[ lihat komentar Himawan on when East meets West 2 )
Dear juga Himawan,
Terima kasih untuk koment-nya yang panjang (dan tidak rapi :p ) Nah, itu gunanya teman. Diktum lama kita: Sometime, we agree to disagree, rite ?
Mengatakan bahwa peradaban Barat paska redupnya Timur (secara keilmuan) adalah hasil dialektika mereka sendiri, bahwa mereka memulai dari "ruang hampa" juga tidak sepenuhnya benar. Filsafat Islam sendiri (dengan jujur) menyatakan mengadopsi banyak unsur-unsur filsafat Yunani. Ibn Rusyd (Averroes) dikenal di Barat sebagai Commentator of Aristotle. Al-Farabi dikenal sebagai The Second Teacher atau al-Mua'llim al-Tsani untuk merujuk pada Aristoteles sendiri sebagai The First Teacher. Dante menamakan salah satu tokohnya dengan Averroes dalam Divine Comedy-nya yang aneh itu. Ibn Rusyd juga hadir dalam cerpen Jorge Luis Borges, yang berjudul "Averroes's Search".
Wikipedia bahkan mencampur filsuf Barat dan Timur dalam satu halaman : Medieval Philosophers. Ada benang merah antara Filsafat Yunani, Islam dan kemudian Renaissance. Kita sendiri mengerti bahwa filsafat mendapat tempat terhormat di Barat sebagai pondasi peradaban. Ibn Rusyd mendapat pengaruh filsafat skolastik dan kemudian mempengaruhi Renaissance.
Hanya saja Barat mendapat pengalaman buruk dengan hubungannya dengan agama. Filsafat mereka kemudian menikung ke arah materialisme. Memang filsafat acap berbenturan dengan agama di peradaban mana pun. Tapi apa yang dialami Barat menjadi trauma.
Mengatakan bahwa Abbasiyah tidak lebih jaya dari Ottoman yang lebih luas juga kurang tepat. Ingat banyak ilmuwan dan ulama lahir di zaman itu. Termasuk filsuf paling awal yaitu al-Kindi. Saya lebih menyukai Abbasiyah ketimbang Ottoman / Utsmaniyah, sama seperti lebih menyukai Yunani ketimbang Romawi, meski Hollywood lebih sering menjual keperkasaan Romawi ketimbang kearifan Yunani. Mungkin peradaban kata-kata belum mencapai puncaknya di zaman Abbasiyah, tapi kita melihat banyak universitas yang muncul di zaman itu, pun pendidikan tidak sepenuhnya elitis, karena Khalifah bahkan menggratiskan.
Warraqah juga tidak bekerja untuk elite minority. Andai saja Gutenberg lahir saat itu, mereka mungkin lebih senang, karena punya banyak waktu untuk membaca ketimbang melakukan rutinitas menerjemah. (Aku juga sebel kalau dosen ngasih tugas terjemahan :)
Saya setuju dengan kamu, Himawan
Bahwa kejayaan Islam tidak terletak pada kejayaan politik. Mungkin karena kita terlalu dini membaca tentang isu-isu politik, ketika kita masih lugu dan culun, hingga kita membencinya. Seperti yang saya tulis, kejayaan Islam terletak pada PERADABAN BUKU. Ketika alur sejarah Islam bisa dirunut hingga ke elan vitalnya: Qur'an. Mukjizat kata-kata.
Gagasan Max Weber ttg kontribusi Ethic Protestant on (early) Capitalism memang menarik. Kita bisa menggunakannya sebagai frame untuk melihat kebangkitan Timur Jauh dan berusaha memahami kemunduran umat Islam sendiri. Tapi tesis Weber itu bukan tanpa kritik. Kenapa etos produksi & asketik Protestan tidak berbekas dalam Kapitalisme saat ini yang mengumbar (etos ?) konsumsi dan kemewahan ? Ini bisa jadi bahan penelitian yang menarik. Sama menariknya dengan ide untuk menemukan benang merah antara gagasan filsafat Ibn Rusyd dan Renaissance.
Satu lagi, Protestan sebenarnya agama yang kering. Kehilangan unsur-unsur spiritual yang vital. Umat Islam dulu jaya tanpa harus mengorbankan al-Qur'an. Sementara Kristen ?
Apa yang dilakukan Ottoman dengan menyerang Wina, jantung peradaban Eropa, di tahun 1683, mungkin kesalahan besar. Itu sama saja dengan membangunkan sebuah peradaban yang sudah lama tertidur. Sama halnya ketika orang-orang Jepang melihat Kapal Hitam Portugis di pantai Jepang. Sejak saat itu Jepang melakukan lompatan besar. Pun, pada dasarnya mereka mempunyai etos yang mendukung kemajuan. Mereka hanya tertidur di negara pulau itu.
