21.9.08

when East meets West (2) [new footnote added]

The good word like good tree
Whose root is firmly fixed
And whose top is in the sky

( the Qur’an 14 : 24 )



Peradaban umat Islam mencapai puncak kejayaannya pada zaman khalifah Harun al-Rasyid yang memerintah Dinasti Abbasiyah dari Baghdad. Dipilihnya Baghdad sebagai ibukota mungkin karena alasan geopolitik. Dinasti Abbasiyah berusaha mengurangi pengaruh Damsyiq / Damascus (bekas ibukota Dinasti Ummayah yang digulingkan pendiri Dinasti Abbasiyyah) dan Hijaz (Makkah dan Madinah). Baghdad berada persis di tengah-tengah wilayah kekuasaan umat Islam yang melengkung bak bulan sabit mulai dari Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Barat Daya atau Anak Benua Asia, hingga mencapai tembok Cina. Pengaruh Islam bahkan menembus tembok pertahanan itu. Maka tidak heran Cina Barat (Hunan, Xinjiang dll) sudah menerima Islam bahkan sejak abad pertama hijriyyah. Satu hadits Nabi saja sudah cukup untuk menembus tembok yang tampak jelas dari stasiun luar angkasa itu. Utlubul 'ilma walau bisshiin. Tuntulah ilmu bahkan hingga ke negeri Cina.

Sebagai kota kosmopolitan, Baghdad saat itu digambarkan para sejarawan sama kayanya dengan San Fransisco saat ini. Saya sendiri tidak mengerti apa yang mereka maksud. Sama kaya dalam arti materi atau sama cantiknya dengan kota romantis itu ? Tapi setidaknya ada rujukan lain yang lebih mudah kita mengerti: roman 1001 Malam. Konon roman itu didedikasikan untuk memuji zaman keemasan khalifah Harun. Bagi saya itu cara spektakuler untuk memuja keindahan. Teknik menulis ala 1001 Malam hampir tak tertandingi hingga saat ini.

Sebagai mercusuar pengetahuan, Baghdad dipenuhi dengan para saintis dan ulama dari seluruh penjuru kawasan. Khalifah Harun al-Rasyid membuka istananya lebar-lebar untuk menghormati orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada pengetahuan. Madrasah atau Ja’miah al-Hikmah menjadi tujuan para penuntut ilmu baik dari kawasan-kawasan Islam bahkan Eropa. Sistem tata kota Baghdad mempunyai teknik planologi terbaik di zamannya. Bahkan lebih baik dari teknik planologi kota-kota Imperium Romawi. Rumah sakit, laboratorium, observatorium, perpustakaan, pemandian umum, dan tempat peristirahatan bagi para pelancong tertata dan terawat dengan amat baik. Pos-pos peristirahatan juga tersedia di jalur-jalur penting yang menjadi urat nadi antar kawasan. Para musafir dapat berjalan dengan aman di malam hari karena khalifah begitu adil dan berwibawa.

Gerakan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani yang telah dimulai sejak abad 2 Hijriyyah telah mencapai titik kulminasi di era keemasan ini. Para warraqah atau penerjemah itu bukan sekedar menerjemahkan buku semata. Mereka menambahkan begitu banyak catatan kaki yang amat kaya di buku-buku terjemahan mereka. Mereka seperti ensiklopedi hidup karena begitu rajin membaca. Bahkan tidak jarang para ilmuwan meminta pendapat mereka sebagai rujukan. Tidak salah Ziauddin Sardar menamakan peradaban Islam sebagai peradaban buku. Lebih dari itu, mengutip Himawan sekaligus Annemarie Schimmel, Islam lahir dengan mukjizat literal, kata-kata. Al-Qur’anul Karim. Bacaan Mulia. Peradaban kata-kata.

Eropa pada saat itu masih berada pada zaman kegelapan. Klenik, mitologi Yunani, kepercayaan Eropa kuno semacam Gothic, dan paganisme Romawi berkelindan dengan ajaran Kristen. Kaum Gereja menggunakan otoritas keagamaannya untuk memberangus apapun yang dianggap bertentangan dengan Injil atas nama agama. Pun, di balik besarnya otoritas itu, tersembunyi banyak penyimpangan-penyimpangan, baik penyimpangan politik, keuangan hingga seksual.

