29.7.08

gerakan-gerakan Islam

[mengenang seorang sahabat pena sepanjang 2001 - 2003, shofaulfikri> f1kri@fk.unibraw.ac.id]
(bagian ter konyol bego aneh indah baik dari hubungan ini adalah kita tak pernah bicara tentang kita:)


Fikrie,
Aku pikir memang tidak ada jawaban exact tentang darimana kita harus memulai pergerakan. Sebaiknya memang begitu. Kalau tidak nanti ada yang merasa jadi yang paling benar. Gerakan-gerakan Islam harusnya dipandang secara komplementer bukannya substitutif.

Kalangan Islam puritan merasa perlu mengaca ke sirah nabawiyah (biografi Rasulullah). Kecenderungan tekstual mereka tentu ikut terbawa. Mereka memandang zaman ini dengan zaman Rasulullah. Ada yang akhirnya merasa bahwa kita masih pada fase makkah. Karena itu strateginya: Pertama: da'wah bissirri, konsolidasi ke dalam; halaqoh-halaqoh; gerakan bawah tanah;. Waandzir asyyirataka-l-aqrabin. Dan serulah kerabat2 dekatMua (Qur'an, Makkiyyah) Kedua, da'wah bil jahr. Gerakan bawah tanah kemudian dimunculkan ke permukaan. Awalnya pemunculan ini sangat telanjang. Dalam artian apa yang diterima sebagai kebenaran dalam fase bawah tanah dimunculkan secara tegas. Laskar FPI dan Laskar Jihad adalah contoh layak.
Kemudian terjadi akomodasi-akomodasi karena pengaruh, kritik maupun tekanan dari pihak lain. Mungkin bisa diadakan penelitian tentang Majalah As-Sunnah pada edisi-edisi awal dan edisi-edisi dimana mereka mulai muncul ke permukaan seiring dengan berkah runtuhnya rezim Soeharto.

Kalangan Islam moderat--yang sebagiannya menasbihkan diri pada tahun-tahun terakhir sebagai muslim liberal dan kiri--mungkin tidak terlalu tertarik untuk mengaca ke sirah nabawiyah. Kalaupun mengaca mungkin mereka menggunakan alat bantu ilmu-ilmu sosial. (aku pikir sirah nabawiyah terbaik yang pernah ada di abad modern kita ini adalah karangan Haekal Muhammad yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh sastrawan relijius Ali Audah, bukannya sirah nabawiyah karangan seorang ulama yang mendapat penghargaan dari rezim Su'udy. Sirah karangan ulama ini terlalu romantik dan penuh pujian sementara Haekal membedah secara sosio-historis).

Kuntowijoyo adalah pemikir yang cukup concern tentang hal ini. Bagi Mas Kunto, ada 3 strategi dasar gerakan Islam. Pertama, struktural/politik. Seperti memperjuangkan bagaimana caranya syariat menjadi hukum legal atau bagaimana hukum syar'i diakomidir ke dalam hukum positif. Masuknya aktivis gerakan islam ke politik memang bagus. (Tapi Kunto sejak awal tidak setuju dg adanya partai islam) Masuknya aktivis Islam dalam birokrasi adalah wujud dari gerakan ini. Kedua, strategi kultural/sosio-budaya. Pendidikan, kesenian, nasyid, sastra sufistik/relijius, peningkatan minat baca umat, da'wah ala Aa Gym yang berusaha untuk tetap tidak politis, majelis-majelis taklim, lahirnya LSM-LSM yang memperjuangkan keislaman maupun membawa ruh keislaman seperti PIRAC, CIDES, PPMI-nya Eggi Sudjana.

Ketiga, mobilitas sosial. Yaitu berkah dari semakin baiknya pendidikan umat Islam yang menghantarkan mereka ke penghidupan lebih layak dan kualitas hidup yang cukup baik. Semakin baiknya ekonomi umat lewat kewiraswastaan dan kemandirian umat. Hadirnya Dompet Dhu'afa, PINBUK. Dulu umat Islam identik dengan kemiskinan dan kedekilan. saat ini kelas menengah muslim sudah membesar. Tak heran saat ini pengajian-pengajian yang secara tradisional diadakan di masjid malah pindah ke hotel dengan peminat membludak. Pesantren kilat yang dulu hanya tren di kalangan menengah ke bawah, kini sudah menawarkan program-program variatif yang cukup mahal dan tetap dengan peserta membludak

Tampaknya kita masih terkungkung dengan paradigma bahwa isu-isu Islam hanyalah legalisasi syariat, jilbabisasi, Mungkin dalam hal ini Ulil benar bahwa ada kemalasan intelektual dalam diri umat untuk ikut nimbrung dalam isu-isu yang lebih menunjukkan Islam sebagai rahmat lil a'lamin.


