1997
Untuk pertama kalinya aku (bersama teman-teman klub studi FP2WS) berkunjung ke Ciputat. Kunjungan ini dalam rangka Ekspedisi Ilmiah untuk mengisi liburan semester-an. Tradisi yang juga dilakukan ITQAN dan Darussalam Pos. Dalam daftar, kami menjelajahi Bandung & Jakarta: SMU Muthahhari, Ponpes Daaruttauhid, Yayasan Paramadina, ICMI, dan klub studi Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI). Sebenarnya masih ada beberapa tempat yang tercoret dalam daftar karena tidak dapat konfirmasi: Mizan Pustaka dan beberapa lembaga lainnya yang aku lupa.
Formaci saat itu bertempat di sebuah rumah kontrakan sederhana di dalam sebuah gang, beberapa ratus meter di timur Masjid Kampus IAIN Jakarta (UIN). Bagiku itu pertemuan yang menarik. Mereka menerima kami dengan baik. Lalu mengajak berdiskusi dalam beberapa topik. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan langsung dengan dunia pemikiran mahasiswa, meski pada dasarnya mentor-mentor kami adalah aktivis mahasiswa. Hampir tak ada rasa inferior. Bagiku, apa yang mereka baca tak jauh dengan kami, setidaknya sejauh mengenai jurnal Ulumul Qur’an, Islamika, Kalam, Basis, jurnal LP3ES dan publikasi terbatas lainnya.
2000
Seusai mengikuti UMPTN, aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti ujian masuk IAIN Syarif Hidyatullah. Saat itu gedung-gedungnya belum megah. Fakultas-fakultas umum belum banyak yang buka. Seingatku hanya jurusan manajemen, teknik informatika, MIPA dan psikologi. Satu-satunya jurusan yang prestise bagiku saat itu hanya Kelas khusus Studi Islam (multidisiplin) hasil kerjasama dengan Universitas Al-Azhar Cairo. Kelas ini hanya berkapasitas 40 orang setiap angkatan dengan pengantar Bahasa Arab dan peserta mendapat beasiswa. Tidak untuk sombong ku katakan bahwa aku melalui ujiannya dengan santai, hampir tanpa persiapan. Mungkin karena standar ujian di Gontor lebih tinggi. (Hanya seminggu aku di Ciputat, numpang di rumah kontrakan senior-senior Gontor. Ngobrol, hilir-mudik dengan sesama teman-teman Gontor, jalan-jalan keluar masuk gang, nonton anak-anak teater jalanan lagi latihan malam-malam di areal kampus IAIN)
Kelas khusus ini diperebutkan oleh alumni ratusan pesantren dan Madrasah Aliyah Program Khusus. Kalau tidak salah, kira-kira 19 dari 40 kursi itu berhasil diraih anak-anak Gontor. Aku salah satunya. Ketika aku lulus UMPTN di Akuntansi Unand, kutinggalkan kesempatan itu. Keputusan yang saat ini sedikit ku sesali, karena bertahun-tahun, formasi intelektualku tersendat di kota Padang. Hibernate.
Tapi di sisi lain, keputusan ini mungkin sedikit merubah posisiku dalam continuum keislaman. Andai saja aku kuliah di IAIN Jakarta, mungkin saat ini, sebagaimana teman-teman Formaci, aku menjadi bagian dari Jaringan Islam Liberal. Selama di Padang, aku cukup dekat dengan teman-teman Lembaga Dakwah Kampus meskipun untuk menjadi bagian di dalamnya aku merasa tak pantas. Bukan karena aku lebih baik dari mereka atau mereka lebih baik dariku. Tapi karena aku tidak ingin mereka bingung melihat tingkah polah keseharianku yang mungkin dalam pandangan mereka tidak Islamy. I’m complex. It’s not easy to understand my reasons.
Perkenalanku dengan teman-teman LDK memberiku cara pandang yang lebih adil, lebih empati. Tidak seperti orang-orang Islam Liberal yang menganggap mereka sebagai muslim yang gagal menangkap spirit Islam, aku menilai mereka bukan dari pandangan-pandangan keislamannya, tapi dari apa yang telah mereka perbuat demi kepentingan umat. Pemikir Islam moderat, Ismail Raji al-Faruqi, sebagaimana Muhammad Iqbal percaya bahwa Islam adalah agama yang menekankan pada tindakan, bukan pemikiran.
