PENDAHULUAN (just skip this boring part)
Minggu lalu saya mengikuti 3 diskusi tentang ilmu Tafsir al-Qur'an di 2 tempat. Diskusi pertama membedah buku yang merupakan hasil disertasi doktoral Dr. Moh Matsna HS, MA, seorang dosen Sastra Arab UIN Jakarta. Judulnya, "Orientasi Semantik Tafsir al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-ayat Kalam". Pembedahnya, dosen sepuh, Prof Muslim Nasution, Guru Besar Ilmu Kalam, UIN Jakarta. Amat disayangkan, Dr. Phil. Nur Kholish Setiawan tidak hadir. Beliau Dosen Ilmu Tafsir, penulis buku "Al-Quran Kitab Sastra Terbesar."
Diskusi kedua berangkat dari sebuah paper kesarjanaan berjudul "Purposes Exegesis: a study of Quraish Shihab's thematic interpretation of the Qur'an." Sederhananya, membedah metodologi tafsir tematik (maudhu'i) yang digunakan Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur'an. Buku tersebut mengkaji tema-tema besar dari al-Qur'an: manusia, Tuhan, Agama dst.
Diskusi ketiga dimulai dari paper berjudul "The Controversy around HB Jassin: a study on his al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia & al-Qur'an Berwajah Puisi." Alhamdulillah, diskusi ini difasilitasi langsung oleh penulis paper, Dr Yusuf Rahman. Kalau tidak salah, paper itu menjadi titik tolak disertasi doktoral beliau.
TAFSIR, FILSAFAT ILMU & PARADIGMA PEMIKIRAN (just skip this boring part)
Saya tidak mendalami Ilmu Tafsir dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Namun saya membutuhkan basis pengetahuan tafsir sebagai pijakan normatif - radikal bagi keseluruhan bangunan paradigma pemikiran saya sebagaimana saya meletakkan al-Qur'an--dan semangat Tauhid yang dibawanya--sebagai pondasi. Dalam tingkat intelektualisme tertentu, memahami al-Qur'an tanpa memahami tafsir berikut disiplin yang melingkupinya (sastra Arab, asbabun nuzul dst) sia-sia saja. Dalam peta pikiran, saya membangun filsafat ilmu pribadi berdasarkan beberapa diskursus, mulai dari gagasan Islamisasi pengetahuan Ismail Raji' al-Faruqy (beserta polemik yang dilahirkannya) hingga gagasan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo. Lebih dari itu, saya membaca perbincangan klasifikasi ilmu dari abad keemasan Islam (Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dst). Suatu saat saya berharap bisa mengintegrasikan keseluruhan diskursus epistomologis ini beserta sekelumit pengetahuan tafsir saya untuk membangun ulang paradigma pemikiran saya.
HB JASSIN & AL-QUR'AN
Blog ini tidak memadai untuk membahas pembicaraan kesarjanaan semacam ini. Tapi ada baiknya saya menurunkan tensi diskusi ketiga ke bentuk tulisan yang lebih ringan, for the sake of enlightening.
Berawal dari acara tahlilan paska meninggalnya istri HB Jassin, terdetik dalam pikiran beliau untuk membuat sebuah terjemahan al-Qur'an ke bahasa Indonesia yang bisa mewakili keindahan sastrawi bahasa aslinya, Arab. Lalu terbitlah Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia pada tahun 1977.
Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Disisi kanan halaman ada teks al-Qur'an dalam tulisan Arab tentunya dan di sisi kiri, terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan terbitan Depag dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab terkemuka di Indonesia. Hasilnya: sebuah terjemahan yang biasa, layaknya terjemahan buku Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia.
HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab apalagi tafsir. Beliau hanya seorang Paus Sastra Indonesia (menurut Gauis Siagian) atau Wali Penjaga Sastra Indonesia (menurut Prof AA Teeuw). Dalam usaha penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan adanya terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup dikuasainya. Diantaranya, terjemahan karya seorang muallaf, Sir Marmaduke Pitchall dan seorang Pakistan Muhammad Jusuf Ali. Terjemahan Jusuf Ali adalah terjemahan al-Qur'an ke Bahasa Inggris terbaik dan paling populer hingga saat ini.
