( MENGENANG 100 tahun Mohammad Natsir: semoga lahir Masyumi Baru, semoga lahir pemimpin umat sebaik pemimpin-pemimpin Masyumi)
Di tahun 70-an, Nurcholish Madjid pernah melontarkan gagasan "Islam, Yes! Partai Islam, No!". Menurut Cak Nur, bila ada partai Islam, maka aspirasi umat Islam akan terkotakkan ke satu partai, dalam konteks ini partai berlabel Islam saja, sebagaimana yang terjadi di era politik aliran di masa Orde Lama. Beliau juga menegaskan bahwa bila Partai Islam mengalami kebobrokan, maka yang tercoreng namanya adalah umat Islam secara keseluruhan. Bila tidak ada partai Islam, maka para tokoh-tokoh muslim akan mengalir ke semua partai dan bisa memperjuangkan aspirasi umat dari banyak arah. Gagasan ini, menurut saya adalah bagian dari tema besar pemikirannya tentang relasi "Keislaman dan Keindonesiaan"
Sebagaimana ide sekularisasi yang dilontarkan Cak Nur, umat Islam terutama kalangan puritan bereaksi keras terhadap gagasan ini. Beliau dituding hanyalah menjadi alat kekuasaan Orde Baru untuk "meninabobokan" aspirasi umat yang berharap muncul kembali partai Islam sekuat Masyumi di masa lalu.
Namun di kalangan intelektual muslim moderat, ide Cak Nur ini diterima tanpa reserve. Sebut saja Amien Rais, Abdurrahnman Wachid, Syafi'i Maa'rif, Kuntowijoyo dan generasi intelektual yang lebih muda. Itulah alasannya kenapa di awal berdirinya, Partai Amanat Nasional berasaskan Pancasila (baca: nasionalis) bukannya ideologi Islam. PAN dan PKB mengidentifikasikan dirinya sebagai partai sekuler, meski kemudian di bawah pengaruh AM Fatwa, PAN mengganti ideologinya menjadi ideologi Islam. Secara pragmatis, identifikasi diri sebagai partai sekuler dianggap tidak membantu partai ini mendulang suara dari luar basis tradisionalnya, anggota persyarikatan Muhammadiyah. Secara ideologis, label partai sekular ini membingungkan sebagian konstituen Muhammadiyah yang amat relijius.
Di saat aspirasi umat menguat untuk munculnya kembali partai Islam setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Kuntowijoyo menurunkan artikel bersambung di koran Republika yang mengangkat kembali gagasan Cak Nur di atas. Beliau melontarkan 10 alasan kenapa partai Islam tidak dibutuhkan. Pada dasarnya Kunto hanya mengelaborasi alasan Cak Nur.
Pertanyaannya adalah apakah gagasan "Islam, Yes! Partai Islam, No!" benar-benar bisa menjadi solusi tersumbatnya aspirasi umat di bidang politik? Apakah bisa mempercayakan aspirasi umat kepada para politisi beragama Islam dari partai-partai yang tidak berlabel Islam?
Menurut saya, yang menjadi masalah dari ketidakpercayaan terhadap partai-partai nasionalis untuk memperjuangkan aspirasi umat adalah kenyataan bahwa kita tidak bisa mempercayai moralitas sekuler. Sebagaimana watak sekulerisme, moralitas sekular amat pragmatis (yang dengan demikian amat mudah korup) dan tidak begitu bersahabat dengan agama.
Namun ada area abu-abu dalam diskursus ini. Pertama, salah satu dari alasan Kunto adalah bahwa bila ada partai Islam, maka energi dan sumber daya umat akan terforsir (terfokus) hanya ke bidang politik saja, sehingga bidang-bidang lain seperti ekonomi, pendidikan dan budaya akan kekurangan sumber daya manusia dari kalangan umat Islam. Apalagi saat ini dengan longgarnya aturan untuk mendirikan partai politik menyebabkan banyak tumbuh partai-partai politik baru yang secara ideologis hanyalah "sempalan" dari partai Islam yang sudah ada. Akibatnya, aspirasi umat akan lebih sulit lagi diperjuangkan menilik bahwa semakin terpecahnya partai Islam dan kenyataan bahwa partai-partai Islam baru itu didirikan oleh orang-orang yang keluar dari "partai induk"-nya karena kecewa.