Padahal keduanya adalah filsuf. Anda bisa saja menganggap pemikiran anda yang paling canggih, paling benar, paling pamungkas. Tapi bila pemikiran itu hanya lebih banyak menimbulkan mudharat, meresahkan umat, maka pada dasarnya pemikiran anda sama sekali tidak berfungsi. Lebih parah lagi, bila anda hanya berputar-putar di tataran pemikiran saja, terjebak di ruang-ruang seminar dan diskusi.
Mereka yang berada dalam continuum keislaman moderat hingga kanan berkontribusi besar dalam pembentukan perekonomian syariah (Bank Muamalat, Rumah Zakat, Tazkia Institute, Karim Business Consulting dll); pengembangan lembaga zakat (Dompet Dhuafa, Yayasan Al-Falah Surabaya, Rumah Zakat); sekolah-sekolah umum berbasis Islam yang bermutu (Qaryah Thayyibah, Smart Eksklesia Indonesia, Insan Cendikia dll); pesantren-pesantren alternatif (Daarut Tauhiid, al-Bayan yang fokus pada eksakta, dll); LSM-LSM (Mer-C, Dinar, Lembaga Konsumen Jakarta, Bulan Sabit Merah Indonesia) dan lain-lain
Di lain sisi, kalangan Islam Liberal berhenti pada tataran pemikiran (JIL); memperjuangkan demokrasi liberal (Freedom Institute); menerbitkan buku-buku atas dukungan dana dari Ford Fondation dan lembaga Barat lainnya; memperjuangkan feminisme liberal dan kesetaraan gender (Puan Amal Hayati); universitas bebas (Paramadina); memperjuangkan Teologi Inklusif (Interfidei); yang kesemuanya hampir tak berakar pada umat Islam.
Mereka hanya memperjuangkan sebuah bentuk keislaman yang compatible dengan Barat Modern. Dalam bahasa yang paling kasar, keislaman yang compatible dengan demokrasi ala Barat dan ekonomi pasar neo-liberal. Meski mengaku memperjuangkan keragaman; inklusivisme; merayakan perbedaan; pada satu titik, mereka jatuh pada eksklusivisme yang menyatakan bahwa cara untuk membangun peradaban Islam adalah cara yang compatible dengan pola pikir Barat. Bahwa Barat satu-satunya kebenaran. Padahal dalam logika inklusif, kita harus bisa menerima dua dunia dengan dua logika berbeda, menganggapnya sebagai harmoni, bukan 2 hal yang bermusuhan.
Dengan analogi dunia komputer ingin aku contohkan bahwa Windows dan Unix atau closed-source software (atau propietary software) dan open-source software (atau free software) adalah 2 dunia dengan logikanya masing-masing. Windows lahir dengan menekankan pada user-friendly, kemudahan pemakaian. Sementara Unix dan Unix Clone (Linux, BSD, Solaris, SPARC) lahir dengan menekankan pada keamanan.
2008
Akhirnya aku kembali ke sini. Ke Ciputat. Aku mengenalinya seperti aku mengenali Kelurahan Jati, kampung halamanku di Padang. Aku mengenali labirin gank-gank hingga jalan-jalan utamanya. Aku tahu rumah-rumah mana atau gedung-gedung mana saja yang baru berdiri.
Aku seperti kembali ke rumah..
kucing pemilik kontrakan:
selalu datang bila ku pulang
Catatan kecik :
Untuk pertama kalinya aku (bersama teman-teman klub studi FP2WS) berkunjung ke Ciputat. Kunjungan ini dalam rangka Ekspedisi Ilmiah untuk mengisi liburan semester-an. Tradisi yang juga dilakukan ITQAN dan Darussalam Pos. Dalam daftar, kami menjelajahi Bandung & Jakarta: SMU Muthahhari, Ponpes Daaruttauhid, Yayasan Paramadina, ICMI, dan klub studi Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI). Sebenarnya masih ada beberapa tempat yang tercoret dalam daftar karena tidak dapat konfirmasi: Mizan Pustaka dan beberapa lembaga lainnya yang aku lupa.