KONTROVERSI
Kontroversi timbul dilatari 3 sebab. Pertama, HB Jassin tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir. Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3 hal diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius. Sebuah invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bid'ah yang tidak punya rujukan atau basis dalil/hujjah/reason dari sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, al-Qur'an secara jelas "membela dirinya sendiri" lewat ayat-ayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan al-Qur'an sebagai hanya karya sastra semata berarti merendahkan al-Qur'an itu sendiri. Fungsi utama al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud menyampaikan ketinggian sastrawi al-Qur'an kepada bangsa Indonesia yang tidak menguasai sastra Arab.
Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama: Jassin bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan al-Qur'an sekalipun. Apa yang dilakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan Tafsir Fi Dzilaalil Qur'an. Latar belakang pengetahuan sastra Arab SQ membuat tafsir tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga tafsir-tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Ma'ani dst. Juga tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata al-Quran.
KESIMPULAN
Agaknya kita harus merespon positif karya HB Jassin ini. Bila segala sesuatu dinilai dari niat, maka karya Jassin ini lahir dari kecintaan pada al-Qur'an, bukan maksud buruk. Dan akhirnya, paska polemik, sejarah memenangkan Jassin: terjemahan itu mengalami cetak ulang terus menerus hingga saat ini. Hmmm, bila suatu saat menikah, saya mungkin menggunakan karya Jassin ini sebagai bagian dari mahar. Apalagi jika ia yang saya persunting tidak bisa memahami keindahan sastrawi al-Qur'an langsung dari bahasa aslinya :)
Minggu lalu saya mengikuti 3 diskusi tentang ilmu Tafsir al-Qur'an di 2 tempat. Diskusi pertama membedah buku yang merupakan hasil disertasi doktoral Dr. Moh Matsna HS, MA, seorang dosen Sastra Arab UIN Jakarta. Judulnya, "Orientasi Semantik Tafsir al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-ayat Kalam". Pembedahnya, dosen sepuh, Prof Muslim Nasution, Guru Besar Ilmu Kalam, UIN Jakarta. Amat disayangkan, Dr. Phil. Nur Kholish Setiawan tidak hadir. Beliau Dosen Ilmu Tafsir, penulis buku "Al-Quran Kitab Sastra Terbesar."
Diskusi kedua berangkat dari sebuah paper kesarjanaan berjudul "Purposes Exegesis: a study of Quraish Shihab's thematic interpretation of the Qur'an." Sederhananya, membedah metodologi tafsir tematik (maudhu'i) yang digunakan Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur'an. Buku tersebut mengkaji tema-tema besar dari al-Qur'an: manusia, Tuhan, Agama dst.
Diskusi ketiga dimulai dari paper berjudul "The Controversy around HB Jassin: a study on his al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia & al-Qur'an Berwajah Puisi." Alhamdulillah, diskusi ini difasilitasi langsung oleh penulis paper, Dr Yusuf Rahman. Kalau tidak salah, paper itu menjadi titik tolak disertasi doktoral beliau.
TAFSIR, FILSAFAT ILMU & PARADIGMA PEMIKIRAN (just skip this boring part)
Saya tidak mendalami Ilmu Tafsir dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Namun saya membutuhkan basis pengetahuan tafsir sebagai pijakan normatif - radikal bagi keseluruhan bangunan paradigma pemikiran saya sebagaimana saya meletakkan al-Qur'an--dan semangat Tauhid yang dibawanya--sebagai pondasi. Dalam tingkat intelektualisme tertentu, memahami al-Qur'an tanpa memahami tafsir berikut disiplin yang melingkupinya (sastra Arab, asbabun nuzul dst) sia-sia saja. Dalam peta pikiran, saya membangun filsafat ilmu pribadi berdasarkan beberapa diskursus, mulai dari gagasan Islamisasi pengetahuan Ismail Raji' al-Faruqy (beserta polemik yang dilahirkannya) hingga gagasan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo. Lebih dari itu, saya membaca perbincangan klasifikasi ilmu dari abad keemasan Islam (Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dst). Suatu saat saya berharap bisa mengintegrasikan keseluruhan diskursus epistomologis ini beserta sekelumit pengetahuan tafsir saya untuk membangun ulang paradigma pemikiran saya.
