3.2.09

rindu tanpa akhir

Saya suka buku ini sejak pertama kali melihatnya di Toko Buku Masagung di Kwitang. Pertama, karena judul buku itu. Rindu Tanpa Akhir. Bila diturunkan menjadi rindu antar manusia, saya setuju dengan sebuah pepatah Arab bahwa perjumpaan takkan menyudahi rindu, tapi hanya akan membuatnya membuncah, karena setelahnya tentu ada perpisahan. Perjumpaan kemudian tidaklah begitu penting. Tidak lagi gagasan menarik.

Kedua, buku ini disadur dari karya al-Ghazali, al-mahabbah wa al-uns wa as-syawq wa ar-ridho. Saya memang dialektis, aristotelian, lebih dekat kepada Ibn Rusyd. Membaca buku ini seperti menziarahi seorang "kawan" lama. Berkunjung ke alam pikiran intuitif, alternatif dari cara berpikir rasioanal. Sebuah upaya untuk menerima kebenaran tidak dengan akal. Tidak melawan akal, tapi melampauinya. Tidak anti-rasional, tapi supra-rasional.

Ketiga, dalam buku ini, saya menemukan bahwa ujung cinta adalah ridho, kerelaaan, ketulusan, keikhlasan. Ia menjelma kesadaran tertinggi. Mungkin itu sebabnya surat yang menyatakan konsep tauhid, dinamakan surat al-Ikhlas. Dalam ayat-ayat lain diungkapkan bahwa hubungan Allah dengan hamba-hambanya adalah ridho yang resiprokal, yang dua arah. Saya kira inilah bagian intim dari ajaran Islam.

Al-Ghazali menyatakan bahwa bukan ketaatan yang melahirkan cinta. Tapi cinta-lah yang melahirkan ketaatan. Jadi, awalnya bukan ketaatan, tapi cinta. Buku ini mengapresiasi sisi lembut Sang Pencipta: Maha Indah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Maha Cinta.

Saya rasa cara mencintai sesama manusia adalah tetesan dari ajaran mencintai Sang Maha Cinta. Bahwa mencintai seorang makhluq, katakanlah, seorang lawan jenis, tak lain adalah pendaran, illuminasi dari cinta kepadaNya.


Catatan kecik:
  • Islam sendiri secara harfiah berarti keselamatan, kedamaian, penyerahandirian total. Bukan kepasrahan pasif tapi ke-berserahdiri-an aktif. Itulah sejatinya pengertian tawakkal. Dalam bahasa populer, kita mengenal istilah "doa dan usaha"
  • Buku itu saya hadiahkan kepada seorang gadis yang mungkin takkan saya jumpai 1-2 tahun mendatang. Saya menyukainya sejak pertama kali melihatnya dengan jilbab putih dan kaos orange, ketika datang terlambat. Saya masih ingat dengan baik hari itu. Seperti bab pertama dari Laskar Pelangi. Atau bab pertama dari Negeri Hujan, sebuah novel Thailand yang pernah diajukan untuk mendapat nobel sastra.








6 comments:

  1. Bukan anti rasional? Supra rasional? Tolong jelaskan maknanya dalam sebuah pengetahuan sufistik. Apakah itu sebuah rasionalitas immaterial ataukah empirisisme? Banyak orang sering terpeleset dengan menjejakkan mistisisme sebagai lawan dari rasio, padahal sesungguhnya mistisisme sendiri tak lain dari kepanjangan logika rasionalis. Inti dari mistisisme adalah logika bukan pengetahuan empirik. Pengetahuan di zaman keemasan Islam pertama kali dibangun atas dasar empirisisme. Bahkan Ibn Taymiyyah yang kondang itu memiliki penalaran empiris bukan rasionalis, sama seperti sifat Islam yang empiris dalam melihat dunia, bukan rasional. Ambil contoh, sistem kalender dan penggunaan uang dirham yang berbasis empiris. Sistem rasional hanya dipakai dalam filsafat dan tasawwuf semata.

    Dan gadis manis yang tak mungkin kau temui 1-2 tahun kemudian, cincin siapakah yang terpasang di jari telunjuknya itu? Apakah ini rasionalitas dari rindu? Ataukah... Ah, cobalah menjadi empiris sejati.

    ReplyDelete
  2. @hp: tu kan lu bs jwb sndri :p Rasio sbgmn filsafat itu sendiri dibangun diatas pondasi apriori.

    Lo gak liat ladang tebu ? :p

    ReplyDelete
  3. Ladang tebu! Kenapa kau arahkan pandanganmu jauh ke belakang Son! Lihatlah yang di depan, ia memenuhi hampir setengah foreground. :D

    Rasionalisme berbeda dengan a priori dan a posteriori. Itu hanya cara mendapatkan pengetahuan saja. Sedangkan pembedaan rasionalis dan empiris itu perbedaan cara berpikir. Mau tahu contoh pemikiran rasionalis a posterioris? Baca Kant!

    Yang saya maksudkan di sini adalah sifat pengetahuan Islam yang empiris dan merupakan watak agama juga. Tentang cinta ya, dalam bahasa Arab itu kan hubb, syauq, dan dalam al-Quran kedua kata itu dipakai untuk memaknai cinta terhadap yang duniawi. Coba cari perbendaharaan katakata Qurani yang digunakan untuk mengekspresikan cinta Tuhan - hamba atau sebaliknya dan cari tahu makna semantik, semiotik dan gramatiknya. Apakah sama dengan makna dari hubb dan syauq itu?

    ReplyDelete
  4. @hp: "radhiyallahu 'anhum wa radhuu 'anhu" Allah ridho dg mereka & mereka ridho dgNya.

    Alyauma akmaltu lakum diinakum wa'atmamtu 'alaikum ni'matii wa radhiitu lakum al-Islama diina" Hari ini Ku sempurnakan untukmu (kalian) agamamu, Ku sempurnakan nikmatKu bagimu dan Ku ridho'i Islam sbg agamamu."

    Dalam takbiratul ihram kita membaca:
    "radhiitu billahi rabba, wa bil islaama diina, wa bi muhammadin nabiyya wa rasuulah." Aku ridho dg Allah sbg Rabbiku, Perawatku; islam agamaku; Muhammad Nabi dan PesuruhNya."

    mengenai hubb, syauq, dan terminologi lain, cari aja sendiri :p

    btw, LO GAK LIAT GUNUNG LAWU? :p

    ReplyDelete
  5. Anonymous7.2.09

    salam.
    wah berbicara tentang cinta ya.
    sederhana saja, cinta yang sejati itu adalah cinta yang memberi tanpa berharap apa-apa. cinta yang unconditional.begiutalh kira-kira.
    mengenai logika dan empiris? waduh agak berat untuk mendiskusikannya.
    tapi saya pikir, logika itu sifatnya logis alias masuk akal. contohnya, seseorang itu bisa menjadi kaya karena kerja keras yang nyaris tak pernah henti. jadi ada sebab akibat.
    kemudian yang empiris itu bisa dibuktikan dengan fakta dan data.
    apakah cinta bisa ditest dengan logika dan empiris?
    sekian dari saya. thanks for postingannya.
    ahmad

    ReplyDelete
  6. Anonymous7.2.09

    suka sekali baca postingan sonny yg ini..

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post