Formaci saat itu bertempat di sebuah rumah kontrakan sederhana di dalam sebuah gang, beberapa ratus meter di timur Masjid Kampus IAIN Jakarta (UIN). Bagiku itu pertemuan yang menarik. Mereka menerima kami dengan baik. Lalu mengajak berdiskusi dalam beberapa topik. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan langsung dengan dunia pemikiran mahasiswa, meski pada dasarnya mentor-mentor kami adalah aktivis mahasiswa. Hampir tak ada rasa inferior. Bagiku, apa yang mereka baca tak jauh dengan kami, setidaknya sejauh mengenai jurnal Ulumul Qur’an, Islamika, Kalam, Basis, jurnal LP3ES dan publikasi terbatas lainnya.
2000
Seusai mengikuti UMPTN, aku berangkat ke Jakarta untuk mengikuti ujian masuk IAIN Syarif Hidyatullah. Saat itu gedung-gedungnya belum megah. Fakultas-fakultas umum belum banyak yang buka. Seingatku hanya jurusan manajemen, teknik informatika, MIPA dan psikologi. Satu-satunya jurusan yang prestise bagiku saat itu hanya Kelas khusus Studi Islam (multidisiplin) hasil kerjasama dengan Universitas Al-Azhar Cairo. Kelas ini hanya berkapasitas 40 orang setiap angkatan dengan pengantar Bahasa Arab dan peserta mendapat beasiswa. Tidak untuk sombong ku katakan bahwa aku melalui ujiannya dengan santai, hampir tanpa persiapan. Mungkin karena standar ujian di Gontor lebih tinggi. (Hanya seminggu aku di Ciputat, numpang di rumah kontrakan senior-senior Gontor. Ngobrol, hilir-mudik dengan sesama teman-teman Gontor, jalan-jalan keluar masuk gang, nonton anak-anak teater jalanan lagi latihan malam-malam di areal kampus IAIN)
Kelas khusus ini diperebutkan oleh alumni ratusan pesantren dan Madrasah Aliyah Program Khusus. Kalau tidak salah, kira-kira 19 dari 40 kursi itu berhasil diraih anak-anak Gontor. Aku salah satunya. Ketika aku lulus UMPTN di Akuntansi Unand, kutinggalkan kesempatan itu. Keputusan yang saat ini sedikit ku sesali, karena bertahun-tahun, formasi intelektualku tersendat di kota Padang. Hibernate.
Tapi di sisi lain, keputusan ini mungkin sedikit merubah posisiku dalam continuum keislaman. Andai saja aku kuliah di IAIN Jakarta, mungkin saat ini, sebagaimana teman-teman Formaci, aku menjadi bagian dari Jaringan Islam Liberal. Selama di Padang, aku cukup dekat dengan teman-teman Lembaga Dakwah Kampus meskipun untuk menjadi bagian di dalamnya aku merasa tak pantas. Bukan karena aku lebih baik dari mereka atau mereka lebih baik dariku. Tapi karena aku tidak ingin mereka bingung melihat tingkah polah keseharianku yang mungkin dalam pandangan mereka tidak Islamy. I’m complex. It’s not easy to understand my reasons.
Perkenalanku dengan teman-teman LDK memberiku cara pandang yang lebih adil, lebih empati. Tidak seperti orang-orang Islam Liberal yang menganggap mereka sebagai muslim yang gagal menangkap spirit Islam, aku menilai mereka bukan dari pandangan-pandangan keislamannya, tapi dari apa yang telah mereka perbuat demi kepentingan umat. Pemikir Islam moderat, Ismail Raji al-Faruqi, sebagaimana Muhammad Iqbal percaya bahwa Islam adalah agama yang menekankan pada tindakan, bukan pemikiran.
Padahal keduanya adalah filsuf. Anda bisa saja menganggap pemikiran anda yang paling canggih, paling benar, paling pamungkas. Tapi bila pemikiran itu hanya lebih banyak menimbulkan mudharat, meresahkan umat, maka pada dasarnya pemikiran anda sama sekali tidak berfungsi. Lebih parah lagi, bila anda hanya berputar-putar di tataran pemikiran saja, terjebak di ruang-ruang seminar dan diskusi.