HB JASSIN & AL-QUR'AN
Blog ini tidak memadai untuk membahas pembicaraan kesarjanaan semacam ini. Tapi ada baiknya saya menurunkan tensi diskusi ketiga ke bentuk tulisan yang lebih ringan, for the sake of enlightening.
Berawal dari acara tahlilan paska meninggalnya istri HB Jassin, terdetik dalam pikiran beliau untuk membuat sebuah terjemahan al-Qur'an ke bahasa Indonesia yang bisa mewakili keindahan sastrawi bahasa aslinya, Arab. Lalu terbitlah Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia pada tahun 1977.
Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Disisi kanan halaman ada teks al-Qur'an dalam tulisan Arab tentunya dan di sisi kiri, terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan terbitan Depag dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab terkemuka di Indonesia. Hasilnya: sebuah terjemahan yang biasa, layaknya terjemahan buku Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia.
HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab apalagi tafsir. Beliau hanya seorang Paus Sastra Indonesia (menurut Gauis Siagian) atau Wali Penjaga Sastra Indonesia (menurut Prof AA Teeuw). Dalam usaha penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan adanya terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup dikuasainya. Diantaranya, terjemahan karya seorang muallaf, Sir Marmaduke Pitchall dan seorang Pakistan Muhammad Jusuf Ali. Terjemahan Jusuf Ali adalah terjemahan al-Qur'an ke Bahasa Inggris terbaik dan paling populer hingga saat ini.
KONTROVERSI
Kontroversi timbul dilatari 3 sebab. Pertama, HB Jassin tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir. Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3 hal diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius. Sebuah invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bid'ah yang tidak punya rujukan atau basis dalil/hujjah/reason dari sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, al-Qur'an secara jelas "membela dirinya sendiri" lewat ayat-ayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan al-Qur'an sebagai hanya karya sastra semata berarti merendahkan al-Qur'an itu sendiri. Fungsi utama al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud menyampaikan ketinggian sastrawi al-Qur'an kepada bangsa Indonesia yang tidak menguasai sastra Arab.
Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama: Jassin bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan al-Qur'an sekalipun. Apa yang dilakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan Tafsir Fi Dzilaalil Qur'an. Latar belakang pengetahuan sastra Arab SQ membuat tafsir tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga tafsir-tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Ma'ani dst. Juga tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata al-Quran.
KESIMPULAN
Agaknya kita harus merespon positif karya HB Jassin ini. Bila segala sesuatu dinilai dari niat, maka karya Jassin ini lahir dari kecintaan pada al-Qur'an, bukan maksud buruk. Dan akhirnya, paska polemik, sejarah memenangkan Jassin: terjemahan itu mengalami cetak ulang terus menerus hingga saat ini. Hmmm, bila suatu saat menikah, saya mungkin menggunakan karya Jassin ini sebagai bagian dari mahar. Apalagi jika ia yang saya persunting tidak bisa memahami keindahan sastrawi al-Qur'an langsung dari bahasa aslinya :)
Catatan kecik:
Di Indonesia, istilah tafsir & terjemah al-Qur'an seringkali salah pakai. Terjemah harusnya berarti transtalation. Tafsir harusnya berarti interpretation. Ingat waktu ngaji di TPA dulu? Pelajaran Tafsir? Harusnya kan pelajaran Terjemah.
Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia telah mengalami beberapa kali cetak ulang (1977, 1982,
Cetakan 1 diberi kata pengantar oleh Buya HAMKA. Beliau adalah seorang ulama, wartawan, dan sastrawan yang berpikiran terbuka. Kata Pengantar itu memberi "legitimasi apresiatif" terhadap kerja keras Jassin. Tafsir Al-Azhar HAMKA banyak diapresiasi oleh umat Islam di Asia Tenggara.