Sebagai penguasa yang bergelar Amirul Mukminin, Pemimpin Kaum Beriman, Khalifah Harun al-Rasyid mengadakan kontak-kontak diplomasi dengan penguasa-penguasa lain, bahkan hingga Eropa. Khalifah pernah mengirimkan duta diplomasi ke raja Perancis, Charlemagne. Duta itu kemudian menyerahkan hadiah dari Khalifah berupa JAM AIR. Orang-orang Eropa terperangah menyaksikan keajaiban saintis itu. Mereka menganggapnya sebagai sihir. Superioritas Timur mengatasi inferioritas Barat

Sejak saat itu semakin banyak pelajar-pelajar dari Eropa datang ke mercusuar-mercusuar peradaban Islam seperti Baghdad dan Cordoba / Cordova di Andalusia untuk menuntut ilmu. Konon, mereka yang menuntut ilmu dari filsuf Ibnu Rusydi di Andalusia kemudian menjadi guru bagi para eksponen gerakan Revolusi Perancis.

Ketika Timur meredup setelah serangan Hulagu dan lahirnya Imam al-Ghazali, Barat pun mulai memasuki Zaman Pencerahan (Aufklarung). Zaman yang ditandai dengan Revolusi Perancis yang berdarah-darah. Barat membayar teramat mahal untuk pencerahan itu: sekularisme dan materialisme berkecambah. Injil tercabik-cabik. [ ]


