Pernah aku membayangkan bagaimana rasanya duduk di antara para sahabat, ketika Nabi berkeringat dingin menerima wahyu. Begitu berat, menyesakkan, menghentak-hentak bergetar tubuh beliau. Seperti seluruh langit datang pada beliau, masuk hingga ke relung hatinya yang paling dalam. Sungguh beliau, Nabi Muhammad itu, manusia paripurna, Sang Musthofa. Hanya Sang Terpilih yang mampu menghadapi dera cobaan seberat itu.
Lalu suara-suara langit itu, wahyu, mukjizat teragung untuk umat manusia dan seluruh semesta, disampaikan dalam bahasa terindah di muka bumi. Bahasa Arab. Dan para sahabat itu, yang dulunya adalah manusia-manusia paling bebal di muka bumi, menangis sesunggukan mendengar bisikan langit itu. Mereka menyadari bahwa wahyu itu bukan sekedar Bahasa Arab biasa. Itu bahasa langit yang bunyinya "mirip" bahasa Arab.
Aku terheran-heran. Bagaimana mungkin Allah menciptakan sebuah bangsa bebal; yang menguburkan anak-anak perempuan hidup-hidup; memindahtangankan istri-istri mereka di meja judi layaknya barang; pemabuk; yang gemar berperang sesamanya hanya gara-gara perkara-perkara sepele; bisa tersentuh oleh keindahan sastrawi. Di zaman jahiliyyah, Pra Muhammad, mereka gemar mempertandingkan puisi-puisi di tengah-tengah pasar. Lalu puisi terbaik mereka tempelkan di dinding Ka'bah, rumah Allah. Entah Sang Pemilik Rumah marah-marah atau terbahak-bahak melihat kelakuan mereka. Bangsa itu menghargai ketinggian sastrawi melebihi penghargaan mereka terhadap kejantanan seseorang di medan perang; melebihi penghargaan mereka terhadap ketajaman pedang. Para penyair dihormati layaknya para pahlawan.
Maka demikianlah, sebuah bangsa bebal yang menaruh hormat pada keindahan sastrawi diberi kehormatan sebagai yang pertama mendengar wahyu terakhir. Bisikan langit yang meluluhlantakkan seluruh pandangan dunia mereka. Dan diatas puing-puing kebodohan itu, sebuah dunia baru tercipta.
Dan aku masih disini, teringat betapa terpukaunya aku saat belajar sedikit saja dari samudera keindahan sastra Arab: balaaghah, ma'aani dan bayaan. Betapa bahasa Al-Qur'an bagai banjir bandang yang meluluhlantakkan keseluruhan sistem sastrawi Arab. Jangan heran bahwa Allah dengan pongah menantang kepongahan manusia untuk menciptakan satu saja ayat yang bisa menandingi bahasa langit ini, yang menetes dari Lauhul Mahfudz.
Lebih dari itu, aku meyakini, bahkan mereka yang tidak mengerti bahasa & sastra Arab pun bisa memahami keindahan itu. Karena mukjizat itu, dalam bentuknya yang paling azali adalah keindahan bunyi yang masuk, menggema di relung hatimu yang paling dalam. Jika kau buka sedikit saja hatimu, dalam kepasrahan, keikhlasan, ketulusan yang purba, keheningan yang khusyuk, maka bunyi itu akan membangunkan hati kecilmu, lubb, yang pernah bersyahadat padaNya di saat kau masih dalam rahim ibumu...
Catatan kecik :
Lalu suara-suara langit itu, wahyu, mukjizat teragung untuk umat manusia dan seluruh semesta, disampaikan dalam bahasa terindah di muka bumi. Bahasa Arab. Dan para sahabat itu, yang dulunya adalah manusia-manusia paling bebal di muka bumi, menangis sesunggukan mendengar bisikan langit itu. Mereka menyadari bahwa wahyu itu bukan sekedar Bahasa Arab biasa. Itu bahasa langit yang bunyinya "mirip" bahasa Arab.