Gerakan penafsiran kontemporer al-Qur'an di Indonesia dimulai oleh Mahmud Yunus (1899 - 1982) di awal abad 20. Beliau memulai usaha penerjemahan di usia 22 tahun dan menghentikannya sementara atas alasan belajar ke Mesir pada tahun 1924. Usaha penerjemahan yang sudah jalan 3 juz ini memang mendapat banyak tentangan oleh kalangan ulama kala itu karena merupakan suatu hal yang baru dan Mahmud Yunus yang masih belia itu dianggap tidak kompeten. Usaha penerjemahan itu berhasil diselesaikan pada tahun 1938 dan diterbitkan dengan judul Tafsir Quran Karim oleh Penerbit al-Maarif Bandung di tahun 1953.
Selain karya Mahmud Yunus, dikenal pula Tafsir al-Ibriz karya alm KH Bisri Mustofa, ayahandan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Tafsir itu menggunakan bahasa Jawa yang sederhana dalam huruf Jawi pegon.
Buku Mahmud Yunus tentang Ilmu Pendidikan dan Pengajaran masih digunakan di Gontor hingga saat ini. Boleh dibilang buku beliau adalah pusat pemikiran kependidikan di Gontor. Terang saja, buku itu dibawa oleh salah satu pendiri Gontor, alm KH Imam Zarkasyi yang pernah belajar ke ranah Minang. Kamus Arab - Indonesia karya beliau adalah kamus yang singkat - padat (bila dibandingkan dengan Kamus Mawrid yang tebal dan berat untuk ditenteng-tenteng :) Luar biasa !
Al-Qur'an Berwajah Puisi adalah buku Jassin berikutnya yang tidak sempat beliau selesaikan sebelum meninggal.
Seingat saya, Muhammad Yusuf Ali meninggal di bangku taman di sebuah sudut London di suatu musim dingin dalam keadaan uzur dan kesepian. Beliau memang tokoh yang kontroversial. Di satu sisi dianggap pengkhianat oleh bangsanya karena menjadi bagian dari pemerintah kolonial Inggris di anak benua Asia tersebut. Di sisi lain, terjemahan al-Qur'an ke bahasa Inggris karyanya adalah terjemahan terbaik hingga saat ini. Semoga amal-amal beliau yang terus mengalir dari karyanya tersebut dapat menutupi segala dosa-dosanya. Amin
Kompas konsisten menggunakan istilah Paus Sastra Indonesia. Republika konsisten dengan istilah Wali Sastra Indonesia. Bagi saya kedua koran itu sama konyolnya. Saya aja deh yang ngasih gelar: Kritikus Terbesar Sastra Indonesia. Lebih konyol dan kepanjangan ?
Hingga saat ini tak ada yang mampu menggantikan peran Jassin sebagai Kritikus Terbesar dalam jagat sastra Indonesia. Ia menjadi center of gravity, tukang stempel. Ia menentukan seseorang dianggap sastrawan atau tidak. Pun kerendahan hatinya bersedia menulis kritik sastra untuk karya-karya para sastrawan muda. Bahkan dikritik jelek saja oleh Jassin, para sastrawan muda sudah melambung ke langit ketujuh. Apalagi dipuji ?
Korrie Layun Rampan berusaha meneruskan banyak usaha Jassin sebagai kritikus sastra utama. Dalam beberapa segi, ia berhasil.
Sebaiknya son, mahar ente adalah sebuah buku atau draft buku dari kumpulan tulisan dan percikan pemikiran ente. Saya punya kawan, maharnya draft buku dengan mekasud apabila buku itu sudah naik cetak, hak ciptanya menjadi milik isterinya. Artinya, maharnya adalah hak cipta.
ReplyDeleteKalau saya lebih suka mahar itu punya nilai ekonomis seperti hak cipta di atas sehingga salah satu maksud Islam untuk memuliakan perempuan dengan jaminan hak hidup relatif terlaksana.
Kapan kawin, kawin kapan?