Catatan kecik :
  • Peradaban Islam dijuluki peradaban buku atau peradaban kata-kata. Musik memang kurang mendapat tempat. Tapi bukan berarti tidak diterima. Piano adalah ciptaan masa keemasan itu. Gitar Arab adalah gitar dengan notasi rumit. Konon, seorang gitaris legendaris Amerika merasa perlu bermukim berbulan-bulan di tenda-tenda kaum badui Arab hanya untuk belajar gitar. Kaum Badui hampir imun dengan pengaruh-pengaruh luar. Mereka menjaga tradisi Islam dengan cukup baik, termasuk kefasihan berbahasa. Itu juga sebabnya kenapa ibu nabi Muhammad menyerahkan pengasuhan Muhammad kecil kepada Halimah as-Tsa’diyyah. Demi kefasihan bahasa, keluhuran akhlak dan udara yang bersih.
  • Seni lukis memang tidak sepenuhnya diadopsi peradaban Islam. Beberapa kalangan memandang melukis makhluk hidup sebagai haram. Karenanya teknik lukis kurang berkembang. Tapi sebagai kompensasinya teknik kaligrafi atau menulis indah dan lukisan-lukisan geometris-astronomis berkembang pesat. Semua peninggalan ini bisa kita temukan di mesjid-mesjid kuno di kota Baghdad, Cairo, Ishafan, Khurasan, Damaskus, Istanbul dan lain-lain. Sayangnya, rudal-rudal Sekutu saat Perang Teluk II telah menghancurkan banyak warisan dunia itu (world heritage) di Baghdad. Dasar Hulagu !
  • Warraqah secara harfiah berarti tukang daun atau tukang kertas. Anda bisa bayangkan zaman pra-mesin cetak, semua buku ditulis tangan. Mereka amat sibuk. Dan apa yang mereka tulis tertanam dalam-dalam di benak karena terus menulis berulang kali. Ah, andai saja Gutenberg lahir saat itu, mungkin ia takjub dengan persistensi mereka.
  • Peradaban Islam sama sekali tidak mengadopsi teater Yunani karena berkelindan dengan mitologi, bertentangan dengan Tauhid.
  • Istilah UNIVERSITY pada dasarnya adalah adopsi dari bahasa Arab, JAMI'AH. Pengumpul atau kumpulan.
  • Untuk memahami detil-detil masa keemasan Islam, bisa dibaca buku-buku Watt Montgomery. Orientalis ini berpendapat bahwa Barat banyak berhutang budi pada peradaban Islam.
  • Menurut Cak Nur, sejak lahirnya, agama Islam sudah menunjukkan watak kosmopolitannya. Bahkan Islam lahir dari kota kosmopolitan Makkah. Kosmopolitan memandang seluruh wilayah bumi ini sebagai satu kesatuan integral. Bahwa semua manusia, terlepas dari perbedaan ras, etnik dan agama adalah sama dan sejajar. Watak ini menggerakkan kaum muslimin untuk menjadi penjelajah ke seluruh dunia. Sebelum Marcopolo, Colombus dan penjelajah Eropa lainnya, sejarah sudah mencatat nama para penjelajah semacam Ibn Batutah. Bedanya, para penjelajah muslim menjelajah atas dorongan ilmu pengetahuan dan menyertai perjalanannya dengan buku harian yang amat informatif, sementara penjelajah Barat didorong oleh kolonialisme, kebutuhan bahan baku industri, kapitalisme dan missi (gospel, gold, glory)
  • Kompas ditemukan oleh kaum muslimin, bukan Cina, bukan Eropa. Ilmu navigasi laut umat Islam bahkan lebih maju dari Eropa. Kalau tidak, bagaimana mungkin, penjelajah muslim bisa menemukan benua Amerika sebelum Columbus. Sekali lagi, misi penjelajah muslim adalah pengetahuan, misi Colombus adalah penjajahan !
  • Islam di Jawa adalah suatu anomali dalam penyebaran Islam. Islam pada dasarnya cocok untuk watak kota dan pesisir. Sementara pusat-pusat kekuasaan di Jawa berada di pedalaman atau watak desa: Majapahit, Pajang dan Mataram. Nyaris terisolasi dari pengaruh-pengaruh luar Jawa. Dapat dipahami kenapa Islam di Jawa amat minim intelektualisme, bahkan berkelindan klenik. Watak kota digerakkan oleh unit-unit ekonomi yang rasional. Sementara watak desa digerakkan oleh nilai-nilai agraris yang tergantung pada kemurahan alam. Desa amat sensitif dengan masalah banjir, badai dan gagal panel. Maka, dalam kerangka berpikir ini, Islam amat cocok dengan rasionalitas.
  • Ketika Imam al-Ghazali di Mesir menerbitkan masterpiece-nya Ihya Ulumuddin yang menggetarkan itu, Raja Jayabaya di Jawa menerbitkan Ramalan Jayabaya-nya yang amat dipengaruhi oleh klenik. Anda bisa lihat begitu jauh perbedaan tingkat intelektualisme keduanya.
  • Gelar Amirul Mukminin sudah dipakai sejak Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Para penguasa dinasti-dinasti muslim menggunakannya atas alasan politis: bahwa mereka berhak mewarisi otoritas/wibawa Khulafaur Rasyidin itu (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali)
  • Tidak kurang dari Cak Nur sendiri “mencurigai” Imam al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran peradaban Islam. Filsuf, ahli syariah, sufi ini dijuluki Hujjatul Islam. The Ultimate Spokeperson of Islam. Beliau memberikan jawaban-jawaban pamungkas untuk semua masalah agama di zamannya. Saking pamungkasnya, tidak ada lagi persoalan agama yang perlu diutak-atik. Semua sudah ada jawabannya. Syariah dan Tasawwuf sudah berhasil didamaikan. Pintu ijtihad sudah ditutup. Paska sang Hujjatul Islam, tak ada masterpiece yang terbit. Gerakan penulisan buku terbatas pada syarah yaitu menjelaskan isi buku yang sudah ada. Dan lebih parah lagi lahir pula syarah ‘ala syarah. Penjelasan terhadap penjelasan. Benar-benar tidak bermutu. Hingga datang Mujaddid abad 18 M dan Bapak Pan-Islamisme dari Afghanistan: Jamaluddin al-Afghany. Tapi pendapat Cak Nur ini dibantah oleh banyak pemikir.
  • Polemik Imam al-Ghazali vs Ibn Rusydi adalah peninggalan amat berharga bagi generasi kita. Dua raksasa pengetahuan yang canggih! Disini kita melihat bahwa sebuah argumentasi seharusnya dilawan dengan argumentasi juga, bukan dengan memberangus penerbitan atau membakar buku. Imam al-Ghozali mengkritik para filsuf dengan menerbitkan Tahafutul Falasifa (Dusta para filsuf) dari Mesir. Sementara Ibn Rusydi dari Andalusia (Spanyol kini) menerbitkan Tahafutut Tahafut (Dustanya buku Dusta).
  • Sebagaimana Imam al-Ghazali, Ibnu Rusydi selain dikenal sebagai filsuf juga ahli syariah. Salah satu masterpiece-nya di bidang fiqh adalah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Buku ini diajarkan di kelas di Gontor. Bagi saya, buku ini seperti manual untuk berijtihad bagi orang-orang tolol seperti saya. Mereka yang baca buku ini bakal berani berijtihad. Jadi, sementara Imam al-Ghazali menyediakan semua jawaban pamungkas, Ibn Rusydi memberikan tutorial untuk memproduksi jawaban pamungkas. Keduanya emang sering bertolak belakang. Seru !
  • Aduuuuh, kok lupa ya nyebutin Abu Nawas atau Abu Nuwas, jokernya Khalifah Harun. Pria eksentrik yang lagaknya lucu, konyol, sinting, sableng tapi sebenarnya ia itu filsuf+sufi. Tokoh ini benar-benar legendaris. Di Turki ia disebut Nasruddin atau Hoja. Di Persia, ia dipanggil Mullah. Ia mirip tokoh Ki Sudrun-nya Emha Ainun Najib. Oh, iya. Emha yang mirip dia. Mmm.. tunggu dulu, Andrea Hirata sebenarnya mirip Abu Nawas. Baca wiki-nya aja deeeh.
  • JAM AIR? Saya pernah lihat. Tapi lupa di ensiklopedi, di Munjid atau di mana yaa ? Googling aja ndiiri..

