Setidaknya ada 2 tikungan panjang dalam sejarah dunia. Pertama, ketika Hulagu Khan menyerang Baghdad (1258) dan Damaskus, pusat-pusat peradaban muslim persis ketika dinasti-dinasti muslim di Timur Tengah sedang lemah. Pemimpin militer buta huruf itu menjarah Kota 1001 Malam di Lembah Mesopotamia itu; membuang seluruh isi perpustakaan ke sungai Efrat. Perpustakaan itu tidak hanya menyimpan karya-karya peradaban Islam, tapi juga manuskrip-manuskrip berharga dari peradaban Yunani. Saking banyaknya buku-buku yang dibuang, sungai Efrat menghitam karena tinta yang luntur.
Sungguh ironis! Sebuah peradaban besar yang dibangun selama lebih dari 6 abad dihancurkan oleh Hulagu yang bahkan namanya sendiri tak mampu ia tulis. Peradaban Islam tak lagi mampu bangkit karena kehilangan buku-buku yang menjadi mercusuarnya. Kaum muslim kehilangan hampir seluruh kekayaan intelektualnya di tangan seorang barbar.
Namun alhamdulillah, serangan Hulagu Khan ke Mesir bisa ditahan oleh Dinasti Mamluk. Kalau tidak, mungkin generasi kita tidak bisa membaca Muqaddimah, masterpiece Ibn Khaldun yang mengukuhkannya sebagai Bapak Ekonomi Islam, Sejarah dan Sosiologi. Dinasti Mamluk berhasil menyelamatkan perpustakaan-perpustakaan
terakhir di Cairo (al-Qahirah), Alexandria (Iskandariyah), dan mercusuar-mercusuar peradaban Islam terakhir di Afrika Utara.
Tikungan kedua, adalah ketika penaklukan-penaklukan kaum muslim sampai ke Wina, jantung peradaban Eropa. Tapi kaum muslim gagal menembus pertahanan kota itu. Kegagalan yang sama ketika pasukan Abdurrahman al-Ghiffari dari Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol sekarang), gagal menaklukkan Perancis Selatan. Para sejarawan berandai bahwa jika kedua penaklukan itu berhasil maka generasi kita akan menjumpai Eropa yang muslim. Takbir akan berkumandang di London, Paris, Berlin seperti biasanya berkumandang di kota seribu menara, Kairo dan Istanbul (Konstatinopel).
Ah andai saja kedua tikungan itu tidak pernah ada, mungkin generasi kita akan memiliki peradaban yang amat kaya, amat harmoni. Tabiat sekular-gnosis peradaban Barat akan bisa diimbangi dengan tabiat relijius peradaban Islam. Ilmu kedokteran Barat yang menyisihkan unsur-unsur spritual, seperti kepercayaan terhadap kekuatan doa, akan bisa diimbangin dengan ilmu kedokteran Islam yang berakar hingga ke Nabi Muhammad dan generasi muslim pertama. Kapitalisme dan Sosialisme mungkin tak pernah laku dijual. Kaum muslim akan mempunyai modal dan elan vital untuk merevitalisasi peradabannya dengan modal buku-buku
yang dibuang oleh Hulagu itu. Tapi Allah berkehendak. Rahasia Allah siapa yang tahu..
Sungguh ironis! Sebuah peradaban besar yang dibangun selama lebih dari 6 abad dihancurkan oleh Hulagu yang bahkan namanya sendiri tak mampu ia tulis. Peradaban Islam tak lagi mampu bangkit karena kehilangan buku-buku yang menjadi mercusuarnya. Kaum muslim kehilangan hampir seluruh kekayaan intelektualnya di tangan seorang barbar.
Namun alhamdulillah, serangan Hulagu Khan ke Mesir bisa ditahan oleh Dinasti Mamluk. Kalau tidak, mungkin generasi kita tidak bisa membaca Muqaddimah, masterpiece Ibn Khaldun yang mengukuhkannya sebagai Bapak Ekonomi Islam, Sejarah dan Sosiologi. Dinasti Mamluk berhasil menyelamatkan perpustakaan-perpustakaan
terakhir di Cairo (al-Qahirah), Alexandria (Iskandariyah), dan mercusuar-mercusuar peradaban Islam terakhir di Afrika Utara.
Tikungan kedua, adalah ketika penaklukan-penaklukan kaum muslim sampai ke Wina, jantung peradaban Eropa. Tapi kaum muslim gagal menembus pertahanan kota itu. Kegagalan yang sama ketika pasukan Abdurrahman al-Ghiffari dari Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol sekarang), gagal menaklukkan Perancis Selatan. Para sejarawan berandai bahwa jika kedua penaklukan itu berhasil maka generasi kita akan menjumpai Eropa yang muslim. Takbir akan berkumandang di London, Paris, Berlin seperti biasanya berkumandang di kota seribu menara, Kairo dan Istanbul (Konstatinopel).
Ah andai saja kedua tikungan itu tidak pernah ada, mungkin generasi kita akan memiliki peradaban yang amat kaya, amat harmoni. Tabiat sekular-gnosis peradaban Barat akan bisa diimbangi dengan tabiat relijius peradaban Islam. Ilmu kedokteran Barat yang menyisihkan unsur-unsur spritual, seperti kepercayaan terhadap kekuatan doa, akan bisa diimbangin dengan ilmu kedokteran Islam yang berakar hingga ke Nabi Muhammad dan generasi muslim pertama. Kapitalisme dan Sosialisme mungkin tak pernah laku dijual. Kaum muslim akan mempunyai modal dan elan vital untuk merevitalisasi peradabannya dengan modal buku-buku
yang dibuang oleh Hulagu itu. Tapi Allah berkehendak. Rahasia Allah siapa yang tahu..
Catatan kecik :
- Karena keterbatasan waktu saya tidak menyertakan referensi, tanggal dan waktu penaklukan kaum muslim ke Wina dan ke Perancis Selatan. Pembaca mungkin ada yang tahu. Silahkan ditambahkan.
- Hulagu Khan yang barbar itu mempunya saudara (tiri) yang terpelajar: Khubilai Khan. Andai Khubilai Khan yang ditugaskan menyerang Baghdad, mungkin ia lebih arif.
- Apa yang dilakukan Pasukan Sekutu ketika menaklukkan Baghdad pada Perang Teluk II, mirip dengan Hulagu yang Barbar. Para penjarah benda-benda antik dibiarkan berkeliaran bebas menjarah musium-musium / perpustakaan Baghdad. Maka jangan heran, sejak zaman perang salib & kolonialisme+orientalisme; musium-musium, perpustakaan-perpustakaan di Barat, baik yang publik maupun pribadi banyak menyimpan benda-benda / buku-buku dari zaman keemasan Islam
Sejarah tuh kan isinya memang tikungan, tikungan orang-orang besar yang kadang-kadang remeh dan egois. kalau yang disorot terus tikungan kekuasaan, apa memang arti kemajuan, kebesaran dan kejayaan dalam Islam itu hanya terletak pada politik semata? Kapan munculnya tikungan epistemologi dan kultur?
ReplyDeleteada yg mendefinisikan sejarah sbg mata rantai org2 besar. Tp definisi ini emang keliatan egois. Ada definisi lain yg jauh lebih adil tp aku lupa :)
ReplyDeleteTikungan epistomologi & kultur? Nah itu tugas Tuanku Filsuf u/ postingin :D
Mulai dari Plato smp alFarabi, Ibn Sina & Ibn Rusyd dst smp Nietzhe dst