Sejak hadirnya Imam al-Ghazali, filsafat Islam memang mendapat pukulan telak. Untung orang-orang Iran menjaga tradisi filsafat. Rata-rata para mullah bahkan hingga generasi Thaba'tai dan Muthahhari mempunyai basis pengetahuan filsafat yang amat baik. [ ]
Dear juga Himawan,
Terima kasih untuk koment-nya yang panjang (dan tidak rapi :p ) Nah, itu gunanya teman. Diktum lama kita: Sometime, we agree to disagree, rite ?
Mengatakan bahwa peradaban Barat paska redupnya Timur (secara keilmuan) adalah hasil dialektika mereka sendiri, bahwa mereka memulai dari "ruang hampa" juga tidak sepenuhnya benar. Filsafat Islam sendiri (dengan jujur) menyatakan mengadopsi banyak unsur-unsur filsafat Yunani. Ibn Rusyd (Averroes) dikenal di Barat sebagai Commentator of Aristotle. Al-Farabi dikenal sebagai The Second Teacher atau al-Mua'llim al-Tsani untuk merujuk pada Aristoteles sendiri sebagai The First Teacher. Dante menamakan salah satu tokohnya dengan Averroes dalam Divine Comedy-nya yang aneh itu. Ibn Rusyd juga hadir dalam cerpen Jorge Luis Borges, yang berjudul "Averroes's Search".
Wikipedia bahkan mencampur filsuf Barat dan Timur dalam satu halaman : Medieval Philosophers. Ada benang merah antara Filsafat Yunani, Islam dan kemudian Renaissance. Kita sendiri mengerti bahwa filsafat mendapat tempat terhormat di Barat sebagai pondasi peradaban. Ibn Rusyd mendapat pengaruh filsafat skolastik dan kemudian mempengaruhi Renaissance.
Hanya saja Barat mendapat pengalaman buruk dengan hubungannya dengan agama. Filsafat mereka kemudian menikung ke arah materialisme. Memang filsafat acap berbenturan dengan agama di peradaban mana pun. Tapi apa yang dialami Barat menjadi trauma.
Mengatakan bahwa Abbasiyah tidak lebih jaya dari Ottoman yang lebih luas juga kurang tepat. Ingat banyak ilmuwan dan ulama lahir di zaman itu. Termasuk filsuf paling awal yaitu al-Kindi. Saya lebih menyukai Abbasiyah ketimbang Ottoman / Utsmaniyah, sama seperti lebih menyukai Yunani ketimbang Romawi, meski Hollywood lebih sering menjual keperkasaan Romawi ketimbang kearifan Yunani. Mungkin peradaban kata-kata belum mencapai puncaknya di zaman Abbasiyah, tapi kita melihat banyak universitas yang muncul di zaman itu, pun pendidikan tidak sepenuhnya elitis, karena Khalifah bahkan menggratiskan.
Warraqah juga tidak bekerja untuk elite minority. Andai saja Gutenberg lahir saat itu, mereka mungkin lebih senang, karena punya banyak waktu untuk membaca ketimbang melakukan rutinitas menerjemah. (Aku juga sebel kalau dosen ngasih tugas terjemahan :)
Saya setuju dengan kamu, Himawan
Bahwa kejayaan Islam tidak terletak pada kejayaan politik. Mungkin karena kita terlalu dini membaca tentang isu-isu politik, ketika kita masih lugu dan culun, hingga kita membencinya. Seperti yang saya tulis, kejayaan Islam terletak pada PERADABAN BUKU. Ketika alur sejarah Islam bisa dirunut hingga ke elan vitalnya: Qur'an. Mukjizat kata-kata.
Gagasan Max Weber ttg kontribusi Ethic Protestant on (early) Capitalism memang menarik. Kita bisa menggunakannya sebagai frame untuk melihat kebangkitan Timur Jauh dan berusaha memahami kemunduran umat Islam sendiri. Tapi tesis Weber itu bukan tanpa kritik. Kenapa etos produksi & asketik Protestan tidak berbekas dalam Kapitalisme saat ini yang mengumbar (etos ?) konsumsi dan kemewahan ? Ini bisa jadi bahan penelitian yang menarik. Sama menariknya dengan ide untuk menemukan benang merah antara gagasan filsafat Ibn Rusyd dan Renaissance.
Satu lagi, Protestan sebenarnya agama yang kering. Kehilangan unsur-unsur spiritual yang vital. Umat Islam dulu jaya tanpa harus mengorbankan al-Qur'an. Sementara Kristen ?
Apa yang dilakukan Ottoman dengan menyerang Wina, jantung peradaban Eropa, di tahun 1683, mungkin kesalahan besar. Itu sama saja dengan membangunkan sebuah peradaban yang sudah lama tertidur. Sama halnya ketika orang-orang Jepang melihat Kapal Hitam Portugis di pantai Jepang. Sejak saat itu Jepang melakukan lompatan besar. Pun, pada dasarnya mereka mempunyai etos yang mendukung kemajuan. Mereka hanya tertidur di negara pulau itu.