Mereka yang berada dalam continuum keislaman moderat hingga kanan berkontribusi besar dalam pembentukan perekonomian syariah (Bank Muamalat, Rumah Zakat, Tazkia Institute, Karim Business Consulting dll); pengembangan lembaga zakat (Dompet Dhuafa, Yayasan Al-Falah Surabaya, Rumah Zakat); sekolah-sekolah umum berbasis Islam yang bermutu (Qaryah Thayyibah, Smart Eksklesia Indonesia, Insan Cendikia dll); pesantren-pesantren alternatif (Daarut Tauhiid, al-Bayan yang fokus pada eksakta, dll); LSM-LSM (Mer-C, Dinar, Lembaga Konsumen Jakarta, Bulan Sabit Merah Indonesia) dan lain-lain
Di lain sisi, kalangan Islam Liberal berhenti pada tataran pemikiran (JIL); memperjuangkan demokrasi liberal (Freedom Institute); menerbitkan buku-buku atas dukungan dana dari Ford Fondation dan lembaga Barat lainnya; memperjuangkan feminisme liberal dan kesetaraan gender (Puan Amal Hayati); universitas bebas (Paramadina); memperjuangkan Teologi Inklusif (Interfidei); yang kesemuanya hampir tak berakar pada umat Islam.
Mereka hanya memperjuangkan sebuah bentuk keislaman yang compatible dengan Barat Modern. Dalam bahasa yang paling kasar, keislaman yang compatible dengan demokrasi ala Barat dan ekonomi pasar neo-liberal. Meski mengaku memperjuangkan keragaman; inklusivisme; merayakan perbedaan; pada satu titik, mereka jatuh pada eksklusivisme yang menyatakan bahwa cara untuk membangun peradaban Islam adalah cara yang compatible dengan pola pikir Barat. Bahwa Barat satu-satunya kebenaran. Padahal dalam logika inklusif, kita harus bisa menerima dua dunia dengan dua logika berbeda, menganggapnya sebagai harmoni, bukan 2 hal yang bermusuhan.
Dengan analogi dunia komputer ingin aku contohkan bahwa Windows dan Unix atau closed-source software (atau propietary software) dan open-source software (atau free software) adalah 2 dunia dengan logikanya masing-masing. Windows lahir dengan menekankan pada user-friendly, kemudahan pemakaian. Sementara Unix dan Unix Clone (Linux, BSD, Solaris, SPARC) lahir dengan menekankan pada keamanan.
2008
Akhirnya aku kembali ke sini. Ke Ciputat. Aku mengenalinya seperti aku mengenali Kelurahan Jati, kampung halamanku di Padang. Aku mengenali labirin gank-gank hingga jalan-jalan utamanya. Aku tahu rumah-rumah mana atau gedung-gedung mana saja yang baru berdiri.
Aku seperti kembali ke rumah..
kucing pemilik kontrakan:
selalu datang bila ku pulang
Catatan kecik :
- Formaci mungkin klub studi yang paling banyak melahirkan aktivis JIL. Ihsan-Ali Fauzi, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ali Munhanif, Buddy-Munawwar Rachman, dkk. Di tahun 1996, mereka pernah menerbitkan buku “Mencari Islam”, sebuah kumpulan otobiografi perjalanan intelektual kaum muda muslim Indonesia. Kecuali Miranda Risang Ayu, Nurul Agustina, Syamsurizal Pangabean dan Yudi Latief, penulis-penulis otobiografi dalam buku itu adalah pendiri atau anggota Formaci. Dan rata-rata mereka jenuh dengan organisasi kemahasiswaan semacam HMI yang nyaris terjebak dalam aktivisme minus intelektualisme. Nama-nama diatas bisa anda cari via Google.
- Saat ini JIL mendapatkan lawan yang cukup sepadan kapasitas intelektualnya: INSIST. Sayangnya minim publikasi atau kurang concern terhadap publikasi. INSIST ditukangi banyak alumni Gontor. Sementara di JIL sendiri ada 1 -2 alumni Gontor. Hmmm.. we agree to disagree, friends..
- Rentang usia penulis otobiografi dalam Mencari Islam, berusia 26 - 35 tahun saat menulis otobiografi. Contohnya, Miranda Risang Ayu kelahiran 1968. Aku sangat takjub dengan kapasitas intelektual yang mereka tunjukkan lewat buku itu. Dalam usiaku yang 15 tahun saat itu, aku membayangkan (dan berharap) dapat mencapai kapasitas intelektual semacam itu dalam usia mereka (26-an). Ah, jauh panggang dari api.