4 comments:

  1. Anonymous22.9.08

    ck..ck..ck..
    luar biasa..

    ReplyDelete
  2. Dear Sonny,
    Untuk mengatakan bahwa kemajuan Barat merupakan hasil dialektika mereka dengan peradaban Islam, sebenarnya terlalu berlebihan. Kemajuan Barat sendiri, dalam banyak hal juga merupakan hasil dari dialektika yang berkembang di antara mereka. Setelah reconquista, nyaris tidak ada jejak ilmu pengetahuan warisan peradaban Islam yang tumbuh berkembang di Spanyol, warisan itu malah berpindah jauh ke pangkal semenanjung Italia di Venezia dan memicu Renaissance. Sementara keadaan Spanyol, dalam satu dan lain hal lebih mirip keadaan Islam di Baghdad yang jatuh kedalam fanatisme beragama yang parah. Kemajuan ilmu pengetahuan yang seringkali berjalan seiring dengan kemakmuran masyarakat berkembang pesat di Italia, di sini mereka mengalami kutukan dari kemajuan ekonomi yang berlimpah itu, korupsi. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan tetap mengalami kemajuan yang pesat. Di sinilah proses penerjemahan buku-buku Arab berlangsung. Rupanya pula, kemunduran moral masyarakat Itali tersebut, mendapat respon yang keras dari Martin Luther, maka munculah gerakan pembaharuan agama yang bernama Protestanisme. Kalau diperhatikan dari literatur sejarah, barangkali kita akan tersenyum, melihat banyak sekali persamaan antara sikap para pengikut Luther dan Calvin dengan sikap para pengikut Wahabi beberapa abad kemudian, yang berbeda mungkin agamanya saja. Mereka sangat tekun, rajin dan berusaha hidup sederhana. Kebetulan pula, setelah perang agama selama tiga puluh tahun, ditambah wabah penyakit yang membunuh sepertiga populasi Eropa, serta penetrasi Turki ke jantung benua putih tersebut, membuat pusat-pusat kekuasaan Eropa mengalami kebangkrutan. Kaum protestan ini mulai membangun ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip agama mereka, yang secara tidak sengaja memunculkan kapitalisme di Eropa, dan itu semua terjadi di Eropa Barat laut mencakup wilayah seperti Inggris, Benelux dan sebagian Jerman serta Prancis. Kemunculan kapitalisme secara logis membuahkan revolusi Industri. Sementara Italia mulai kehilangan pamor, pusat-pusat peradaban di Eropa Barat Laut semakin maju, tentu saja hal tersebut memicu arus ilmu pengetahuan ke daerah-daerah tadi. Sementara itu, Spanyol dan Portugal juga mengalami keuntungan finansial yang besar, tapi tidak untuk ilmu pengetahuan karena ajaran Katholik begitu kuat mencengkram di sana.
    Entah ini hanya perasaan saya saja, tapi kalau diperhatikan, perkembangan ekonomi selalu berkorelasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sementara tidak demikian halnya dengan perkembangan politik. Al-Khawarizmi, dan ilmuwan-ilmuwan muslim terkenal lainnya, tidak dilahirkan di masa kejayaan politik Harun al-Rasyid, tapi jauh sesudah Baghdad kehilangan pamornya, dan menjadi negeri boneka di bawah bayang-bayang dinasti Ayyubi. Tapi siapa yang menyangkal bahwa baik Ibn Rusyd, dan Ilmuwan-ilmuwan modern itu hidup pada sebuah rezim yang kaya raya. Tentu saja watak ilmu pengetahuan dalam bentuk teoritisnya tidak pernah dibatasi oleh modal, tapi ketika kita berbicara tentang mesin dan barang-barang yang membuat ilmu pengetahuan menemukan kakinya di muka bumi hal tersebut bagaikan air bagi ikan. Dan sepertinya juga ilmu mengikuti uang, mungkin kita dapat menguji teori ini pada apa yang terjadi saat ini dengan Cina.