Catt kecil. Menurut saya, harus ada perbedaan yang awwam dan khawwas seperti dikatakan Ibnu Sina. Artinya, jika terjemahan apalagi tafsir dilakukan tanpa ilmu, ia hanya layak untuk konsumsi pribadi dengan tingkat kebenaran yang sagat pribadi (subjektif). Jika ia akan dijadikan konsumsi publik, ia harus memenuhi kriteria dan persyaratan yang secara logis adalah wajar.
Misalnya, jika ada yang menanyakan obat sakit gigi kepada saya, lalu saya menjawab sesuai dengan pengetahuan saya, maka selayaknya ia hanya menjadi konsumsi saya dan kalangan yang terbatas. Nah, untuk menjadi konsumsi semua orang, ia harus melalui serangkaian uji ketat yang secara metodoligis benar dilakukan oleh ahli gigi dasn pengobatan (Dokter Gigi dan Apoteker)
Salam
Invention itu kan dalam bahasa Arab berarti bidaah. Kita selalu mengasosiasikan term ini secara negatif. Mungkin karena sifat agama Islam yang mau mengikatkan dirinya dengan ajaranajaran masa lalu (baca, ajaran Ibrahim dan Musa), sehingga kemampuan mencipta dalam lingkup agama merupakan hal yang tabu. Bahasa fiqh-nya, "al-ashl fi al-ibadah haram illa ma dalla dalil 'ala ibahiha. Wal ashlu fi ghair al-ibadah mubah illa ma dalla dalil 'ala imna'iha".
ReplyDeleteBerbeda dengan tradisi Islam, di Barat juga mengenal kosakata bidaah, tapi dengan makna intrinsik yang berbeda. Bidaah dalam bahasa Inggris adalah heresy, yang berakar dari bahasa Yunani hairesis, yakni memilih. Mungkin karena sifat agama Kristen yang komunal setelah ditetapkan sebagai agama negara resmi orang Romawi. Mereka yang memilih berada di luar sistem ini dan kebetulan juga orang Romawi, maka mereka disebut sebagai pelaku bidaah (mungkin Mona bisa menambahkan).
Sebenarnya kata yang tepat untuk menggambarkan sifat kata bidaah adalah penyimpangan. Untuk menentukan sesuatu menyimpang atau bukan, tentu dibutuhkan ortodoksi. Ortodoksi ini hadir ketika agama mengalami pelembagaan. Sebelumnya, saat ia masih merupakan pencarian individu per se, bidaah hampir merupakan kosa kata yang aneh. Ingat pencarian Ibrahim akan Tuhan yang kalau diukur oleh sistem Kalam yang lebih lanjut, bisa disebut kafir. Ketika agama menjadi sebuah lembaga itulah ia dihadapkan pada kepentingan, menjaga keliaran imajinasi manusia.
Ini titik pokoknya. Ketika agama telah kehilangan imajinasi, semua ritualnya dapat dipastikan hambar. Yang tersisa hanyalah ritusritus ragawi yang boleh jadi tergantikan oleh olah raga. Tapi ketika imajinasi terlalu liar, ia justru meniadakan otoritas keagamaan. Pada agama yang sederhana, hal ini masih bisa ditolerir, karena toh ia hanyalah relasi manusia - Tuhan. Lalu bagaimana dengan agama yang jauh lebih kompleks? Imajinasi adalah persoalan yang runyam.
Sastra selalu berkaitan dengan imajiimaji manusia. Ia bisa berbentuk deskripsi, pengungkapan, bahkan sebuah kritik. Ketika al-Quran membuka sebuah tantangan 'bahwa tidak ada yang dapat menandinginya' sebenarnya ini adalah sebuah terobosan yang besar. Terdapat sebuah lorong di mana imajinasi kembali mendapatkan haknya saat berbicara mengenai agama yang sangat kompleks ini. Sebuah kebebasan yang bukan hanya merupakan kebebasan untuk memilih, tapi juga kebebasan untuk memberi nilai baru terhadap sesuatu.