Tapi yang ditakutkan oleh Mas Kunto adalah berkah keterbukaan ini. Aktivis gerakan Islam, atau muslim yang cukup concern dengan agamanya, pindah ke jalur struktural. Kalau dulu tersumbatnya jalur struktural membuat umat jadi kreatif dengan menghadirkan model gerakan yang variatif dan komplementer. Saat ini semua orang bicara tentang legalisasi syariat Islam, jilbabisasi. Perda anti Maksiat di Sumbar adalah contoh mengenaskan. Teks Perda-nya abstrak, minus parameter sehingga susah diimplementasikan di lapangan. Masyarakat juga tidak ambil pusing bila ada yang berjudi di kampungnya, toh itu urusan aparat. Hanya gerakan kultural lah yang bisa membantu jalannya Perda ini sehingga setiap orang concern terhadap masalah di lingkungannya.
Jilbabisasi. Sebuah contoh mikro. Seorang dosen mata kuliah Agama Islam di kampusku secara implisit mewajibkan mahasiswinya berjilbab. Kalau tidak, ada reduksi pada nilai mata kuliah tersebut.

Tekanan semacam itu rasanya tidak positif. Jilbab kemudian tereduksi menjadi hanya selembar kain tanpa ruh.
Soal jilbab memang bikin bingung. Masalahnya jadi diperumit dengan adanya pengaruh budaya pop sebagai akibat dari westernisasi yang mereduksi jilbab yang bermartabat itu menjadi jilbab gaul, jilbab café: berjilbab tapi tetap sexy. Kalau bicara secara minimalis memang ada baiknya semakin banyak yang berjilbab dan kemudian mulai perbaikan ke dalam diri. Tapi kalau tidak, memang yang tampak terjadi reduksi terhadap jilbab.

Dari kesemua ini memang tidak ada jawaban yang memuaskan. Pertanyaan yang lahir: apakah membesarnya kalangan menengah muslim saat ini adalah baik atau buruk karena setidaknya mereka tidak immune dari pengaruh westernisasi, media global dan budaya pop. Budaya Islam itu seperti apa sih? Apakah menegasikan diri secara tegas dengan budaya pop sehingga tidak boleh lagi bagi kita menonton TV yang banyak membawa budaya pop. Apakah budaya Islam selalu harus berarti nasyid? Tidak banyak yang tahu bahwa piano sebenarnya diciptakan oleh kaum muslim abad pertengahan, zaman keemasan Islam, dimana mudah menemukan mendapatkan seorang fisikawan atau sastrawan yang juga seorang ahli fiqh.

Satu lagi. Tampaknya kita masih terkungkung dengan paradigma bahwa isu-isu Islam hanyalah legalisasi syariat, jilbabisasi, Mungkin dalam hal ini Ulil benar bahwa ada kemalasan intelektual dalam diri umat untuk ikut nimbrung dalam isu-isu yang lebih menunjukkan Islam sebagai rahmat lil a'lamin. Seharusnya kita juga urun rembug perihal isu-isu gender, HAM, akuntabilitas publik terhadap birokrasi, parliament watch, hubungan industrial, hak-hak konsumen. Itu tidak hanya penting karena isu2 tsb menyangkut kepentingan banyak orang, tapi juga bahwa isu-isu tsb perlu dijaga agar tidak dipelintir sebagai non-Islam. Saat ini kalangan aktivis perempuan masih saja menyalahkan Islam sebagai penindas perempuan karena kenyataan sosiologis umat. Mungkin hal ini berangkat dari ketidaktahuan dan tidak familiarnya mereka dengan term-term Islam.

Maka disini tugas aktivis muslim untuk memperkenalkan Islam yang concern terhadap isu-isu tsb, menjadi PR sekaligus advokat terhadap Islam. Disini kita juga akan melihat bahwa isu legalisasi syariat Islam menjadi tidak relevan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Bagiku yang relevan adalah bagaimana moralitas Islam mewarnai isu-isu tersebut sehingga lebih mudah diterima oleh non-muslim. Kuncinya: apakah legalisasi syariat serta merta menyelesaikan semua masalah? Atau akomodasi syariat dalam hukum positif? Mungkin yg kedua lebih sulit karena dituntut kesabaran dan banyak anak muda muslim yg harus kuliah di FH dan memperjuangkan dari dalam. Seorang seniorku di FH pesimis dengan akomodasi ini. UU Perkawinan yg dibangga-banggakan Ulil tetap saja tidak mengakomodir syariah. Sekali lagi karena para perancang RUU tsb tidak familiar dan concern dengan syariah.

Satu lagi. Persoalan legalisasi syariah dipersulit dengan pengalaman bangsa ini thd pemberontakan DII/TII, isu terorisme dan ketidakmengertian thd wajah santun syariat. Ada yg bilang bahwa pasukan DII/TII yg membunuhi warga sipil sebenarnya adalah TNI-AD yang berkamuflase untuk merusak citra DII/TII di mata masyarakat. Tidak banyak yang tahu bahwa di Sulawesi Selatan, ketika dikuasai oleh pemberontak DI/TII, rumah-rumah tidak perlu di kunci di malam hari karena tegaknya hukum.

Sekian. Trims.

1 comment:

  1. Anonymous29.7.08

    too hard to read...huehehehe3....

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post