31.12.08

resolusi tahun baru

Tahun baru, entah itu dalam penanggalan matahari atau penanggalan bulan/lunar pada dasarnya hanyalah fenomena fisika. Lalu manusia memberi penanda padanya. Penanggalan matahari kita kenal sebagai Masehi, merujuk pada Sang Messiah atau Al-Masiih, Jesus atau Isa.

Sementara itu, umat Islam menamakan penanggalan lunar dengan Hijriyyah, menandai salah satu peristiwa penting dalam sejarah, yaitu hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah. Perlu diingat, penggunaan istilah hijriyyah bukan di era Nabi sendiri, tapi di era Umar ibn Khattab, Khalifah ke-2 dari 4 Khalifah Rasyidin. Merayakan Tahun Baru 1 Muharram bukanlah ibadah, melainkan ritus budaya belaka. Tapi tentu dalam ajaran Islam, tidak ada dikotomi absolut antara yang ibadah dan bukan ibadah, sebagaimana Islam menolak pemisahan dikotomis antara agama dan kehidupan duniawi (sekularisme). Jika sesuatu itu baik untuk dikerjakan dan dimulai dengan bismillah, maka itu sudah bernilai ibadah

Jadi pada hakekatnya hanya soal tanda dan penanda. Lalu, bila saya ingin membuat resolusi, Masehi atau Hijriyyah kah yang akan saya gunakan?

Ketika kita membuat resolusi, lagi-lagi kita menambahkan penanda terhadap tanda yang sudah dimaknai ribuan tahun silam. Tidak soal bagi saya menggunakan Masehi atau Hijriyyah. Tapi tentu preferensi saya adalah hijriyyah, karena inisiasi makna hijrah cukup baik dalam diri saya. Bagi Nabi Muhammad sendiri, melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah adalah sebuah resolusi. Tindakannya itu menandai babak baru dalam masa kenabiannya (yang relatif pendek dibanding Nabi/Rasul lainnya) khususnya dan sejarah umat Islam secara keseluruhan.

Resolusi
Setiap orang bebas memilih untuk berbagi resolusi dengan orang lain atau menyimpannya untuk diri mereka sendiri. Saya memilih untuk berbagi satu resolusi saja dengan anda. Resolusi saya tahun depan adalah menemukan arah hidup saya: apakah tetap di dunia ekonomi atau kembali pulang ke ranah pemikiran.

Seringkali di tengah reuni penuh gelak tawa berkumpul dengan teman-teman kuliah di Fakultas Ekonomi, saya merasakan semacam keterasingan. Ada banyak hal yang tidak bisa saya bicarakan bersama mereka: mimpi-mimpi, cita-cita dan tanggung jawab intelektual. Terkadang saya berpikir bahwa kuliah bersama mereka dulu adalah semacam kegilaan, petualangan yang dipicu rasa ingin tahu. Dan tentu saja, suatu kegilaan dan petualangan haruslah ada akhirnya.

Saya memang merindukan saat-saat dahulu. Pustaka yang hening, buku-buku, koran, majalah, jurnal dan setumpuk fotokopi makalah. Diskusi-diskusi hingga tengah malam, kopi, dan asap rokok yang mengepul dari beberapa teman. Sejak saat itu sudah banyak yang berubah dalam pribadi saya. Dulu saya introvert, sekarang extrovert. Dulu saya memandang dunia dari kacamata judgment, sekarang dari kacamata persepsi. Alam pikiran saya bergerak dari kutub normatif ke kutub empiris.

Apakah saya akan pulang ke ranah intelektual? Pertanyaannya, apakah jejak-jejak kaki yang saya tinggalkan dulu berpendar menunjukkan jalan pulang?


3 comments:

  1. Irresolute! Mungkin karena kamu dah kebanyakan racun di negeri ini. C'mon go abroad!

    ReplyDelete
  2. Anonymous1.1.09

    resolusinya masih pertanyaan tuh, buruan dijawab trus kemudian direalisasikan :)
    sukses yach....

    ReplyDelete
  3. @hp: iya nih, kracunan, brain damage etc.. :D

    @dewi: r u part of solution? :D

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post