Al-Quran sendiri tidak pernah menjelaskan lebih lanjut mengenai tantangannya tersebut, hanya sebuah pernyataan bahwa manusia tidak akan dapat menandingi karya agung Tuhan ini. Bagi saya itu adalah kabar baik. Ungkapan itu bukan dijadikan sebuah syarat hanya gambaran umum saja. Belakangan ungkapan tersebut malah dijadikan dalil, dan atas nama dalil itulah kreativitas terbungkam.
Coba bandingkan, 'kamu tidak akan bisa makan' dengan 'kamu tidak boleh makan', berbeda bukan. Yang pertama kalimat berita, sedang kedua kalimat perintah. Yang satu tidak bernilai hukum dan kedua bernilai hukum. Sayangnya, agama selalu identik dengan hukum. Jadi, alihalih menerjemahkan kalimat pertama sebagai sebuah kemungkinan, malah menjadikannya hukum pelarangan. Dan itulah yang terjadi di tengah masyarakat kita saat ini. Kita terpenjara oleh hukum, yang anehnya justru tidak pernah ditaati oleh konstituensnya sendiri.
Kalau sudah begini, kenapa juga tidak menukik menuju kedalaman? Sesuatu yang telah lama ditawarkan oleh sastra. Barangkali itulah yang ada di pikiran H.B. Jassin waktu hendak menulis Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia pada tahun 1977.
@Yudi: ok, tuh. Buku jd mahar. Hmmm.. mungkin antologi puisi atau cerpen. Tp mungkin spt buku HTR: "aku ingin menikahi jiwamu.." Lebih seru !
ReplyDeleteNikah? comblangin gw dong sama gadis PII, hihihii
ente benar, Yud. Memang ada pendapat pribadi ttg agama yg tidak bisa dikonsumsi umum atau awam. Entah itu kita sebagai pakar atau 1/2 pakar. (Awam bila "diindonesiakan" berarti umum juga.) Inilah wilayah privat keberagamaan seseorang. Tapi tentunya Islam tidak mengenal dikotomi absolute ttg yg privat & yg publik krn itu sama saja dg sekularisasi.
Dalam konteks ini, Jassin tidak bisa dianggap sama sekali tidak layak menerjemahkan al-Qur'an. Pertama, terjemahan versi Depag jg tidak sepenuhnya akurat. Ada buku dari kalangan Islam Kanan yg mengoreksi terjemahan Depag tsb. Kaum Islam Kiri sejak lama mengkritik terjemahan Depag. Tapi tentu terjemahan Depag cukup layak u digunakan khalayak awam.
Terjemahan Jassin hanya mengisi celah (nieche) pemirsa yg mendambakan terjemahan yg mampu membawa serta keindahan sastrawi al-Qur'an dari bahasa aslinya.
Ada pepatah Arab yg mengatakan: Al-Insaanu a'daa u ma jahilu. Manusia cendrung memusuhi apa yg tidak diketahuinya /dikenalinya / dipahaminya. Jadi baiknya, kita baca dulu karya Jassin, baru kita pertimbangkan.
Kedua, Jassin berada di puncak tertinggi jagat sastra Indonesia. Ia adalah peneliti plg tekun yg pernah ada dlm dunia sastra Indonesia. Keseluruhan pengetahuan Jassin & buku2nya sampai membentuk sebuah Pusat Dokumentasi Sastra di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Ia memahami amat baik bahasa Indonesia. Hanya sayangnya, ia tak memenuhi "kualifikasi formal" sebagai penerjemah al-Qur'an yaitu penguasaan sastra Arab. Tapi pemahamannya yg baik thd bahasa Inggris membuatnya bs merujuk ke karya terjemahan al-Qur'an ke bahasa Inggris. Toh yg dikerjakannya bukan tafsir tapi terjemah (doang). Soal tafsir, ia bs mengikuti buku-buku tafsir yg ada.
