang berada di atas panggung politik maupun yang menolak sistem demokrasi akan sangat menentukan di putaran kedua pilpres 2009. Meski bertengkar sesamanya, mereka akan menjegal Megawati menjadi presiden meski raport SBY-JK selama memerintah tidak lebih baik, kecuali PKB yang masih kuat pengaruh Gus Dur di dalamnya. Tidak hanya karena Megawati perempuan, tapi karena haluan politik yang teramat berseberangan.
Di titik ini, sulit mengharapkan pemilu sebagai ajang kontestasi yang "menghukum" rezim yang punya track record jelek. Sulit mengharapkan perubahan signifikan dalam pola pemerintahan. Sekali lagi, kalangan islamis akan memberikan cek kosong dan dikecewakan. [ ]
Catatan kecik :
- Etnis Jawa merupakan 42% populasi. Megawati-Sultan akan amat efektif mendulang suara mereka terlepas dari kecenderungan pemilih tradisional partai-partai lama lainnya.
- LKiS pernah menerbitkan buku karya seorang NU Liberal yang mencurigai PKS mempunyai hidden agenda merubah dasar negara Pancasila menjadi Islam. Saya kira analisa itu lebih berbau propaganda ketimbang akademik. Pertama, kader PKS berbeda dengan kalangan islamis yang menolak demokrasi. Keputusan untuk menegakkan partai dalam alam demokrasi adalah sikap akomodatif dan kemauan mereka memahami realitas politik yang kompleks. Kedua, meski fungsi Pancasila di era kapitalistik ini tidak jelas atau tidak lebih dari sekedar pajangan yang tergantung di ruang tamu, tidak mudah menggusurnya :)
meskipun etnis jawa merupkn 42 persen populasi, rasa2nya sekarang masyarakat nggak milih berdasarkan etnis deh...
ReplyDeleteklo menurut aq sih, dengan siapapun mega dipasangkan, popularitasnya tetap ndak bakal terdongkrak...
apalagi klo public speakingnya tetep kek githu..
klo cr menghadapi media kurang luwes...
^.^
ttg jawa ada 3 gejala sosial di akar rumput yg perlu dicermati. Pertama, pengaruh pusat-pusat kekuasaan Jawa msh bertahan hingga saat ini. Surakarta & Yogya. Kedua, Blitar, daerah sekitar tanah kelahiran Soekarno, adalah pusat Soekarnois. Hingga saat ini tradisi ziarah ke makam Soekarno ttp lestari. Di januari 2007, aku pernah tinggal di rumah seorang programmer di Kediri yg keluarga fanatik Soekarno. Bnyak foto Soekarno & foto capres Mega-Hasyim ttp dipajang.
ReplyDeleteketiga, tradisi ziarah ke makam-makam Wali Songo. Entah fenomena kaum santri atau kaum kejawen. Tapi setidaknya 3 gejala ini menunjukkan masih kuatnya BUDAYA PATERNALISTIK dlm masyarakat Jawa. Mereka adalah pemilih tradisional yg sulit pindah ke partai anyar. Dan kukira jmlhnya cukup signifikan :)