Aku mungkin bukan seorang backpacker yang pernah menjelajahi kontinen-kontinen lain, tapi aku tetap menganggap diriku petualang. Aku pernah kemalaman di Batang, Pekalongan ketika ingin pergi ke rumah seorang teman. Aku pernah hampir kehabisan uang di Jogja. Selain kota-kota di Jawa, aku pernah menempuh puluhan ribu kilo ke pantai Timur Sulawesi Selatan, tepatnya Sinjai. Sendiri. Hampir tanpa rasa takut..
Tapi di Jakarta ini, setiap kali berangkat kerja, aku merasakan kematian begitu dekat. Entah berapa kali aku menjejakkan kaki di kota ini sejak umur 5 tahun, tapi baru kali ini aku merasakan takut. Jalanan kota ini terasa brutal. Aspal beton yang terasa seperti kaca ini membuatku berpikir selalu akan tergelincir. Mengingatkanku pada perasaan Ratu Balqis ketika memasuki istana Nabi Sulaiman. Uniknya, perasaanku dan perasaan Ratu Balqis tidak jauh berbeda: merasakan kehadiran Yang Maha Digdaya.
Setiap kali melaju kencang, aku melirik speedometer. Kalau tidak, mungkin sampai 85 bahkan 90km/jam. Aku punya masalah dengan definisi kecepatan. (In computer world, i'm tweak freak) How fast is fast? Akhirnya aku hanya berusaha menahan diri pada level 65km/jam.
Tapi tetap saja hidup terasa begitu rapuh. Bisa saja, Allah meletakkan sebutir kerikil yang membuatku tergelincir dan ditabrak kendaraan lain. Karenanya, belakangan ini, aku berusaha menyempurnakan ibadah-ibadahku. Belajar kembali cara berwudhu yang benar, cara shalat yang baik meski tidak khusyuk, berusaha untuk berjama'ah, berusaha persisten puasa Senin - Kamis, mendaras kembali hafalan Qur'an yang sudah terlupa, dan melaksanakan hal-hal kecil. Dalam terminologi agama, itu disebut Ihsan, level berikutnya setelah Islam dan Iman.
Karena hidup begitu rapuh, teman.. [ ]
Tapi di Jakarta ini, setiap kali berangkat kerja, aku merasakan kematian begitu dekat. Entah berapa kali aku menjejakkan kaki di kota ini sejak umur 5 tahun, tapi baru kali ini aku merasakan takut. Jalanan kota ini terasa brutal. Aspal beton yang terasa seperti kaca ini membuatku berpikir selalu akan tergelincir. Mengingatkanku pada perasaan Ratu Balqis ketika memasuki istana Nabi Sulaiman. Uniknya, perasaanku dan perasaan Ratu Balqis tidak jauh berbeda: merasakan kehadiran Yang Maha Digdaya.
Setiap kali melaju kencang, aku melirik speedometer. Kalau tidak, mungkin sampai 85 bahkan 90km/jam. Aku punya masalah dengan definisi kecepatan. (In computer world, i'm tweak freak) How fast is fast? Akhirnya aku hanya berusaha menahan diri pada level 65km/jam.
Tapi tetap saja hidup terasa begitu rapuh. Bisa saja, Allah meletakkan sebutir kerikil yang membuatku tergelincir dan ditabrak kendaraan lain. Karenanya, belakangan ini, aku berusaha menyempurnakan ibadah-ibadahku. Belajar kembali cara berwudhu yang benar, cara shalat yang baik meski tidak khusyuk, berusaha untuk berjama'ah, berusaha persisten puasa Senin - Kamis, mendaras kembali hafalan Qur'an yang sudah terlupa, dan melaksanakan hal-hal kecil. Dalam terminologi agama, itu disebut Ihsan, level berikutnya setelah Islam dan Iman.
Karena hidup begitu rapuh, teman.. [ ]
mengetahui bahwa jarak antara kematian dan kehidupan hanya setipis kulit ari bukan berarti membuat kita menjadi takut untuk melakukan apa saja. waspada dan siaga, itu yg sebaiknya kita lakukan; "waspada" dg kemungkinan terjadinya cara kematian yg tidak lazim dan "siaga" bila kematian itu menjemput kapan saja...
ReplyDelete