Aku terheran-heran. Bagaimana mungkin Allah menciptakan sebuah bangsa bebal; yang menguburkan anak-anak perempuan hidup-hidup; memindahtangankan istri-istri mereka di meja judi layaknya barang; pemabuk; yang gemar berperang sesamanya hanya gara-gara perkara-perkara sepele; bisa tersentuh oleh keindahan sastrawi. Di zaman jahiliyyah, Pra Muhammad, mereka gemar mempertandingkan puisi-puisi di tengah-tengah pasar. Lalu puisi terbaik mereka tempelkan di dinding Ka'bah, rumah Allah. Entah Sang Pemilik Rumah marah-marah atau terbahak-bahak melihat kelakuan mereka. Bangsa itu menghargai ketinggian sastrawi melebihi penghargaan mereka terhadap kejantanan seseorang di medan perang; melebihi penghargaan mereka terhadap ketajaman pedang. Para penyair dihormati layaknya para pahlawan.
Maka demikianlah, sebuah bangsa bebal yang menaruh hormat pada keindahan sastrawi diberi kehormatan sebagai yang pertama mendengar wahyu terakhir. Bisikan langit yang meluluhlantakkan seluruh pandangan dunia mereka. Dan diatas puing-puing kebodohan itu, sebuah dunia baru tercipta.
Dan aku masih disini, teringat betapa terpukaunya aku saat belajar sedikit saja dari samudera keindahan sastra Arab: balaaghah, ma'aani dan bayaan. Betapa bahasa Al-Qur'an bagai banjir bandang yang meluluhlantakkan keseluruhan sistem sastrawi Arab. Jangan heran bahwa Allah dengan pongah menantang kepongahan manusia untuk menciptakan satu saja ayat yang bisa menandingi bahasa langit ini, yang menetes dari Lauhul Mahfudz.
Lebih dari itu, aku meyakini, bahkan mereka yang tidak mengerti bahasa & sastra Arab pun bisa memahami keindahan itu. Karena mukjizat itu, dalam bentuknya yang paling azali adalah keindahan bunyi yang masuk, menggema di relung hatimu yang paling dalam. Jika kau buka sedikit saja hatimu, dalam kepasrahan, keikhlasan, ketulusan yang purba, keheningan yang khusyuk, maka bunyi itu akan membangunkan hati kecilmu, lubb, yang pernah bersyahadat padaNya di saat kau masih dalam rahim ibumu...
Catatan kecik :
Wahyu disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan berbagai pola. Salah satunya yaitu langsung ke hati (dzihn). Dalam keadaan sendiri maupun di tengah-tengah manusia.
Dalam ilmu bahasa, dikenal istilah bahasa tinggi dan bahasa rendah. Bahasa Arab dan Latin termasuk bahasa tinggi. Karenanya sistem pengetahuan manusia didasarkan pada bahasa-bahasa ini. Bahasa Indonesia termasuk bahasa rendah, lebih banyak menyerap kata dan istilah dari bahasa-bahasa lain ketimbang mempengaruhi bahasa-bahasa tersebut. Jadi jangan heran, bahasa Indonesia mudah rusak.