    Kembali ke diskusi sebelumnya, apa yang terjadi dengan dunia Islam setelah kehilangan Iberia dan keruntuhan Baghdad, sebenarnya cukup mencengangkan. Seluruh tenaga penguasa muslim tersedot kepada masalah stabilitas politik semata. Mereka lebih tertarik memiliki kavaleri dan artileri yang kuat ketimbang membiayai sekelompok ilmuwan. Filsafat sendiri sudah lama punah, sisa-sisanya bergerak semakin ke timur ke daulat Safawiyyah di Iran, dan lebih cenderung ke mistik sehingga kehilangan sifat “positif”nya (Mungkin karena tasawuf sudah diterima sebagai pemikiran mainstream kala itu. Atau barangkali, dan ini masih menjadi hipotesis bagi saya, krisis politik selalu berkorelasi dengan penghayatan kepercayaan seseorang. Semakin dalam krisis politik yang terjadi, semakin dalam pula kecenderungan orang mengembangkan penghayatan keagamaan dalam bentuk fundamental, baik yang keras maupun yang pasif macam tasawuf). Kalau diukur dengan peraihan Dinasti Abbasiyah, apa yang telah diraih oleh Turki Usmani, Safawiyyah dan Moghul di India dalam bidang militer adalah sebuah kemajuan yang pesat. Mereka boleh di bilang adidaya pada masanya, sehingga tidak mengherankan para penjelajah Barat lebih memilih berputar jauh ke selatan lewat Tanjung Harapan dalam perjalanannya ke negeri rempah-rempah menghindari jalur Mediterania yang di kuasai ketiga negara tadi. Sampai disini saya hanya merenung, apakah yang dimaksud dengan kejayaan Islam itu seperti apa yang terjadi saat itu? Tapi, apa mungkin yang dimaksud kejayaan berarti hak prerogatif atas sejarah? Sama seperti raja-raja jawa dengan babad mereka, yang merekonstruksi sejarah dari sudut pandang mereka saja. Sejarah dunia sekarang, kan lebih cocok dikatakan sebagai sejarah Barat? Apa itu kembali lagi kepada uang dan kekuasaan? Apa maksudnya kejayaan Islam itu terletak di sana? Apa tidak terlalu profan? Pesan al-Quran: “kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar” itu cocok tidak dengan konsep kejayaan Islam yang selalu kita dengung-dengungkan? Atau cita-cita ummatan wasatha, yang terjadi dengan kejayaan Barat kan “ekstrimitas”, sama saja dengan cerita-cerita seribu satu malam, kalau dibaca itu selalu berkaitan dengan anggur, wanita, dan darah. Kelebihannya gak ada pornonya, tapi untuk sebuah peradaban Islam, karya itu agak libertine. Dimana-mana uang dan kekuasaan itu cenderung korup, korup itu berarti “ekstrim”. Sayangnya, yang maju itu orang-orang yang ekstrim tadi. Cocok ga dengan misi profetik al-Quran? Adapun kalau yang dimaksud itu dengan kejayaan ilmu pengetahuan, apa tidak lebih repot lagi untuk mendefinisikannya?
    Sebenarnya, saya tertarik dengan konsep kamu mengenai warraqah dan kenapa mereka lebih menghargai karya "hand made" daripada mesin cetak Gutenberg. ini bisa menjadi hipotesis bagaimana pandangan umum ummat Islam terhadap ilmu pengetahuan pada saat itu. Karya "hand made" selalu berasosiasi dengan keluhuran dan kesempurnaan, berbeda dengan mesin cetak, tapi reason dari sebuah mesin cetak adalah pemenuhan kebutuhan dalam tahap yang lebih masif. Ini berarti terdapat banyak sekali orang literal yang membutuhkan buku. Logikanya, tingkat pendidikan sudah tinggi. berbeda dengan yang terjadi dengan dunia Islam, mereka memandang ilmu pengetahuan sebagai sebuah menara gading, pemenuhan orang-orang berduit terhadap kerinduan intelektual. mereka hampir-hampir tidak tertarik dengan pendidikan untuk umum. Sehingga yang muncul adalah sparitas yang dalam antara yang jenius dan yang bodoh. Indikasinya adalah harga buku yang benar-benar mahal dan tidak terjangkau itu. Ilmu untuk "show up". Sekali lagi ini hanya hipotesis, tapi kamu bisa cek dalam sejarah, ada tidak ungkapan kepritahinan para penguasa muslim terhadap tingkat buta huruf di masyarakatnya.

    ReplyDelete
  3. to honor h.p. , i reply in 1 post. Click here

    ReplyDelete
  4. Anonymous24.9.08

    catatan kecik nya lebih panjang daripada postingannya

    ckckckckck.....

    ReplyDelete

feel free to comment :)

recent post