Ketiga, ada rentang masa cukup panjang hingga buku ini diterbitkan u pertama kalinya, 1962 - 1977. Pun Jassin selalu mengadakan revisi thd bukunya itu setiap kali terbit. Kita bisa memperhatikan perbedaan antara terbitan th 1977 dg 1982 dan masa sesudahnya. Terbitan terakhir, diperbaiki formatnya oleh Sirajuddin Zar, seorang kaligrafer kenamaan, pengasuh pondok pesantren yg menjaga tradisi kaligrafi di sebuah daerah di Jawa Barat, dan kebetulan alumni Gontor & pendiri klub kaligrafi AKLAM di Gontor & yayasan kaligrafi LEMKA di Ciputat. Otoritas Sirajuddin & kata pengantar HAMKA cukup membuktikan karya Jassin berkualitas.
@hp: invention = bid'ah. Bener.Tp dlm dunia Ushul Fiqh, Jurisprudensi Islam, bid'ah dibedakan antara yg dholalah (sesat) & yg tidak sesat. Kecendrungan dominan di kalangan mayoritas muslim, bid'ah dlm agama sll saja dianggap sesat. Jauh dari makna awalnya yg positif sbg invention, penemuan. Blm lg kalo kita membahas mana yg wilayah agama (suci) & mana yg tidak (profan). Mana yg tsubut, mana yg taghayyur. JIL berteriak: "sekularisasi mutlak !" Tp aku lebih setuju dg term yg digunakan Kuntowijoyo: "demitologisasi / demistifikasi !" Dlm konteks ini, ide sekularisasi Cak Nur itu ambigu, tidak jelas, mudah dipelintir menjadi sekularisme. Sementara produk pemikiran Kunto lebih jelas.
ReplyDeleteJadi inget buku teks Ushul Fiqh waktu kls 3 dulu, karangan Abdul Hamid Hakim, ulama muda yg menjadi bagian dr Kaum Muda Pembaharu Islam dari Minangkabau di awal abad 20. Ayat pembuka buku itu adalah "Inamal a'maalu binniyyat..." Setiap pekerjaan itu ada niat/tujuannya. Dan yg mengerjakannya hanya bisa dihakimi/dinilai berdasarkan niatnya.
Postulat Ushuliyyah pertama yg kita pelajari: al-ashlu fi al-asy yaa'i mubah illa dalla daliil 'ala khilaafihi. Asal segala sesuatu itu boleh, hingga ditemukan dalil yg menentangnya. Mungkin trll panjang bila aku jabarkan disini. Tp intinya, karya HB Jassin itu boleh2 saja, hingga kita temukan ada penyimpangan yg tak dpt ditolerir dlm terjemahannya itu.
Menarik bila ngebahas soal bid'ah, imajinasi dan agama. Diskusi kita bisa melebar hingga spritualism vs organized religion. Kenapa banyak manusia beralih ke spritualitas yg lepas dr agama? Kenapa Yoga diperdebatkan? Lain kali aja kita bahas yaa..
btw, bid'ah asal katanya kan ba - dhal - a'in. Artinya kan kreativitas. Gak kalah kok sama artinya heresy
ralat: biasa slh ketik>
ReplyDelete1. alashlu fil asy yaa' al-ibaahah illa dallad daliil 'ala khilaafihi
2. Al-insaanu aduwwu ma jahilu atau annaasu atau annaasu a'daa u ma jahil. Masalah singular & plural aja.
ralat buat himawan>> khilaafihi bukan khilaafiha :p
saya cari2 kok ga ada di toko buku? belinya dimana?
ReplyDeleteinfo donk dimana bisa beli buku tersebut..!
ReplyDeletesaya sangat tertarik denganbuku tersebut..
sayang sekali karya jassin belum dicetak ulg lg. cari di pustaka UIN Jkt pst nemu tuh :)
ReplyDeleteal-Qur'an bukan karya sastra atau kitab sastra, tetapi mengandung sastra. Ai-Qur'an bukanlah kitab undang-undang tetapi ia mengandung hukum. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmiah, tetapi ia mengandung dan mengungkap ilmu yang luar biasa. HB jassin tidak bisa disamakan persis dengan SQ dalam membuat hal baru, HB Jasin tidak pandai bhs arab, sementara SQ bisa bhs arab
ReplyDelete