Sebelum Arab berkembang menjadi sebuah peradaban besar, huruf-huruf Arab amat sederhana bentuknya. Bahkan tidak mengenal titik dan baris untuk membedakan bunyi. Sejak kedatangan Islam dan berkembang hingga melewati teritori jazirah Arab, bangsa Arab mengalami interaksi yang tinggi dengan bangsa-bangsa di berbagai kawasan. Bangsa-bangsa non-Arab mulai menggunakan bahasa Arab, terutama dalam perdagangan dan administrasi negara. Sejak itu, untuk menghindari kesalahan pemakaian bahasa Arab oleh bangsa non-Arab (yang bisa berakibat fatal seperti menyebabkan perselisihan), diciptakanlah titik dan kemudian baris. Dan kemudian lahirlah Ilmu Nahwu. Dari ilmu ini berkembang berbagai cabang Sastra Arab. Dapat disimpulkan, bahwa bangsa Arab yang begitu mengagungkan keindahan sastrawi pada dasarnya tidak membutuhkan ilmu sastra untuk memahami sastra. Sudah inheren dalam budaya mereka. Nahwu
tercipta lebih untuk kepentingan non-Arab ketimbang bangsa Arab sendiri :)
Sastra Arab, kalau tidak salah terdiri dari 12 cabang ilmu, diantaranya Nahwu (grammar), Sharf (syntax), Balaaghah, Ma'aani, Bayaan, Imla' (dictation). Sepanjang pengetahuan saya, Balaaghah+Badi'+Maa'ni adalah satu kesatuan dalam yang dinamakan Ilmu Bayaan. Balaaghah menekankan pada ketersampaian & keindahan teks. Badi'menekankan keindahan teks. Maa'ni pada kejelasan makna teks tanpa peduli lagi pada penggunaan gaya bahasa yg berbunga-bunga. Ia tidak mempermasalahkan keindahan dan makna teks tapi lebih pada ketersampaian teks pada pemirsa / pembaca. Dapat disimpulkan bahwa pada pucuk-pucuk tertinggi sastra tidak lagi soal keindahan, tapi ketersampaian. Bila sebuah teks bisa dimengerti oleh pemirsanya berarti tercapailah ketinggian sastrawi.
Bahasa Arab cukup rumit. Kosakata Arab penuh dengan perubahan-perubahan sintaks. Ia mengenal istilah kosakata dasar (huruf-huruf yang membentuk kata) dan kosakata turunan (yang terimbuh dengan beberapa huruf tambahan). Setiap perubahan bunyi pada kata dasar
menyebabkan perubahan makna. Belum lagi perubahan bunyi yang disebabkan adanya imbuhan. Karenanya bahasa Arab, seperti halnya bahasa Latin, layak menjadi bahasa pengetahuan.
Melampaui permasalahan kata, kalimat dalam bahasa Arab diatur dalam sistem ketat bernama Ilmu Nahwu.
Di atas keseluruhan kerumitan itu, pada tingkat dasar, bahasa Arab amat mudah dipelajari. Terutama oleh bangsa-bangsa rumpun Melayu. Pola kalimatnya sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab hanya membagi waktu dalam 2 bentuk saja: Masa Lampau (Maadhi) dan Masa Sekarang (Mudhaari'). Tenses Inggris justru lebih rumit ketimbang Arab.
Ada koreksi ?
Back to basic nih?! Good bye love... and welcome intellectual!
ReplyDeleteKawan, Bukankan bertemu dengan Allah adalah suatu ketenangan, disentuh olehNya adalah sebiah kenikmatan, dan mendengar kata-kataNya akan membangkitkan ghairah cinta yang mendalam?
ReplyDeleteKalau membaca bagian awal tulisanmu, seolah Nabi Saw begitu menderita bila Tuhan menyapanya. Bukankah ini sebuah ironi?
@yudi: bukan soal ketenangan atau pertemuan dg Allah. Cara tberat bg Nabi menerima wahyu adl lgsg ke dzihn, yg menjadi pusat dr kemuliaan manusia, tidak telinga yg merupakan alat artifisial. Dlm bahasa psikologi klinis mgkn itu yg dinamakan consiusness, kesadaran.
ReplyDeleteAyat-ayat itu membawa pesan-pesan profetik-revolusioner, darinya dibangun sebuah peradaban besar. Dari sebuah bangsa bebal menuju bangsa yg memimpin dunia selama 7 abad. Tentu amat berat menerima pesan-pesan langit yg demikian.
===
Cara lain menerima wahyu lebih lembut: Jibril datang melafadzkannya kpd Nabi. Lalu Nabi membacakannya di depan Jibril. Inilah pola ayat pertama diterima. Iqra' !