Sejak hadirnya Imam al-Ghazali, filsafat Islam memang mendapat pukulan telak. Untung orang-orang Iran menjaga tradisi filsafat. Rata-rata para mullah bahkan hingga generasi Thaba'tai dan Muthahhari mempunyai basis pengetahuan filsafat yang amat baik. [ ]
*berdecak kagum*
ReplyDeletekl mikir rumit gini gak masalah, ka
ReplyDeletetp knp cinta jstr lbh rumit? :)
Hhh... Salahkan Gontor, yg mempersiapkan kita sebagai pemikir bukan pecinta! Anyway it most complicated God ever created on this world. Huh..
ReplyDeleteemang ada apa dengan cinta son??hehe
ReplyDeleteoya ini keluar topik ya:)
ReplyDeletesonny ngapain di milis akt unand?bikin heboh aja:P
@rika : penyakit usil kumat nih, Ka. tp kata mentorku, ngajak orang berpikir itu berpahala, lho. Org2 panas, aku tmbh ngakak di dpn laptop. ( Pernah ngakak wkt baca buku filsafat gaaak ? )
ReplyDelete@Himawan: lo kaleeee, gw gaaaaakk :p
( iya..iya..iya.. ampuuun.. )
Sonny sukses promosiin blog di milis Unand :D
ReplyDeleteWakakak... kata "It" di comment saya bukan merujuk ke cinta, tapi ke kondisi lu saat ini. Hhhh...(dasar senasib!)
ReplyDelete"Satu lagi, Protestan sebenarnya agama yang kering. Kehilangan unsur-unsur spiritual yang vital."
ReplyDeleteSensitif nih .... Since I am a Protestan. :D
hhh,
ReplyDeletesorry, aku bicara dlm tataran akademik. Tanpa tendensi..
That's fine. Soalnya aku juga jadi caritau. Biar ga subjektif, hehehee ...
ReplyDeleteMakanya baru ngeh, klo tulisan Max Weber yg itu pada dasarnya kurang signifikan untuk menganalisis Etika Kerja Protestan (bukan Etika Protestan), melainkan sebagai pengantar untuk tulisan2 Weber selanjutnya. Bila ingin mempelajari Etika Kerja Protestan, ada baiknya kita kembali ke pemikir awalnya: Calvin.
Ahh, jadi ingat ketika kuliah di Driyarkara dulu. :D
Saya sedang dengan tulisan ini. :D
Revisi;
ReplyDeleteSaya seNang dengan tulisan ini. :D
@nocturnal-Mona: Para penganut Calvin ya? Kalau ga salah saya malah teringat dengan Kant (bukan pemikirannya loh, tapi cara hidupnya yang tepat waktu, disiplin dan sederhana). Memang semangat pembaharuan agama itu selalu memiliki semangat religius yang kental, bahkan kalau mau saya bilang, orang-orang Protestan awal ini cenderung mirip dengan kaum Wahhabi, yang juga gerakan pembaharu dalam Islam. Karena keinginan para pembaharu ini untuk kembali ke dasar-dasar agama, mereka cenderung menafikkan realitas pemikiran yang terentang semenjak kehadiran para pendiri agama hingga kehadiran mereka, termasuk didalamnya tradisi teosofi dan filosofi. Makanya, Luther menganggap patung-patung di Gereja itu sebagai berhala sama seperti kaum Wahhabi yang merusak makam-makam besar dan menumbangkan pohon tempat baiat kaum Muhajirin awal. Kesamaan mereka yang kemudian terekam adalah penafsiran teks-teks agama yang cenderung harfiah dengan semangat purifikasi ( baca: pembersihan, dan pembersihan dimana-mana berarti pengurangan), hasilnya tafsir agama cenderung religius dan kering wawasan (baca: terfokus kepada teks kitab suci saja) bila dibandingkan dengan warisan pemikiran kuno yang mereka nafikkan. Makanya dapat dibilang bahwa pemikiran agama jenis ini cenderung kering (baca: kering wawasan ilmiah dan warisan kebudayaan yang kaya akan sejarah pencarian yang panjang). Anyway, glad to see Driyarkara's graduate here.
ReplyDelete@h.p.
ReplyDeleteSaya pernah, tapi bukan lulusan Driyarkara. Baru ikut 2 semester (extension course), saya tinggal. Tak kuat otak saya. :D
Jadi, pada dasarnya pengetahuan saya masih sangat dangkal :D
@ mona: "revisi"? My God! betapa kata itu mengingatkan gw akan M**. i'll remember to use "correction" instead of "revision" when i get out of here :p
ReplyDelete(sorry OOT)
@mona: Driyarkara ? Bisa kursus filsafat kan disana ?
ReplyDelete@hp: thx 4 explaining. Purifikasi emang bgs, tp efek sampingnya menghadirkan cara beragama yg kering. Wahhabi jg mengharamkan tasawwuf krn dianggap bid'ah. Definisi bid'ah versi mrk kaku sekali.