Kedua, Partai Keadilan Sejahtera yang berusaha konsisten dengan moralitas relijiusnya ternyata lebih diterima karena memperjuangkan agenda yang lebih bersifat universal seperti pemerintahan yang bersih dan anti korupsi, bukan dengan memperjuangkan syariat Islam atau Piagam Jakarta sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Bintang Bulan. Agaknya memang agenda-agenda universal yang urgen ini mendapat skala prioritas tertinggi dalam "daftar aspirasi" umat Islam. [ ]
Di tahun 70-an, Nurcholish Madjid pernah melontarkan gagasan "Islam, Yes! Partai Islam, No!". Menurut Cak Nur, bila ada partai Islam, maka aspirasi umat Islam akan terkotakkan ke satu partai, dalam konteks ini partai berlabel Islam saja, sebagaimana yang terjadi di era politik aliran di masa Orde Lama. Beliau juga menegaskan bahwa bila Partai Islam mengalami kebobrokan, maka yang tercoreng namanya adalah umat Islam secara keseluruhan. Bila tidak ada partai Islam, maka para tokoh-tokoh muslim akan mengalir ke semua partai dan bisa memperjuangkan aspirasi umat dari banyak arah. Gagasan ini, menurut saya adalah bagian dari tema besar pemikirannya tentang relasi "Keislaman dan Keindonesiaan"
Sebagaimana ide sekularisasi yang dilontarkan Cak Nur, umat Islam terutama kalangan puritan bereaksi keras terhadap gagasan ini. Beliau dituding hanyalah menjadi alat kekuasaan Orde Baru untuk "meninabobokan" aspirasi umat yang berharap muncul kembali partai Islam sekuat Masyumi di masa lalu.
Namun di kalangan intelektual muslim moderat, ide Cak Nur ini diterima tanpa reserve. Sebut saja Amien Rais, Abdurrahnman Wachid, Syafi'i Maa'rif, Kuntowijoyo dan generasi intelektual yang lebih muda. Itulah alasannya kenapa di awal berdirinya, Partai Amanat Nasional berasaskan Pancasila (baca: nasionalis) bukannya ideologi Islam. PAN dan PKB mengidentifikasikan dirinya sebagai partai sekuler, meski kemudian di bawah pengaruh AM Fatwa, PAN mengganti ideologinya menjadi ideologi Islam. Secara pragmatis, identifikasi diri sebagai partai sekuler dianggap tidak membantu partai ini mendulang suara dari luar basis tradisionalnya, anggota persyarikatan Muhammadiyah. Secara ideologis, label partai sekular ini membingungkan sebagian konstituen Muhammadiyah yang amat relijius.
Gagal jadi Natsir Muda | Natsir Muda ! |
Di saat aspirasi umat menguat untuk munculnya kembali partai Islam setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Kuntowijoyo menurunkan artikel bersambung di koran Republika yang mengangkat kembali gagasan Cak Nur di atas. Beliau melontarkan 10 alasan kenapa partai Islam tidak dibutuhkan. Pada dasarnya Kunto hanya mengelaborasi alasan Cak Nur.
Pertanyaannya adalah apakah gagasan "Islam, Yes! Partai Islam, No!" benar-benar bisa menjadi solusi tersumbatnya aspirasi umat di bidang politik? Apakah bisa mempercayakan aspirasi umat kepada para politisi beragama Islam dari partai-partai yang tidak berlabel Islam?
Menurut saya, yang menjadi masalah dari ketidakpercayaan terhadap partai-partai nasionalis untuk memperjuangkan aspirasi umat adalah kenyataan bahwa kita tidak bisa mempercayai moralitas sekuler. Sebagaimana watak sekulerisme, moralitas sekular amat pragmatis (yang dengan demikian amat mudah korup) dan tidak begitu bersahabat dengan agama.
Namun ada area abu-abu dalam diskursus ini. Pertama, salah satu dari alasan Kunto adalah bahwa bila ada partai Islam, maka energi dan sumber daya umat akan terforsir (terfokus) hanya ke bidang politik saja, sehingga bidang-bidang lain seperti ekonomi, pendidikan dan budaya akan kekurangan sumber daya manusia dari kalangan umat Islam. Apalagi saat ini dengan longgarnya aturan untuk mendirikan partai politik menyebabkan banyak tumbuh partai-partai politik baru yang secara ideologis hanyalah "sempalan" dari partai Islam yang sudah ada. Akibatnya, aspirasi umat akan lebih sulit lagi diperjuangkan menilik bahwa semakin terpecahnya partai Islam dan kenyataan bahwa partai-partai Islam baru itu didirikan oleh orang-orang yang keluar dari "partai induk"-nya karena kecewa.
Kedua, Partai Keadilan Sejahtera yang berusaha konsisten dengan moralitas relijiusnya ternyata lebih diterima karena memperjuangkan agenda yang lebih bersifat universal seperti pemerintahan yang bersih dan anti korupsi, bukan dengan memperjuangkan syariat Islam atau Piagam Jakarta sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Bintang Bulan. Agaknya memang agenda-agenda universal yang urgen ini mendapat skala prioritas tertinggi dalam "daftar aspirasi" umat Islam. [ ]
Bung Sony, kenapa setiap mengutip partai Islam selalu mengikutsertakan Natsir? Seberapa hebatkah dan bagaimana ia berkiprah dahulu?
ReplyDeletetentu saja Natsier adl teladan sepanjang masa. Beliau anak didik Agus Salim, the grand old man of the republic. Memahami Barat & Timur sama baiknya. Meskipun sempat berpolemik dg Soekarno semasa pra-kemerdekaan tp nasionalismenya (dlm artian cinta tanah air)nya membuatnya menjadi penyokong Soekarno. Etika politik Natsier membuatnya dihormati kawan maupun lawan. Natsier jg penghubung Indonesia (informal) dg seluruh dunia Islam :)
ReplyDelete