- Buku Mencari Islam-ku itu dipinjam oleh seseorang yang mencintaiku setulus hati. Yang cintanya tak kusadari karena tak terucapkan hingga saat ia dilamar oleh seorang pria. Mencari Islam dan beberapa buku lainnya terjaga dan tersimpan rapi di rumahnya. Bila ku perlu, akan ku pinjam :)
- Para pemikir cenderung tidak mampu menangkap isyarat-isyarat cinta harfiah, cinta seorang gadis. Mungkin mereka terlalu substantif, terlalu berkutat pada bentuk cinta transenden dan cinta universal. Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, bahkan mungkin Plato ( dan Himawan :p )mengalaminya.
- Nong Darul Mahmada adalah salah satu anggota Formaci yang menerima kami saat kunjungan di tahun 1997. Saat itu ia masih berjilbab, entah karena menyakini jilbab sebagai pakaian muslimah atau hanya sekedar kewajiban sebagai mahasiswa IAIN. Anak kyai sebuah pesantren di Jabar ini sekarang adalah aktivis JIL dan feminis muslim liberal. Aku tak mengerti kenapa banyak feminis muslim liberal menggangap jilbab sebagai sesuatu yang deliberate. Miranda Risang Ayu secara tegas menyatakan bahwa jilbab adalah sesuatu yang malah membebaskan. Ia yang mantan penari kelas Istana Negara, kemudian menciptakan tarian-tarian yang menampilkan estetika kain, menggantikan estetika tubuh. Alternatif terhadap mainstream tari yang berkiblat ke Barat.
- Nong Darul Mahmada bagiku hanya seperti Irshad Manji. Kapasitas intelektual-nya diragukan meski mendapat beasiswa studi ke Amerika (atas dukungan donator JIL tentunya). Mungkin ia hanya sekedar aktivis, bukan intelektual.
- Aku cukup dekat dengan anak-anak Forum Studi Islam (FSI) FE Unand. Bahkan di tahun pertama kuliah, mereka mengundangku menghadiri Musyawarah Kerja. Uniknya, mereka mendaulatku untuk memimpin Rapat Pleno (Ketua III). Lucu juga. Sempat kagok. Soalnya di Gontor, dalam acara semacam itu (Muker Ramadhan), aku hanya tampil sebagai “pengganggu.” Yang memimpin rapat-rapat, biasanya pemimpin politik, bukan pemimpin intelektual. Hattchiinnn…
Untuk orang yang tertarik mendalami Islam secara intelektual, ciputat adalah pilihan yang tepat untuk dikunjungi. pemikiran keagamaan di sana berkembang, dan didukung oleh berbagai lembaga diskusi macam Formaci. Di sini ada tiga orang teman sekuliah yang aktif, mereka semua juga aktif di JIL, Paramadina, dan Freedom Institute. Saya jarang mendapati orang Gontor di sana, apa mungkin karena saya juga sudah tidak terpikir untuk ke sana lagi. Yang jelas, meskipun saya sering mendengar kabar miring tentang mereka, tapi ingatan saya mengenai suasana diskusi dengan anak-anak Formaci cukup baik, (yah kadang-kadang mereka juga punya kelemahan di Bahasa Inggris, dan kecurigaan terhadap umat Islam secara berlebihan, tapi kemauan belajar mereka bagus).
ReplyDeleteSebenarnya, fenomena Islam Liberal yang tumbuh di UIN tidak terlepas dari orientasi universitas yang tidak jelas. Dibandingkan dengan mereka yang lulus dari perguruan negeri lain semacam UI, ITB dan UGM, keberadaan alumni UIN di masyarakat bukan apa-apa. Apalagi bila dibandingkan dengan kesempatan pekerjaan yang ada, paling sebatas pengajar, atau paling mentok ya aktivis. Jarang yang berkecimpung di dunia kerja yang umum kita kenal sekarang. Tentang hal ini, saya sering teringat celotehan yang mengatakan, kok mahasiswa ITB itu lebih religius daripada mahasiswa UIN? Seakan-akan, UIN itu tujuannya untuk mencetak orang-orang religius, sedangkan ITB tidak. Atau mungkin terdapat dikotomi, anak ITB yang sekuler itu memang sepantasnya unggul di bidang teknik dan UIN di bidang agama. Lalu buat apa kamu masuk UIN kalau tidak jadi ustadz. Jadi, perbandingan demikian hanya untuk menjelaskan keunggulan sepihak dari ITB, yang selain unggul di bidang sekuler juga di bidang agama.
Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari pandangan masyarakat terhadap agama yang sebelah mata. Dilihat dari sudut pandang manapun, mereka yang masuk PTN terfavorit adalah orang-orang yang, kalau tidak secara intelektual excellent, pasti orang-orang kaya dan berada. Sedangkan yang masuk ke UIN dan perguruan tinggi Islam lainnya ya orang-orang terpinggirkan. Selain itu media massa kita dan opini publik yang ada, jarang yang berpihak kepada "UIN". Kata masyarakat, untuk apa sih masuk UIN?
Di Hidayatullah, juga banyak kritik mengenai moral mahasiswa UIN yang katanya sudah tercemar. Dalam sebuah milist saya pernah mengkritik hal tersebut yang tak lain daripada masyarakat kita yang secara moril juga telah tercemar. Dan mahasiswa UIN tampaknya pula tidak imun terhadap hal tersebut. Di sini, kita dihadapkan pada dua kelemahan utama UIN sebagi lembaga: Pertama, wibawa mereka kecil sekali di tengah masyarakat dan dunia industri. Kedua, otoritas keilmuan Islam hampir-hampir lepas darinya. Tidak terlalu digubris.
Lalu, apa hubungan itu semua dengan Islam Liberal? Pertama, mungkin mereka hendak melapaskan diri dari segenap inferioritas UIN. Jelas UIN sebagai lembaga membutuhkan kebanggaan, dan tampaknya intelektualisme Islam adalah sebuah pilihan, karena mereka menguasainya. Dan sepertinya juga hal ini yang tidak terbaca dari wacana Islam Liberal. Bila demikian, apakah fenomena Islam Liberal sendiri menjadi sebuah isu yang merugikan umat Islam? Di satu pihak ya, karena tidak ada kontribusi apapun bagi ummat. Tapi, apa itu kontribusi? Yang materiilkah, intelektuilkah atau yang religius? Saya rasa setiap institusi memiliki sebuah reason untuk berada, penilaian kegagalan kontribusi institusi yang bersangkutan sudah seharusnya diukur dari tingkat keberhasilannya memenuhi reason tersebut. Dan saya rasa, organisasi semacam Formaci telah memenuhi reason keberadaannya.
Sebenarnya pula ada kekhawatiran dari orang-orang Formaci tentang etos keilmuwan mahasiswa UIN yang semakin hari semakin terkikis oleh budaya konsumerisme ala kapitalis. Budaya membaca mulai tergantikan oleh budaya melihat, isu-isu menjadi semakin ringan dan cenderung pop. Apa ini sebuah kesalahan? ketika orang lebih tertarik kepada ceramah pop massal ala Jeffri al-Buchori, AA Gym dan karya-karya yang jarang bersentuhan dengan akar masalah, apakah ini jauh lebih baik daripada budaya diskusi yang menyimpang dan menyempal? Saya tidak tahu. Tapi yang saya sayangkan, baik pada diri orang-orang Islam Liberal dan mereka yang menamakan diri sebagai lawan dari ideologi ini, keduanya cenderung menutup diri terhadap dialog. Saya rasa justru inilah letak kesalahan yang paling parah.
Menurutmu Son, kira-kira apa hubungan fenomena ini dengan kebudayaan (lebih tepat "peradaban") kata-kata sesuai teorimu? Apa itu masih berarti di tengah pengabaian kultur yang tidak memihak ( saya rasa lembaga-lembaga seperti (Bank Muamalat, Rumah Zakat, Tazkia Institute, Karim Business Consulting, Dompet Dhuafa, Yayasan Al-Falah Surabaya, Rumah Zakat, Qaryah Thayyibah, Smart Eksklesia Indonesia, Insan Cendikia, Daarut Tauhiid, al-Bayan, Mer-C, Dinar, Lembaga Konsumen Jakarta, Bulan Sabit Merah Indonesia, adalah lembaga-lembaga alternatif yang tidak mengakar dalam di Indonesia)? Dan persoalan sosial, lapangan pekerjaan, taraf hidup yang rendah? Akhirnya juga kita malah bertengkar dengan sesama. Ah Ciputat, ternyata engkau adalah kampung.
kerapian dpt nilai 9, pertanyaan di paragraf akhir dpt nilai 10. Sial ! Susah jwbnya tauuuu :p
ReplyDeleteLebaran dulu aaaah...
overall, we love Ciputat, rite ?